Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN


HIDUP DI DALAM PENGADILAN

DISUSUN OLEH :

1. Muhammad Rezza
( 8111412006 )
2. Silvia Kumalasari
( 8111412028 )
3. Fandilla Susanti
( 8111412037 )
4. Tiya Ayu Nur Ekasari ( 8111412038 )
5. Almira Elysia Oribel ( 8111412053 )
6. Dendi Endri Riyanto ( 8111412334 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Masalah
lingkungan bukan menjadi persoalan di masa yang akan datang, akan tetapi menjadi realita yang
harus segera di benahi agar tidak terjadi kerusakan lingkungan atau degradasi lingkungan.
Masalah lingkungan bukan saja menjadi masalah dalam satu wilayah atau berdampak terhadap
satu masyarakat saja. Kebutuhan terhadap alam yang semakin meningkat mengakibatkan
permasalahan lingkungan menjadi persoalan lintas Negara. Perbuatan yang tidak
bertanggungjawab oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari alam tersebut dapat
memicu suatu reaksi bik dari masyarakat lokal maupun internasional.

Menurunnya mutu lingkungan pada akhirnya akan menyebabkan manusia atau


masyarakat yang ada di dalam lingkungan tersebut tidak akan memperoleh mutu kehidupan yang
baik dan optimal. Begitu pula sebaliknya, bila mutu kehidupan manusianya menurun, maka
lingkungan tempat tinggal mereka juga akan menurun.

Sengketa lingkungan hidup dapat dirumuskan dalam arti luas dan sempit. Dalam
pengertian luas sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan kepentingan antara dua pihak atau
lebih yang timbul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber
daya alam disamping memberikan manfaat kepada sekelompok orang, juga dapat menimbulkan
kerugian kepada kelompok lain. Sering kali manfaat dari suatu kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam dilihat secara makro, sementara risiko atau dampak negatif dari kegiatan itu dirasakan
ole sekelompok kecil orang. Sengketa lingkungan hidup dalam arti sempit dirumuskan dalam
pasal 1 butir 25 sebagai perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang
berpotensi dan atau telah berdampak pada lingkungan hidup . Fokusnya yaitu masih pada
kegiatan, belum mencakup kebijakan atau program pemerintah yang berkaitan dengan masalah-
masalah lingkungan hidup.

Sengketa lingkungan berkisar pada kepentingan-kepentingan atau kerugian-kerugian


yang bersifat ekonomi, misalnya hilang atau terancamnya mata pencaharian dan pemerosotan
kualitas atau nilai ekonomi dari hak-hak kebendaan. Dan juga kepentingan non ekonomi,
misalnya tergangguanya keseatan, keindahan, dan kebersihan lingkungan.

2
Penegakan hukum lingkungan ialah pengamatan hukum lingkungan melalui pengawasan
(supervision) dan pemeriksaan (inspection) serta melalui deteksi pelanggaran hukum, pemulihan
kerusakan lingkungan dan tindakan kepada ( dader, offender). Pemerintah dalam rangka
melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan melalui
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dilakukan di dalam dan di
luar pengadilan. Hal tersebut di jamin dalam undang-undang yang mengatur tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yakni Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 (UUPPLH). Pasal 84 UUPPLH menyatakan :
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para
pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa
di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa.

Penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan


instrumen-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan
hukum perdata dengan tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrument dan sanksi hukum administrasi
dilakukan oleh pemerintah dan juga oleh warga atau badan hukum perdata. Gugatan tata usaha
negara merupakan sarana hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga negara
atau badan hukum perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan
keputusan tata usaha negara yang secara formal atau materiil bertentangan peraturan perundang-
undangan lingkungan. Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh
instansi-instansi pemerintah. Penggunaan instrument hukum perdata, yaitu gugatan perdata,
dapat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi pemerintah. Namun jika di
bandingkan diantara ketiga bidang hukum, sebagian besar norma-norma hukum lingkungan
termasuk kedalam wilayah hukum administrasi negara.

3
Tujuan penegakan hukum lingkungan menurut Mas Ahmad Santosa adalah penataan
teradap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada
umumnya di formalkan kedalam peraturan perundang-undang, termasuk ketentuan yang
mengatur baku mutu limbah atau emisi. Nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem atau
fungsi lingkungan hidup tidak selamanya terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum, bukan
diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan penguasa
tunduk kepada hukum. Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan
kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang
merdeka tersebut merupakan katup penekan (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum
tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan
peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan kebenaran dan
keadilan. Sesuai dengan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
bahwa dalam hal terjadinya suatu sengketa ligkungan hidup dapat di tempuh melalui dua jalur,
melalui pengadilan atau litigasi maupun di luar pengadilan atau non litigasi. Khusus untuk
penyelesaian sengketa malalui pengadilan, maka tetap mengacu pada ketiga pendekatan
instrumen yaitu hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana.

B. Rumasan Masalah

1. Bagaimana penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan berdasarkan UU


nomor 32 tahun 2009 ?

2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian masalah lingkungan hidup melalui instrumen


hukum administrasi ?

4
3. Bagaimana penyelesaian masalah lingkungan hidup melalui instrumen hukum perdata ?

4. Bagaimana penyelesaian masalah lingkungan hidup melalui pendekatan instrumen


hukum pidana ?

BAB II

PEMBAHASAN

5
1. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan Berdasarkan UU Nomor
32 Tahun 2009.

Sebagian besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan UUPPLH


mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997. Peneyelesaian sengketa lingkungan hidup
dalam UUPPLH diatur dalam pasal 87 hingga pasal 93. Menurut UUPPLH penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh secara sukarela melalui dua pilihan mekanisme, yaitu
mekanisme proses pengadilan dan mekanisme diluar pengadilan. Jika para pihak telah bersepakat
untuk memilih mekanisme diluar pengadilan, maka gugatan keperdataan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh jika mekanisme diluat pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
atau para pihak.

