Hvdyevwd
Hvdyevwd
Oleh:
Rachmaniar Ratrianti G99152039
Pembimbing:
dr. Andy Nugroho, Sp.An, M.Kes
Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) merupakan perhatian seluruh dunia. Prevalensi
DM di seluruh dunia saat ini diperkirakan sekitar 9% pada orang dewasa usia 18
tahun atau lebih. Pada tahun 2035, diperkirakan prevalensi DM di seluruh dunia
akan meningkat dari 387 juta orang saat ini, menjadi 592 juta orang. Pasien
dengan DM cenderung menjalani intervensi bedah; sekitar 25% pasien DM akan
membutuhkan operasi. Seiring dengan meningkatnya jumlah prosedur operasi
yang dilakukan pada pasien rawat jalan, DM merupakan salah satu penyulit yang
paling sering ditemukan di instalasi rawat jalan.
Meskipun telah banyak penelitian mengenai efek negatif hiperglikemi dan
DM pada saat periode perioperatif operasi mayor, masih jarang ditemukan bukti
mengenai DM dan operasi rawat jalan. Meskipun begitu, DM telah diketahui
2
sebagai faktor risiko utama terjadinya komplikasi pasca operasi (seperti infeksi
pada luka operasi) pada pasien bedah rawat jalan. Pedoman terbaru dari Joint
British Diabetes Societies/National Health Service (JBDS/NHS) menyatakan
pasien dengan DM harus masuk rumah sakit di hari yang sama dengan hari
operasi kecuali terdapat faktor penyulit yang lain.
Oleh karena itu, penilaian pra operasi memegang peran penting pada
manajemen DM selama operasi rawat jalan. Selain itu, manajemen intraoperatif
pada pasien rawat jalan dengan DM membutuhkan pendekatan yang berbeda
dibandingkan dengan pasien rawat inap dengan DM, di mana pasien rawat jalan
menghabiskan waktu yang singkat di rumah sakit, menjalani operasi yang singkat,
dan respons stres yang minimal setelah menjalani prosedur operasi. Tujuan dari
ulasan ini adalah untuk merangkum literatur yang tersedia saat ini mengenai
manajemen anestesi pada pasien dengan DM di instalasi rawat jalan. Kami akan
membahas mengenai risiko hiperglikemia perioperatif beserta pertimbangan pre-,
intra-, dan pasca operasi pada pasien rawat jalan.
3
komplikasi pasca operasi. Pertama, studi klinis menunjukkan bahwa
hiperglikemia menyebabkan penurunan fungsi monosit dan neutrofil, penurunan
aktivitas antibakterial, dan glikosilasi imunoglobulin, yang menyebabkan
peningkatan risiko infeksi. Kedua, hiperglikemia akan mengaktivasi sitokin
proinflamasi yang akan meningkatkan risiko infeksi dan gangguan penyembuhan
luka. Ketiga, percobaan pada hewan menunjukkan bahwa hiperglikemia
berhubungan dengan penurunan jumlah sel progenitor endotel dan penurunan
bioavailabilitas nitrit oksida yang akan menyebabkan penurunan fungsi endotel
dan berkontribusi dalam peningkatan risiko infeksi, gangguan penyembuhan luka,
dan komplikasi trombotik. Selain itu, peningkatan kadar glukosa dapat
meningkatkan regulasi faktor koagulasi, sehingga dapat menyebabkan keadaan
pro-trombosis pada saat periode perioperatif. Hiperglikemia yang tidak
ditatalaksana juga dapat menyebabkan dehidrasi berat, ketoasidosis, dan keadaan
hiperosmolar.
