Anda di halaman 1dari 19

REFRESHING

4 PILAR TATALAKSANA
DIABETES MELITUS

Disusun Oleh :
Mustika Apriyanti

2012730142

Pembimbing:
dr. Faisal Syarifuddin ,Sp. PD

STASE ILMU PENYAKIT DALAM


RS ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan Refreshing dengan judul 4 Pilar Tatalaksana Diabetes
Melitus ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Refreshing ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas untuk penilaian kegiatan
kepaniteraan klinik stase Penyakit Dalam tahun 2017. Dan juga untuk memperdalam
pemahaman tinjauan pustaka yang telah dipelajari sebelumnya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan Refreshing ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing laporan kasus ini dr. Faisal
Syarifuddin, Sp. PD yang telah membimbing dalam penyusunan Refreshing. Terima kasih
juga pada semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan referensi, analisis
materi dan penyusunan Refreshing ini.
Semoga Refreshing ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
kepaniteraan klinik FKK UMJ dan RSIJ Cempaka Putih pada umumnya.

Jakarta, 2 Februari 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan


angka insidensi dan prevalensi DM tipe2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi
adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun
mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO,
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun
terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan
jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM
sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun
2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah
rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030
nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi
DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen
Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia diatas
15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan
terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimanatan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan
prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai
21,8% di Propinsi Papua Barat.
Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penyandang diabetes di Indonesia sangat
besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter
spesialis/ subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada.
Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya
manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan
DM, khususnya dalam upaya pencegahan.
Pada strategi pelayanan kesehatan bagi penyandang diabetes, peran dokter umum
menjadi sangat penting sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan primer. Kasus DM
sederhana tanpa penyulit dapat dikelola dengan tuntas oleh dokter umum di pelayanan
kesehatan primer. Penyandang diabetes yang berpotensi mengalami penyulit DM perlu secara
periodik dikonsultasikan kepada dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis
penyakit dalam konsultan endokrin, metabolisme, dan diabetes di tingkat pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi di rumah sakit rujukan. Demikian pula penyandang diabetes
dengan glukosa darah yang sukar dikendalikan dan penyandang diabetes dengan penyulit.
Pasien dapat dikirim kembali kepada dokter pelayanan primer setelah penanganan di rumah
sakit rujukan selesai.
Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup.
Dalam pengelolaan penyakit tersebut, selain dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan
lain,peran pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasikepada pasien dan
keluarganya bertujuan dengan memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit,
pencegahan,penyulit, dan penatalaksanaan DM, akan sangat membantumeningkatkan
keikutsertaan keluarga dalam usaha memperbaikihasil pengelolaan. Dalam konteks ini
keberadaan organisasiperkumpulan penyandang diabetes seperti
PERKENI,PERSADIA,PEDI, dan lain-lain menjadi sangat dibutuhkan, mengingat
perkumpulan tersebut dapat membantu meningkatkan pengetahuan penyandang diabetes
tentang penyakitnyadan meningkatkan peran aktif mereka dalam memodifikasi pengobatan
DM.
Untuk mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna, serta untuk
menekan angka kejadian penyulit DM, diperlukan suatu standar pelayanan minimal bagi
penyandang diabetes. Penyempurnaan dan revisi secara berkala standar pelayanan harus
selalu dilakukan dan disesuaikan dengan kemajuan-kemajuan ilmu mutakhir, sehingga dapat
diperoleh manfaat yang sebesar- besarnya bagi penyandang diabetes.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2015, Diabetes melitus merupakan
suatu penyakit kronis kompleks yang membutuhkan perawatan medis yang lama atau terus-
menerus dengan cara mengendalikan kadar gula darah untuk mengurangi risiko
multifaktorial.

B. Klasifikasi
1. Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.
Autoimun
Idiopatik
2. Tipe 2
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
3. Tipe lain
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas (seperti Cystic fibrosis)
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ)
4. Diabetes melitus gestasional

C. Faktor risiko Diabetes melitus


Pengujian Diabetes melitus tipe 2 harus dilakukan disemua orang dewasa yang
kelebihan berat badan atau obesitas (BMI 25 atau 23 di Amerika Asia) yang memiliki
faktor risiko diabetes 1 dari daftar berikut :
Ketidakaktifan aktivitas fisik
Riwayat keluarga Diabetes melitus
Ras/etnis dengan risiko tinggi
Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan >4000 gr atau riwayat DM
gestasional
HDL <35 mg/dL TG >250 mg/dL
Hipertensi(140 /90mmHgatau sedang terapi)
A1C5.7%, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) maupun Glukosa Darah
Puasa Terganggu (GDPT)pada pengujiansebelumnya
Kondisi yang terkait dengan resistensi insulin: obesitas berat,
acanthosisnigricans, PCOS
Sejarah CVD

