Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun di negara
maju. Data SEAMIC Health Statistic 2001 menunjukkan influenza dan
pneumonia merupakan penyebab kematian nomor enam di Indonesia, nomor
sembilan di Brunei, nomor tujuh di Malaysia, nomor tiga di Singapura, dan nomor
enam di Thailand.
Pneumonia adalah peradangan akut parenkim paru yang biasanya berasal dari
suatu infeksi. Istilah pneumonitis seringkali digunakan untuk menyatakan peradangan
paru non spesifik yang etiologinya tidak diketahui. Meskipun telah ada kemajuan dalam
bidang antibiotik, pneumonia tetap menjadi masalah dalam kesehaan. Munculnya
organisme nosokomial yang resisten terhadap antibiotik, ditemukannya oraanisme-
organisme yang baru, bertambahnya jumlah pejamu yang lemah daya tahan tubuhnya dan
adanya penyaki seperti AIDS semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan
penyebab-penyebab pneumonia. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini
karena respons imunitas yang masih belum berkembang dengan baik. Pasien peminum
alkohol, pasca bedah dan penderita penyakit pernapasan kronik atau infeksi virus juga
mudah terserang penyakit ini. Hampir 60% pasien yang kritis di ICU dapat menderita
pneumonia, dan setengah dari pasien-pasien tersebut akan meninggal.
Foto thorax merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Kemajuan pesat
selama dasawarsa terakhir dalam teknik pemeriksaan radiologi toraks dan pengetahuan
untuk menilai suatu roentgenogram toraks menyebabkan pemeriksaan toraks dengan sinar
roentgen ini suatu keharusan rutin. Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan roentgen saat ini
dapat dianggap tidak lengkap. Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti
sebelum dilakukan pemeriksaan radiologik. Selain itu, berbagai kelainan dini dalam paru
juga sudah dapat dilihat dengan jelas pada foto roentgen sebelum timbul gejala-gejala
klinis.
Roentgenografi adalah pembuatan foto roentgen toraks, yang biasanya dibuat
dengan arah postero-anterior (PA) dan lateral bila perlu. Agar distorsi dan magnifikasi
yang diperoleh menjadi sekecil munkin, maka jarak antara tabung dan film harus 1,8
meter dan foto dibuat sewaktu pasien sedang bernapas dalam (inspirasi). Tekanan listrik
yang dipergunakan biasanya antara 60-90 KV; semakin tinggi semakin baik, karena ini
mengurangi kontras antara hitam dan putih.

1
Beberapa proyeksi istimewa diperlukan unuk melihat lebih jelas sarang-sarang
yang letaknya agak tersembunyi pada proyeksi biasa. Proyeksi oblique dibuat dengan
sudut kira-kira 450 dan diberi nama menurut bagian dada yang letaknya terdekat pada
film dan terjauh dari tabung roentgen. Proyeksi lain adalah proyeksi lordotik puncak paru
dengan arah sinar antero-posterio (AP), untuk menyelidiki sarang di apeks paru, yang
pada proyeksi PA biasa umumnya tersembunyi di belakang klavikula dan costa 1.
Kadang-kadang perlu dibuat foto dalam posisi berbaring pada keadaan tertentu.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Penderita

1. Nama : Tn. IM
2. Umur : 21 tahun
3. Alamat : Idie Rayeuk, Aceh Timur
4. Jenis Kelamin : Laki-Laki
5. Agama : Islam
6. Status Perkawinan : Belum menikah
7. Suku : Aceh
8. Pekerjaan : Mahasiswa
9. Tanggal Pemeriksaan : 27 September 2014
10. Nomor CM : 1-01-06-11

2.2 Anamnesa

1. Keluhan Utama : Batuk berdarah sejak 4 jam SMRS


2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke RSUDZA dengan
keluhan batuk berdahak sejak 1 bulan SMRS, batuk dirasakan
memberat 1 minggu SMRS. Dahak berwarna kuning kehijauan. Pasien
tidak mengeluhkan nyeri dada. Sesak napas disangkal. Pasien juga
mengeluhkan demam sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat berkeringat
malam disangkal. Pasien mengeluh nafsu makannya turun sejak 1
bulan terakhir. Penurunan berat badan disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah mengeluhkan
keluhan seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal
5. Riwayat Penggunaan Obat : Pasien belum pernah berobat.
6. Riwayat Kebiasaan Sosial : Pasien merokok sejak 1 tahun yang
lalu.

