Anda di halaman 1dari 37

1

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. U

Umur : 61 tahun

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Wonosalam, Demak

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk : 24 Oktober 2016

Tanggal Keluar : 28 Oktober 2016

Bangsal : Teratai C-17

No. RM : KLJG01200092019

B. DATA DASAR
1. Anamnesis
2. Keluhan utama : Badan lemas
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Sunan Kalijaga Demak
pada tanggal 24 Oktober 2016 diantar oleh keluarga.
a. Onset: 3 hari SMRS
b. Lokasi: seluruh tubuh
c. Kuantitas: semakin lemas setiap hari dan terus
menerus
d. Kualitas: keluhan yang dirasakan mengganggu
aktivitas sehari-hari pasien
e. Kronologi: Sebelum masuk rumah sakit, pasien
merasakan badan lemas setelah melakukan
aktivitas di rumah. Pasien mengatakan, dahulu
pernah di rawat di RSUD Sunan Kalijaga Demak
2

+3 bulan yang lalu. Pasien sulit mengatur pola


makan yang sehat dan jarang olahraga.
f. Faktor memperingan: Keluhan pasien dirasakan
lebih ringan ketika istirahat.
g. Faktor memperberat: keluhan dirasakan
memberat saat melakukan aktivitas sehari-hari
h. Keluhan lain: Pasien mengeluhkan pusing,
pandangan mata kabur (-), demam (-), BAB teratur
dan warna normal, BAK >5 kali tiap malam, warna
urin normal, sering merasa lapar dan haus.
4. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien sudah memiliki

riwayat diabetes melitus sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan

yang serupa sering dialami oleh pasien dan pasien jarang

mengontrol gula darahnya secara teratur.


5. Riwayat Penyakit Keluarga: Hipertensi (-), DM (+)
6. Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien merupakan pasien

BPJS PBI
7. Anamnesis Sistemik
Umum : compos mentis, tampak

kesakitan
Kulit : gatal (-), luka (-), kuning (-),

pucat(-)
Kepala : mesocehal, nyeri kepala (+)
Mata : mata merah(-/-), konjungtiva

anemis(+/+), sclera ikterik (-/-)


Telinga : berdenging (-/-), kurang

pendengaran (-/-)
3

Hidung : simetris, septum deviasi (-),

nafas cuping hidung (-),


Mulut : simetris, sianosis (-), bibir

pucat(-), bibir kering (-), mukosa hiperemis (-),

deviasi lidah (-)


Tenggorokan : nyeri tenggorokan (-), serak

(-), nyeri telan (-)


Leher : deviasi trachea (-), pembesaran

thyroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-)


Dada : sesak nafas (-), nyeri dada (+)
Sistem Pencernaan : nyeri perut (-), mual (+),

muntah (-), BAB berdarah (-)


Sistem Urogenital : disuria (-)
Sistem Muskulo : nyeri otot (-), merah (-),

bengkak (-)
Ekstermitas : akral dingin (-)
8. Pemeriksaan Fisik

Status Pasien

Kesadaran Umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis

Usia : 61 tahun

BB : 75 kg

TB : 150 cm

BMI : 33,33 (obesitas)

Vital Sign
4

Tekanan darah : 170/110

Nadi : 90x/ menit

Suhu : 36,2oC

RR : 22 x/ menit

Pemeriksaan Fisik

a. Status Internus

Kepala : Mesocephal, alopesia (-)

Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera

ikterik(-/-)

Hidung : Simetris, sekret (-), nafas cuping

hidung (-)

Telinga : Bentuk normal, discharge (-/-)

Tenggorokan : Hiperemis (-), nyeri telan (-)

Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-)

Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB

(-)

Extremitas : Oedem ekstremitas (-), ptekia (-)

b. PF Thorax - Paru

INSPEKSI ANTERIOR POSTERIOR


5

Statis RR:20x/min, RR:20x/min,

Hyperpigmentas (-), tumor Hiperpigmentasi (-), tumor

(-), inflammation (-), spider (-), inflammation (-), spider

nevi (-), Hemithorax D=S, nevi (-), Hemithorax D=S,

ICS Normal, Diameter AP ICS Normal, Diameter AP <

< LL LL
Dinamik Pergerakan Hemithorax Pergerakan hemithorax

kanan = kiri, tidak terlihat kanan = kiri, tidak terlihat

gerakan otot bantu nafas, gerakan otot bantu nafas,

retraksi ICS (-) retraksi ICS (-)


