Anda di halaman 1dari 36

Referat

Hipertensi

Pembimbing:
dr. Didi Kurniadhi, Sp.PD, KKV

Disusun Oleh:
Cecillia Yuniati 112015315

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PERIODE 8 Agustus 2016 15 Oktober 2016
RUMAH SAKIT FMC
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1
Daftar Isi 2
Lembar Persetujuan 3
BAB 1 Pendahuluan dan Epidemiologi 4
1.1.Pendahuluan 4
1.2.Epidemiologi 4
BAB 2 Definisi dan Klasifikasi 6
2.1. Definisi 6
2.2. Klasifikasi 6
BAB 3 Etiologi dan Faktor Risiko 8
3.1. Etiologi 8
3.2. Faktor Risiko 9
BAB 5 Patogenesis 10
5.1 Peran Volume Intravaskular 10
5.2 Peran Kendali Saraf Autonom 10
5.3 Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosterone (RAA) 11
5.4 Peran Dinding Vaskuler Pembuluh Darah 11
BAB 6. Manifestasi Klinis 13
BAB 7. Diagnosis 14
7.1 Riwayat Kesehatan 14
7.2 Pemeriksaan Fisik 15
7.3 Pemeriksaan Penunjang 15
7.4 Pemeriksaan Kerusakan Organ Target 17
BAB 8. Penatalaksanaan 18
8.1 Terapi Non-Farmakologis 18
8.2 Terapi Farmakologis 20
8.2.1. Diuretik 26
8.2.2. Calcium Channel Blocker 27
8.2.3. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor 28
8.2.4. Angiotensin II Receptor Blocker 29
8.2.5. Beta Blocker 30
8.2.6. Antagonis Aldosteron 30
8.2.7. Agen Alternatif 31
8.3. Evaluasi Pasien Hipertensi 31
8.4. Krisis Hipertensi 32
BAB 9. Prognosis 35
BAB 10. Kesimpulan 36
Daftar Pustaka 37

2
LEMBAR PERSETUJUAN

PRESENTASI REFERAT
HIPERTENSI

CECILLIA YUNIATI

Dokter Pembimbing Referat

dr. Didi Kurniadhi, Sp.PD, KKV

3
BAB 1
Pendahuluan dan Epidemiologi

1.1 Pendahuluan

Hipetensi adalah keadaan ketika tekanan di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal ini
dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan nutrisi tubuh. Bila terus-menerus dibiarkan, kondisi ini dapat mengakibatkan
gangguan fungsi dari organ-organ lain, terutama organ vital seperti jantung dan gijal.
Penyakit ini selain dapat berdampak pada organ vital seperti jantung dan ginjal, juga
berdampak pada mata, otak, dan pembuluh darah.

Hipertensi disebut juga sebagai silent killer (pembunuh diam-diam) karena pada umumnya,
pasien hipertensi tidak mengetahui bila mereka menderita hipertensi sebelum tekanan
darahnya diperiksa. Penderita hipertensi sering kali juga tidak menunjukkan gejala apapun
kecuali bila telah terjadi komplikasi yang menandakan telah terjadinya kerusakan organ.

Hipertensi sendiri merupakan salah satu faktor risiko terbesar penyebab morbiditas dan
mortalitas pada penyakit kardiovaskular. Penyakit penyerta serta komplikasi yang diakibatkan
hipertensi daoat menyebabkan peningkatan dari angka morbiditas dan mortalitas, sehigga
kondisi ini tentu menjadi masalah di bidang kesehatan.

1.2 Epidemiologi

Berdasarkan hasil pengamatan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas),


prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada
umur 18 tahun sebesar 25,8 persen, tertinggi di Bangka Belitung
(30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%)
dan Jawa Barat (29,4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat
melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen,
yang didiagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5
persen. Jadi, ada 0,1 persen yang minum obat sendiri. Responden yang
mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat hipertensi

4
sebesar 0.7 persen. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5
persen (25,8% + 0,7 %). Prevalensi pasien hipertensi juga meningkat
berdasarkan usia. Hipertensi juga lebih banyak pada wanita daripada laki-
laki. Pada daerah perkotaan, hipertensi cenderung lebih banyak.1

BAB 2
Definisi dan Klasifikasi

2.1 Definisi

Sebagian besar konsensus atau pedoman utama dari dalam ataupun luar negeri mengatakan
bahwa hipertensi adalah kondisi ketika seseorang memiliki tekanan darah sistolik 140
mmHg dan atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, dan harus pada pemeriksaan yang
berulang.2

2.2 Klasifikasi

Ada banyak klasifikasi hipertensi menurut berbagai guideline. Pada guideline PERKI
(Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia) sendiri, klasifikasi hipertensi didasarkan
pada klasifikasi menurut ESH/ESC 2013. Berikut ini adalah klasifikasi hipertensi menurut
JNC 8 dan menurut ESH/ESC pada tahun 2013.

Menurut JNC 8, tekanan darah dapat diklasifikasikan melalui 4 kategori, yaitu normal,
prehipertensi, hipertensi grade 1, dan hipertensi grade 2. Prehipertensi tidak termasuk suatu

5
penyakit, tetapi menunjukkan kemungkinan untuk terjadinya hipertensi grade 1 dan 2 di
kemudian hari.3

Klasifikasi dari tekanan darah pada orang dewasa ( 18 tahun) ditentukan berdasarkan nilai
rata-rata pada 2 atau lebih pemeriksaan tekanan darah saat diperiksa di klinik. Bila tekanan
darah sistolik dan diastolik masuk ke dalam kategori yang berbeda menurut klasifikasi JNC 8,
maka kelas klasifikasi ditentukan lewat salah satu nilai yang paling tinggi.3

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut Joint National Commite 8.3

Systolic Blood Diastolic Blood


Klasifikasi Pressure (mmHg) Pressure (mmHg)

Normal <120 dan <80


Prehyperten
sion 120-139 atau 80-89

Stage I HTN 140-159 atau 90-99

Stage 2 HTN >160 atau >100

Tabel 2. Klasifikasi menurut ESH/ESC 2013.4

6
BAB 3
Etiologi dan Faktor Risiko

3.1 Etiologi
Bila berdasarkan etiologinya, maka hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan hipertensi
sekunder. Sebagian besar pasien hipertensi disebabkan oleh penyebab yang tidak diketahui,
atau disebut juga sebagai hipertensi primer atau hipertensi esensial. Hanya sebagian kecil dari
pasien hipertensi yang penyebab tekanan darah tingginya diketahui. Hipertensi ini disebut
sebagai hipertensi sekunder.3

Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan terapi yang baik
(perubahan gaya hidup dan konsumsi obat-obatan). Faktor genetik memegang peranan

7
penting dalam perkembangan dari hipertensi primer. Tekanan darah juga biasanya akan
meningkat secara bertahap selama bertahun-tahun.3

Hipertensi sekunder dapat diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu atau suatu
penyakit. Mengontrol penyakit penyebab tekanan darah tinggi atau menghentikan
penggunaan obat-obatan penyebab tekanan darah tinggi dapat menurunkan tekanan darah dan
mengatasi hipertensi sekunder. Penyebab tersering hipertensi sekunder disebabkan oleh
kerusakan pada ginjal, seperti pada penyakit ginjal kronis / chronic kidney disease (CKD)
atau penyakit renovaskular. Jenis hipertensi ini biasanya muncul tiba-tiba dan sering
mengakibatkan tekanan darah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hipertensi primer.3

Tabel 3. Penyebab Hipertensi Sekunder.3


Penyakit Obat-obatan

Penyakit ginjal Nonsteroidal anti- inflammatory drugs (NSAIDs)


(ibuprofen, naproxen)

Tumor kelenjar adrenal Pil KB

Penyakit tiroid Decongestan (pseudoephedrine, phenylephrine)

Kelainan pembuluh darah Kokain


kongenital

Penyalahgunaan alkohol dan Amphetamine (amphetamine, methylphenidate,


pengkonsumsi alkohol kronik lisdexamfetamine)