Penyelesaian lingkungan hidup melalui pengadilan bermula dari adanya gugatan dari
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang dianggap penyebab kerugian itu. UUPPLH
menyediakan dua bentuk tuntunan yang dapat diajukan oleh penggugat, yaitu meminta ganti
kerugian dan meminta tergugat untuk melakukan tindakan tertentu. Agat tergugat dapat dijatuhi
hukuman seperti yang dituntut oleh penggugat, maka harus ditentukan lebih dahulu, bahwa
tergugat bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Didalam ilmu hukum terdapat dua jenis
tanggung gugat, yaitu tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan
tanggung gugat tidak berdasarkan kesalahan (liability without fault) atau yang juga disebut strict
liability.

Tanggung gugat berdasarkan kesalahan ditemukan dalam rumusan pasal 1356


KUHPerdata. Bahwa ketentuan pasal 1356 menganut tanggung gugat berdasarkan kesalahan
dapat dilihat dari unsur-unsur rumusan pasal tersebut yaitu :

a. Perbuatan tergugat harus bersifat melawan hukum


b. Pelaku harus bersalah
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbutan dengan kerugian.

Penggugat yang mengajukan gugatan berdasarkan pasal 1356 BW harus membuktikan


terpenuhinnya unsur-unsur tersebut agar gugatannya dapat dikabulkan oleh hakim. Salah satu
unsure itu adalah bahwa tergugat itu bersalah. Dalam ilmu hukum kesalahan dapat dibedakan

6
atas dua kategori, yaitu kesengajaan dan kealpaan atau kelalaian. Jadi, berdasarkan asas
tanggung gugat berdasarkan kesalahan, adalah tugas penggugat untuk membuktikan adanya
unsur kesengajaan atau kelalaian pada diri tergugat, sehingga telah menimbulkan kerugian pada
diri penggugat.

Selain tetap menganut tanggung gugat berdasarkan keasalahan, UUPPLH juga


memberlakukan tanggung gugat tanpa kesalahan (strict liability) yaitu untuk kegiatan-kegiatan
yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun atau mengahasilkan dan atau mengelola
limbah bahan berbahaya dan beracun dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup . Terdapat perbedaan penting antara rumusan tanggung gugat mutlak
berdasarkan UULH 1997 dan berdasarkan UUPPLH yaitu :

1. Membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 BW, terutama unsur
kesalahan (schuld) dan unsur hubungan kausal. Pasal 1365 BW mengandung asas
tanggunggugat berdasarkan kesalahan (schuld aansprakelijkheid), yang dapat
dipersamakan dengan Liability based on fault dalam sistem hukum Anglo-Amerika.
Pembuktian unsur hubungan kausal antara perbuatan pencemaran dengan kerugian
penderitaan tidak mudah. Sangat sulit bagi penderita untuk menerangkan dan
membuktikan pencemaran lingkungan secara ilmiah, sehingga tidaklah pada tempatnya.
Rumusan UUPPLH lebih tepat karena sesuai dengan konsep dalam Anglo Saxon yaitu
strict liability atau yang disebut liability witout fault.

2. Masalah beban pembuktian (bewijslast atau burde of proof) yang menurut Pasal
1865 BW/Pasal 163 HIR Pasal 283 R.Bg. merupakan kewajiban penggugat. Padahal,
dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan
seringkali berada pada posisi ekonomi lemah, bahkan sudah berada dalam keadaan
sekarat . Jika dikaitkan dengan kasus pencemaran lingkungan hidup, maka si penggugat
harus dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritannya disebabkan oleh aktivitas
industri atau pabrik yang menjadi tergugat. Pembuktian hal ini sangat sulit karena
kompleksnya sifat-sifat zat kimiawi dan reaksinnya dengan komponen abiotik dan
biotik di dalam suatu ekosistem yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan manusia.

7
3. Dalam UULH 1997 terdapat pengecualian atas berlakunya tanggung gugat mutlak,
yaitu penanggung jawab usaha atau kegiatan tidak bertanggung jawab atas kerugian
yang timbul jika kerugian yang timbul akibat dari tiga hal, yaitu : adanya bencana alam
atau peperangan, adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia, dan adanya
tindakan dari pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran atau perusakkan
lingkungan hidup. Dalam UUPPLH ketentuan pengecualian tidak ada.

Tujuan penerapan asas tanggung gugat mutlak adalah: untuk memenuhi rasa keadilan;
mensejalankan dengan kompleksitas perkembangan teknologi, sumber daya alam dan
lingkungan; serta mendorong badan usaha yang berisiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya
sosial yang dapat timbul akibat kegiatannya.

Penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009
dan terdiri dari :

1. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan


2. Tanggung Jawab Mutlak
3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah
4. Hak Gugat Masyarakat
5. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
6. Gugatan Administratif

2. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan


Hal ini termuat dan diatur lebih lanjut pada Pasal 87 UU No.32 Tahun 2009, ganti kerugian
dikenakan terhadap setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian
pada orang lain atau lingkungan hidup, setiap orang yang melakukan pemindahtanganan,
pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar
hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum/dan atau kewajiban badan usaha tersebut.
Dalam hal ini pengadilan dapat mengenakan uang paksa terhadap keterlambatan atas
pelaksanaan putusan pengadilan, dimana uang paksa ini didasarkan pada peraturan peraturan
perundang-undangan.