Ketika kadar glukosa darah meningkat secara persisten, glukosa akan
berikatan dengan hemoglobin di eritrosit. Persentase hemoglobin dalam bentuk
yang terglikosilasi (HbA1c) mencermikan kadar glukosa darah puasa dan
postprandial selama lebih dari 3-4 bulan, dan menunjukkan apakah pasien lebih
sering berada dalam keadaan normoglikemia atau hiperglikemia. Penelitian
menunjukkan bahwa kapasitas pengangkutan oksigen hemoglobin tidak
terpengaruh dari tingkat glikosilasi. Meskipun begitu, beberapa studi
membuktikan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan HbA1c (>53
mmol/mol) dan komplikasi pasca operasi setelah operasi nonkardiak. Selain itu,
hiperglikemia pra operasi dan peningkatan kadar HbA1c dapat memperkirakan
hiperglikemia pasca operasi setelah operasi rawat jalan. Sehingga, peningkatan
pengaturan glukosa darah pra operasi pada pasien dengan DM harus dilakukan
dan bahkan prosedur operasi dapat ditunda demi mencapai kontrol glukosa darah
perioperatif yang baik dan pencegahan terjadinya komplikasi pasca operasi. Hal
ini juga berlaku terutama bagi operasi rawat jalan dimana pemantauan kadar
glukosa darah sangat terbatas.
4
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, hiperglikemia selama operasi
mayor berhubungan dengan hasil akhir yang buruk. Pada studi kohort prospektif
pada pasien rawat jalan, DM tampak sebagai faktor risiko komplikasi pasca
operasi setelah operasi minor rawat jalan, seperti infeksi pasca operasi.
Hiperglikemia (glukosa darah >7.8 mmol/L) terjadi pada 65% dari pasien dengan
DM selama operasi rawat jalan, sedangkan pasien tanpa DM hanya terjadi 5.6%.
Berkebalikan dengan DM, hiperglikemia tidak berhubungan dengan infeksi pasca
operasi, hal ini menunjukkan bahwa kontrol glukosa darah jangka panjang dapat
berpengaruh lebih besar dibandingkan kontrol glukosa darah jangka pendek pada
operasi rawat jalan. Sayangnya, hanya terdapat sedikit pasien DM yang termasuk
(n=48, 5.3%); sehingga, konsekuensi dari hiperglikemia perioperatif pada pasien
dengan DM selama operasi rawat jalan harus diteliti lebih lanjut.
Hiperglikemia pasca operasi juga berhubungan dengan komplikasi pasca
operasi. Tatalaksana pasca operasi dapat menurunkan komplikasi pasca operasi.
Hal ini menunjukkan pengaturan glukosa darah perioperatif tidak berakhir ketika
pasien meninggalakan ruang pemulihan. Namun sayangnya, tidak terdapat data
yang menunnjukkan kontrol glukosa darah pada pasien DM selama hari pertama
setelah keluar dari rumah sakit setelah operasi rawat jalan.
5
sementara terapi antidiabetik oral dan terapi insulin meningkatkan risiko
hiperglikemia perioperatif. Sementara itu, puasa - terutama pada pasien dengan
kontrol glukosa darah yang ketat - meningkatkan risiko hipoglikemia. Untuk
mencegah hiper- dan hipoglikemia, perlu diminimalisir intervensi regimen terapi,
biasanya dengan menjadwalkan pasien DM terlebih dahulu pada daftar operasi.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien pada saat manajemen perioperatif,
perlu dilakukan instruksi secara verbal dan tertulis untuk dapat memonitor kadar
glukosa darah, penyesuaian terapi, dan waktu puasa. Pasien harus diinstruksikan
untuk mengukur kadar glukosa darah mereka secara teratur di hari mereka
menjalani operasi. Selain itu, pasien disarankan untuk membawa minuman
mengandung glukosa atau gula batu untuk mengatasi hipoglikemia selama transit
menuju tempat operasi. Dehidrasi pasca operasi dapat dicegah melalui konsumsi
air secara adekuat sampai 2 jam sebelum operasi.
Antidiabetik Oral
Terapi lini pertama DM tipe 2 adalah metformin, yang akan menstimulasi
sintesis glikogen, sehingga akan menurunkan glukoneogenesis di hepar.
Metformin juga akan meningkatkan sensitivitas insulin di sel otot dengan
meningkatkan kapasitas transpor dari transporter glukosa membran. Karena
metformin tidak memicu produksi insulin, tidak terdapat risiko hipoglikemia
ketika metformin digunakan sebagai monoterapi. Metformin berhubungan dengan
peningkatan risiko asidosis laktat, dimana hal ini menjadi alasan mengapa
metformin sering dihentikan sebelum operasi. Sebuah studi meta analisis
menunjukkan tidak ada bukti yang menunjukkan hubungan ini, bahkan pada
pasien dengan insufisiensi renal. Meskipun begitu, kami masih menunggu hasil
dari penelitian randomized colntrolled trial yang meneliti efek dari konsumsi
metformin perioperatif. Panduan JBDS/NHS menganjurkan untuk melanjutkan
konsumsi metformin di hari operasi apabila periode puasa singkat (tidak melewati
satu makan besar), tidak menggunakan medium kontras, dan perkiraan laju filtrasi
glomerulus adalah lebih dari 50 mL/menit/1.73 m2.