8
Obstructive sleep apnea Kortikosteroid
(prednisolone, methylprednisolone, dexamethasone,
hydrocortisone)

3.2 Faktor Risiko

Berbagai factor dapat mengakibatkan seseorang dapat beresiko tinggi menyebabkan


perkembangan hipertensi. Faktor risiko dari hipertensi misalnya, gaya hidup, kondisi
kesehatan, dan riwayat keluarga dengan hipertensi. Beberapa faktor risiko tidak dapat
dikendalikan, misalnya faktor keturunan. Namun, masih ada faktor lain yang dapat
dikendalikan, misalnya aktifitas fisik dan diet makanan, yang bila dikontrol, dapat
mengurangi perkembangan hipertensi.3
Tabel 4. Faktor Risiko Hipertensi.3

Faktor Risiko yang Faktor Risiko yang Tidak


Dapat Dikontrol Dapat Dikontril
Overweight atau obesitas Usia
Suku Bangsa
Pola hidup sedentari
(kurang aktivitas fisik) Riwayat Keluarga

Merokok

Diet tidak sehat (tinggi


garam)

BAB 5
Patogenesis

Patifisiologinya menyangkut 4 faktor, yaitu peran volume intravascular, peran kendali saraf
autonom, peran renin angiotensis aldosterone (RAA) dan yang terakhir adalah peran dari
dinding vaskuler pembuluh darah.5

5.1 Peran Volume Intravaskular

Tekanan darah tinggi adalah interaksi antara cardiac output (CO) atau curah jantung (CJ) dan
Total peripheral resistance (TPR) atau tahanan total perifer. Volume intravascular adalah
determinan utama kestabilan tekanan darah dari waktu ke waktu. Tergantung TPR pada

9
kondisi vasodilatasi atau vasokonstriksi. Bila asupan NaCl meningkat, ginjal akan merespon
agar ekskresi garam keluar bersama urin meningkat. Bila upaya ini melebihi ambang
kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi air sehingga volume intravascular
meningkat.5

Pada akhirnya, CO juga akan meningkat. Oleh karena ekspansi volume intravascular, maka
tekanan darah meningkat. Lama-lama TPR juga akan meningkat, dan berangsur CO normal
lagi oleh autoregulasi. Bila TPR vasodilatasi, maka tekanan darah akan menurun, bila TPR
vasokonstriksi, tekanan darah meningkat.5

5.2 Peran Kendali Saraf Autonom

Persarafan system saraf simpatis akan menstimulasi saraf visceral (termasuk ginjal) lewat
neurotransmitter seperti katekolamin, epinefrin, dan dopamine. Saraf parasimpatis
menghambat stimulasi saraf simpatis. Regulasi kedua saraf autonomy ini terjadi independen,
tidak dipengaruhi kesadaran otak, dan terjadi automatis mengikuti siklus sirkadian.5

Ada beberapa reseptor adrenergic pada jantung, ginjal, otak, dan dinding vaskuler pembuluh
darah, yaitu reseptor alfa 1, alfa 2, beta 1, dan beta 2. Sekarang ditemukan reseptor beta 3 di
aorta yang ternyata bila dihambat dengan beta bloker beta 1 selektif akan memicu
vasodilatasi lewat peningkatan nitrit oksida (NO).5

Pengaruh lingkungan misalnya genetic, stress kejiwaan, rokok dan lainnya dapat
mempengaruhi aktivitas saraf simpatis berupa kenaikan katekolamin, Norepinefrin, dan
lainnya. Neurotransmiter ini meningkatkan denyut jantung dan diikuti kenaikan CO, sehingga
tekanan darah meningkat dan dapat mengalami agregrasi platelet. Peningkatan norepinefrin
berefek negatif pada jantung karena jantung memiliki reseptor alfa 1, beta 1, beta 2, yang
memicu kerusakan miokard, hipertrofi, dan aritmia dengan akibat progresivitas dari
hipertensi arterosklerosis.5

Pada ginjal, norepinefrin juga berefek negative karena adanya reseptor beta 1 dan alfa 1 yang
memicu retensi natrium, aktivasi RAA, memicu vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
aterosklerosis makin progresif. Bila kadar norepinefrin tak pernah normal, sindroma
hipertensi arterosklerosis akan berlanjut progresif menuju kerusakan organ target.5

10
5.3 Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosterone (RAA)

Di mulai dari pembentukan renin dari angiotensinogen yang diubah menjadi angiotensin I
(AI) oleh renin yang dihasilkan macula densa apparat juxta glomerulus ginjal. AI diubah
menjadi angiotensin II (AII) oleh enzim ACE. Akhirnya AII bekerja pada reseptor terkait
tugas fisiologisnya yaitu reseptor AT1, AT2, AT3, dan AT4.5

Faktor risiko yang tidak dikelola memicu system RAA. Tekanan darah makin meningkat,
hipertensi aterosklerosis makin progresif. AII berperan utama memicu progresifitas. AII
bekerja membuat vasokonstriksi otot polos vascular.5

5.4 Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah

Vasokonstriksi pembuluh darah, disfungsi endotel, dan remodeling vaskular menyebabkan


perubahan struktur dari pembuluh darah sehingga memegang peranan penting dalam
terjadinya serta progresifitas dari hipertensi. Hipertensi akan berlangsung terus-menerus
seumur hidup. Penyakit ini dapat mengakibatkan disfungsi endotel dan berlanjut menjadi
disfungsi vascular dan pada akhirnya berujung pada kerusakan organ.5

Lapisan endotel pembuluh darah adalah faktor yang berperan menjaga kesehatan pembuluh
darah. Lapisan ini merupakan lapisan pertahanan terhadap aterosklerosis dan hipertensi.
Keseimbangan tonus pembuluh darah diatur oleh modulator vasokonstriksi dan vasodilatasi.
Gangguan tonus ini akan berdampak pada penyakit hipertensi. Disfungsi endotel adalah
penanda khas hipertensi dan risiko kejadian kardiovaskular. Keadaan ini ditunjukkan dengan
berkurangnya faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang dihasilkan endotel,
seperti nitrit oksida, serta meningkatnya faktor penyebab vasokonstriksi seperti faktor
proinflamasi, protrombotik, dan growth factors. Disfungsi endotel ditandai dapat dilihat dari
retina mata dan ginjal bila ditemukan mikroalbuminuria pada pemeriksaan urin. 5

Seiring waktu, disfungsi endotel, aktivasi neurohormonal, inflamasi vascular dan peningkatan
tekanan darah mengakibatkan perubahan pada pembuluh darah/remodeling vascular yang
akan memperberat hipertensi. Gambar khas keadaan ini adalah menebalnya dinding arteri.
Sistim RAA merupakan faktor dominan dalam proses ini.5

11
BAB 6
Manifestasi Klinis

Hipertensi disebut juga sebagai silent killer karena biasanya tidak memiliki tanda dan
gejala, dan kebanyakan orang tidak tau apabila mereka memiliki hipertensi. Walaupun
tekanan darah akan meningkat dalam batas yang berbahaya, kebanyakan orang juga tidak
akan memiliki tanda dan gejala apapun. Hanya sebagian kecil yang akan memiliki gejala-
gejala hipertensi, seperti nyeri kepala yang tumpul, muntah, pusing, dan epiktasis yang
sering. Gejala-gejala inipun biasanya muncul hanya ketika tekanan darah meningkat sangat
tinggi atau dapat mengancam pasien. Satu-satunya cara agar dapat mengetahui apakan
seseorang menderita hipertensi atau tidak adalah dengan pengukuran tekanan darah oleh
tenaga medis.3

Gejala yang muncul biasa terkait dengan timbulnya kerusakan organ. Kerusakan pada otak
dan mata dapat memberi gejala sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, gejala transient
ischemic attacks, deficit sensoris atau motoris. Kerusakan pada jantung memberi gejala
palpitasi, nyeri dada, sesak, atau bengkak di kaki. Kerusakan pada ginjal dapat memberi
gejala haus, poliuria, nokturia, dan hematuria. Pada arteri perifer, kerusakannya memberi
gejala ekstremitas dingin, atau bisa terdapat gejala klaudikasio intermiten.5

12
BAB 7
Diagnosis

Diagnosis hipertensi meliputi anamnesis mengenai riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan


fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan untuk : menilai pola hidup dan faktor
risiko pasien, penyakit penyerta, dan untuk menilai ada tidaknya kerusakan dari target organ.

7.1 Riwayat Kesehatan

Riwayat kesehatan harus ditanyakan kepada pasien yang pertama kali di diagnosis hipertensi.
Penting juga ditanyakan kepada pasien tekanan darah sebelumnya, serta riwayat pengobatan
antihipertensi sekarang dan dulu. Ditanyakan juga berapa lama menderita hipertensi.4

Perlu diperhatikan juga mengenai risiko untuk terjadinya hipertensi sekunder. Untuk wanita
penting ditanyakan mengenai kehamilannya untuk mencari relasi antara kehamilan dan
hipertensi. Tanyakan juga riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, infeksi saluran kemih,
hematuria, obat analgesik riwayat obat lain. Tanyakan juga kemungkinan feokromositoma
(episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, dan palpitasi). Tanya juga episode lemah otot
dan tetani (aldosteronisme). Perlu juga dicari tanda-tanda dari penyakit tiroid.4

Perlu diketahui faktor risiko seperti riwayat hipertensi, penyakit kardiovaskuler, baik pada
pasien maupun keluarga. Riwayat hiperlipidemia pasien dan keluarganya. Riwayat diabetes
mellitus pada pasien atau keluarga. Kebiasaan merokok, pola makan, dan intensitas olahraga.4

Anamnesis juga mengenai kemungkinan terjadinya kerusakan organ target. Untuk otak dan
mata ditanyakan apakah mengalami sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris. Pada jantung apakah ada gejala palpitasi, nyeri
dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan lebih dari 2 bantal, sinkop, aritmia terutama atrial
fibrilasi. Ginjal diperhatikan adanya rasa haus, poliura, nokturia, hematuria, dan hipertensi
yang disertai kulit pucat anemis. Pada penyakit arteri perifer dapat ditemukan ekstremitas
dingin dan klaudikasio intermiten. Tanyakan juga riwayat mendengkur.4

13
7.2 Pemeriksaan Fisik

Pada saat kunjungan yang pertama kali, penting untuk melakukan pemeriksaan fisik lengkap
(head to toe). Kemudian dilakukan pengukuran tekanan darah. Catat berat badan dan tinggi
badan pasien, serta hitung indeks massa tubuh pasien. Hal ini berguna untuk menargetkan
penurunan berat bada bila pasien obesitas. Hal ini juga berpengaruh pada terapi yang akan
diberikan. Periksa juga lingkar perut pasien untuk mengetahui adanya sindroma metabolik
yang biasa berkaitan dengan diabetes tipe 2. Risiko akan meningkat pada lingkar perut > 90
cm untuk laki-laki dan > 88 cm untuk perempuan.6

Perlu juga pemeriksaan jantung untuk mencari tanda hipertrofi ventrikel kiri yang bisa
diperiksa dengan palpasi hati. Pada gagal jantung, dapat dilakukan pemeriksaan adanya
distensi vena leher atau tidak, pemeriksaan lengkap jantung, pembesaran hati, dan edema
perifer.6

Pemeriksaan neurologic juga harus dilakukan. Hal ini berguna untuk melihat tanda-tanda
stroke yang sebelumnya. Hal ini juga akan berefek pada terapi yang nantinya akan diberikan
kepada pasien.6

Pemeriksaan mata bila mungkin dilakukan dengan pemeriksaan funduskopi. Selain pada
pasien hipertensi, pemeriksaan ini dilakukan juga pada paien diabetes. Periksa juga area
disekitar mata untuk memeriksa adanya xanthoma.6

Periksa juga pulsasi. Pulsasi perifer diperiksa apakah melemah atau hilang. Pemeriksaan ini
berguna untuk mendeteksi adanya penyakit arteri perifer. Dapat juga diperiksa Ankle-
brachial index (ABI), terutama pada orang yang berisiko mengalami penyakit arteri perifer.6,7

7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah harus dilakukan dalam keadaan puasa karena sampel dapat digunakan
untuk memeriksa kadar glukosa puasa. Selain itu, keadaan ini juga berguna untuk memeriksa
kadar profil lipid yang lebih akurat.6

14
Pemeriksaan elektrolit juga dilakukan karena peningkatan potassium dapat menunjukkan
adanya penyakit pada ginjal, terutama bila kreatinin meningkat. Kadar rendah menunjukkan
hiperaldoteronisme.6

Glukosa darah puasa penting diperiksa. Bila meningkat, hal ini mengindikasikan adanya
gangguan toleransi glukosa, atau diabetes. Bila memungkinkan, pemeriksaan HbA1C
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis.6

Pemeriksaan lipid juga dilakukan. Peningkatan dari LDL kolesterol dan penurunan dari HDL
berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Peningkatan kadar LDL dapat
diterapi dengan obat, misalnya statin.6

Pemeriksaan Hb/Hematokrit dapat dilakukan. Pengukuran ini membantu mendiagnosis


kelainan seperti sickle cell anemia, atau bahkan dapat mencari anemia yang berhubungan
dengan penyakit ginjal kronis.6

Pemeriksaan fungsi hati penting dilakukan. Obat-obatan antihipertensi ada yang dapat
berdampak pada fungsi hati, sehingga penting untuk memeriksanya sejak dini. Pasien
obesitas juga bisa berdampak pada perlemakan hati yang harus diperhatikan.6

Selain pemeriksaan darah, dilakukan juga pemeriksaan urin. Pemeriksaan urin dilakukan
untuk memeriksa adanya albuminuria. Hal ini dapat menjadi pertanda penyakit ginjal dan
pertanda peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Secara ideal, harus didapatkan
perbandingan ratio albumin dan creatinine. Namun, pemeriksaan dipstick (+1 atau lebih)
sudah membantu. Pemeriksaan sel darah merah dan putih juga penting untuk melihat adanya
infeksi saluran kemih, batu ginjal, dan kondisi lain yang berdampak serius pada kelainan
traktus urinarius, termasuk tumor kandung kemih.6

EKG juga dilakukan untuk mengidentifikasi adanya serangan kardiovaskuler sebelumnya,


atau hipertrofi atrium atau ventrikel kiri (yang menandakan adanya kerusakan organ oleh
hipertensi). EKG juga dapat memeriksa adanya aritmia atau kondisi yang berhubungan
dengan blokade aliran listrik jantung. Ekokardiografi juga dapat dikerjakan bila
memungkinkan karena dapat mendiagnosis pembesaran ventrikel kiri dan menghitung fraksi

15
ejeksi pada pasien yang dicurigai gagal jantung, walaupun tes ini tidak rutin dilakukan pada
pasien hipertensi.6

7.4 Pemeriksaan Kerusakan Organ Target

Untuk jantung dapat diperiksa pemeriksaan fisik, foto polos dada, EKG, atau ekokardiografi.
Pada pembuluh darah dapat dilakukan perhitungan pulse pressure, USG karotis, fungsi
endotel. Pada otak dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI untuk pasien dengan gangguan
neural, kehilangan memori, atau gangguan kognitif. Mata dapat dilakukan funduskopi. Untuk
ginjal, dilakukan penilaian terhadap fungsi ginjal misalnya dengan penentuan adanya
proteinuria/mikro-makro albuminuria, ratio albumin kreatinin urin, perkiraan laju filtrasi
glomerulus yang bila pasien stabil, maka diperkirakan dengan rumus Cockroft-Gault sesuai
anjuran National Kidney Foundation (NKF) yaitu : Klirens kreatinin = ((140 umur) x Berat
badan / 72 x kreatinin serum) untuk laki-laki, dan ((140 umur) x Berat badan / 72 x
kreatinin serum) x 0.85 untuk perempuan.5

BAB 8
Penatalaksanaan

Ada berbagai alur tatalaksana menurut berbagai guideline baik dari dalam maupun dari luar
negeri. Semua guideline umumnya akan selalu memulai pengobatan hipertensi dengan

16
modifikasi gaya hidup terlebih dahulu, baru kemudian diterapi dengan obat-obatan secara
individualistik dan disesuaikan dengan penyakit komorbid bila ada.