8
2. Tanggung Jawab Mutlak
Terhadap setiap orang yang tindakannya atau usahanya dan kegiatannya yang menggunakan
B3( Bahan Berbahaya Beracun), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3 dan/atau
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

3. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah


Dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
lingkungan hidup, berwenang untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu
terhadap usaha dan atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan atau
kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang
mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. ( Pasal 90 Ayat 2).
4. Hak Gugat Masyarakat
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri
dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Gugatan dapat diajukan apabila terjadi kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis
tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.Ketentuan mengenai hak gugat ini
masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memnuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Berbentuk badan hukum
b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2
tahun.
6. Gugatan Administratif

9
Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara apabila:
a. Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau
kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal.
b. Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang
wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL
c. Badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan
yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara mengacu pada Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara. Kegiatan Penyidikan dilakukan oleh penyidik baik dari POLRI
juga dari Pejabat PNS yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Pembuktian berupa alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak
pidana lingkungan terdiri atas:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
f. Alat bukti lain termasuk alat bukti yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka penegakan hukum terpadu pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat
dilakukan antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian dan kejaksaan di bawah Koordinasi
Menteri. Akan tetapi dibalik ini semua, UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan
asas Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Yang mana penerapan
asas ini, hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap
pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata, Hak gugat pemerintah dan pemerintah
daerah, hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan bentuk-
bentuk pengamalan konsep axio popularis, class action dan legal standing. Konsep-konsep ini
merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam penerapannya. Penerapan hukum perdata
ini juga diikuti engan berbagai persyaratan seperti pelaksanaan hak gugat oleh pemerintah bisa
dilakukan oleh Kejaksaan, pelaksanaan clas action yang dapat dilakukan oleh orang atau
sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi Lingkungan yang harus memenuhi

10
persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 ini. Ancaman
hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini juga cukup komprehensif, misalkan
mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana dan perdata yang mengancam
setiap pelanggaran peraturan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik
perseorangan, korporasi, maupun pejabat. Contoh yang paling konkret adalah porsi yang
diberikan pada masalah AMDAL. Sekurangnya terdapat 23 pasal yang mengatur mengenai
AMDAL, tetapi pengertian dari AMDAL itu sendiri berbeda antara UU No 32/2009 dengan UU
No 23/1997,yakni hilangnya dampak besar. Hal-hal baru mengenai AMDAL yang termuat
pada undang-undang terbaru ini antara lain:
1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen
AMDAL;
3. Komisi penilai AMDAL pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi
AMDAL;
4. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penertiban izin lingkungan;
5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,Gubenur,Bupati/Walokota sesuai
kewenangannya.

Selain hal-hal yang disebutkan diatas, ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam
UU No 32 Tahun 2009 ini ,yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait
pelanggaran bidang AMDAL. Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut berupa :
a. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
b. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat
kompetensi;
c. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi
dengan dokumen AMDAL atau UPL/UKL.

2. Mekanisme Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Instrumen Hukum


Administrasi.

11
2.1 Pengawasan
Penyelesaian masalah lingkungan melalui instrumen hukum administratif bertujuan agar
perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti
atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran), oleh karena itu, fokus
dari sanksi administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi hukum pidana tidak hanya
ditujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial menjadi pembuat
(pelanggar). Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten
sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangka
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sehubungan dengan hal itu, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda
terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi
dinilai tidak efektif, berulah dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas
(ultimum remedium). Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak
pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan
sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi
tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara
perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat
terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar
pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang
dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya
tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan
hidup.
Terdapat 4 (empat) peraturan perundang undangan yang dapat dijadikan dasar bagi
penegakan hukum administrasi yaitu :
1. Hinder Ordonantie (S. 1926 226)
2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. PP No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
4. PP No. 19 Tahun 1994 jo. PP No. 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B-3, sebagaimana
telah diubah dengan PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun 1999.
Sementara itu dalam pasal 48 PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan: Setiap penanggung jawab usaha dan atau

12
kegiatan yang melanggar ketentuan pasal 24 ayat (1), pasal 25, pasal 26 , pasal 32, pasal 34 ,
pasal 35, pasal 37, pasal 38, pasal 40, dan pasal 42, bupati atau walikota berwenang
menjatuhkan sanksi administrasi.
Ketentuan pasal diatas memberikan gambaran bahwa pemerintah daerah kabupataen atau
kota secara hukum memiliki kewenangan dalam pengaturan izin terhadap kegiatan pengelolaan
sumbar daya air. Namum demikian dalam konsep hukum administrasi terdapat 4 (empat ) sanksi
hukum administratif yang terdiri atas, paksaan administratif, penutupan perusahaan, larangan
memakai peralatan tertentu, uang paksaan dan penarikan izin. UU nomor 32 tahun 2009 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula
dikenakan tindakan tata tertib berupa:

perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau


penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.

Hukum lingkungan administrasi memiliki fungsi preventif dan fungsi korektif terhadap
kegiatan-kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan-persyaratan pengelolaan
lingkungan hidup. Fungsi preventif terhadap timbulnya masalah-masalah lingkungan yang
bersumber dari kegiatan usaha diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh
aparat yang berwenang dibidang pengawasan lingkungan. Jika berdasarkan fungsi pengawasan
ditemukan pelanggaran ketentuan-ketentuan hukum lingkungan administrasi, pejabat yang
berwenang dapat menjatuhkan sanksi administrasi teradap si pelanggar.

Didalam UUPPLH, pengawasan diatur dalam pasal 71 hingga pasal 74. Selain terdapat
pesamaan , juga ditemukan perbedaaan ketentuan-ketentuan tentang pengawasan anatara UULH
dan UUPPLH. Persamaan antara lain berkaitan dengan kewenangan pengawasan ad pada
Menteri Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah, baik Menteri atau Pemerintah Daerah
berwenang menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Perbedaannya yaitu :