Untuk semua pasien, pengujian harus dimulai pada usia 45 tahun. Jika tes normal, tes
ulang dilakukan minimal 3 tahun interval. Untuk menguji untuk diabetes tipe 2, GDP, 2-
jam-PP, dan A1C sama-sama tepat. Pada pasien dengan diabetes, identifikasi dan
obatifaktor risiko penyakit kardiovaskular. Pengujianuntuk mendeteksi diabetes tipe 2
harus dipertimbangkan pada anak-anak dan remaja yang kelebihan berat badan atau
obesitas dan yang memiliki dua atau lebih faktor risiko tambahan untuk diabetes.

D. Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

Kriteria diagnosis Diabetes menurut ADA 2015

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan sepertikebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dantetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelumpemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminumdalam waktu 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untukpemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah bebanglukosa.
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahatdan tidak merokok.

E. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM,


namuntidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih
dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransiglukosa,
merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan
faktor risiko untuk terjadinyaDM dan penyakit kardiovaskular dikemudian
hari.Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan
penjaringan masal(mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang
pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan
adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan
untuk penyakit lain atau general check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa
darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada tabel berikut.

Bukan DM Belum pasti DM DM


Kadar glukosa Plasma < 100 100 199 > 200
darah sewaktu vena < 90 90 199 > 200
(mg/dl) Darah
kapiler
Kadar glukosa Plasma < 100 100 125 > 126
darah puasa vena < 90 90 99 > 100
(mg/dl) Darah
kapiler

Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor resiko lain
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

F. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes. Adapun tujuan khusus dari penatalaksanaan pada DM adalah:
a. Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
b. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

Pilar penatalaksanaan DM :
Edukasi
Terapi gizi medis
Latihan jasmani
Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama


beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidupdan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasiendalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

2. Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNMadalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasiendan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuaidengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umumyaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhankalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandangdiabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makandalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan,terutamapada mereka yang menggunakan obat penurun glukosadarah atau
insulin.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:


a. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yangberserat tinggi.
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetesdapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula,asal tidak melebihi
batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidratdalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makananselingan buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhankalori sehari.

b. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemaktidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyakmengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: dagingberlemak dan susu penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
c. Protein
Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhanenergi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.
d. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh)garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400mg.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natriumnitrit.
e. Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahanlain yang
baik untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
f. Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalahgula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,sorbitol dan xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily
Intake / ADI)

3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,berkebun harus
tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan.

4. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

a. Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilureadan glinid
Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.
DPP-IV inhibitor

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahan sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

Cara kerja utama Efek Penurun


samping an A1C
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin BB naik, 1.0-2%
hipoglike
mia
Glinid Meningkatkan sekresi insulin BB naik, 0.5-1.5%
hipoglike
mia
Metformin Menekan Diare, 1, 5
produksiglukosahatidanmenambahsensitivita dyspepsia, 2,0 %
sterhadap insulin asidosislak
tat
Penghambat Menghambat absorbsi glukosa Flatulens, 0, 5
glukosidase tinjal 0,8 %
alfa embek
Tiazolidindion Menambah sensitivitas terhadap insulin Edema 0,5 1,4
%
Insulin Menekan produksi glukosa hati, Hipoglike 1,5 3,5
menstimulasi pemanfaatan glukosa mia, BB %
naik
DPP -4 Meningkatkan sekresi insulin, menghambat Sebah, 0,5
inhibitor sekrresi glukagon muntah -0,8%

Inkretin Meningkatkan sekresi insulin, menghambat Meningkat 0,5 1,0


analog / sekrresi glukagon kan sekresi %
mimetik insulin,
menghamb
at sekrresi
glukagon
b. Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyangtidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah(premixed insulin)
Efek samping terapi insulin
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinyahipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulinatau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa
darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum
tercapai.
Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah
prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin
kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin
prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali
insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2
plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari
lumen usus (acarbose).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasanglukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
G. Pencegahan

H. Komplikasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia cetakan


keempat, tahun 2011. PERKENI.
2. Standart medical care in diabetes. 2014. American Diabetes Assosiation
3. Standart medical care in diabetes. 2015. American Diabetes Assosiation
4. Sudoyo, Aru, dkk. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai