Anda di halaman 1dari 17
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI Nomor : P.8/PHPL/SET/3/2016 TENTANG PEDOMAN SISTEM SILVIKULTUR HUTAN PAYAU DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKS| LESTARI, Menimbang a. bahwa telah ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/78 tanggal 8 Mei 1978 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau; b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.11/Menhut-II/2009 tentang _ Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan P. ©5/Menhut-11/2014, pengelolaan hutan alam Produksi dapat menggunakan lebih dari 1 (satu) sistem silvikultur (Multi Sistem Silvikultur); ¢. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada huruf b, serta hasil evaluasi dalam rangka — meningkatkan _—produktifitas dan Pengembangan sesuai dengan kondisi saat ini, maka Keputusan Direktur Jenderal_ ~~ Kehutanan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu dilakukan perubahan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan _sebagaimana dimaksud pada huruf c, perlu ditetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau; Mengingat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); » Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999° tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 140); Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68; tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); - Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik 10, ll. 12. 13; 14, Indonesia Tahun 2007 Nomor 146, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452), Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Tembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696), Sebagaimana telah diubah dengan _Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode 2014-2019; Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8); Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17); Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 39/Menhut- 11/2008 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 14); Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.S4/Menhut- 11/2014 tentang Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga Teknis dan Pengawas Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1227); -Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut- 11/2014 tentang Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala dan Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 690); Menetapkan MEMUTUSKAN : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI TENTANG PEDOMAN SISTEM SILVIKULTUR HUTAN PAYAU. Pasal 1 Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini, Pasal 2 Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan _Nomor 60/Kpts/DJ/I/78 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu — Hutan Alam (RKUPHHK-HA) dan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Alam (RKTUPHHK-HA) yang telah disusun dan disetujui berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 60/Kpts/DJ/I/78 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya RKUPHHK-HA, kecuali RKUPHHK-HA yang direvisi harus mengikuti peraturan ini. Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal: 18 Maret 2016 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI, Vig rory IDA BAGUS PUTERA PARTHAMA Salinan Peraturan ini disampaikan kepada yth. : 1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; 2. Pejabat Eselon I lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; S. Pejabat Eselon Il lingkup Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari; 4. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tan, geung jawab dibidang kehutanan di seluruh Indenesia; 5. Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah I-XVI; 6. Kepala KPHP di Seluruh Indonesia. Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor + P.8/PHPL/SET/3/2016 Tanggal =: :18 Maret 2016 PEDOMAN SISTEM SILVIKULTUR HUTAN PAYAU I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Mutan Payau, sering disebut hutan mangrove ateu hutan bakau, merupakan ekosistem hutan yang mempunyai fungsi dan nilai manfaat yang tinggi bagi kehidupan manusia, Formasi Hutan Payau terbentuk pada “na intertidal atau secara teratur tergenang oleh air asin/payau sesuai dengan perbedaan tinggi dan perilaku pasang surut, Mulai dari garis pantai sampai ke daerah pasang tertinggi, tegakan Hutan Payau tersusun atas formasi-formasi yang didominasi oleh jenis-jenis tertentu dengan karakteristik yang khas dan level toleransi terhadap salinitas yang spesifik. Jenis-jenis penyusun Hutan Payau juga bervariasi dalam hal struktur vegetasi (pohon, semak, palm, paku, rumput dan fumbuhan merambat), struktur perakaran (tunjang, nafas, lutut, papan dan banir), potensi (tinggi, sedang dan rendah) dan kemudahan regenerasi (sulit, sedang dan mudah), yang sangat penting dalam Pengaturan hasil hutan lestari. Hutan Payau berfungsi sebagai tempat hidup biota laut serta berbagai macam binatang primata, melata, unggas dan serangga, disamping itu berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap abrasi pantai dan filter terhadap pencemaran industri yang bermuara di perairan pantai. Manfaat Jain dari Hutan Payau yang mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah hasil hutan berupa kayu, yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri chips (serpih kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas) dan arang, jasa lingkungan. serta Jenis dan pertumbuhan (riap) pohon yang terdapat di Hutan Payau dapat berbeda antara tempat yang satu dengan yang lain, tergantung lingkungan tempat tumbuh (delta, dataran lumpur, dataran pulau, dan dataran pantai) dan substrat atau bahan pembentukannya (pasir, lumpur, koral dan batu- batuan), kondisi hidrologi (arus dan gelombang laut), iklim terutama curah hujan, intensitas genangan pasang surut air laut, dan salinitas dalam air. Jenis pohon yang umum tumbuh di Hutan Payau mulai dari arah laut ke dataran ialah Sonneratia sp., Avicennia sp, Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops sp., Lumnitzera sp., dan Xylocarpus sp.. Batas penyebaran masing-masing jenis ini ada kalanya cukup jelas tetapi kadang-kadang kurang jelas. Jenis Rhizophora sp., Bruguiera sp., Ceriops §P. termasul dalam suku Rhizophoraceae, merupakan jenis yang d lominan dan kayunya mempunyai nilai ckonomis yang paling tinggi diantara jenis Jain yang ada dalam Hutan Payau. Hutan Payau mempunyai kemampuan permudaan alam yang sangat tinggi dan campur ‘angan manusia dalam permudaannya praktis hanya diperlukan apabila permudaan kurang merata, terserang hama dan gulma yang persentasenya relatif kecil. Dalam rangka pemanfaatan kayu pada Hutan Payau, pengelolaannya harus dilakukan secara profesional dengan menerapkan sistem silvi ikultur yang tepat dan sesuai dengan sifat Hutan Payau tersebut serta tujuan Pengusahaan hutan yang berhasil yaitu dengan terjaminnya asas Kelestarian hutan dan kelestarian perusahaan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, Berdasarkan pengalaman dan kajian atas pelaksanaan sistem silvikcultur yang Perlaku, sistem silvikultur Hutan Payau dengan meninggalkan pohon indulk (seed trees) sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 60/Kpts/Du/1/78 ternyata cukup berhasil dengan baik Berdasarkan evaluasi selama lebih dari 20 tahun pelaksanaan sistem ‘ersebut, diperlukan adanya _penyempurnaan-penyempurnaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan baru seperti kete yang telah digariskan dalam pengelolaan hutan produksi lestari, ntuan, Memperhatikan kondisi tegakan tinggal, potensi propagul dan permudaan slam pada areal bekas tebangan serta hasil studi di lapangan, maka untuk Hutan Payau di Indonesia bisa diterapkan Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tebang Habis B. MAKSUD DAN TUJUAN 1. Maksud diterbitkannya pedoman sistem silvikultur Hutan Payau adalah sebagai acuan bagi pelaksana kegiatan pengusahaan Hutan Payau agar dalam pelaksanaan pengelolaan hutan dapat dilakukan secara optimal Tujuan Pedoman sistem silvikultur Hutan Payau adalah untuk mengatur pelaksanaan pengelolaan Hutan Payau sehingga asas kelestarian hutan dan pengusahaannya dapat tetap terjamin. C. RUANG LINGKUP Pedoman sistem silvikultur ini mencakuy Ppengelolaan Hutan Payau pada hutan_produksi, baik pada hutan primer (virgin forest) maupun hutan Sekunder untuk menghasilkan kayu, hasil hutan bukan-kayu dan jasa lingkungan. D. PENGERTIAN UMUM. 1. Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna Produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan Khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor, Hutan primer adalah hutan yang tumbuh secara alami (hutan alam) yang sudah mencapai formasi klimaks yang belum pernah mendapat Perlakuan/campur tangan manusia di dalamnya (Virgin Forest) ~ Hutan sekunder adalah hutan berasal dari hutan primer, yang di dalamnya pernah ada gangeuanmanusia dan / atau alam. - Sistem Silvikultur Hutan Payau adalah cara-cara Penebangan dan Pemeliharaan hutan bekas tebangan, baik terhadap hutan primer dan atau hutan sekunder, schingga dihasilkan suatu struktur pertumbuhan tegakan yang relatif seragam. © Sistem pohon induk adalah suatu sistem yang mengatur cara Penebangan dan pemeliharaan permudaan sebagai satu kesatuan pengelolaan hutan, dengan cara meninggalkan pohon induk sebagai usaha untuk menjaga permudaan hutan setelah dilakukan penebangan Pohon induk adalah pohon dalam areal produksi yang ditinggalkan pada waktu dilakukan penebangan dimaksudkan untuk menghasilkan buah yang fumbuh secara alami serta membentuk tegakan utama yang bernilai tinggi pada siklus tebang berikut. Jalur hijau (green bel adalah areal hutan yang dipertahankan dan berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap abrasi pantai, pelindung ‘epi sungai/alur air, tepi bangunan jalan, sebagai tempat pemijahan dan tempat asuhan bagi kepentingan perikanan, stabilisator ekosistem Perairan, sumber benih dan ain-lain, dengan lebar + 50 m dari tepi pantai dan selebar + 10 m dari tepi sungai. 10. 11 dt Sungai dan anak sungai adalah bagian dari permukaan bumi yang karena sifatnya menjadi tempat air mengalir dari mata air. Alur air adalah permukaan bumi tempat air mengalir yang tidak berasal dari mata air dengan lebar kurang dari 10 meter pada saat air laut Surut, sehingga tidak diperlukan adanya sempadan. Pantai adalah wilayah perbatasan antara daratan dan Perairan laut. Unit kelestarian adalah unit yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk menjaga kelestarian pada aspek ekologi, sosial dan produksi. Il. PELAKSANAAN A. TAHAPAN KEGIATAN Pelaksanaan Sistem Silvikultur Hutan Payau dilakukan dengan tahapan- tahapan kegiatan yang secara berurutan sesuai waktu yang ditentukan agar keadaan Hutan Payau tersebut tetap lestari dan ditingkatkan potensinya, adapun tahapan kegiatan tersebut berikut : 1 2) 3} 4. 5. 6. Te lebih dapat adalah sebagai PENATAAN AREAL KERJA (PAK) INVENTARISASI TEGAKAN SEBELUM PENEBANGAN (ITSP) PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN (PWH) PENEBANGAN SURVEI AREAL BEKAS TEBANGAN PEMELIHARAAN PERMUDAAN/ TEGAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN B. URAIAN KEGIATAN 1 PENATAAN AREAL KERJA a Penataan Areal Kerja prinsipnya dilakukan pada awal pengelolaan hutan yang dijadikan dasar dalam penyusunan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil (RKUPHHK-HA) b. Pada rotasi kedua, Hutan Kayu dalam Hutan Alam Ppenataan areal lebih banyak pada pemeliharaan batas di lapangan dan atau revisi batas dalam rangka memastikan batas-batas petak yang akan mendapatkan perlakuan silvikultur tertentu, seperti penanaman, pemeliharaan, penebangan. Penjarangan dan/atau i Tingkungan yang relatif homogen seperti Komposisi jenis, kualitas tempat tumbub, pasang surut, ukuran dan/atau kelas umur, d. Batas-batas petak sedapat mungkin men, Seperti sungai, alur air, ggunakan batas alam saluran air dan atau prasarana buatan Yang Permanen seperti jalan, kanal drainase. Apabila batas alam dan atau prasarana buatan tidak tersedia maka batas petak dapat menggunakan batas buatan berbentuk jalur bersih selebar satu Pada peta penataan areal kerja. € Menentukan Tempat Penimbunan Kayu (TPK) dan tempat Peseawmmuien: low, (000). dem; saris ininays ese, Penggunaan dan pemanfaatan lahan yang telah didisai rencana penataan areal. INVENTARISASI TEGAKAN SEBELUM PENEBANGAN (ITsP) &. ITSP dilakukan pada areal rencana kerja tahunan yang bertujuan untuk mengetahui jumlah, volume dan komposisi jenis. b.ITSP pada Hutan Payau ini dapat dilakukan dengan cara Pengambilan contoh secara terestris den kurangnya 5 (lima) persen, dengan in pada gan intensitas sekurang- ITSP yang menggunakan metode Penginderaan jauh, harus menegunakan citra yang. direkem tidak lebih deri dua tahun sebelum pelaksanaan ITSP Pada sistem silvikultur dengan pohon induk, pada saat kegiatan '7SPperiu dicatat lokasi dan dimensi (diameter dan tinggi pohon) serta_kondisi Pohon Induk yang jumlahnya paling sedikit 25 Pohon/hayang tersebar. Pada