Anda di halaman 1dari 9

9.

Tata Laksana dari TB Paru


Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT
sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam
satu (1) masa pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT
mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed


Treatment)
Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan
menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya
kuman resistan obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting
dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai
anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas
Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat
pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes
terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah
pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan
secara rawat jalan.

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN


TUBERKULOSIS
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses
universal terhadap
layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis
melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena
itu perlu pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan.
Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan
semua fasilitas layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien
TB dan kesinambungan program pengendalian TB dengan pendekatan
secara komperhensif.
A. Tujuan
Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata,
bermutu dan berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk
menjamin kesembuhan.
B. Prinsip dan Strategi PPM.
1. Prinsip PPM
Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai
berikut:
a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling
menguntungkan.
b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien
dengan menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).
c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir
oleh program pengendalian TB di setiap tingkat.
2. Strategi PPM
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses
universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan
upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan
kesehatan, sehingga diharapkan peningkatan cakupan dan kualitas
pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan pada pendekatan
penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix
(PPM), yaitu :
a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,
b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,
c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,
d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,
e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,
f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.
C. Penerapan PPM
Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:
1. Tingkat Nasional
2. Tingkat Provinsi
3. Tingkat Kabupaten/Kota
1. Tingkat Nasional
Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan
kebijakan, peraturan, pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis yang menjadi pegangan bagi penerapan PPM di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat nasional terdiri dari
jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya,
pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership
Indonesia (FSTPI), organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan,
LSM serta mitra internasional.
2. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan,
perhimpunan profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM,
organisasi keagamaan, tempat kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM
tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat melakukan pembinaan aspek
program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di tingkat
kabupaten/kota.
3. Tingkat kabupaten/kota
Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring
kemitraan antar pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar
fasyankes.Tahapan pelaksanaan dimulai dengan pembentukan tim,
menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan dan evaluasi
kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan
kabupaten/kota untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring
rujukan.
Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.
a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .
Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung,
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
menetapkan NSPK berkaitan dengan Pilar ini antara lain:
1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action
(MIFA), misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT)
berbasis web yang bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin).
2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.
3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung
Health/PAL) yaitu pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
terhadap pasien yang mengalami gangguan saluran pernafasan
dengan keluhan utama batuk kronis dan sesak.
4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:
Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya
pengendalian TB di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan
Kepulauan (DTPK) melalui faskes TNI dan pengembangan jejaring
melalui Mobilisasi Sosial TNI.
6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-
pilar yang lain, contohnya:
Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat.
Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan
pemasyarakatan (WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.
Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun
kepedulian perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR
(Corporate Social Responsibility).
Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan
rujukan kasus TB ke faskes DOTS dasar.
7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.
b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai
pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam
Akreditasi Rumah Sakit 2012.
2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)
Tatalaksana TB.
3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar
yang lain, contohnya:
Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar.
Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk.
Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB.
Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:
Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH).
c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan
Spesialis
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui
pendekatanpendekatan sebagai berikut:
1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah
diwujudkan dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB
bagi dokter di seluruh Indonesia.
2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat
Keputusan PB IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan
pasien tuberkulosis. Dokter yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan
mengobati pasien TB, sedangkan dokter yang belum tersertifikasi
hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan merujuk kepada
fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang mengobati
pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB
IDI.
3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui
Surat Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014
tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain
yang dikoordinir oleh Kemenkes berupa kerjasama dengan
Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman Nasional
Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah
disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.
d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas.
Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik
(BPPM) dan Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan,
melalui pendekatan:
1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory dengan
mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan
diagnostik TB (Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler).
2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan
Jejaring Lab TB dengan mengatur dan mendorong adanya
Laboratorium Rujukan TB Provinsi dan Laboratorium rujukan
intermediate.
3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan
dan uji kepekaan OAT lini 1 dan 2.
4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert
dan LPA).
5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta
meningkatkan mutunya.
e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara
Rasional.
Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
dan Dirjen Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI). Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan
regulasi dan penegakan hukum, yaitu:
1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan One Gate
Policy.
2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1.
3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP
uji kualitas OAT.
4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT.
5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional.
f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas.
Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM),
Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB.

Sumber : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman


Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014. Jakarta; 21-4.

Anda mungkin juga menyukai