2.3 Status Internus

1. Keadaan Umum : Sakit ringan


2. Kesadaran : E4 M6 V5
3. Tekanan Darah : 110/70 mmHg

3
4. Nadi : 86 kali/ menit
5. Pernafasan : 20 kali/menit
6. Suhu : 37,90C
7. Keadaan Gizi : Gizi Normal

2.4 Pemeriksaan Fisik

A. Kulit
1. Warna : Sawo matang
2. Turgor : Cepat kembali
3. Sianosis : Tidak ada
4. Ikterus : Tidak ada
5. Oedema : Tidak ada
6. Anemia : Tidak ada

B. Kepala
1. Rambut : Hitam, distribusi normal
2. Wajah : Simetris, edema (-), deformitas(-)
3. Mata : Conjunctiva pucat (-/-), ikterik (-/-)
a. Pupil bulat isokor 3 mm/3 mm
b. Refleks cahaya langsung (+/+)
c. Refleks cahaya tidak langsung (+/+)
4. Telinga : Serumen (-/-)
5. Hidung : Sekret (-/-)
6. Mulut : Bibir : Pucat (-), Mukosa Basah (+)
sianossi(-)
Lidah : Tremor (-), Hiperemis (-)
Tonsil : Hiperemis (-/-), T1 T1
Faring : Hiperemis (-)

C. Leher
1. Inspeksi : Simetris
2. Palpasi : TVJ (N) R-2 cm H2O.
3. Pembesaran KGB : Tidak ada

D. Thorax

4
Inspeksi
1. Statis : Simetris, bentuk normochest
2. Dinamis : Pernafasan Abdominothorakal,
Retraksi suprasternal (-),
Retraksi intercostals (-)
Paru
Inspeksi : Simetris, statis, dinamis.
Pemeriksaan Kanan Kiri
Palpasi Fremitus Meningkat Fremitus Meningkat
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal Vesikuler Normal
Ronchi (+) wheezing (-) Ronchi (+) wheezing (-)

Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V Linea
Midclavicula Sinistra.
3. Perkusi : Atas : ICS III Linea Midclavicula
Sinistra
Kiri : ICS V Linea Midclavicul
Sinistra
Kanan : Linea Parasternal Dextra
4. Auskultasi : BJ I > BJ II, normal, regular, bising (-)

E. Abdomen
1. Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor(-)
vena collateral(-)
2. Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-)
a. Hepar : Tidak teraba
b. Lien : Tidak teraba
c. Ginjal : Ballotement tidak teraba
3. Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
4. Auskultasi : Peristaltik normal

F. Genitalia : Tidak diperiksa

G. Anus : Tidak diperiksa

5
H. Tulang Belakang : Simetris, Nyeri tekan (-)

I. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB (-)

J. Ekstremitas : Akral hangat

Penilaia Superior Inferior


n Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -

2.5 Status Neurologis

A. GCS : E4 M6 V5
Pupil : Isokor (3 mm/3 mm)
Reflek Cahaya Langsung : (+/+)
Reflek Cahaya Tidak Langsung : (+/+)
Tanda Rangsang Meningeal
- Kaku kuduk : (-)
- Laseque : (-)
- Kernig : (-)
- Babinski : (-/-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)

B. Nervus Kranialis
Nervus III (otonom) :
Kanan Kiri
1. Ukuran pupil 3 mm 3 mm
2. Bentuk pupil bulat bulat
3. Reflek cahaya langsung + +
4. Reflek cahaya tidak + +
langsung - -
5. Nistagmus - -
6. Strabismus - -
7. Exophtalmus - -