8.1 Terapi Non Farmakologis

Perubahan pola hidup harus dilakukan semua pasien hipertensi. Konsumsi sodium/garam
yang tinggi dalam sehari (> 2.3 gram per hari) menunjukan kecenderungan untuk seseorang
terkena hipertensi. Konsumsi garam yang tinggi meningkatkan volume dalam aliran darah.
Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan pada jantung saat memompa darah ke tubuh. Pada
akhirnya, kondisi ini menyebabkan peningkatan tekanan darah. American Heart Association
(AHA) merekomendasikan penggunaan garam kurang dari 1500 mg per hari (1,5 gram).
Garam yang tinggi juga ditemukan pada makanan kemasan dan makanan kalengan, sehingga
konsumsi makanan jenis ini juga harus dikurangi. Konsumsi natrium yang sifatnya berlebihan
akan mengakibatkan konsentrasi natrium ekstraseluler meningkat, dan sebagai
kompensasinya, maka cairan intraseluler ditarik keluar agar volume cairan ekstraseluler
meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya volume darah.3,8

Konsumsi kalium juga harus diperbanyak. Bila banyak mengkonsumsi kalium, maka
konsentrasinya yang tinggi dalam cairan intraseluler cenderung akan menarik air dari
ekstraseluler. Hal ini akan mengurangi volume darah sehingga menurunkan tekanan darah.
Cara kerja kalium sifatnya berlawanan dengan natrium, sehingga konsumsi natrium perlu
diimbangi dengan kalium. Kalium bisa didapati dari sayuran dan buah-buahan.8

Salah satu faktor penyebab hipertensi adalah arterosklerosis yang diakibatkan oleh konsumsi
lemak yang berlebihan. Oleh karena itu, konsumsi lemak sebaiknya sudah dibatasi sejak dini
sebelum hipertensi muncul, terutama pada mereka dengan riwayat hipertensi dan pada orang-
orang usia lanjut.8

Metode diet restriktif seperti Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) dapat
membantu mengurangi tekanan darah. Diet DASH menekankan untuk melakukan rencana
peningkatan makanan seperti buah-buahan, sayuran, biji-bijian, daging unggas dan ikan.
Batasi konsumsi makanan manis, minuman manis, dan daging merah. Perbanyak juga asupan
lemak tak jenuh. Lemak tak jenuh berhubungan dengan penurunan tekanan darah sistolik dan

17
diastolic. Asam lemak tak jenuh merupakan faktor protektif terhadap hipertensi. Konsumsi
asam lemak tak jenuh bisa didapat dari lemak nabati, avocado, dan salmon. 3,8

Diet DASH merekomendasikan pengurangan konsumsi alkohol. Mekanisme peningkatan


tekanan darah akibat kolesterol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol
dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam
meningkatnya tekanan darah. Untuk pria, konsumsi alkohol dibatasi menjadi 2 gelas atau
kurang per harinya. Untuk wanita, dibatasi 1 gelas atau kurang. Rekomendasi ini didasarkan
pada penelitian dan bukti bahwa orang-orang yang banyak mengkonsumsi alkohol akan
cenderung mengalami insidensi peningkatan tekanan darah dari pada mereka yang tidak
mengkonsumsi alkohol.3,8

Perubahan pola hidup selain dari makanan juga harus diperhatikan latihan fisik. Olahraga
seperti aerobik, latihan beban, dan lain sebagainya terbukti dapat menurunkan tekanan darah
dan meningkatkan kesehatan jantung. Contoh olahraga aerobic adalah jalan kaki, jogging,
berenang, dan bersepeda. AHA merekomendasikan rata-rata 40 menit olahraga sebanyak 3-4
kali seminggu untuk membantu menurunkan tekanan darah.3

Merokok yang merupakan faktor risiko mayor terjadinya aterosklerosis. Perokok pasif juga
memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan. Merokok menyebabkan peningkatan akut
tekanan darah dan denyut jantung. Hal ini akan bertahan lebih dari 15 menit setelah berhenti
merokok 1 batang rokok. Hal ini akan memicu kerja saraf simpatis. Semua perokok
direkomendasikan berhenti merokok. Menurut berbagai penelitian, baik merokok sesekali
atau kronis, paparan rokok pasif menyebabkan arteri menjadi kaku, hal ini menghalangi arteri
mengembang ketika jantung dan otot membutuhkan lebih banyak oksigen. Hal ini akan
meningkatkan tekanan pada jantung, sehingga mengakibatkan hipertensi.4,8

Pasien juga sedapat mungkin harus menurunkan berat badannya, terutama bila mengalami
obesitas sentral. Pada obesitas, terjadi peningkatan jumlah asam lemak bebas yang akan
mempersempit pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat. Daya pompa jantung dan
sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi menjadi lebih tinggi dari pada
mereka dengan berat badan normal. Berat badan disarankan untuk dipertahankan pada
kisaran BMI 18,5 22,9 kg/m 2, dan lingkar perut ukurannya untuk Asia adalah < 90 cm
untuk laki-laki dan < 88 cm untuk wanita.5,8

18
8.2 Terapi Farmakologis

Berdasarkan pedoman tatalaksana hipertensi dari PERKI, terapi hipertensi dimulai bila pasien
hipertensi derajat 1 tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan menjalani
pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat 2 atau diatasnya. Bila
memungkinkan, berikan obat dosis tunggal. Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan
hal ini dapat membantu mengurangi biaya. Berikan obat pada pasien usia lanjut dengan
memperhatikan faktor komorbid.2

Menurut JNC 8, bila terapi nonfarmakologis tidak efektif menangani tekanan darah tinggi,
maka terapi farmakologi akan diberikan. Terapi antihipertensi diberikan pada pasien dengan
usia < 60 tahun bila tekanan darah sistolik tetap 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
tetap 90 mmHg walau sudah diberikan terapi nonfarmakologi. Bila pasien berusia 60 tahun
atau lebih, antihipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik 150 mmHg dan tekanan
darah diastolik 90 mmHg.3

Terapi inisial yang direkomendasikan JNC 8 untuk terapi hipertensi adalah diuretik tiazid,
calcium channel blockers (CCB) kerja lama, angiotensin-converting enzyme (ACE)
inhibitors, dan angiotensin II receptor blockers (ARBs). Target tekanan darah yang harus
dicapai untuk penderita hipertensi tergantung dari usia pasien dan penyakit komorbidnya.3

Berdasarkan JNC-8, populasi selain populasi kulit hitam diterapi inisial dengan antihipertensi
seperti diuretik thiazide, CCB, ACE-I, dan ARB. Pada populasi kulit hitam (termasuk
penderita diabetes), terapi inisialnya adalah diuretik tiazid atau CCB. Hal ini disebabkan
karena pada populasi kulit hitam didapatkan penurunan tekanan darah yang sedikit bila
diberikan ACE-I atau ARB.3

Tujuan terapi inisial ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan target tekanan darah.
Bila target tekanan darah tidak tercapai setelah 1 bulan terapi, maka dosis obat terapi inisial
dapat ditingkatkan atau obat antihipertensi kedua dari kelas yang direkomendasikan dapat
ditambahkan. Terapi kombinasi (dengan 2 jenis antihipertensi dari kelas berbeda) dapat
digunakan sebagai terapi inisial apabila tekanan darah sistolik 160 mmHg dan atau tekanan
darah diastolik > 100 mmHg atau tekanan darah sistolik > 20 mmHg diatas target dan atau

19
tekanan darah diastolik > 10 mmHg di atas target. Bila 2 antihipertensi tidak dapat membantu
mencapai target tekanan darah, terapi ke tiga akan ditambahkan.3

Gambar 1. Algoritme pengobatan hipertensi menurut JNC 8.9

Berdasarkan algoritme terapi hipertensi menurut JNC, maka strategi pemberian obat dan
peningkatan dosis obat serta penambahan jenis obat dapat dibagi menjadi 3 strategi, yaitu
strategi A, B, dan C.