6
Sulfonilurea (tolbutamide, gliclazide, dan glimepiride) dan meglitinide
(repaglinide) tidak aman digunakan pada hari operasi, sebab obat-obat tersebut
memicu produksi insulin, yang dapat menyebabkan hipoglikemia pada pasien
puasa. Selain itu, obat-obat tersebut berhubungan dengan iskemi jantung.
Thiazolidinedione (pioglitazone) diketahui dapat menyebabkan retensi cairan,
sehingga pemberiannya harus dihentikan beberapa hari sebelum operasi. Alpha
glukosidase inhibitor (acarbose, miglitol) juga harus dihentikan selama puasa
perioperatif sebab mekanisme kerja dari obat ini adalah dengan menghambat
absorbsi glukosa setelah makan.
Selama lebih dari 10 tahun, penggunaan terapi berbasis inkretin, agonis
glucagon like peptide-1 (GLP-1) dan inhibitor dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)
meningkat pada terapi DM 2. GLP-1 merupakan hormon yang disekresi di usus
halus ketika makanan dicerna. Ketika GLP-1 berikatan dengan reseptor GLP-1,
pankreas akan memproduksi insulin. Sekresi GLP-1 dihambat oleh DPP-4, yang
akan menghancurkan GLP-1 dengan cepat. Terapi saat ini adalah DPP-4 inhibitor,
yang akan memperlambat proses pemecahan GLP-1, sehingga memperpanjang
waktu GLP-1 di sirkulasi. Selain itu, agonis GLP-1 merupakan analog sintesis
dari GLP-1, yang akan berinteraksi dengan reseptor GLP-1. Obat ini dapat
dikonsumsi satu kali dalam sehari. Terapi berbasis inkretin sebagai monoterapi
jarang menyebabkan hipoglikemia karena mekanismenya yang dependen terhadap
glukosa. Penggunaan injeksi terapi berbasis inkretin kadang dapat menyebabkan
hipoglikemia, tetapi biasanya terjadi akibat kombinasi dengan antidiabetik lain -
seperti exenatide yang dikombinasikan dengan sulfonilurea. Perlu diperhatikan
bahwa agonis GLP-1 dapat menunda pemulihan fungsi gastrointestinal setelah
operasi karena obat ini memperlambat pengosongan lambung dan motilitas usus.
Inhibitor DPP-4 biasanya dapat ditoleransi dengan baik dibandingkan agonis
GLP-1 tanpa efek samping yang signifikan. Pada mencit, sekresi GLP-1 menurun
selama anestesi isoflurane dengan pemulihan fungsi normal setelah terapi dengan
agonis GLP-1. Data ini menunjukkan terapi berbasis inkretin selama periode
perioperatif merupakan pendekatan yang tepat. Panduang dari JBDS/NHS
7
menganjurkan untuk melanjutkan pemberian terapi berbasis inkretin, tetapi
panduan dari Amerika menganjurkan untuk menunda pemberian terapi inkretin
12-24 jam sebelum operasi. Saat ini, terutama apabila digunakan sebagai
monoterapi, pemberian selama operasi rawat jalan tampaknya tidak
dikontraindikasikan.