6
8. Melihat kembar

Nervus III, IV, VI (gerakan


okuler):
Kanan Kiri
Pergerakan bola mata
1. Lateral Dalam batas Dalam batas normal
2. Atas normal Dalam batas normal
3. Bawah Dalam batas Dalam batas normal
4. Medial normal Dalam batas normal
5. Diplopia Dalam batas Dalam batas normal
normal
Dalam batas
normal
Dalam batas
normal
Nervus V (fungsi motorik):
Membuka mulut Dalam batas normal
2. Menggigit dan Dalam batas normal
mengunyah
Nervus VII (fungsi motorik):
Kanan Kiri
1. Mengerutkan dahi Dalam batas Dalam batas normal
2. Menutup mata normal Dalam batas normal
3. Menggembungkan pipi Dalam batas Dalam batas normal
4. Memperlihatkan gigi normal Dalam batas normal
5. Sudut bibir Dalam batas Dalam batas normal
normal
Dalam batas
normal
Dalam batas
normal
Nervus IX & X (fungsi motorik):

7
Kanan Kiri
1. Bicara Dalam batas Dalam batas normal
Menelan normal Dalam Dalam batas normal
batas normal
Nervus XI (fungsi motorik):
Kanan Kiri
1. Mengangkat bahu Dalam batas Dalam batas normal
2. Memutar kepala normal Dalam batas normal
Dalam batas
normal
Nervus XII (fungsi motorik):
1. Artikulasi lingualis Dalam batas normal
2. Menjulurkan lidah Dalam batas normal
Kelompok Sensoris:
Nervus I (penciuman) Dalam batas normal
Nervus V (sensasi wajah) Dalam batas normal
Nervus VII (pengecapan)
Dalam batas normal
Nervus VIII (pendengaran)
Dalam batas normal

C. Badan
Motorik
1. Gerakan respirasi : Abdomino Thorakalis
2. Bentuk columna vertebralis : Simetris
3. Gerakan columna vertebralis : Kesan simetris
Sensibilitas
1. Rasa suhu : Dalam Batas Normal
2. Rasa nyeri : Dalam Batas Normal
3. Rasa raba : Dalam Batas Normal

D. Anggota Gerak Atas


Motorik
1. Pergerakan : +/+
2. Kekuatan : N/N
3. Tonus : N/N

8
4. Trofi : N/N
Refleks
1. Biceps : +/+
2. Triceps : +/+

E. Anggota Gerak Bawah


Motorik
1. Pergerakan : +/+
2. Kekuatan : N/N
3. Tonus : N/N
4. Trofi : N/N
Refleks
1. Patella : +/+
2. Achilles : +/+
3. Babinski : -/-
4. Chaddok : -/-
5. Gordon : -/-
6. Oppenheim : -/-
Klonus
1. Paha : -/-
2. Kaki : -/-
3. Tanda Laseque : -/-
4. Tanda Kernig : -/-
Sensibilitas kanan kiri
Rasa suhu Dbn Dbn
Rasa nyeri Dbn Dbn
Rasa raba Dbn Dbn

F. Gerakan Abnormal : Tidak ditemukan

G. Fungsi Vegetatif
1. Miksi : Dalam batas normal
2. Defekasi : Konstipasi (-)

H. Koordinasi Keseimbangan
1. Cara Berjalan : Dalam batas normal
2. Romberg Test : Tidak diperiksa

9
2.6 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Nilai Normal


Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 15,5 g/dL 14,0-17,0 g/dL
Hematokrit 46 % 45-55 %
Eritrosit 5,5.106/mm3 4,7-6,1.106/mm3
Leukosit 11,2.103/mm3 4,5-10,5.103/mm3
Trombosit 209.103U/L 150-450.103U/L
Kimia Klinik
Elektrolit
Natrium 146 mmol/L 135-145 mmol/L
Kalium 3,8 mmol/L 3,5-4,5 mmol/L
Klorida 111 mmol/L 90-110 mmol/L
KGDS 82 mg/dL <200 mg/dL

B. Pemeriksaan Radiologi

10
Foto X-Ray Thorax AP

Cor : Bentuk dan ukuran normal


Pulmo : Tampak perselubungan tipis di parahiler kanan
Sinus costophrenicus tajam

Kesimpulan : Pneumonia

C. Pemeriksaan sputum : BTA (-)

2.7 Diagnosa

Diagnosa Klinis : hemoptoe et causa dd/ 1.TB paru, 2. Pneumonia

2.8 Terapi
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 Jam
Inj. Asam Tranexamat

2.9 Edukasi

Edukasi diberikan kepada individu dan keluarga mengenai pencegahan


rekurensi dan pola hidup sehat, termasuk tidak merokok.