PALPASI Nyeri tekan (-), tumor (-), Nyeri tekan (-), tumor (-),

Arcus costae angle < 90, pelebaran ICS (-), Sterm

pelebaran ICS (-), Stem fremitus D = S

fremitus D = S
PERKUSI Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh lapang

paru paru
AUSKULTASI Suara nafas dasar vesikuler, Suara nafas dasar vesikuler,

ronchi (-) , wheezing (-) ronchi (-) , wheezing (-)

c. PF Thorax - Jantung

INSPEKSI
Ictus cordis tidak tampak
PALPASI
6

Iktus kordis tidak teraba

Kuat angkat (-), pulsus parasternal (-), sternal lift (-), pulsus epigastrium(-)
PERKUSI
Redup
Batas atas jantung
Pinggang jantung : ICS II linea sternalis sinistra
Kanan jantung
Kiri jantung : ICS III linea parasternalis sinistra

: ICS V linea sternalis sinistra

: ICS VI 2 cm dari linea midclavicula sinistra


AUSKULTASI
katup aorta : SD I-II murni, reguler A1<A2
katup trikuspidal
katup pulmonal : SD I-II murni,reguler T1>T2
katup mitral
bising : SD I-II murni, reguler P1<P2

: SD I-II murni, reguler M1>M2

:-

d. PF abdomen

INSPEKSI
bentuk datar, sikatrik (-), striae (-), caput medusa (-), hiperpigmentasi (-),

spider nevi (-)


AUSKULTASI
bising peristaltik (+) 12 kali/menit, bising pembuluh darah (-)
PERKUSI
7

Perkusi 4 regio : timpani

Hepar : pekak (+), liver span dextra 10 cm, sinistra 6 cm

Lien : troube space (+)

Ginjal : nyeri ketok ginjal (-)


PALPASI

Superfisial Nyeri tekan abdomen (-), Massa (-), defence muscular (-)

Dalam Nyeri tekan dalam (-)

Organ Hepar tidak teraba membesar, lien schuffner (0), ginjal tidak teraba

membesar

9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Hemoglobin 9,4 g/dL 11,7 15,5


(g/dL)
Hematocrit 28,5 % 35 47 (%)
Leukocyte 8,2 x 10^3/ul 3,6 11.0 x
10^3/ul
Trombocyte 457 x 10^3/ul 150 400 x
10^3/ul
Eritrosit 3,57 x 4,0 6,0 x
10^6/ul 10^6/ul
Netrofil 52,9 50-70
Limfosit 27,4 25-40
8

Monosit 7,7 2-8


Eosinofil 11,5 2-4
Basofil 0,5 0-1
MCH 26,3 pg 26-34 pg
MCHC 33,0 32-36
MCV 79,8 fL 80-100 fL
RDW 13,1 11,5-14,5
MPV 10,5 fL 6,8-10,0 fL
PDW 11,5 fL 10,0-18,0 fL
LED 1 Jam 110 mm/jam 0-20 mm/jam
LED 2 Jam 130 mm/jam 0-20 mm/jam
Kimia Klinik
Kalium 4,05 mmol/L 3,5-5
Natrium 131,57 135-147
mmol/L
Calcium 7,89 mg/dL 8,1-10,4
Klorida 100,20 95-105
mmol/L
Magensium 1,7 mg/dL 1,9-2,5
Sero Imunologi
HbsAg Negatif Negatif
Gula Darah Sewaktu 350 mg/dL 75-110
(mg/dL)
Ureum 21,5 mg/dL 0-40 (mg/dL)
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,5-1,2
(mg/dL)
SGOT 15 <27 (U/L)
9

SGPT 18 9-43 (U/L)