Inhibitor Sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT-2) menghambat
reabsorbsi glukosa di ginjal, menurunkan ambang glukosa dimana akan
diekskresikan melalui urin. Obat ini memiliki risiko rendah untuk terjadi
hipoglikemia sebab ekskresi glukosa akan terhenti ketika kadar glukosa turun
dibawah batas normal. Meskipun begitu, akibat terjadinya peningkatan diuresis,
volume plasma menurun 10% setelah inisiasi terapi. Selain itu, inhibitor SGLT-2
berhubungan dengan ketoasidosis diabetikum. Akibat dari ekskresi glukosa yang
tidak bergantung pada insulin, jarang terjadi hiperglikemia berat, dan mual dan
muntah merupakan tanda bahaya dari ketoasidosis diabetikum. Pada saat pasca
operasi, membedakan ketoasidosis diabetikum dan mual muntah pasca operasi
merupakan hal yang sulit, terutama pada pasien diabetes dengan kadar glukosa 10
mmol/L dalam terapi inhibitor SGLT-2. Sehingga, pada saat ragu, perlu dilakukan
pemeriksaan keton urin atau plasma. Berdasarkan data ini, kami akan
menyarankan untuk menghentikan pemberian inhibitor SGLT-2 pada hari operasi.
Secara keseluruhan, kami menganjurkan untuk menghentikan antidiabetik
oral - kecuali metformin dan inkretin - 12-24 jam sebelum operasi sampai asupan
oral dilanjutkan.
Terapi Insulin
Kebutuhan insulin tiap pasien berbeda, sehingga regimen insulin dapat
berbeda-beda. Regimen insulin yang dianjurkan pada pasien dengan DM tipe 1
(dependen insulin) merupakan regimen basal-bolus, dimana obat ini menyerupai
poduksi insulin fisiologis dengan menyediakan dosis basal dari insulin long-
acting dan dosis prandial dari insulin short- atau rapid-acting. Insulin long acting,
merupakan regimen alternatif bagi pasien dengan DM tipe 2. Oleh karena insulin
8
long acting bertanggunjawab terhadap kebutuhan insulin di antara makan, puasa
perioperatif tidak akan menyebabkan hipoglikemia apabila dosis biasanya
dilanjutkan. Insulin intermediate-acting (misalnya, neutral protamine Hagedorn)
atau insulin kombinasi berbeda dari regimen insulin long-acting, karena dapat
menyebabkan hipoglikemia pada pasien puasa karena puncak efek insulin
intermediate-acting. Rekomendasi kami untuk manajemen pra operasi dari
berbagai regimen insulin dijelaskan dalam Tabel 2, di mana kami telah mencoba
untuk membuat rekomendasi seseragam mungkin demi kepatuhan yang lebih baik
dalam menjalankan protokol. Telah dinyatakan bahwa pasien puasa membutuhkan
50% dari total insulin perhari mereka, yang dikarenakan oleh menurunnya
metabolisme selama anestesi. Namun, karena waktu operasi yang singkat dan
segera dimulainya kembali asupan oral, kebutuhan insulin pada operasi pasien
rawat jalan hampir mencapai 100% dari total dosis insulin harian. Dengan
demikian, dalam pedoman Society for Ambulatory Anesthesia Masyarakat untuk
Ambulatory Anesthesia (SAMBA), pasien dengan insulin long-acting dapat
mengkonsumsi insulin pada pagi atau malam hari, diluar periode puasa. Namun,
insulin long-acting yang terbaru, Toujeo dan Degludec memiliki durasi kerja 36-
42 jam, dibandingkan dengan Lantus atau detemir yaitu 24 jam. Oleh karena itu,
pasien yang mengkonsumsi Toujeo atau Degludec memerlukan pengurangan
dosis pada malam sebelum operasi. Selanjutnya, perlu diperhatikan pada pasien
dengan riwayat hipoglikemia nokturnal atau pada pagi hari; juga, pada pasien ini,
juga harus dilakukan pengurangan dosis. Rosenblatt et al menunjukkan bahwa
pemberian 80% dari dosis malam insulin long-acting, dibandingkan dengan 50%
atau 60% dari dosis malam, adalah strategi yang aman dan efektif tanpa
peningkatan kejadian hipoglikemi yang signifikan. Hal ini cukup beralasan karena
bolus short-acting pada waktu makan dihilangkan selama puasa. Untuk pasien
dengan insulin neutral protamine Hagedorn (NPH), dosis saat makan malam pada
hari sebelum operasi dapat dibiarkan tidak berubah, tapi dosis pada hari operasi
harus dikurangi menjadi 50% -75% dari dosis asli.
9
Tabel 1. Managemen Perioperatif dengan Antidiabetik Oral
Kelas obat Mekanisme kerja Risiko perioperatif Rekomendasi
Biguanide Menurunkan Tidak ada Lanjutkan. Dapat
(metformin) glukoneogenesis dihentikan pada
di hepar, kasus gagal ginjal
meningkatkan atau ketika
sensitiivitas menggunakan
insulin (T1/2: 6-8 medium kontras
jam)
Sulfonilurea Menstimulasi Hipoglikemia, Tidak diberikan
(tolbutamide, pelepasan insulin iskemi pada pada hari operasi
gliclazide, (T1/2: 2-10 jam) jantung
glimepiride)
Meglitinide Menstimulasi Hipoglikemia Tidak diberikan
(repaglinide) pelepasan insulin pada hari operasi
(T1/2: 1 jam)
Thiazolidinedione Meningkatkan Retensi cairan Tidak diberikan
(pioglitazone) metabolisme 24-48 jam
karbohidrat dan sebelum operasi
asam lemak,
menurunkan
resistensi insulin
dan
glukoneogenesis
di hepar (T1/2: 3-8
jam)
Inhibitor alpha Menurunkan Tidak ada Tidak diberikan
glucosidase absorbsi glukosa selama puasa
(acarbose, di usus
miglitol)
Inhibitor SGLT-2 Menurunkan Menurunkan Tidak diberikan
(dapagliflozine) reabsorbsi glukosa volume plasma pada hari operasi
di ginjal
Inhibitor DPP-4 Menstimulasi Kemungkinan Lanjutkan
(sitagliptin) pelepasan insulin tidak ada
dan mencegah
pelepasan
glukagon
(dependen
glukosa)
Agonis GLP-1 Menstimulasi Kemungkinan Lanjutkan
(exenatide, pelepasan insulin tidak ada
liraglutide) dan mencegah
pelepasan
10
glukagon
(dependen
glukosa)
Tabel 2. Waktu Onset, Puncak Efek, dan Total Durasi dari Berbagai Jenis Insulin
Jenis Insulin Onset Puncak Efek Durasi total
Short- dan rapid-
acting insulin
Insulin reguler 30-60 menit 2-4 jam 6-8 jam
Lispro, aspart, 5-15 menit 30-90 menit 4-6 jam
glulisine
Intermediate
acting atau insulin
kombinasi
NPH 2-4 jam 4-10 jam 10-16 jam
NPH/reguler 30-90 menit dual 10-16 jam
(70/30, 50/50
Long-acting
insulin
Lantus dan 2-4 jam - 20-24 jam
Detemir
Toujeo dan 30-90 menit - 36-42 jam
Degludec
11
hari.
Pendekatan Intraoperatif
Meskipun telah banyak protokol diterbitkan, masih sedikit studi
komparatif yang dilakukan pada regulasi glukosa perioperatif selama operasi
rawat jalan. Selain itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, kepatuhan dalam
menjalankan protokol perioperatif pada pasien diabetes sangatlah rendah. Dengan
demikian, regimen pengobatan intraoperatif harus sesederhana mungkin -
terutama untuk kasus rawat jalan - untuk meningkatkan kepatuhan protokol dan
perlakuan yang sama dari pasien bedah rawat jalan dengan DM (Tabel 3).
Untuk pasien insulin-naif, regimen sliding scale terbukti menjadi regimen
sederhana dan efektif untuk manajemen perioperatif. Pengobatan ini efektif pada
kondisi di mana glukosa sering diukur dan hiperglikemia selalu diatasi dengan
bolus insulin intravena.
Selain itu, semua panduan menyarankan untuk menatalaksana pasien rawat
jalan dengan insulin melalui manipulasi regimen insulin mereka sendiri dan
menghindari laju infus insulin kontinyu yang bervariasi apabila memungkinkan.
Untuk pasien rawat inap, telah terbukti bahwa basal-bolus regimen dengan
Lantus sekali sehari dan tiga bolus waktu makan dapat mengontrol glukosa lebih
baik daripada regimen sliding scale. Namun, mengganti ke regimen basal-bolus
pada hari operasi tampaknya tidak cocok untuk pasien rawat jalan.