11
2.10 Prognosa

Qou ad vitam : Dubia ad bonam


Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Paru

3.1.1 Anatomi

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucutdan terletak dalam


ronga toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh
darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru memiliki apeks dan dasar.
Pembuluh darah paru dan bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki
tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari
paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus. Paru kiri dibagi menjadi dua lobus.
Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen
bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen dan paru kiri dibagi menjadi 9
segmen.
Suatu lapisan tipis kontinu yang mengandung kolagen dan jaringan elastis,
dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi
setiap paru (pleura viseralis). Di antara pleura parietalis dan viseralis terdapat
suatu lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua
permukaan paru bergerak selama pernapasan.
Paru mempunyai dua sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri
pulmonalis. Sirkulasi bronkial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi
sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru. Arteri

13
bronkial berasal dari aorta torakalis. Vena bronkialis yang besar mengalirkan
darahnya ke dalam sistem azigos yang bermuara ke vena kava superior. Vena
bronkial yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke vena pulmonalis.
Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan darah
vena ke paru. Jaringan kapiler paru yang halus mengitari dan menutupi alveolus,
merupakan kontak erat yang diperlukan untuk proses pertukaran gas antara
alveolus dan darah. Darah teroksigenasi kemudian dikembalikan melalui vena
pulmonalis ke ventrikel kiri yang selanjutnya dialirkan ke sel-sel melalui sirkulasi
sistemik.

3.1.2 Fisiologi Pernapasan

Tujuan dari pernapasan adalah untuk memindahkan oksigen dari udara ke


dalam sel-sel jaringan serta mengeluarkan karbondioksida sebagai udara ekspirasi.
Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan melewati 3 tahap yaitu ventilasi,
transportasi dan respirasi internal di dalam sel.
Ventilasi merupakan sirkulasi masuk dan keluarnya oksigen dan
karbondioksida antara udara atmosfer dan alveoli. Ventilasi terjadi karena adanya
selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik
dari otot-otot pernapasan. Terdapat tiga tekanan penting pada proses pertukaran
udara yaitu:
1. Tekanan atmosfer yang cenderung berkurang seiring dengan penambahan
ketinggian di atas permukaan laut.
2. Tekanan intra-alveolus yang berubah sesuai dengan pergerakan pernapasan
3. Tekanan intrapleura atau intratoraks yaitu tekanan yang terjadi di luar paru
dan di dalam rongga toraks. Tekanan intrapleura memiliki tekanan yang
lebih rendah dari tekanan atmosfer.
Tahap kedua dari pernapasan adalah transportasi yaitu proses
pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah hingga mencapai sel.
Tahap transportasi dipengaruhi oleh 3 aspek yaitu:
1. Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru dan antara darah sistemik
dan sel-sel jaringan. Difusi memerlukan kekuatan pendorong yaitu selisih
tekanan oksigen parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen
atmosfer akan menurun ketika mencapai trakea. Tekanan parsial oksigen

14
pada kapiler harus lebih rendah daripada tekanan parsial oksigen pada
alveolus agar terjadi proses difusi yang optimal.
2. Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannnya dengan
distribusi udara dalam alveolus. Pemindahan gas secara efektif antara
kapiler paru dan alveolus membutuhkan distribusi merata dari udara dalam
paru dan perfusi dalam kapiler yang disebut dengan keseimbangan
ventilasi-perfusi. Kebanyakan penyakit pernapasan akan mengganggu
kesimbangan ventilasi-perfusi.
3. Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbondioksida dengan darah.

