Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya. Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu: a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed
Treatment) Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan. Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif. A. Tujuan Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan. B. Prinsip dan Strategi PPM. 1. Prinsip PPM Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut: a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan. b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program pengendalian TB di setiap tingkat. 2. Strategi PPM Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix (PPM), yaitu : a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas, b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta, c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis, d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas, e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional, f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas. C. Penerapan PPM Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu: 1. Tingkat Nasional 2. Tingkat Provinsi 3. Tingkat Kabupaten/Kota 1. Tingkat Nasional Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan, pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya, pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI), organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional. 2. Tingkat Provinsi Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di tingkat kabupaten/kota. 3. Tingkat kabupaten/kota Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan. Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM. a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas . Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK berkaitan dengan Pilar ini antara lain: 1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA), misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin). 2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna. 3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan sesak. 4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui: Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV 5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI. 6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar- pilar yang lain, contohnya: Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat. Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB. Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social Responsibility). Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus TB ke faskes DOTS dasar. 7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif. b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai pendekatan-pendekatan sebagai berikut: 1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi Rumah Sakit 2012. 2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB. 3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain, contohnya: Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar. Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk. Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB. Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui: Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV, Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV, Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH). c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatanpendekatan sebagai berikut: 1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh Indonesia. 2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB IDI. 3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia. d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas. Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik (BPPM) dan Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan: 1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory dengan mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB (Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler). 2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi dan Laboratorium rujukan intermediate. 3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan 2. 4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA). 5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta meningkatkan mutunya. e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional. Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu: 1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan One Gate Policy. 2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1. 3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji kualitas OAT. 4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT. 5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional. f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas. Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB.
Sumber : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014. Jakarta; 21-4.