a. jika dalam UULH 1997 terdapat pasal 23 yang menjadi dasar hukum bagi
BAPEDAL yang tela dibahas dalam bab II untuk melakukan pengawasan, dalam
13
UUPPLH ketentuan ketentuan tentang lembaga BAPEDAL yang berwenang
ditingkat pusat melakukan pengawasan dibidang lingkugan hidup tidak lagi
ditemukan karena Kementrian Lingkugan Hidup sepenunya berwenang melakukan
pengawasan setelah BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementrian Lingkugan
Hidup.
b. Dalam UUPPLH memberlakukan mekanisme pengawasan dua jalur, sedangkan
UULH 1997 hanya satu jalur. Yang dimaksud dengan mekanisme dua jalur adalah
bahwa pada prinsipnya Gurbernur dan Bupati/Walikota berwenang melakukan
pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing,
tetapi jika kewenangan pengawasan lingkungan tidak dilaksankan sehingga terjadi
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup , Menteri Lingkungan Hidup dapat melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha/kegiatanyang izin lingkungannya diterbitkan
oleh Pemerintah Daerah.pemberlakuan pengawasan jalur kedua oleh Kementrian
Lingkungan Hidup terhadap kegiatan usaha yang izin lingkungannya diterbitkan
oleh Gurbernur atau BUpati/Walikota dilatarbelakangi oleh fakta bahwa
Gurbernur/Walikota sering kali tidak menggunakan kewenangnnya sebagaimana
mestinya terhadap kegiatan usaha, sehingga terjadi toleransi yang berkelebihan
terhadap pelanggaran hukum lingkungan administrasi.

Sebagaimana UULH 1997, UUPPLH juga menyebutkan kewenangan dari pejabat pengawas
lingkugan hidup yaitu:

a. melakukan pemantauan
b. meminta keterangan
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang di perlukan
d. memasuki tempat tertentu
e. memotret
f. membuat rekaman audio visual
g. mengambil sampel
h. memeriksa peralatan
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi
j. menghentikan pelanggaran tertentu

14
Sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diganti UU No. 32 Tahun 2004, yang menyerahkan masalah lingkungan hidup kepada
pemerintahan daerah, maka di setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau kota telah
memiliki kelembagaan pengelolaan lingkungan yang kuat dengan mandat yang jelas. Strategi
dikembangkan di setiap kota atau kabupaten (pendekatan Atur Dan Awasi , Ekonomi, Perilaku,
dan Tekanan publik).

2.2 Sanksi-Sanksi Hukum Lingkungan Administrasi

J.B.J.M ten Berg menguraikan instrumen penegakan hukum administrasi, meliputi


pengawasan dan penerapan sanksi. Sementar itu, instrumen penegakan hukum administrasi
terhadap hukum lingkungan hidup, menurut Philipus M. Hadjon terdiri dari empat hal pokok,
keempatnya berkaitan dengan penggunaan wewenang penegakkan hukum administrasi yaitu :
1. legitimasi
2. instrumen hukum administrasi
3. norma hukum administrasi
4. kumulasi sanksi : kumulasi eksternal dan kumulasi
Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh
pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha yang
melanggar ketentuan-ketentuan hukum lingkugan administrasi. UUPPLH memuat empat jenis
sanksi hukum administrasi, sebagaimana tercantum dalam pasal 76 ayat (2) yatu teguran tertulis,
paksaan pemerintah, denda, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan dan
pencabutan izin lingkungan.
Pasal 80 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemegang izin disektor
kehutanan dikenai sanksi administrasi jika melanggar ketentuan pasal 78, tetapi tanpa mengatur
secara rinci jenis dan proses penjatuhan sanksi hukum administrasi tersebut. Sanksi administrasi
dibidang kehutanan diatur lebi lanjut dalam PP No. 34 Tahun 2002 pasal 87 yang
memberlakukan enam jenis sanksi administrasi yaitu : penghentian sementara pelayanan
administrasi, penghentian sementara kegiatan dilapangan, denda administratif, pengurangan areal
kerja, dan pencabutan izin. Sanksi administrasi diberlakukan jika melanggar pasal 88 hingga 97.
Dalam UUPPLH, kewenangan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah ada pada tiga
pejabat yaitu: Menteri Lingkugan Hidup, Gurbernur, Bupati/Walikota. Pasal 80 ayat (1)
UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk paksaan pemerintah yaitu :
a. penghentian sementara kegiatan produksi

15
b. pemindahan sarana produksi
c. penutupan saluran pembungan saluran air limbah atau emisi
d. pembingkaran
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
f. penghentiaan semetara seluruh kegiatan
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkugan hidup.
Sanksi pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan merupakan upaya
terakhir dalam penegakkan hukum administrasi setelah penanggung jawab usaha tidak
melaksanakan paksaan pemerintah.

2.3 Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Tata Usaha Negara

Sanksi-sanksi hukum administrasi negara berupa paksaan pemerintahan, denda,


pembekuan izin dan pencabutan izin dilakukan oleh pejabat tata usaha negara terhadap para
penggar hukum administrasi tanpa melalui proses peradilan. Persoalan akan timbul jika terjadi
pelanggaran hukun lingkungan administrasi, tetapi pejabat tata usaha negara yang berwenang
tidak menjalankan kewenangannya yaitu, menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelanggar,
maka dapat pejabat yang berwenang tersebut dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Gugatan terhadap pejabat tata usaha negara diatur dalam UU No. 9 Taun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha negara.

3. Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Instrumen Hukum Perdata

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen Hukum Perdata, untuk menentukan


seseorang atau badan hukum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan oleh
pencemaran atau perusakan lingkungan, penggugat dituntut membuktikan adanya pencemaran,
serta kaitan antara pencemaran dan kerugian yang diderita. Penyelesaian sengketa lingkungan
hidup secara perdata, terjadi karena pada satu sisi masyarakat dirugikan atas pengelolaan
lingkungan hidup yang menyimpang dari aturan yang sebenarnya. Pembuktian dalam kasus
lingkungan, khususnya delik, karena kasus-kasus pencemaran sering kali ditandai oleh sifat-sifat
khasnya, anatara lain :

16
1. Penyebab tidak selalu dari sumber tunggal. Akan tetapi berasal dari berbagai sumber
2. Melibatkan disiplin-disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan pakar-pakar di luar
hukum sebagai saksi
3. Sering kali akibat yang diderita tidak timbul seketika, akan tetapi selang beberapa lama
kemudian.
Lingkungan hidup mempunyai peranan sangat besar dalam kehidupan masyarakat,
kualitas kehidupan masyarakat dapat dipengaruhi lingkungan hidup, pada prinsipnya lingkungan
merupakan sumber daya yang dibutuhkan keberadaannya oleh makhluk lainnya, khususnya
manusia. Dalam UUPLH dasar hukum gugatan lingkungan terdapat dalam Pasal 34 yaitu :
1. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau

melakukan tindakan tertentu.


2. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan

penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

Dengan demikian berdasarkan Pasal 34 ayat (1) gugatan lingkungan untuk mendapatkan

ganti rugi dan/atau tindakan tertentu haruslah memenuhi persyaratan yang menjadi unsur Pasal

34 ayat (1) yaitu :

perbuatan melanggar hukum


pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
kerugian pada orang lain atau lingkungan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Hal tersebutlah yang menjadi acuan Dasar Pengajuan Gugatan Lingkungan.

Gugatan Class Action atau gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan
gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya
banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompok dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok adalah satu orang

17
atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok
orang yang lebih banyak jumlahnya.
Setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan ia pun berhak untuk
membela hak-nya apabila ia merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran
diadakannya aturan gugatan perdata.
Secara umum model gugatan perdata ada dua macam yaitu
- gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan sebutan nonlitigasi,
- gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi. Oleh karena itu, gugatan
perdata bisa menjadi dasar diselenggarakannya pengadilan perdata.
Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama (class action).
Gugatan dengan prosedur gugatan perwakilan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Numerosity, yaitu gugatan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak, sebaiknya orang
banyak itu diartikan dengan lebih dari 10 orang; sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila
gugatan dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan.
2. Commonality, yaitu adanya kesamaan fakta (question of fact) dan kesamaan dasar hukum
(question of law) yang bersifat subtansial, antara perwakilan kelompok dan anggota kelompok;
misalnya pencemaran; disebabkan dari sumber yang sama, berlangsung dalam waktu yang sama,
atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat berupa pembuangan limbah cair di
lokasi yang sama, dll.
3. Tipicality, yaitu adanya kesamaan jenis tuntutan antara perwakilan kelompok dan anggota
kelompok; Persyaratan ini tidak mutlak mengharuskan bahwa penggugat mempunyai tuntutan
ganti rugi yang sama besarnya, yang terpenting adalah jenis tuntutannya yang sama, misalnya
tuntutan adanya biaya pemulihan kesehatan, dimana setiap orang bisa berbeda nilainya
tergantung tingkat penyakit yang dideritanya.
4. Adequacy of Representation, yaitu perwakilan kelompok merupakan perwakilan kelompok yang
layak, dengan memenuhi beberapa persyaratan:
- harus memiliki kesamaan fakta dan atau dasar hukum dengan anggota kelompok yang
diwakilinya;
- memiliki bukti-bukti yang kuat;
- jujur;

18
- memiliki kesungguhan untuk melindungi kepentingan dari anggota kelompoknya;
- mempunyai sikap yang tidak mendahulukan kepentingannya sendiri dibanding
kepentingan anggota kelompoknya; dan
- sanggup untuk menanggulangi membayar biaya-biaya perkara di pengadilan.
Surat gugatan, selain harus memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Hukum Acara
Perdata, harus memuat:
A. identitas lengkap dan jelas,
B. definisi kelompok secara secara rinci dan spesifik;
C. keterangan tentang anggota kelompok;
D. posita dari seluruh kelompok;
E. jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda, maka dalam satu
gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian atau sub kelompok;
F. tuntutan atau petitum ganti rugi, mekanisme pendistribusian dan usulan pembentukan
tim.
Gugatan didaftarkan ke peradilan umum, segera setelah hakim memutuskan bahwa
pengajuan gugatan kelompok dinyatakan sah, wakil kelompok memberitahukan kepada anggota
kelompok melalui media cetak/ elektronik, kantor pemerintah atau langsung kepada anggota
kelompok.
Setelah pemberitahuan dilakukan, anggota kelompok dalam jangka waktu tertentu diberi
kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok. Seterusnya proses persidangan
sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata.

Tata Cara Pengajuan Gugatan

1. Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup untuk Mengajukan Gugatan


Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan (gugatan class action) ke pengadilan
dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang
merugikan perikehidupan masyarakat. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi
perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

19
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan tersebut terbatas pada tuntutan
untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau
pengeluaran riil.
Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan tersebut (gugatan legal
standing) apabila memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan
b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup
c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

2. Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan

Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang


waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung
sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tersebut tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan
bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

3. Tanggung Jawab Mutlak

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan
beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara
mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung
dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
rugi jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:

a. Adanya bencana alam atau peperangan

20
b. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia

c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau


kerusakan lingkungan hidup.

Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga bertanggung jawab
membayar ganti rugi.

4. Ganti Rugi

Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan


hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu tersebut, hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan
tertentu tersebut.

Dalam mengajukan suatu gugatan ini tentunya haruslah secara tertulis yang ditujukan
kepada Ketua Pegadilan Negeri diwilayah hukum tergugat dan kemudian gugatan ini daftarkan
di Kepaniteraan Perdata (PN) untuk mendapatkan nomor register perkara. Namun sebelum itu
penggugat haruslah menyetor sejumlah uang perkara (besarnya tergantung jumlah Tergugat) dan
apabila dalam mengajukan gugatan ini diberikan kuasa kepada seorang/beberapa advokat
tentunya harus dibarengi dengan surat kuasa untuk mewakili kepentingan Penggugat di
Pengadilan. Legal Standing. dilakukan oleh Organisasi Lingkungan Hidup sebagai perwakilan
penggugat,namun tidak semua organisasi lingkungan dapat mengajukan gugatan.