3.1.3 Mekanisme Pertahanan Saluran Pernapasan


Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya
infeksi saluran napas. paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah
bakteri agar tidak masuk kedalam paru. Mekanisme pembersihan tersebut adalah :
1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar meliputi, reepitelisasi
saluran napas, aliran lendir pada permukaan epitel, bakteri alamiah atau
"ephitelial cell binding site analog", faktor humoral lokal (IgG dan IgA),
komponen mikroba setempat, sistem transpor mukosilier, reflek bersin dan
batuk. Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme
pertahanan melalui barier anatomi dan mekanisme terhadap masuknya
mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong mikroorganisme
keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan. Bila terjadi disfungsi silia
seperti pada Sindrome Kartagener's, pemakaian pipa nasogastrik dan pipa
nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran sekret yang telah
terkontaminasi dengan bakteri patogen. Dalam keadaan ini dapat terjadi
infeksi nosokomial atau "Hospital Acquired Pneumonia".
2. Mekanisme pembersihan di "Respiratory exchange airway" meliputi, cairan
yang melapisi alveolar termasuk surfaktan, sistem kekebalan humoral lokal
(IgG), makrofag alveolar dan mediator inflamasi, penarikan netrofil. Sistem
kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru
(saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung
(10 % dari total protein sekret hidung). Penderita defisiensi IgA memiliki
resiko untuk terjadi infeksi saluran napas atas yan berulang. Bakteri yang
sering mengadakan kolonisasi pada saluran napas atas sering mengeluarkan

15
enzim proteolitik dan merusak IgA. Bakteri gram negatif (P.aeroginosa,
E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan K.penumoniae) mempunyai
kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi dan kerusakan setiap komponen
pertahan saluran napas atas menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai
fasiliti terjadinya infeksi saluran napas bawah.
3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik. Mekanisme pertahanan
saluran napas subglotis terdiri dari anatomik, mekanik, humoral dan
komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk dari glotis
merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi
gangguan fungsi glotis maka hal ini berbahaya bagi saluran napas bagian
bawah yang dalam keadaan normal steril. Tindakan pemasangan pipa
Nasogastrik, alat trakeostomi memudahkan masuknya bakteri patogen
secara langsung ke saluran napas bawah. Gangguan fungsi mukosiliar dapat
memudahkan masuknya bakteri patogen ke saluran napas bawah, bahkan
infeksi akut oleh M.pneumoniae, H.Influenzae dan virus dapat merusak
gerakan silia.
4. Mekanisme pembersihan di"respiratory gas exchange airway, Bronkiolus
dan alveolus mempunyai mekanisme pertahanan berupa surfaktan yang
melapisi alveolus suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa
komponen SP-A, SP-B, SP-C, SP-D yang berfungsi memperkuat fagositosis
dan killing terhadap bakteri oleh makrofag. Aktifiti anti bakteri (non
spesifik) : FFA, lisozim, iron binding protein. IgG (IgG1 dan IgG2 subset
yang berfungsi sebagai opsonin). Makrofag Alveolar yang berperan sebagai
mekanisme pertahanan pertama berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke
alveolus (ada infeksi GNB, P. Aeruginosa. Mediator biologi kemampuan
untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a, produksi dari
makrofag alveolar, sitokin, leukotrien.

3.2 Pneumonia

3.2.1 Definisi

16
Pneumonia adalah suatu peradangan / inflamasi parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukarann gas setempat.

3.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu


bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari
beberapa pusat paru di Indonesia etiologi tersering dari pneumonia adalah
Klebsiella pneumonia, Streptococcus pneumonia, Streptococcus viridians,
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
Menurut Sylvia (2005), faktor-faktor resiko untuk pneumonia antara lain
sebagai berikut:
a. Usia di atas 65 tahun
b. Aspirasi sekret orofaringeal
c. Infeksi pernapasan oleh virus
d. Sakit yang parah dan menyebabkan kelemahan (misalnya diabetes melitus,
uremia).
e. Penyakit pernapasan kronik
f. Kanker
g. Tirah baring yang lama
h. Trakeostomi atau pemakaina selang endotrakeal
i. Bedah abdominal atau toraks
j. Fraktur tulang iga
k. Pengobatan dengan imunosupresif
l. AIDS
m. Riwayat merokok
n. Alkoholisme
o. Malnutrisi
Faktor resiko tertentu dapat menyebabkan pneumonia melalui kuman
patogen tertentu pula. Haemophilus influenza merupakan bakteri penyebab
pneumonia terbanyak pada perokok, patogen atipikal pada lansia, bakteri gram
negatif pada pasien di rumah jompo serta Pseudomonas aeruginosa pada pasien
dengan bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan imunosupresi.
Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya
infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui
selang infus oleh Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian
ventilator oleh Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacter.

17
3.2.3 Klasifikasi

Klasifikasi pneumonia yang lazim digunakan didasarkan pada faktor inang


dan lingkungan adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
Pneumonia komunitas Sporadis atau endemik; muda atau
orang tua
Pneumonia nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia rekurens Terjadi berulangkali; berdasarkan
penyakit paru kronik
Pneumonia aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi,
AIDS

Klasifikasi peumonia berdasarkan bakteri penyebab:


a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia.
Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang
seseorang yang peka, misalnya klebsiella pada penderita
alkoholik, staphylococcus pada penderita pasca infeksi
influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan myoplasma, legionella, dan
chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder.
Prediksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)

Klasifikasi pneumonia berdasarkan predileksi infeksi:


a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang
pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu
lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh
obstruksi bronkus, misalnya : pada aspirasi benda asing atau
proses keganasan.
b. Bronkopneumonia ditandai dengan bercak-bercak infiltrat
pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria
maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang
dihubungkan dengan obstruksi bronkus

18
c. Pneumonia interstisial.

3.2.4 Patofisiologi

Agen-agen mikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk


transmisi primer: (1) aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang
telah berkolonisasi pada orofaring; (2) inhalasi aerosol infeksius; dan (3)
penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-
agen infeksius merupakan cara tersering yang menyebabkan pneumonia.
Pneumonia dimulai dengan infeksi dalam alveoli. Membran paru akan
mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel
darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli dan
infeksi menyebar melalui perluasan bakteri atau virus dari alveolus ke alveolus.
Hal ini mengakibatkan konsolidasi pada lobus-lobus paru.
Fungsi ventilasi-perfusi akan mengalami gangguan pada pneumonia. Pada
stadium awal, proses pneumonia dapat dilokalisasi dengan baik hanya pada satu
paru, disertai dengan penurunan ventilasi alveolus, sedangkan aliran darah yang
melalui paru tetap normal. Hal ini mengakibatkan dua kelainan utama paru yaitu
penurunan luas permukaan total membran pernapasan dan menurunnya rasio
ventilasi-perfusi. Kedua efek ini menyebabkan hipoksemia (oksigen darah rendah)
dan hiperkapnia (karbondioksida darah tinggi).
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium kongesti (4 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus

19
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga pasien akan
bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium hepatisasi kelabu (konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera
dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium akhir (resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna
secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim
paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai
keadaan normal.

3.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-


gejala meliputi:
Gejala Mayor: 1.batuk
2. sputum produktif
3. demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor: 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L
Manifestasi klinis dari pneumonia dapat berupa 1 minggu setelah
terinfeksi suhu badan meningkat , kadang disertai menggigil, nyeri pleuritik pada

20
lobus yang terkena, batuk-batuk disertai dahak, sputum berisi purulen/bercak
darah dan myalgia.
Presentasi gejala yang timbul pada pneumonia bervariasi tergantung
etiologi, usia dan keadaan klinis. Pneumonia pada usia lanjut seringkali
memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang
datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium), tidak mau makan, jatuh,
dan inkontinensia akut.
Gejala klinis dapat bervariasi pada tipe kuman penyebab yang berbeda-
beda. Awitan akut biasanya oleh kuman patogen S. Pneumonia, streptococcus spp,
staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering
dan nonproduktif. Awitan penyakit lebih insidious dan ringan pada orang
tua/imunitas menurun akibat kuman yang kurang patogen/oportunistik, misalnya
Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob dan jamur.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernafas , pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-
kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi
basah kasar pada stadium resolusi.