20
Pada strategi A, terapi dimulai dengan terapi 1 jenis obat, dosis obat dititrasi hingga dosis
maksimal, kemudian bila target tekanan darah tidak tercapai, baru ditambah obat dari kelas
berbeda. Kemudian titrasi obat kedua hingga dosis maksimal. Bila tidak tercapai dengan 2
jenis obat, tambahkan obat ke 3. Hindari penggunaan ACEI dan ARB bersamaan. Titrasi
dosis ketiga hingga dosis maksimum juga.9

Strategi B, terapi dimulai dengan terapi obat inisial, kemudian ditambah obat kedua sebelum
terapi inisial mencapai dosis maksimal, kemudian kedua jenis obat dititrasi secara bersamaan
hingga maksimal. Bila tekanan darah tidak tercapai, berikan obat ke 3 dari kelas lain. Titrasi
obat ke 3 hingga dosis maksimal.9

Strategi C, terapi inisial dimulai dengan 2 jenis obat dari kelas berbeda secara bersamaan.
Ada juga yang merekomendasikan penggunaan 2 jenis obat bila tekanan sistolik > 160
mmHg dan atau tekanan diastolic > 100 mmHg, atau tekanan sistolik > 20 mmHg di atas
target tekanan darah, dan atau tekanan diastolic > 10 mmHg di atas target. Bila dengan 2 obat
tekanan darah tidak sesuai target, titrasi obat ke 3 hingga maksimal.9

Menurut guideline ESC/ESH, diuretic (thiazide, chlorthalidone, dan indapamide), beta


bloker, CCB, ACE-I, dan ARB direkomendasikan untuk terapi awal dan digunakan untuk
mempertahankan tekanan darah baik sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan yang
lainnya. Terapi awal dengan kombinasi 2 antihipertensi dapat diberikan kepada pasien dengan
tekanan darah yang lebih tinggi dan memiliki risiko terkena penyakit kardiovaskular.
Kombinasi dari 2 jenis Renin-angiotensin system (RAS) tidak direkomendasikan. Untuk
lebih jelasnya, terapi kombinasi yang disarankan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.4

21
Gambar 2. Kombinasi Antihipertensi yang Direkomendasikan menurut ESH/ESC 2013.4

Garis hijau bersambung menunjukkan kombinasi 2 antihipertensi yang aman dan


direkomendasikan penggunaannya. Garis hijau putus-putus menunjukkan kombinasi yang
dapat berguna penggunaannya walaupun dibatasi. Garis hitam menunjukkan kemungkinan
keberhasilan penggunaan kombinasinya, tetapi kurang teruji keamanannya. Garis merah
menunjukkan terapi kombinasi yang tidak direkomendasikan.4

Tabel 5. Terapi Hipertensi Menurut AHA dan ISH.6

22
Tabel 6. Terapi Hipertensi Sesuai dengan Indikasi yang Memaksa Menurut ESC/ESH 2013.4

Tabel 7. Terapi Hipertensi Sesuai Indikasi Memaksa Menurut JNC 8.7

23
Indikasi Terapi yang Dipilih
ACEI/ARB + BB + Diuretik +
Gagal Jantung Spironolakton
Post-MI/Secara klinis
KAD ACEI/ARB dan BB
KAD ACEI, BB, Diuretik, CCB
Diabetes ACEI/ARB, CCB, diuretik
CKD ACEI/ARB
Pencegahan stroke
rekuren ACEI, diuretik
Labetolol (lini pertama), nifedipine,
Hamil metildopa

Tabel 8. Target Tekanan Darah dan Terapi Inisial Menurut Beberapa Guideline.7

24
Bila setelah diberikan 3 jenis atau lebih obat antihipertensi, disertai dengan pemberian
diuretik, tetapi tekanan darah sistolik pasien masih tetap > 140 mmHg, maka pasien
dikatakan menderita resisten hipertensi. Bila hal ini terjadi, maka kemungkinan adanya white
coat hypertension dan ketidakpatuhan minum obat harus disingkirkan terlebih dahulu.
Penyebab sekunder hipertensi juga harus dipertimbangkan dan dicari terlebih dahulu. Bila
tetap dalam keadaan tinggi, dapat dilakukan rujukan ke ahli spesialis untuk menanganinya. 7

8.2.1 Diuretik

Thiazide dan diuretik lain dapat digunakan juga untuk menangani hipertensi. Diuretik masih
digunakan karena terbukti mengurangi risiko penyakit jantung, serangan jantung, dan stroke.
Diuretik thiazide yang biasa digunakan adalah metolazone, chlorthalidone,
hydrochlorothiazide, dan indapamide. Dari ke-4 jenis ini, yang paling sering digunakan
adalah hydrochlorthiazide dan chlorthalidone. Namun, metolazone efektif digunakan untuk
pasien dengan fungsi ginjal yang buruk daripada diuretik thiazide jenis lain.3,10

Diuretik thiazide menghambat absorbsi sodium dan clorida di tubulus distal ginjal. Hal ini
mengakibatkan air dan elektrolit akan hilang, dan menyebabkan volume darah berkurang
sehingga tekanan pada jantung juga berkurang. Diuretik nantinya juga menyebabkan
pembuluh darah berdilatasi sehingga akan menyebabkan penurunan tekanan darah jangka
panjang. Chlorthalidone lebih poten dan bekerja jangka panjang dibandingkan
hydrochlorothiazide. Chlorthalidone lebih superior dibandingkan hydrochlorothiazide dalam
menurunkan tekanan darah dan mengurangi komplikasi ke jantung.3

Walaupun demikian, berdasarkan guidelines JNC 8, hydrochlorothiazide tetap digunakan


dengan dosis awal 12,5 25 mg per hari dengan target dosisnya adalah 25-50 mg. Karena
hydrochlorothiazide bekerja jangka pendek, dosis tinggi terapinya dapat dibagi menjadi 2
dosis per hari. Chlorthalidone juga dapat diberi dengan dosis awal 12,5 mg dengan target
dosis antara 12,5 25 mg.3

Efek samping yang umumnya terjadi adalah peningkatan rasa haus, peningkatan buang air
kecil, pusing, dan tekanan darah rendah. Peningkatan jumlah buang air kecil biasanya sering
terjadi saat awal terapi, tetapi akan berkurang seiring waktu. Sebaiknya pasien
mengkonsumsi obat di saat pagi hari untuk mengurangi buang air kecil yang banyak saat

25
malam hari. Efek samping serius dari terapi thiazide adalah ketidakseimbangan elektrolit
(rendahnya kalium, peningkatan asam urat, rendahnya magnesium, hyponatremia dan
tingginya glukosa). Risiko terjadinya ketidak seimbangan elektrolit akan berkurang bila
terapi diberikan dengan dosis yang lebih rendah pada pasien hipertensi (12,5 25 mg per
hari).3,10

Tabel 9. Dosis Diuretik Thiazide.3


Generik (Merk) Dosis (mg/day)

Chlorthalidone (Thalitone) 12.5-25 mg

Hydrochlorothiazide (Microzide) 12.5-50 mg

Indapamide 1.25-2.5 mg

Metolazone (Zaroxolyn) 2.5-5 mg

8.2.2 Calcium Channel Blocker

Calcium channel blocker (CCB) yang biasa digunakan untuk hipertensi adalah amlodipine,
felodipine, isradipine, nicardipine lepas lambat, nifedipine kerja panjang, dan nisoldipine.
Dalam keadaan normal, kalsium akan masuk kedalam sel otot yang ada di pembuluh darah.
CCB akan berikatan dengan kanal kalsium yang ada di pembuluh darah. Sebagai hasil dari
blokade kanal kalsium, CCB ini mengakibatkan terjadinya vasodilatasi dari pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan berkurangnya tekanan pada jantung dan menurunkan tekanan darah.
Efek samping yang umumnya terjadi adalah sakit kepala, pusing, muka merah, dan
pembengkakan pada kaki dan tangan. Efek samping serius seperti nyeri dada juga dapat
terjadi.3