Tata cara pengajuan gugatan class action dan legal standing dianggap mempunyai
perbedaan dengan tata cara pengajuan gugatan perdata konvensional pada umumnya. Karena
meskipun kedua model gugatan tersebut dikategorikan sebagai gugatan perwakilan kelompok,
tetapi di sini tidak dipersyaratkan adanya pemberian kuasa khusus dari kelompok masyarakat
yang diwakili. Di samping itu tidak dipersyaratkan pula untuk mencantumkan identitas secara
lengkap dari pihak yang mewakili maupun yang diwakili.

21
Sedangkan dalam gugatan perdata konvensional berlaku hal yang sebaliknya, dalam hal
perkaranya diwakilkan kepada pihak lain lazimnya mensyaratkan adanya pemberian kuasa
khusus dan pencantuman identitas yang lengkap dari pihak-pihak yang berperkara. Tidak
dipenuhinya syarat-syarat formil tersebut dapat berakibat gugatan dinyatakan tidak diterima.

4. Penyelesaian Masalah Lingkungan Hidup Melalui Pendekatan Instrumen Hukum


Pidana.

Menggunakan instrumen hukum pidana yang pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum
remidium (obat terakhir). Artinya instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum acara
pidana dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan merupakan suatu jalan terakhir yang
dipakai dalam suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum lingkungan, akan
tetapi dapat pula langsung menggunakan instrumen hukum pidana apabila kasus tersebut
disinyalir sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar atau extraordinary crime. Dengan
demikian instrumen hukum pidana ikut pula dalam ruang lingkup penyelesaian sengketa hukum
lingkungan.

Menurut pendapat dari Hermin Hadiati Koeswadji menunjukkan bahwa instrumen hukum
pidana melihat akan adanya suatu kasus bukan hanya akibat perbuatan akan tetapi juga melihat
kepada orang yang melakukan akibat dari perbuatan tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai
alasan pertama mengenai hukum lingkungan dengan hukum pidana ialah dalam hukum
lingkunga tidak hanya mengatur mengenai pertanggungjawaban lingkungan akan tetapi juga
mengenai pertanggungjawaban sosial, sehingga hukum pidana juga ikut berperan dalam
mengatur pertanggungjawan di hukum lingkungan terutama yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban sosial.

Lebih lanjut membahas penyelesaian sengketa hukum lingkungan dengan instrumen


hukum pidana terdapat alur penyelesaian sengketa mulai dari penyidikan, pembuktian maupun
gugatan dalam perspektif hukum pidana. Alur dari perspektif hukum pidana tidak hanya terdapat
dalam Kitab Undang Undang Pidana saja meainkan salah satunya aturan yang memuat alur
perspektif hukum pidana adalah Undang Undang No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan

22
pengelolaha lingkungan hidup dan AMDAL, kemudian Undang Undang No 7 Tahun 2004
tentang sumber daya air yang khusus menangani masalah berkaitan dengan hukum lingkungan
yang berkaitan dengan sumber daya air.

Penyelesaian masalah hukum lingkungan melalui instrumen pidana sangat dipengaruhi


oleh perkembangan zaman. Seiring dengan berjalannya waktu pengaturan hukum lingkungan
lebih dibuat lebih kompleks dari peraturan hukum lingkungan sebelumnya, alasan yang paling
utama ialah banyaknya kasus yang muncul terhadap hukum lingkungan yang pada kenyataannya
kasus tersebut perlu diatur lebih lanjut akibat tindakannya yang bermacam-macam. Dengan
adanya bermacam-macam kejahatan terhadap hukum lingkungan hidup maka muncul Undang
Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup yang lebih
lengkap daripada undang-undang sebelumnya (Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang
pengelolahan lingkungan hidup).

Dalam penegakkan hukum lingkungan yang terdapat dalam Undang -Undang no 32 tahun
2009 menyebutkan bahwa terdapat empat pihak yang memiliki hak untuk menggugat apabila
terjadi pelanggaran terhadap hukum lingkungan, yaitu pihak pemerintah, masyarakat, orang dan
pihak organisasi lingkungan hidup. Empat pihak tersebut memiliki hak yang berbeda seperti
yang terdapat dalam pasal 90, 91, dan 92 Undang Undang No 32 Tahun 2009, sehingga
keempat pihak tersebut telah jelas mendapatkan hak untuk mengajukan gugatan terhadap pelaku
tindakan kejahatan terhadap lingkungan hidup.

Adapun pihak pemerintah yang berhak mengajukan gugatan apabila terjadi pelanggaran
atau kejahatan terhadap lingkungan diatur dalam pasal 90 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup. Menurut pasal tersebut
secara garis besar pemerintah maupun pemerintah daerah dapat meminta ganti rugi dan tindakan
tertentu terhada usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan hidup.
Sedangkan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian yang dimaksud dalam pasal 90 diatur
lebih dalam dengan Peraturan Menteri.

Adapun pihak lain yang berhak mengajukan gugatan adalah masyarakat yang pada
dasarnya seperti yang tercantum dalam pasal 91 undang undang no. 32 tahun 2009 tentang

23
perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup memiliki hak untuk mewakili kelompok untuk
kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan masyarkat apabila mengalami kerugian. Terdapat
hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan yang mengatasnamakan pihak
masyarakat yaitu harus terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar huku, serta jenis tuntutan di
antara wakil kelompok dan anggota kelompok.

Selanjutnya pihak organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan apabila untuk
kepentingan pelestarian lingkungan hidup, akan tetapi ia tidak berhak meminta ganti rugi kecuali
biaya atau pengeluaran riil. Adapun sebelum mengajukan gugatan, organisasi lingkungan hidup
harus memenuhi syarat syarat sebagai berikut:

1. Berbentuk badan hukum.

2. Menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk


kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

3. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat dua
tahun.

Kemudian pihak terakhir adalah setiap orang yang pada prinsipnya dapat mengajukan gugatan
berkaitan dengan pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin kegiatan terhadap suatu usaha
atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL maupun UKLUPL, serta tidak
dilengkapi dengan izin lingkungan. Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha
negara mengacu pada hukum acara peradilan tata usaha negara.

Penyidikan dalam hukum lingkungan tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun


2009 tentang perlindungan dan pengelolahan lingungan hidup pasal 94 dan pasal 95. Adapun yag
berhak melakukan penyidikan adalah pejabat polisi negara republik Indonesia dan pejabat
pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya dibidang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana lingkungan hidup.

24
Adapun wewenang dari penyidik pegawai negeri sipil yang berwenang tercantum dalam
pasal 94 ayat 2 seperti:

1. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan tindakan


lingkungan hidup

2. Melakukan pemerikasaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana
dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

3. Meminta keterangan dan bahan bukti berkenaan peristiwa tindak pidana lingkungan hidup

4. Melakukan pemeriksaan pembukaan, catata, dan dokumen lain berkenaa dengan tindak
pidana dibidang perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup.

5. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terhadap bahan bukti, pembukuan,
catatan, dan dokumen lain.

6. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolahan lingkungan
hidup.

7. Menghentikan penyidikan

8. Memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual

9. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang
diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana.

10. Menangkap dan menyerahkan tersangka.

Kemudian dalam hal penyidikan yang pada dasarnya menentukan apakah suatu peristiwa
merupakan tindak pidana hukum lingkungan sangat erat kaitannya dengan pembuktian, yaitu alat

25
bukti. Alat bukti merupakan alat yang digunakan untuk menjerat tersangka atau pihak tertentu
untuk mendapatkan sanksi maupun hukuman. Adapun alat bukti terdiri dari ;

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

6. Alat bukti alain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang undangan.

Mengenai penyidikan dan pembuktian, hal lain yang perlu diperhatikan adalah terdapat
ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolahan lingkungan hidup mulai dari pasal 97 hingga pasal 120. Isi dari ketentuan pidana
secara garis besar menjerat orang yang sengaja melakukan tindak pidana lingkungan hidup,
orang yang lalai sehingga mengakibatkan kerugian lingkungan hidup, orang yang melanggar
ketentuan lingkungan hidup, orang yang mengedarkan rekayasa genetik, dan orang yang
menghasilkan limbah B3 tanpa melakukan pertanggung jawaban. Akan tetapi tidak hanya orang
saja yang dapat dikenakan ketentuan pidana melainkan pihak pemberi ijin atau dalam hal ini
pejabat pemberi ijin lingkungan hidup, serta penanggung jawab usaha dapat pula dikenakan
ketentuan pidana.

Lebih lanjut mengenai penegakkan lingkungan hidup seperti yang telah terjadi
dibeberapa kasus yang ada, setiap kali terjadi kejahatan terhadap tindak pidana maka hal yang
paling erat ialah berkaitan dengan kejahatan korporasi. Korporasi dalam hal bagian dari kegiatan
ekonomi dapat pula dikenakan ketentuan pidana lingkungan hidup apabila dalam melakukan
kegiatannya disinyalir telah melakukan kegiatan merusak, mengurangi, maupun mengubah
sesuai batas batas yang telah ditentukan. Apabila suatu korporasi ternyata telah melakukan
suatu kejahatan lingkungan yang serius maka yang perlu diperhatikan sebaiknya aturan dari
ketentuan hukum pidana lingkungan itu sendiri, namun apabila tindakan korporasi tersebut lebih

26
mengarah ke pertanggungjawaban lainnya maka dapat dipakai instrumen hukum perdata maupun
instrumen hukum administrasi.

Adapun mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam kejahatan lingkungan yang


dilakukan oleh pihak korporasi maka dapat diketahui dalam pasal 55 KUHP buku ke I yang
memberikan ancaman terhadap orang yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan
(doen pleger), yang turut melakukan (medepleger), dan yang membujuk (uitlokker). Dengan
demikian apabila mengaju pada pasal 55 maka yang dapat dikenakan sanksi dapat dimulai dari
pemimpin suatu korporasi, kemudian pemberi perintah dari kegiatan tersebut hingga orang-orang
yang melakukan kegiatan yang pada hakekatnya melakukan kejahatan lingkungan hidup.

Ketentuan instrumen hukum pidana sangat dipengaruhi dengan kemampuan


bertanggungjawaban dan unsur kesalahan, sehingga dalam strafbaar feit menunjuk pada
kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang melawan hukum, dan oleh
karenanya patut dipidana. Menurut pendapat ahli pompe dan vost yang menganut pengertian
melawan hukum identik dengan in strijd met het recht atau dapat dikatakan bertentangan
dengan hukum.Bertentangan dengan hukum bukan hanya dinilai sebagai hal hal yang
bertentangan dengan undang undang melainkan dengan kepatutan.

Selanjutnya apabila melihat pengertian strafbaar feit maka dapat dipertanyakan apa
hubungannya dengan dengan hukum lingkungan. Menjawab pertanyaan berkaitan hubungan
antara strafbaar feit dengan hukum lingkungan maka pada pokoknya menurut Hermin Hadiati
Koeswadji mengatakan bahwa terdapat dua pokok unsur penting, yaitu;

1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti hendeling, kelakuan, tingkah laku yag berada
dalam dunia nyata yang dapat dirasakan oleh panca indera.

2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yag menimbulkan
kelakuan tadi, yaitu berada dalam lubuk batin atau tidak dirasakan dengan pancaindra.

Kedua unsur penting tersebut mudah untuk dibuktikan karena pabila kita melihat dari unsur yang
pertama jelas bentuknya seperti pengerusakan hutan, pencemaran air, dan segala tindakan yang
dapat dirasa merupakan kejahatan lingkungan. Sedangakan mengenai unsur kedua, keksalahan

27
seeorang diakitkan suasana dalam batin seseorang yaitu orang tersebut mengetahui dan merasa
perbuatan tersebut bertentangan dengan batinnya.