Hemmerling et al menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kadar glukosa
perioperatif saat pasien diobati dengan regimen sliding scale dibandingkan dengan
infus kontinyu glukosa-insulin-kalium. Maka - menunggu bukti dari manajemen
intaoperasi optimal DM pada operasi rawat jalan - regimen sliding scale
tampaknya menjadi pilihan yang paling cocok untuk pasien yang diobati dengan
insulin asalkan mereka menggunakan dosis insulin long-acting biasa mereka.
Terdapat beberapa strategi untuk menentukan dosis insulin yang tepat.
Pertama, regimen sliding scale memberikan dosis insulin untuk beberapa rentang
nilai glukosa darah di atas ambang tertentu (misalnya, 10 mmol/L). Metode ini
12
banyak digunakan karena kemudahan dalam penggunaan. Namun, regimen
sliding scale tidak melibatkan dosis insulin harian total atau berat badan ke dalam
perhitungan. Oleh karena itu, kita juga dapat memilih untuk menggunakan faktor
koreksi pasien biasanya.
Ketika infus insulin kontinyu diberikan (misalnya, pasien DM 1), sebuah
VRIII atau infus glukosa-insulin-kalium harus digunakan. Risiko hipokalemia saat
pemberian infus insulin tanpa kalium selama prosedur singkat tampaknya tidak
dibenarkan.
Pompa insulin dapat dilanjutkan pada saat intraoperatif, terutama jika
prosedur bedah diharapkan berlangsung singkat. Namun, terdapat beberapa
pertimbangan. Checklist pra operasi dapat digunakan untuk menilai fungsi pompa,
pemrograman pengaturan, dan persediaan. Pompa infus harus ditempatkan jauh
dari meja operasi. Ketika menggunakan radiografi, pompa harus dijauhkan dari
jangkauan untuk mencegah kemungkinan gangguan. Lepasnya kateter karena
gerakan pasien harus terus dipantau. Dalam rangka meminimalisir risiko
hipoglikemia, dosis koreksi insulin harus diberikan melalui injeksi intravena
terpisah dan kadar glukosa darah harus diukur per jam.
Insulin telah lama menjadi satu-satunya terapi untuk mengobati
hiperglikemia intraoperatif. Insulin dapat diberikan baik secara intravena atau
subkutan selama operasi, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangan
tersendiri. Pedoman merekomendasikan menggunakan insulin subkutan pada
pasien yang menjalani operasi rawat jalan. Pemberian insulin subkutan adalah
strategi yang paling nyaman dan hemat biaya. Namun, insulin subkutan menjadi
tak terduga selama periode perioperatif karena perfusi jaringan subkutan yang
terganggu. Oleh karena itu, kami sarankan untuk menggunakan insulin intravena,
karena hal ini mencegah penumpukan insulin subkutan dan memiliki
farmakokinetik yang dapat diprediksi.
Hipoglikemia Perioperatif
Pasien dengan usia yang lebih tua, riwayat hipoglikemia, telah menderita
diabetes lebih lama, dan neuropati otonom mengalami peningkatan risiko
hipoglikemia perioperatif. Kebanyakan pasien yang sadar mengalami tanda
bahaya ketika glukosa darah turun di bawah 3,0 mmol/L. Respons simpatoadrenal
yang dipicu oleh hipoglikemia menyebabkan gejala neurogenik, termasuk
berkeringat, tremor, palpitasi, dan paresthesia. Gejala neuroglikopenik - yaitu
gejala akibat kekurangan glukosa dalam otak, seperti kebingungan, kelemahan,
dan kejang - akan mulai timbul ketika tingkat keparahan hipoglikemia meningkat.
Pada akhirnya, hipoglikemia berat dapat menyebabkan kematian otak atau aritmia
jantung. Pasien dengan diabetes lama atau tidak terkontrol mungkin tidak
mengalami gejala neurogenik akibat neuropati otonom; pada pasien ini, hanya
gejala neuroglikopenik yang terlihat. Kontrol glikemik jangka panjang yang buruk
dapat menurunkan ambang batas munculnya gejala hipoglikemik pada kadar
glukosa darah normal. Gejala hipoglikemik pada pasien usia lanjut sering tidak
spesifik dan kurang jelas karena hilangnya respons otonom. Gejala hipoglikemik
hilang selama anestesi umum dan sedasi, dan hipoglikemia hanya dapat dideteksi
oleh pemantauan glukosa yang memadai.