26
Tabel 10. Dosis Calcium Channel Blocker.3
Generik (Merk) Dosis (mg/hari)

Amlodipine (Norvasc) 2.5-10 mg

Felodipine (Plendil) 2.5-10 mg

Isradipine sustained-release (DynaCirc SR) 5-10 mg

Nicardipine sustained-release (Cardene SR) 60-120 mg

Nifedipine long-acting (Adalact CC, 30-90 mg


Procardia XL)
Nisoldipine (Sular) 17-34 mg

8.2.3 Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) yang digunakan untuk hipertensi biasanya


adalah benazepril, captopril, enalapril, fosinopril, perindopril, Lisinopril, moexipril, quinapril,
Ramipril, dan trandolapril. ACE-I mencegah pembentukan angiotensin II dengan memblok
enzyme yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II adalah hormone
yang membuat konstriksi dari pembuluh darah. Angiotensin II juga menstimulasi pelepasan
hormon aldosterone, yang menyebabkan tertahannya sodium dan air di dalam tubuh. Kedua
hal ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Dengan menghambat pembentukkan
angiotensin II, maka tekanan darah dapat diturunkan. ACE-I juga telah terbukti dapat
mencegah kematian pada pasien dengan gagal jantung setelah serangan jantung dan untuk
semua pasien dengan risiko tinggi terjadinya komplikasi pada jantung. Penggunaannya juga
terbukti mengurangi proteinuria pada pasien diabetes.3

Pasien yang mendapat ACE-I dapat mengalami batuk-batuk. Hal ini biasa terjadi dalam 2
minggu pertama terapi. Bila hal ini terjadi, terapi harus dihentikan. Setelah dihentikan, batuk-
batuk akan hilang dalam 1 minggu. Efek samping lainnya adalah tekanan darah rendah,
pusing, penurunan glomerular filtration rate (GFR). Efek samping serius ACE-I adalah risiko
terjadinya angioedema dan kadar kalium yang tinggi. Bila pasien memiliki riwayat
angioedema dengan salah 1 ACE-I, maka terapi dengan ACE-I yang sama atau pada jenis

27
yang berbeda tidak boleh digunakan. ACE-I juga tidak boleh diberikan pada wanita hamil
karena meningkatkan risiko komplikasi untuk janin.3
Tabel 11. Dosis Angiotensin-Coverting Enzyme Inhibitor.3

Generi (Merk) Dosis (mg/hari)

Benazepril (Lotensin) 20-80 mg

Captopril (Capoten) 25-50 mg

Enalapril (Vasotec) 2.5-40 mg

Fosinopril (Monopril) 10-80 mg

Lisinopril (Prinivil, Zestril) 10-40 mg

Moexipril (Univasc) 7.5-30 mg

Perindopril (Aceon) 4-16 mg

Quinapril (Accupril) 10-80 mg

Ramipril (Altace) 2.5-20 mg

8.2.4 Angiotensin II Receptor Blockers

Angiotensin II Receptor Blockers (ARB) adalah obat yang bekerja mirip seperti ACE-I. ARB
yang biasa digunakan adalah azilsartan, candesartan, eprosartan, irbesartan, losartan,
olmesartan, telmisartan, dan valsartan. Sama seperti ACE-I, ARB mencegah efek dari
angiotensin pada tekanan darah. Namun cara kerjanya bukan mencegah pembentukan
angiotensin II, tetapi memblok pengikatan angiotensin II dengan reseptor angiotensin II. Agar
angiotensin II dapat bekerja, ia harus berikatan dengan reseptornya. Hal ini menyebabkan
efek dari angiotensin II tidak bekerja. Karena mekanisme ARB dan ACE-I dalam
menurunkan tekanan darah mirip, kedua obat ini tidak boleh digabung penggunaannya. 3

ARB terbukti memberikan efek yang sama seperti ACE-I, namun dengan efek samping yang
lebih sedikit. Efek samping yang biasa terjadi adalah batuk, tekanan darah rendah, sakit
kepala, dan penurunan GFR. Efek samping seriusnya adalah berisiko menimbulkan
angioedema dan peningkatan kadar kalium. Namun, efek samping batuk dan angioedema

28
lebih rendah dibandingkan ACE-I. ARB juga tidak boleh diberikan pada masa kehamilan
karena dapat berisiko untuk janin.3
Tabel 12. Dosis Angiotensin II Receptor Blockers.3
Generik (Merk) Dosis (mg/hari)

Azilsartan (Edarbi) 40-80 mg

Candesartan (Atacand) 8-32 mg

Eprosartan (Teveten) 400-800 mg

Irbesartan (Avapro) 150-300 mg

Losartan (Cozaar) 25-100 mg

Olmesartan (Benicar) 20-40mg

8.2.5 Beta Blocker

Beta blocker yang biasa digunakan adalah atenolol, bisoprolol, metoprolol tartrate,
metoprolol succinate lepas lambat, carvedolol, labetalol. Beta blocker menghentikan reseptor
beta yang ada di hati agar tidak aktif. Pada keadaan normal, stimulasi reseptor beta
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan meningkatkan beban jantung. Penghambatan
reseptor ini menyebabkan denyut jantung menurun dan menurunkan tekanan darah. Beta
blocker tidak diindikasikan untuk terapi awal hipertensi. Berdasarkan JNC 8, beta blocker
digunakan untuk menurunkan tekanan darah bila terapi lini pertama tidak efektif menurunkan
tekanan darah. Beta blocker biasa digunakan untuk pasien pasca infark jantung atau CHF.
Untuk pasien dengan asma, diabetes, COPD, dan peripheral arterial disease (PAD), terapi
yang aman digunakan adalah beta-1 selektif beta bloker, seperti metoprolol, bisoprolol,
betaxolol, dan acebutolol. Untuk kehamilan, biasanya pilihan utama yang digunakan adalah
labetolol. Selain itu dapat juga digunakan nifedipine dan metildopa.3

8.2.6 Antagonis Aldosteron

Antagonis aldosterone yang biasa digunakan adalah spironolaktom dan eplerenone yang
bekerja dengan memblokade kerja aldosterone. Normalnya, aldosterone meningkatkan
absorbi garam dan air dalam ginjal. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan volume di

29
aliran darah dan meningkatkan tekanan darah. Memblok kerja aldosterone akan menurunkan
tekanan darah.3

8.2.7 Agen Alternatif

Agen alternatif lainnya adalah alpha-1 blocker, central alpha-2 blocker, dan renin inhibitor.
Contoh renin inhibitor adalah aliskerin. Aliskerin memiliki cara kerja yang mirip dengan
ARB dan ACE-I. Alsikerin menghambat renin, yaitu enzim yang mengubah angiotensin
(angiotensinogen) menjadi angiotensin I (yang akan berubah menjadi angiotensin II).
Penggunaannya pun tidak digunakan pada masa kehamilan.3

Agonis alpha-2 misalnya clonidine, guanfacine, dan methyldopa bekerja secara sentral di
otak untuk menghambat neurotransmitter yang meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah. Efek sampingnya adalah pusing, penurunan kesadaran, kelelahan, dan sakit kepala.
Oleh karena efek samping ini, maka penggunaan obatnya terbatas. Antagonis alpha-1,
misalnya doxazosin, prazosin, dan terazosin dapat menyebabkan pembuluh darah kecil tetap
terbuka, dan akan menurunkan tekanan darah. Penggunaan doxazosin tetapi dapat
meningkatkan insiden gagal jantung dan penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu,
penggunaannya tidak digunakan untuk terapi lini pertama. Penggunaan alfa bloker dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik.3

Agen alternatif lain adalah vasodilator. Contoh obatnya adalah minoxidil dan hydralazine.
Obat ini bekerja dengan melebarkan pembuluh darah untuk menurunkan tekanan darah. Obat
ini juga digunakan untuk pilihan terakhir hipertensi. Efek samping dari obat ini adalah dapat
menimbulkan reflex takikardi dan retensi cairan, sehingga dibutuhkan kombinasi dengan beta
blocker dan diuretik. Minoksidil diberikan dengan inisial dosisnya adalah 5 mg/hari dan bisa
di titrasi hingga 10 mg, 20 mg, kemudian 40 mg dalan dosis tunggal atau dibagi 2. Dosis
maksimal 100 mg/hari. Untuk hydralazine, teapi inisial adalah 10 mg, dan diberi 4 kali sehari
untuk 2-4 hari pertama. 1 minggu kemudian diberi 25 mg 4 kali sehari.3,10

8.3 Evaluasi Pasien Hipertensi

Penderita hipertensi yang baru mulai melakukan pengobatan harus dating tiap 2-4 minggu
untuk dilakukan evaluasi mengenai keefektifan dosis antihipertensi dan efek samping obat.

30
Beberapa terapi dapat memperlihatkan efek samping dalam hitungan hari atau mingguan, tapi
ada juga yang baru terjadi 2 bulan pasca terapi. Setelah tekanan darah tercapai dan stabil,
kunjungan selanjutnya dilakukan tiap 3-6 bulan, tetapi frekuensi ini juga ditentukan oleh
penyakit kormobiditas pasien. Pemeriksaan faktor risiko dan pemeriksaan kerusakan organ
target asimptomatik penting diperiksa setidaknya tiap 2 tahun.4,5

Terapi hipertensi biasanya diberikan seumur hidup. Bila terapi diberhentikan, maka tekanan
darah akan meningkat lagi sampai seperti sebelum dimulai terapi hipertensi. Pada beberapa
pasien dengan tekanan darah terkontrol dalam waktu yang cukup lama, dosis antihipertensi
dapat dikurangi dan jenis obat dapat dikurangi. Hal ini dapat terjadi bila pasien mengubah
pola hidup dengan menurunkan berat badan, olahraga rutin, diet rendah lemak, dan diet
rendah garam. Pengurangan terapi harus dilakukan perlahan dan pasien harus rutin diperiksa
tekanan darahnya karena beresiko mengalami tekanan darah tinggi berulang.4,5

Namun, menurut National Heart Foundation of Australia, terapi dapat dihentikan bila
diagnosis diragukan atau pasien meminta untuk menghentikan terapi karena ingin melakukan
perubahan pola hidup yang signifikan. Tetapi, penghentian ini tidak direkomendasikan pada
pasien dengan risiko kardiovaksular dam atau bila disertai kondisi stroke, diabetes, atau
penyakit ginjal kronik. Penghentian terapi bisa dipertimbangkan pada beberapa pasien, dan
bila diberhentikan, maka pasien harus terus dipantau tekanan darahnya. Bila tekanan darah
pasien meningkat, maka terapi harus dilakukan dari awal lagi. Tekanan darah pasien dapat
meningkat dalam beberapa minggu hingga bulan bila terapi diberhentikan. Keberhasilan
mempertahankan target tekanan darah yang diinginkan biasa tercapai pada mereka dengan
usia muda, yang sebelumnya mendapat terapi tunggal antihipertensi, dan orang yang bersedia
mempertahankan modifikasi gaya hidup.7

8.4 Krisis Hipertensi (Emergensi & Urgensi)

Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik dan atau
diastolik yang tinggi ( > 180 mmHg dan atau > 120 mmHg) dan disertai dengan adanya
kerusakan organ. Sedangkan apabila peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik tinggi,
tetapi tidak disertai kerusakan organ, hal ini disebut sebagai hipertensi urgensi.4

31
Hipertensi urgensi sering berhubungan dengan pemberhentian terapi antihipertensi atau
pengurangan obat. Kondisi seperti anxietas juga dapat berpengaruh, tetapi tidak harus
dianggap sesuatu yang emergensi. Terapi dapat dilakukan dengan mengatasi anxietasnya. Bila
pasien berhenti minum antihipertensi sebelumnya, maka terapi tersebut harus dilanjutkan.4

Pada hipertensi emergensi, komplikasi yang terjadi biasa menyebabkan terjadinya


ensepalopati hipertensif, hemoragik intraserebral, infark miokard akut, kegagalan akut
ventrikel kiri dengan edema pulmonary, diseksi aorta, angina pektoris tak stabil, eklamsia,
dan masih banyak lagi. Pasien-pasien seperti ini harus segela dimonitor dan masuk ke ruang
intensive care unit (ICU).10

Pada hipertensi emergensi, terapi diberikan bergantung pada komplikasi organ target yang
terkena. Penurunan tekanan darahnya dapat bervariasi dari tidak diturunkannya tekanan
darah, atau penurunan secara berhati-hati, misalnya pada kasus stroke. Penurunan yang cepat
biasa ditemukan pada kasus udem pulmonal akut atau diseksi aorta. Pada kebanyakan kasus,
biasanya pengurangan tekanan darah ditargetkan kurang dari 25% dari MAP dalam hitungan
menit hingga satu jam. Bila pasien sudah stabil, kurangi tekanan darah menjadi 160/100-110
dalam 2-6 jam berikutnya. Obat yang digunakan diberikan intravena kemudian dilanjutkan
oral. Contoh obat intravenannya adalah labetalol, sodium nitroprusside, nicardipine, nitrat,
dan furosemide. Hindari menggunakan nifedipin kerja pendek sebagai terapi awal karena
berisiko penurunan yang sifatnya cepat dan tidak dapat diprediksi dan memungkinkan
terjadinya iskemik. Bila kondisi pasien stabil, tekanan darah dapat diturunkan perlahan 24-48
jam selanjutnya.4, 10

Pasien dengan krisis hipertensi, perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan BUN,
dan kadar kreatinin untuk mengevaluasi kerusakan ginjal. Dilakukan pemeriksaan dipstick
urinalisis untuk mendeteksi hematuria atau proteinuria dan mikroskopik urinalisis untuk
memeriksa sel darah merah. Pemeriksaan darah lengkap juga harus dilakukan, dan apusan
darah tepi dilakukan untuk menyingkirkan adanya anemia mikroangiopati. Dilakukan juga
skrining toksikologi, pemeriksaan kehamilan, dan pemeriksaan endokrin bila dibutuhkan.
Bila dicurigai adanya edema pulmonal atau pasien mengalami nyeri dada, dapat dilakukan
foto thoraks dan ekg. Pasien dengan tanda kelainan neurologic perlu dilakukan CT scan.11

32
Di Indonesia, tatalaksana bila hipertensi urgensi, cukup dengan pemberian obat oral. Untuk
kasus emergensi diberi terapi parenteral.