EKG
10

IRAMA : Sinus rhytm


REGULARITAS : Regular
FREKUENSI : 78x/menit
11

AXIS : L1 (+) AVF (+) ->

NAD
GELOMBANG P : 2 x 0,04 = 0,08 s
PR INTERVAL : 4 x 0,04 = 0,16 s
QRS COMPLEX : 0,04 s
ST SEGMEN : isoelektrik
GELOMBANG T : T prekordial : <10 mV,

T ekstremitas : <5 mV
ZONA TRANSISI : V3

10. Abnormalitas Data

Anamnesis : Physical Examination :

1. Badan lemas 4. GDS (350 mg/dL)


5. BP (170/100)
Laboratory Examination:

6.Haemoglobin

7.Hematocrit

7. Eritrosit

8. GDS
12

11. DAFTAR MASALAH


Diabetes MelitusTipe II
Hipertensi Grade II
12. PEMBAHASAN
1. DIABETES MELITUS TIPE II
Assesment :
Etiologi : faktor keturunan, obesitas, pola makan tidak

teratur
IP Dx : Diabetes Melitus Tipe II
IP Tx :
Non Farmakologi :
Terapi gizi medis pengaturan pola makan

yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan

melakukan modifikasi diet berdasarkan

kebutuhan individual
Olahraga (3-4 kali semingu dalam 30-60

menit) seperti jalan kaki, bersepeda, berenang,

dan jogging.
Farmakologi :
Metformin 500 mg 3x1
Glargine 20U

Ip. Mx : Vital sign, GDS


13

Ip. Ex :
Istirahat cukup
Pengaturan pola makan yang baik dan benar
Rutin mengkonsumsi obat
Rutin mengontrol kadar gula darah
Olahraga rigan teratur, 3-4 kali seminggu selama 30-60

menit
Mengurangi hal-hal yang menyebabkan stress
2. HIPERTENSI GRADE II
Assesment Risk factor : DM, obesitas
Ip Dx : Profil lipid (LDL, HDL, Trigliserid, Kolesterol total)
Ip Tx :
Non Farmakologi :
Diet rendah garam
Diet kaya buah, sayuran, produk rendah lemak dengan

jumlah lemak total dan lemak jenuh yang rendah.


Olahraga rigan teratur selama 30 menit per hari
Farmakologi :
Lisinopril 5mg 1x1
Spironolacton 25 mg1x1
ISDN 5 mg 3x1
Ip. Mx : Vital sign
Ip. Ex :
Istirahat cukup
Gizi seimbang dan pembatasan gula, garam, dan lemak
Mempertahankan berat badan
Rutin mengkonsumsi obat
Rutin mengontrol tekanan darah
Olahraga rigan teratur, 3-4 kali seminggu selama 30-60

menit
Mengurangi hal-hal yang menyebabkan stres
13. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : ad malam
Ad functionam : dubia ad bonam
14

PENDAHULUAN
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,
Diabetes Melitus (DM) meru-pakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.1,2

Epidemiologi
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara
3%-6% dari jumlah pen-duduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi
diabetes meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir.3 Di Amerika
Serikat, penderita diabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun
1990 menjadi 20.676.427 jiwa di ta-hun 2010.4 Di Indonesia,
kekerapan dia-betes berkisar antara 1,4%-1,6%, kecuali di beberapa
tempat yaitu di Pekajangan 2,3% dan di Manado 6%.3

Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2


Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang
terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang
disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta
(siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga
merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah
stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi
sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada
orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin
pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan
produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah
puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
15

menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan


DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan
hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi
hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa
dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140
mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar
glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak
mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi
kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar
insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan
insulin terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis
mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati makin meningkat dan
mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang dapat
menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat
(acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa
kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek
toksik glukosa (glucose toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh
Indraswari, 2010).

Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin


tetap dapat dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah
terjadi resistensi insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang
penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin
tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin
yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan
sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan
berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi insulin
16

berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini


juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain
seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga
dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan
dan resistensi insulin (Indraswari, 2010).

Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2


Yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi
insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-
pasien dengan Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (NIDDM),
penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. NIDDM ditandai
dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja
insulin. Pada awalnya kelihatan terdapat resistensi dari sel-sel sasaran
terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada
reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraselular yang meningkatkan transport glukosa menembus
membrane sel. Pada pasien-pasien dengan NIDDM terdapat kelainan
dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsive insulin pada
membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara
kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Kadar
glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama
dengan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi
insulin menurun, dan jumlah insulin yang beredar tidak lagi memadai
untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien NIDDM
mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan
diabetes mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien
17

NIDDM merupakan akibat dari obesitasnya. Pengurangan berat badan


seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan
pemilihan toleransi glukosa (Rakhmadany,2010).
Diagnosis

Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM


berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan
pemeriksaan Glu-kosa Darah Sewaktu (GDS) 200 mg/dl di-agnosis
DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa
(GDP) 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis
DM.

Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan


glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk
menegakkan di-agnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu
GDP 126 mg/dl, GDS 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil
Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dl. Alur penegakkan
diag-nosis DM dapat dilihat pada skema di gambar 1
18

Gambar 1. Langkah diagnostik Diabetes Mellitus (DM) dan


gangguan toleransi glukosa (GTG)1

Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association
2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:

a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes


Mellitus/IDDM

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas


karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak
sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-
peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali.
Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.

2.Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes


Mellitus/NIDDM

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi


insulin tidak bisa membawa glukosa ma-suk ke dalam jaringan
karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya
kemampuan insu-lin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah
tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah)
akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa
bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan
mengalami desensitisasi terhadap adanya glu-kosa.

Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya


asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan
19

mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM


tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.

3. Diabetes Melitus Tipe Lain


DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik,
infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 1.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional
memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap
dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.
20

KOMPLIKASI

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi


metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik
mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM
meru-pakan penyebab utama dari end-stage renal di-sease (ESRD),
nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.5

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunk-an glukosa


darah, terutama setelah ditemukan-nya insulin, angka kematian
penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis.
Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes
dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi
akibat dia-betes yang tidak terkendali adalah:6,7

Kerusakan saraf (Neuropati)


Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu
otak dan sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit,
dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang menga-tur otot polos
di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa
darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan ber-langsung
sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan
menjadi nor-mal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Na-mun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan
menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembu-
luh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi
kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic
neuropathy). Neuro-pati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak
bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf,
salah kirim atau ter-lambat kirim. Tergantung dari berat ringannya
kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati
21

pada pasien DM tipe 1 pada populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8%


dan dalam penelitian pada populasi berkisar 12.8% s/d 54%.
Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati pada populasi
klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi
berk-isar 13.1% s/d 45.0%.6

Kerusakan ginjal (Nefropati)


Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai
saringan da-rah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang
ke urin atau kencing. Ginjal bekerja se-lama 24 jam sehari untuk
membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk
oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat
dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin
lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah
mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada pender-ita
diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf.
Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar
4.3% s/d 37.6% pada popu-lasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam
penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2
prevalensi mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar 2.5% s/d
57.0% dan dalam peneli-tian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%.

Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar


0.7% s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam
penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2
prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d
20.0% dan dalam peneli-tian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.6

Kerusakan mata (Retinopati)


Penyakit diabetes bisa merusak mata pender-itanya dan
menjadipenyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada
mata yang dis-ebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina
22

mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang


sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah
reti-na; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan
menjadi keruh sehingga meng-hambat masuknya sinar dan makin
diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3)
glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga
merusak saraf mata. Preva-lensi retinopati dengan penyakit DM tipe 1
berki-sar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0%
dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2
prevalensi retinopati pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d 47.3%
dan dalam penelitian pada populasi berki-sar 10.1% s/d 55.0%.6

Penyakit jantung koroner (PJK)

Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan


penumpukan lemak di din-ding yang rusak dan menyempitkan
pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang
dan tekanan darah meningkat, se-hingga kematian mendadak bisa
terjadi.

Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM


(baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan
1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen
dari prevalensi penyakit jantung koro-ner berkisar 0.5% s/d 8.7%
dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes
tipe 2.6

Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2)
berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5%
dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi
stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar
4.1% and 6.7% dengan Diabe-tes tipe 2.6

Hipertensi
23

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan


keluhanyang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal.
Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadi-nya serangan
jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan
jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes
juga terkena hipertensi.