3.2.6 Pengobatan

Penatalaksanaan pneumonia di bagi menadi dua tahap:


a) Terapi antibiotika awal yang diberikan berdasarkan klasifikasi pneumonia
dan kemungkinan organisme yang menginfeksi, namun apabila terdapat
hasil mikroorganisme yang menginfeksi maka diberikan terapi yang sesuai
b) Tindakan suportif yang berupa pemberian oksigen dan pemberian cairan
intravena. Pemberian oksigen dilakukan untuk mempertahankan PaO2 > 8
kPa (SaO2 < 90%) sedangkan pemberian cairan intravena untuk stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi baik invasive maupun mekanik diberikan
bila ditakutkan terjadinya gagal nafas dan untuk membantu mengurangi
sputum dilakukan fisioterapi dan bronkoskopi

Pada Tabel berikut merupakan jenis obat antibiotik yang diberikan pada
pasien penderita pneumonia berdasarkan bakterinya :

21
Bakteri Obat yang disarankan
Streptococcus pneumonia Seftriaxone, levofloxacin
Heamophilus Influenza Moxifloxacin

Bakteri Gram negative Ciprofloxacin


Ecoli (kiebsella pneumonia, Ampisilin
Sulbaktam
enterobacter spp)
Ertapenem

3.2.7 Modalitas Radiologi Pada Pneumonia

American Thoracic Society (ATA) merekomendasikan foto PA


(posteroanterior) atau lateral untuk menilai gambaran pneumonia. Pada gambaran
radiologi pneumonia sama seperti gambaran konsolidasi radang, prinsip dari
gambarannya adalah udara yang terdapat di alveoli digantikan dengan eksudat
sehingga tampak lebih opak pada Rontgen. Jika kelainan ini melibatkan seluruh
lobus maka disebut pneumonia lobaris, jika melibatkan alveoli dan tersebar maka
disebut bronkopneumonia.
Beberapa gambaran radiologis pada pneumonia yaitu:
a. Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau
segment paru secara anatomis.
b. Batas tidak tegas , kecuali jika mengenai 1 lobus

c. Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil.
Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
d. Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
e. Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang
paling akhir terkena.
f. Gambaran air bronchogam yang terdapat di dalam percabangan bronkus
yang dikelilingi bayangan opak rongga udara, akan tampak jelas jika udara
tersebut digantikan dengan cairan/eksudat akibat proses inflamasi. Pada
saat itulah dapat dikatakan air bronchogram positif yang tampak pada
gambar di bawah ini:

22
g. Sillhoute sign adalah suatu tanda adanya dua bayangan benda (objek)
yang berada dalam satu bidang seakan tumpang tindih. Tanda ini
bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru, jika batas lesi jantung
menghilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di
lobus media kanan, maka hal ini disebut Sillhoute sign positif yang tampak
pada gambar dibawah ini .

23
Beberapa gambaran radiologi berdasarkan predileksi infeksi antara lain:
1.Pneumonia Lobaris
Foto Thorax

Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu


segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang
mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya
ditemukan pada pneumonia jenis ini.

CT Scan

24
Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus atas kiri sampai
ke perifer.

2. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)


Foto Thorax

Merupakan Pneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkiolus yang


dapat tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus. Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak
homogen di lobus atas kiri dan lobus bawah kiri.

25
CT Scan

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan, namun tidak


menjalar sampai perifer.

3. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstitial


prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih
terlihat, diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.

26
CT Scan

Gambaran CT Scan pneumonia interstitial pada seorang pria berusia 19


tahun.
(A) Menunjukkan area konsolidasi di prcabangan peribronkovaskuler
yang irreguler.
(B) CT Scan pada hasil follow up selama 2 tahun menunjukkan area
komsolidasi yang irreguler tersebut berkembang menjadi
bronkiektasis atau bronkiolektasis (tanda panah).

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Corr, Peter. 2010. Foto Thorax Normal dan Infeksi Paru. Jakarta: EGC; h.
28-35
2. Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; h.
554
3. Ikatan Dokter Indonesia. 2013. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta.
4. Muller, Nestlar. 2007. Imaging of Pulmonary Infection. Lippincot Willian &
Wilkins; p. 21
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2009. Pneumonia Komuniti: Pedoman
diagnosis dan penatalaksaanaan di Indonesia; h. 2-6
6. Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta:EGC
7. Rasad, Sjahiar. 2009. Radiologi Diagnostik, Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI; h. 101
8. Robins, Cotran, Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi, Ed. 7. Jakarta: EGC.
9. Sherwood, Laralee. 2001. Human Physiology: From Cell to Systems. New
York: Cengage Learning.
10. Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai
penerbit FK UI; h. 2196

28

Anda mungkin juga menyukai