Tabel. 13 Obat Hipertensi Oral untuk Krisis Hipertensi di Indonesia5


Obat Dosis Efek Lama Kerja
Nifedipine 5 10 mg diulang 15 menit 5 15 menit 4 6 jam
Kaptopril 12,5 25 mg diulang per jam 15 30 menit 5 6 jam
Klonidin 75 150 ug diulang per jam 30 60 menit 8 16 jam
Propanolol 10 40 mg diulang per jam 15 30 menit 3 6 jam

Tabel 14. Obat Hipertensi Parenteral untuk Krisis Hipertensi di Indonesia5


Obat Dosis Efek Lama Kerja
Klonidin IV 150 ug 6 amp per 250 cc; glukosa 5% mikrodrip 30 - 60 24 jam
menit
Nitrogliserin IV 10 - 50 ug 100 ug/cc per 500 cc 2 - 5 menit 5 - 10
menit
Nikardipin IV 0,5 - 6 ug/kg/menit 1 - 5 menit 15 - 30
menit
Diltiazem IV 5 - 15 ug/kg/menit lalu sama 1 - 5 1 - 5 menit 15 - 30
ug/kg/menit menit
Nitroprusid IV 0,25 ug/kg/menit Langsung 2 -3
menit

BAB 9
Prognosis

Hipertensi merupakan the disease cardiovascular continuum yang berlangsung terus menerus
seumur hidup hingga pasien meninggal oleh karena adanya kerusakan target organ. Tiap
kenaikan sistolik/diastolik 20/10 mmHg meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas dari
kardiovaskular sebanyak 2 kali lipat. Bila tidak diobat, hipertensi meningkatkan 35% semua

33
kematian kardiovaskular, 50% kematian karena stroke, 25% PJK, 50% penyakit jantung
kongestif, 25% semua kematian premature (mati muda), penyebab tersering penyakit ginjal
kronis dan penyebab gagal ginjal terminal.5

Pada uji klinis, pemberian obat antihipertensi akan diikuti penurunan insiden stroke 35
40%, infark miokard 20-25%, dan lebih dari 50% untuk gagal jantung. Penderita dengan
hipertensi grade I dengan faktor risiko kardiovaskular tambahan, bila dapat mencapai
penurunan tekanan darah sistolik 12 mmHg maka pasien dapat bertahan hidup selama 10
tahun, hal ini akan mencegah kematian 1 dari tiap 11 penderita yang telah diobati. Namun,
belum ada studi terjadap hasil terapi paa penderita pre hipertensi.5

BAB 10
Kesimpulan

Hipertensi adalah salah satu penyakit kardiovaskular, di mana penderita memiliki tekanan
darah diatas normal (tekanan darah sistolik 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik
90 mmHg). Penyakit ini dapat menyebabkan kelainan sistem kardiovaskular, ginjal, mata,
dan serebrovaskular. Penyebabnya sendiri dapat digolongkan menjadi penyebab primer yang

34
tidak diketahui penyebabnya, hingga hipertensi yang dikarenakan penggunaan obat atau
penyakit lain atau disebut hipertensi sekunder.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat penting untuk dapat
mendiagnosis penyakit hipertensi. Tatalaksana dari penyakit ini terdiri dari terapi farmakologi
dan non farmakologi. Untuk terapi farmakologi, terapi dimulai dengan terapi inisial obat
antihipertensi, penaikan dosis obat antihipertensi, dan terapi kombinasi. Untuk terapi non-
farmakologi, terapi dilakukan dengan mengubah pola hidup menjadi lebih baik, misalnya
dengan mengontrol faktor risiko dari hipertensi yang masih dapat dikontrol. Diagnosis dan
tatalaksana sedini mungkin dilakukan untuk memperpanjang usia pasien sehingga memberi
prognosis yang lebih baik.

Daftar Pustaka

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI Tahun 2013. Riset


kesehatan daerah (RIKESDAS) 2013. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2013 : hal.
88-90.
2. PERKI. Pedoman tatalaksana hipertensi pada penyakit kardiovaskular. Jakarta :
Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2015 : hal. 1-5.

35
3. Bell K, Twiggs J, Olin BR. Hypertension : the silent killer : updated JNC-8 guideline
recommendations. United State : Auburn University; 2015 : p. 1-7.
4. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, Redon J, Zanchetti A, Bohm M, et al. 2013
ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension. European Heart
Journal; 2013: 34 : 2159-219.
5. Yogiantoro M. Pendekatan klinis hipertensi. Di Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jakarta : Interna Publishing; 2014 : hal. 2259-81.
6. Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et al..
Clinical practice guidelines for the management of hypertension in the community : a
statement by American society of hypertension and the international society of
hypertension. Journal of Hypertension; 2013 : 32 : 3-15.
7. National Heart Foundation of Australia. Guideline for the diagnosis and management
of hypertension in adults. Melbourne : National Heart Foundation of Australia; 2016 :
hal. 25, 55, 60.
8. Malonda NSH, Dinarti LK, Pangastuti R. Pola makan dan konsumsi alkohol serta
faktor risiko hipertensi pada lansia. Jurnal Gizi Klinik Indonesia; 2012 : 8 (4) : 202-
12.
9. James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler J, et
al. 2014 evidence-based guideline for management of high blood pressure in adults :
report from the panel members appointed to the eight joint national committee (JNC
8). JAMA; 2013: 311(5) : 507-20.
10. Madhur MS, Riaz K, Dreisbach AW, Harrison DG. Hypertension. Medscape; 3
September 2014 [dikutip tanggal : 27 September 2016). Didapatkan dari :
http://emedicine.medscape.com/article/241381
11. Hopkins C. Hypertensive emergency. Medscape; 2015 Agustus 18 (dikutip tanggal :
2016 September 27). Didapatkan dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1952052

36

Anda mungkin juga menyukai

  • Lapkasbaru
    Lapkasbaru
    Dokumen37 halaman
    Lapkasbaru
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapkas
    Cover Lapkas
    Dokumen1 halaman
    Cover Lapkas
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Amp 2
    Amp 2
    Dokumen10 halaman
    Amp 2
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Belum Tentu DBD
    Belum Tentu DBD
    Dokumen4 halaman
    Belum Tentu DBD
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Antipsikotik Atipikal
    Antipsikotik Atipikal
    Dokumen6 halaman
    Antipsikotik Atipikal
    Echa Aditya
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapkas
    Cover Lapkas
    Dokumen1 halaman
    Cover Lapkas
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Aktifitas Fisik Dengan Status Gizi
    Aktifitas Fisik Dengan Status Gizi
    Dokumen3 halaman
    Aktifitas Fisik Dengan Status Gizi
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Kerangka Teori
    Kerangka Teori
    Dokumen1 halaman
    Kerangka Teori
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Gigitan Ular (Revisi)
    Gigitan Ular (Revisi)
    Dokumen28 halaman
    Gigitan Ular (Revisi)
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Kerangka Teori
    Kerangka Teori
    Dokumen1 halaman
    Kerangka Teori
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Gua
    Gua
    Dokumen15 halaman
    Gua
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Translate
    Translate
    Dokumen5 halaman
    Translate
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • X
    X
    Dokumen1 halaman
    X
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Umur
    Umur
    Dokumen5 halaman
    Umur
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • MR Syok Anafilaktik
    MR Syok Anafilaktik
    Dokumen18 halaman
    MR Syok Anafilaktik
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Preterm Fida 140407103640 Phpapp01
    Preterm Fida 140407103640 Phpapp01
    Dokumen21 halaman
    Preterm Fida 140407103640 Phpapp01
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Umur
    Umur
    Dokumen5 halaman
    Umur
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Daar Isi HDR
    Daar Isi HDR
    Dokumen3 halaman
    Daar Isi HDR
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Laporan Apta
    Laporan Apta
    Dokumen2 halaman
    Laporan Apta
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus: Dokter Pembimbing: Dr. Nunki Febrianti SP - OG
    Laporan Kasus: Dokter Pembimbing: Dr. Nunki Febrianti SP - OG
    Dokumen21 halaman
    Laporan Kasus: Dokter Pembimbing: Dr. Nunki Febrianti SP - OG
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Lembar Penilaian Case 2
    Lembar Penilaian Case 2
    Dokumen1 halaman
    Lembar Penilaian Case 2
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Lembar Penilaian Case 2
    Lembar Penilaian Case 2
    Dokumen1 halaman
    Lembar Penilaian Case 2
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Dftar Isi DalaHdr
    Dftar Isi DalaHdr
    Dokumen21 halaman
    Dftar Isi DalaHdr
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Ipi 326208
    Ipi 326208
    Dokumen29 halaman
    Ipi 326208
    diijah678
    Belum ada peringkat
  • Konseptor Aksesoris - VM
    Konseptor Aksesoris - VM
    Dokumen1 halaman
    Konseptor Aksesoris - VM
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Tonsil
    Tonsil
    Dokumen13 halaman
    Tonsil
    ruthmindosiahaan
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Fix
    Fix
    Dokumen28 halaman
    Fix
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat
  • Print
    Print
    Dokumen1 halaman
    Print
    Nurlitha Sepadanianti
    Belum ada peringkat