Penyakit pembuluh darah perifer


Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki,
yang dinamakan Peripheral Vas-cular Disease (PVD), dapat terjadi
lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada
orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki
terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung
selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami
kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gang-
guan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah men-galami penyempitan pada pembuluh
darah jan-tung.

Gangguan pada hati


Banyak orang beranggapan bahwa bila pende-rita diabetes
tidak makan gula bisa bisa meng-alami kerusakan hati (liver).
Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu
sendiri. Dibandingkan orang yang tidak men-derita diabetes,
penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau
hepati-tis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang
yang sakit hepatitis karena mu-dah tertular dan memerlukan vaksinasi
untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan siro-sis hati (liver
cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang
lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada pen-
derita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya
(hampir 50%) pada penderita dia-betes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini
jangan dibi-arkan karena bisa merupakan pertanda adanya
penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.

Penyakit paru
24

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tu-berkulosis paru


dibandingkan orang biasa, seka-lipun penderita bergizi baik dan
secara sosio-ekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru,
demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.

Gangguan saluran cerna


Gangguan saluran cerna pada penderita diabe-tes disebabkan karena
kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom
yang mengenai saluran pencernaan. Ganggu-an ini dimulai dari
rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan
se-hingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang
mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta
pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah
dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah aki-bat dari gangguan saraf
otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan
bisa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang diminum.

Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh
dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita
diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami
infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan
alat kelamin. Ka-dar glukosa darah yang tinggi juga merusak sis-tem
saraf sehingga mengurangi kepekaan pen-derita terhadap adanya
infeksi.

PENATALAKSANAAN

Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM


tipe-2, dan sebagian besar me-ngenai organ vital yang dapat fatal,
maka tata-laksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif un-tuk
mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular.
Dalam Konsensus Pengelo-laan dan Pencegahan DM tipe 2 di
Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik be-
ratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi
medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologi.
25

A. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam peru-bahan perilaku sehat
yang memerlukan partisi-pasi aktif dari pasien dan keluarga pasien.
Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya
meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.1,8

Tujuan dari edukasi diabetes adalah men-dukung usaha pasien


penyandang diabetes un-tuk mengerti perjalanan alami penyakitnya
dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang
mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku
peman-tauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.8

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa


mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti
me-rokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengu-rangi asupan
kalori dan diet tinggi lemak.

B. Terapi Gizi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan
yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing indi-
vidu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium
kurang dari 3g, dan diet cukup serat seki-tar 25g/hari.1

C. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang
bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan
berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.1

D. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi
26

farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1 Obat yang
saat ini ada antara lain:
I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO) Pemicu
sekresi insulin:

a. Sulfonilurea
Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang

Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan


faal hati dan ginjal serta malnutrisi

b. Glinid
Terdiri dari repaglinid dan nateglinid

Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada


sekresi insulin fase per-tama.

Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial


Peningkat sensitivitas insulin:
a. Biguanid9
Golongan biguanid yang paling banyak diguna-kan adalah
Metformin.

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap


kerja insulin pada ting-kat seluler, distal reseptor insulin, dan menu-
runkan produksi glukosa hati.

Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk,


disertai dislipidem-ia, dan disertai resistensi insulin.
Tiazolidindion1,z

Menurunkan resistensi insulin dengan mening-katkan jumlah protein


pengangkut glukosa se-hingga meningkatkan ambilan glukosa
perifer.

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena


meningkatkan retensi cairan.
27

Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin).
Selain menurunkan resistensi insulin, Metfor-min juga mengurangi
produksi glukosa hati.

Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan


kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien
dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis

Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti


golongan sulfonylurea.

Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)


namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa :


Acarbose
Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti


golongan sulfonilurea.
Acarbose mempunyai efek samping pada salur-an cerna yaitu
kembung dan flatulens.
Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1
(GLP-1) merupakan
suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1
merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon.
Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak
aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan
penglepasan insulin dan menghambat peng-lepasan glukagon.