Pengaruh lain dari tindak pidana adalah unsur mampu bertanggungjawab, unsur ini
merupakan suatu bukti sah dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam kaitannya dengan mamp
bertanggungjawab maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa terdapat tiga sistem
pertanggungjawaban pidana, pertama yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dikenakan
pertanggug jaawaban adalah orang, kedua adalah badan huku, dan yang ketiga orang dan badan
hukum. Dengan demikian dalam suatu kejahatan yang dilakuakn oleh korporasi tidak hanya
orangnya saja yang dapat dikenakan sanksi pidana melainkan bdan hukumnya dapa dikenakan
sanksi pidana.

Selain dari pada itu kemampuan bertanggung jawab adalah normalitas psikis dan
kematangan yang membawa tiga kemampuan, yaitu

1. Mampu mengerti nilai-nilai dan akibat perbuatannya sendiri.

2. Mampu menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakt tidak boleh.

3. Mampu menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya itu.

Dengan adanya pesyaratan diatas maka para sarjana hukum menyepakati bahwa hukum
pidana harus dipandang sebagai ultimatum remidium. Sedangkan maksud dari ultimatum
remidium daat dilihat dari pandangan A. Hamzah yang menggolongkan tiga pengertian
ultimatum remidium, yaitu hukum pidana itu hanya diterapkanterhadap perbuatan perbuatan
yang sangat tidak bear secara etis, kemudian dianggap sebagai obat terakhir atau alat terakhir
yang diterapkan dalam hukum lingkungan, dn pejabat administrasilah yang harus bertanggung
jawab pertama kalinya.

28
29
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sengketa lingkungan berkisar pada kepentingan-kepentingan atau kerugian-kerugian


yang bersifat ekonomi, misalnya hilang atau terancamnya mata pencaharian dan pemerosotan
kualitas atau nilai ekonomi dari hak-hak kebendaan. Dan juga kepentingan non ekonomi,
misalnya tergangguanya keseatan, keindahan, dan kebersihan lingkungan. Pemerintah dalam
rangka melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan
melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dilakukan di
dalam dan di luar pengadilan.

Penyelesaian lingkungan hidup melalui pengadilan bermula dari adanya gugatan dari
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang dianggap penyebab kerugian itu. UUPPLH
menyediakan dua bentuk tuntunan yang dapat diajukan oleh penggugat, yaitu meminta ganti
kerugian dan meminta tergugat untuk melakukan tindakan tertentu. Agar tergugat dapat dijatuhi
hukuman seperti yang dituntut oleh penggugat, maka harus ditentukan lebih dahulu, bahwa
tergugat bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Didalam ilmu hukum terdapat dua jenis
tanggung gugat, yaitu tanggung gugat berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan
tanggung gugat tidak berdasarkan kesalahan (liability without fault) atau yang juga disebut strict
liability.

Penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009
dan terdiri dari : ganti kerugian dan pemulihan lingkungan, tanggung jawab mutlak, hak gugat
pemerintah dan pemerintah daerah, hak gugat masyarakat, hak gugat organisasi lingkungan
hidup, gugatan administratif.

Penyelesaian masalah lingkungan melalui instrumen hukum administratif bertujuan agar


perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti
atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran), oleh karena itu, fokus

30
dari sanksi administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi hukum pidana tidak hanya
ditujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial menjadi pembuat
(pelanggar). Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten
sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangka
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen Hukum Perdata, untuk menentukan


seseorang atau badan hukum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan oleh
pencemaran atau perusakan lingkungan, penggugat dituntut membuktikan adanya pencemaran,
serta kaitan antara pencemaran dan kerugian yang diderita.

Instrumen hukum pidana pada prinsipnya ialah sebagai ultimatum remidium (obat
terakhir). Artinya instrumen hukum pidana maupun penggunaan hukum acara pidana dalam
penyelesaian sengketa hukum lingkungan merupakan suatu jalan terakhir yang dipakai dalam
suatu kasus kejahatan maupun pelanggaran terhadap hukum lingkungan, akan tetapi dapat pula
langsung menggunakan instrumen hukum pidana apabila kasus tersebut disinyalir sebagai suatu
kejahatan yang berdampak besar atau extraordinary crime.

B. Saran

Melalui berbagai pembahasan mengenai Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat kita ketahui bahwa Undang-undang ini
merupakan bentuk penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, baik dilihat dari segi hukum maupun administrasi.
Penyempurnaan itu adalah adanya penguatan pada UU terbaru ini tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan
yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum
mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Bentuk
penguatan tersebut dilihat dari aspek lama pidana, perluasan alat bukti yang ada, dan
pengembangan asas Ultimum Remedium.

31
Penerapan asas hukum pada undang-undang ini juga tetap mengedepankan bentuk-bentuk
melalui jalur pengadilan maupun melalui jalur pengadilan. Jalur pengadilan juga dapat dibedakan
lagi menjadi penerapan hukum pidana, penerapan hukum administrasi, penerapan hukum
perdata. Penerapan hukum perdata dilakukan melalui ganti kerugian dan pemulihan lingkungan,
tanggung jawab mutlak, hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah,hak gugat masyarakat dan
hak gugat organisasi lingkungan. Dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup diharapkan kepedulian dari masyarakat baik
secara individu dan kelompok serta bentuk-bentuk organisasi lingkungan hidup untuk dapat terus
perduli dan berperan aktif guna menjaga dan memelihara kelestarian Lingkungan Hidup dari
segala kegiatan dan usaha yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup
tersebut.

32
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup.
Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang KUHAP
Rina Suliastini, 2009. Perbandingan UU No 23/1997 dengan UU No 32 /2009
Rahmadi, Takdir., 2011. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Supriadi, S.H., M.Hum 2005. hukum lingkungan di indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
http://liamousy.blogspot.com/2013/07/makalah-hukum-lingkungan-aspek-pidana.html
http://idrusonly.blogspot.com/2013/01/penegakan-hukum-lingkungan-hidup.html
http://herimurdianto.wordpress.com/2013/03/26/instrumen-penegakan-hukum-lingkungan/

33

Anda mungkin juga menyukai