Pada pasien diabetes yang terkontrol dengan baik, kadar glukosa darah di
bawah 3,9 mmol/L harus diperlakukan tepat. Hal ini akan memberikan waktu
yang cukup untuk mencegah timbulnya gejala. Hipoglikemia perioperatif dapat
diobati dengan 80-100 ml glukosa 20% jika akses vena tersedia. Jika tidak, 1 mg
glukagon dapat diberikan secara subkutan. Glukosa darah harus dinilai ulang 15
menit setelah pengobatan.
15
Pengukuran Glukosa
Kadar glukosa darah harus diukur secara teratur untuk menjaga kadar
glukosa yang stabil dan selalu berada dalam kisaran target. Lebih penting lagi,
pemantauan rutin memungkinkan untuk deteksi dini hipoglikemia. Dianjurkan
untuk mengukur glukosa darah setelah pasien datang di fasilitas rawat jalan,
sebelum dan setelah operasi, dan sebelum pulang. Operasi yang berlangsung
kurang dari 2 jam mungkin tidak memerlukan pemeriksaan glukosa intraoperatif.
Pengukuran intraoperatif sebaiknya dilakukan setiap jam bila menggunakan infus
insulin rapid-acting untuk mengobati hiperglikemia, di mana efek puncak insulin
terjadi dalam 20 menit (Tabel 2). Terbukti, pemantauan lebih sering diperlukan
dalam kasus hipoglikemia atau fluktuasi yang cukup besar dari kadar glukosa
darah.
Kadar glukosa darah perioperatif paling sering diukur dengan
menggunakan peralatan glukosa kapiler point-of-care, karena alat ini nyaman dan
tersedia secara luas. Perbedaan antara glukosa kapiler dan vena biasanya kecil,
jika tidak terdapat kekacauan fisiologis yang berat. Namun, praktisi harus
mengingat bahwa US Food and Drug Administration mengizinkan batas
kesalahan 15% di monitor dan alat point-of-care biasanya menilai kadar glukosa
darah dalam kisaran hipoglikemik. Oleh karena itu, pada kisaran hipoglikemik,
pemantauan dan verifikasi melalui tes laboratorium pusat harus dilakukan.
Pemberian Dexamethasone
Melanjutkan asupan oral dan regimen antidiabetik merupakan prioritas
utama pada pasien bedah rawat jalan. Dexamethasone biasa digunakan sebagai
antiemetik untuk pencegahan mual dan muntah pasca operasi untuk memfasilitasi
target yang telah disebutkan di atas. Pemberian dexamethasone dosis rendah
tunggal intraoperatif (yaitu, dosis rata-rata 4,2 mg) pada pasien bedah rawat jalan
dengan DM telah terbukti dapat meningkatkan glukosa darah sebanyak 1,5
mmol/L. Terdapat argumen bahwa selama kadar glukosa dipantau dan diobati
16
secara adekuat, dosis tunggal 4 mg dexamethasone dapat diberikan sebagai
profilaksis mual dan muntah pasca operasi pada pasien dengan DM. Namun,
harus diingat bahwa efek puncak deksametason adalah 12 jam setelah pemberian,
yaitu ketika pasien rawat jalan sudah pulang ke rumah. Oleh karena itu, kami
sarankan menggunakan deksametason sebagai pilihan terakhir untuk profilaksis
mual dan muntah pasca operasi. Selain itu, perlu diketahui bahwa 8 mg
deksametason tidak lebih efektif dibandingkan 4 mg deksametason sebagai
profilaksis mual dan muntah pasca operasi.
Kesimpulan
Diabetes merupakan faktor risiko penting untuk komplikasi pasca operasi.
Oleh karena itu, manajemen anestesiologi optimal pasien dengan DM sangatlah
penting. Salah satu prinsip utama adalah interupsi minimal dari regimen
pengobatan bedah rawat jalan ini. Mengingat durasi operasi yang pendek dan
bukti yang ada saat ini, kontrol glikemik yang ketat pada setiap pasien diabetes
yang menjalani operasi rawat jalan kecil mungkin cenderung berlebihan. Namun,
17
masih banyak hal yang bisa diperoleh dengan meningkatkan perawatan pra
anestesi.
18