II. OBAT SUNTIKAN


Insulin
a.Insulin kerja cepat
28

b. Insulin kerja pendek

c.Insulin kerja menengah

d. Insulin kerja panjang

e.Insulin campuran tetap

Agonis GLP-1/incretin mimetik\


Bekerja sebagai perangsang penglepasan in-sulin tanpa menimbulkan
hipoglikemia, dan menghambat penglepasan glukagon

Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea

Efek samping antara lain gangguan saluran cer-na seperti mual


muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat


dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat
(GHS). Se-mua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang
terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk
pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani
se-cara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar
glukosa darahnya dengan men-jalankan GHS ini. Bila dengan GHS
glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara


bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO
berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit
sebelum makan. Glinid di-berikan sesaat sebelum makan. Metformin
bisa diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acar-bose diberikan
bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung
pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat ma-kan atau
sebelum makan.

Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum


terkendali maka diberikan kombi-nasi 2 OHO. Untuk terapi
kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda, misalnya
golong-an sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan
29

kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah be-lum terkendali maka ada 2


pilihan yaitu yang per-tama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau
GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin ba-sal. Yang
dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau
kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur.

Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka
pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif.
Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin ba-sal untuk
mengendalikan glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja
pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombi-nasi
insulin basal dan prandial ini berbentuk ba-sal bolus yang terdiri dari
1 x basal dan 3 x pran-dial. Algoritma tata laksana selengkapnya
dapat dilihat pada gambar 2.

LEADING AR

Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c),


merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan
ini di-anjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali
30

setahun. Gambar 3 menunjukkan panduan tatalaksana


berdasarkan hasil A1c.

Kriteria pengendalian DM

Untuk mencegah komplikasi kronik, diper-lukan


pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran
terapi. Diabetes dinya-takan terkendali baik bila kadar
glukosa da-rah, A1c dan lipid mencapai target sasaran.
Kriteria lengkap dari keberhasilan pengen-dalian DM ini
dapat dilihat pada gambar 4.

Metformin dan DM tipe 2

Sebagai salah satu obat hipoglikemik oral, metformin mempunyai


beberapa efek tera-pi antara lain menurunkan kadar glukosa darah
31

melalui penghambatan produksi glukosa hati dan menurunkan


resistensi in-sulin khususnya di hati dan otot. Metformin tidak
meningkatkan kadar insulin plasma. Metformin menurunkan absorbsi
glukosa di usus dan meningkatkan sensitivitas in-sulin melalui efek
penngkatan ambilan glukosa di perifer. Studi-studi invivo dan invitro
membuktikan efek metformin ter-hadap fluidity membran palsma,
plasticity dari reseptor dan transporter, supresi dari mitochondrial
respiratory chain, peningka-tan insulin-stimulated receptor
phosphoryla-tion dan aktivitas tirosine kinase, stimulasi translokasi
GLUT4 transporters, dan efek enzimatik metabolic pathways.10

Tatalaksana DM tipe-2 bukan hanya ber-tujuan untuk kendali


glikemik, tetapi juga kendali faktor risiko kardiovaskuler, karena
ancaman mortalitas dan morbiditas justru datang dari berbagai
komplikasi kronik ter-ebut. Dalam mencapai tujuan ini, Metfor-min
salah satu jenis OHO ternyata bukan hanya berfungsi untuk kendali
glikemik, tetapi juga dapat memperbaiki disfungsi endotel,
hemostasis, stress oksidatif, re-sistensi insulin, profil lipid dan
redistribusi lemak.11 Metformin terbukti dapat menu-runkan berat
badan, memperbaiki sensi tivitas insulin, dan mengurangi lemak
visceral.12 Pada penderita perlemakan hati (fatty liver), di-dapatkan
perbaikan dengan penggunaan Met-formin.13 Metformin juga terbukti
mempunyai efek protektif terhadap komplikasi makrovasku-lar.14
Selain berperan dalam proteksi risiko kardio-vaskuler, studi-studi
terbaru juga mendapatkan peranan neuroprotektif Metformin dalam
mem-perbaiki fungsi saraf, khususnya spatial memory function15 dan
peranan proteksi Metformin dalam karsinogenesis. Diabetes tipe-2
mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena berbagai macam kanker
terutama kanker hati, pankreas, endome-trium, kolorektal, payudara,
dan kantong kemih. Banyak studi menunjukkan penurunan insidens
keganasan pada pasien yang menggunakan Metformin.11
Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari
the American Diabetes Associa-tion/European Association for the
Study of Dia-betes (ADA/EASD) dan the American Association of
Clinical Endocrinologists/American College of Endocrinology
(AACE/ACE) merekomendasi-kan pemberian metformin sebagai
monotera-pi lini pertama. Rekomendasi ini terutama ber-dasarkan
efek metformin dalam menurunkan kadar glukosa darah, harga relatif
murah, efek samping lebih minimal dan tidak meningkatkan berat
badan.1,16

