Bila kita mengunjungi kawasan utara kota Yogyakarta seperti daerah kampus
UGM di Bulaksumur atau Babarsari, Sleman dan sekitarnya, kita akan menemui
aliran sungai yang membelah kawasan tersebut.
Seperti namanya, ketiga saluran ini adalah saluran induk yang dibuat untuk
mengairi berbagai kawasan lahan pertanian terutama di bagian utara
Yogyakarta agar dapat berproduksi sepanjang tahun.
Sungai dan kali yang membelah kawasan inti Kerajaan Mataram saat itu, seperti
sungai Code, sungai Winongo dan sungai Gajah Wong tidak bisa diandalkan
untuk irigasi.
Salah satunya adalah karena bentuk aliran sungai yang curam dan posisi aliran
air seolah di dasar jurang aliran sungai, padahal kawasan dataran yang
memungkinkan untuk dijadikan lahan pertanian berada jauh di atasnya.
Padahal selain nilai sejarahnya, selokan ini sangat berkaitan dengan kebutuhan
paling vital manusia yaitu air.
Total, aliran irigasi ini merentang sejauh 30-an kilometer dari sungai Progo di
sebelah barat Yogyakarta hingga sungai Opak di bagian timur Yogyakarta.
Nama kanal Yoshiro memang cukup asing ditelinga warga Jogja, Kebanyakan dai
kita sekarang menyebutnya sebagai Selokan Mataram, namun menurut
beberapa sumber aliran sungai ini pernah dikenal dengan nama Kanal Yoshiro.
Nama Yoshiro sendiri berasal dari tokoh Simazu Yoshiro, seorang Jenderal besar
dari Jepang keturunan klan Shimazu di masa Sengoku. Sangat masuk akal
karena keberadaan Selokan Mataram ini sendiri sudah ada sejak jaman
penjajahan Jepang.
Berkat lobby yang dilakukan Sri Sultan HB IX terhadap pemerintah Jepang pada
saat itu, rakyat Jogja berhasil membangun aliran sungai yang menjadi bagian
penting dari kemandirian dan kemakmuran warga Jogja yang mayoritas sebagai
petani.
Dalam benak Sultan, jika rakyat terpaksa harus mengikuti romusa, maka mereka
harus tetap bekerja di wilayah Kasultanan Jogjakarta dan hasil dari kerja mereka
harus bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan anak-cucu mereka kelak.
Maka, Sultan pun mengajukan usulan untuk membuat saluran irigasi yang bisa
menghubungkan sungai Progo di arah barat dan sungai Opak di bagian timur
Jogjakarta kepada pemerintah Jepang. Total aliran irigasi ini membentang sejauh
30an kilometer. Permintaan Sultan disetujui sehingga rakyat Jogja selamat dari
kewajiban romusa.
Banyak sumber menyebutkan bahwa ide Sultan untuk membangun Selokan ini
berasal dari perkataan Sunan Kalijogo, salah seorang penyebar Islam di
Nusantara, yang menyatakan bahwa bumi Mataram akan subur dan rakyatnya
sejahtera jika Sungai Progo dan Sungai Opak bisa saling terhubung.
Tentu sangat sulit membayangkan pada waktu itu bagaimana bisa menyatukan
dua buah sungai yang jaraknya saling berjauhan, bahkan bisa dibilang
pekerjaan mustahil jika mengingat jarak antara kedua sungan yang saling
berjauhan.
Akan tetapi berkat kecerdikan seorang raja, hal yang dahulu terdengar mustahil
tersebut dapat diwujudkan dengan kerja keras warga Jogja sendiri sehingga
terbuktilah kata-kata Sunan Kalijaga.
Tanaman pangan hanya bisa ditanam pada musim hujan saja. Tak ada harapan
jika kemarau datang. Sri Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warganya
diperintahkan untuk membangun sebuah selokan saluran air yang
menghubungkan Kali Progo di barat dan Sungai Opak di timur.
Dengan demikian lahan pertanian di Yogyakarta yang kebanyakan lahan tadah
hujan bisa tetap diairi pada musim kemarau sehingga mampu menghasilkan
padi dan bisa memasok kebutuhan pangan Tentara Jepang.
Hingga saat ini, Selokan yang bisa mengairi puluhan ribu hektar sawah tersebut
masih berfungsi dengan baik meski di sana-sini kita dapat melihat bahwa pada
wilayah-wilayah tertentu kondisinya tampak memprihatinkan karena banyaknya
sampah dan limbah.
Hal itu terjadi karena barangkali situs bersejarah yang telah memberi banyak
jasa bagi pertumbuhan masyarakat.