Posisi Metformin sebagai terapi lini pertama juga diperkuat


oleh the United King-dom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang
pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi Metformin
terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga men-
dapatkan efikasi Metformin setara dengan sul-fonilurea dalam
mengendalikan kadar glukosa darah.17 Ito dkk dalam studinya
menyimpulkan bahwa metformin juga efektif pada pasien de-ngan
berat badan norma
1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan
dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-
10, 15-29
2. American Diabetes Association. Diagnosis And Classification Of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care 2011;34:s62-9.
3. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hlm.1874-8

4. Gregg EW, Li Y, Wang J, Burrows NR, Ali MK, Rolka D, et al.


Changes in Diabetes-Related Complications in the United States,
19902010. N Engl J Med 2014;370:1514-23
5. (9)Powers AC. Diabetes mellitus. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons
Principles of Internal Medi-cine. 17th Edition. United States: The
McGraw-Hill Companies; 2008. hal2275-304.

6. (10)Tapp R, Shaw J, Zimmet P. Complications of Diabetes.


Dalam: Gan D, Allgot B, King H, Lefbvre P, Mbanya JC, Silink
M, penyunting. Diabetes At-las. Edisi ke-2. Belgium: International
Diabetes Federation; 2003:h.72-112)
7. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: Mekanisme terjadinya,
diagnosis dan strategi pengelolaan. Dalam : Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, Simadi-brata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hlm.1874-8

8. J Piette. Effectiveness of Self-management Education. Dalam:


Gan D, All-got B, King H, Lefbvre P, Mbanya JC, Silink M,
penyunting. Diabetes Atlas. Edisi ke-2. Belgium: International
Diabetes Federation; 2003:h.207-15)
9. Sugondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes
melitus tipe 2. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departe-men Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2006.hlm.1882-5
10. Mari A Metformin more than gold standard in the treatment of
type 2 diabetes mellitus. Diabetologia Croatica 2010; 39-3
11. Rojas LBA, Gomes MB. Metformin: an old but still the best
treatment for type 2 diabetes. Diabetology & Metabolic Syn-
drome2013,5:6. Diunduh dari http://www.dmsjournal. com/
content/5/1/6

12. Reinehr T, Kiess W, Kappellen T, Andler W:I nsulin sensitivity


among obese children and adolescents, according to degree of
weight loss. Pediatrics 2004,114:15691573
13. Tock L, Damaso A, de Piano A, Carnier J,et al: Long-Term Effects
of metformin and lifestyle modification on nonalcoholic fatty liver
disease obese adolescents. J Obes2010,831901:6. Article ID
831901

14. Holman RR, Paul SK, Bethel MA, Matthews DR, Neil HA:10-year
follow up of intensive glucose control in type 2 diabetes.N Engl J
Med2008, 359:15771589
15. Wang J, Gallagher D, De Vito L,et al: Metformin activates an atypi-
cal PKC-CBP pathway to promote neurogenesis and enhance spa-
tial memory formation. Cell Stem Cell2012,11:2335
16. Rodbard HW, Jellinger PS, Davidson JA,et al: Statement by an
American association of clinical endocrinologists/American college
of endocrinology consensus panel on type 2 diabe-tes mellitus. An
algorithm for glycemic control. Endocr Pract
2009,15(6):540559.

17. Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group:Effect of inten-


sive blood glucose control with metformin on complications in
overweight patients with type 2 diabetes (UKPDS 34). Lan-
cet1998,352(9131):854865.

Anda mungkin juga menyukai