sistem silvilultur THPA, dicatat jumlah dan sebaran permudaan alam tingkat semai. PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN (PWH) » perlu a. Rencana pembukaan wilayah dalam RKUPHHK-HA menjadi dasar Feneana pembangunan prasarana pembukaan wilayah Hutan Payau tiap RKTUPHHK-HA. b. Prasarana pembukaan wilayah Hutan Payau dapat berupa Prasarana alami (misalnya sungai pasang surut besar, sungai Pantai) dengan prinsip efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Pembukaan wilayah dan penataan Hutan Payau berhubungan Sangat erat satu sama lainnya. Prasarana pembukaan wilayah dapat dipakai dalam penataan batas hutan. Demikian pula pola Penataan areal blok-blok RKTUPHHK-HA dan petak-petak mempengaruhi sistem pemanenan kayu dan pola Jaringan jalan. Oleh karena itu perencanaan pembukaan wilayah, Penataan hutan, dan sistem pemanenan kaya Hutan Payau Jangka panjang dilakukan secara terpadu terhadap seluruh areal Hutan Payau yang dikelola dalam Penyusunan RKUPHHK-HA, Diharapkan semua prasarana pembukaan wilayah Hutan Payau Sudah terbangun pada pengelolaan Hutan Payau rotasi pertama, sehingga kegiatan Pada rotasi ke dua lebih menitik beratkan pada Perbaikan dan pemeliharaan prasarana yang sudah ada 4. PENEBANGAN a. Pemahaman dan konsep dasar pelaksanaan Penebangan. 1) Penebangan dilaksanakan pada petak tebangan dalam Blok RKTUPHHK-HA yang telah disahkan. 2) Kegiatan penebangan _dilaksanakan bersamaan pembuatan TPK/TPn dan Pondok Kerja. dengan 8) Pohon-pohon yang dilindungi menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku termasuk pohon keramat, pohon yang terdapat sarang burung yang masih dihuni maupun_ pohon tempat lebah madu bersarang, maupun pohon habitat satwaliar tidak boleh ditebang 4) Kegiatan penebangan meliputi penebangan, pembagian batang, Pengulitan dan penyaradan ke tempat pengumpulan kayu (TPn) dan Tempat Penimbunan Kayu (TPK) °) Pemilihan sistem tebangan, haruslah disesuaikan dengan kondisi ‘apak, dengan mengutamakan kelestarian Hutan Payau dan mengoptimalkan hasil penebangan Habis, dapat dengan teknik berikut: 1) Pohon Induk Prinsip-prinsip teknik Pohon Induk sebagai berikut: a) Tebangan dilakukan dengan meninggalkan pohon induk ») Pohon induk ditinggalkan sebanyak minimal 25 pohon per hektar yang menyebar ©) Pohon induk sudah diberi tanda Penebangan dilakukan 2) Permudaan Alam Prinsip-prinsip teknik Permudaan Alam pada Hutan Payau diatur sebagai berikut: b) Substrat didominasi lumpur dan topografi yang relatif datar. 3) Tebang Rumpang Prinsip-prinsip Sistim Silvikultur tebang rumpang pada Hutan Payau diatur sebagai berikut: a) Tebang Rumpang merupakan salah satu tahapan kegiatan dalam silvikultur yang dilakukan dengan menebang habis Pohon dalam areal berbentuk empat Persegi panjang, lingkaran atau bentuk lainnya yang tersebar dalam petak tebang. b) Sistem tebang rumpang diterapkan dalam pengelolaan Hutan Payausebagai bagian dari upaya untuk merehabilitasi areal Hutan Payau yang tidak berpotensi, dan merestorasi Hutan ©) Luas tiap rumpang disesuaikan dengan luas areal Hutan Payau yang dikelola dan kondisi- spesifik setempat di lapangan dimana luas tebang rumpang maksimum seluas 0,25 ha per rumpang 4) Permudaan Buatan Prinsip-prinsip Sistim Silvikultur Permudaan Buatan pada Hutan Payau diatur sebagai berileut: 8) Diterapkan pada areal IUPHHK hutan Payau pada areal bekas tebangan, tanah kosong, dan areal lain yang tidak tersedia regenerasi alam. ») Dalam rangka membangun tegakan seumur. ©) Meningkatkan produktivitas lahan dengan jenis asli. 5) Tebang Jalur a) Jalur tebang terdekat dengan pantai adalah setelah sempadan pantai atau minimal 100 m dari pantai dan jalur ‘erdekat dengan sungai adalah setelah sempadan sungai atau minimal 50 m dari sungai. ») Jalur tebang berselang-seling dengan Jalur antara yang idealnya dibuat tegak lurus dengan jalur angkutan (anak Sungai atau alur sungaij; untuk anak sungai dan alur sungai yang Perkelok-kelok, jalur tebang dan jalur antara dibuat ‘egak lurus terhadap rata-rata arah anak sungai atau alur sungai, ©) Lebar jalur tebang dan lebar jalur antara dil dengan lebar jalur buat sebanding 2 ~ 4 kali tinggi pohon masak tebang (contoh: 30 - 60 meter untuk dominasi Rhizophora apiculata; 50- 100 m untuk dominasi Rhizophora mucronata). 4) Untuk — menghindari _terjadinya fragmentasi yang mengakibatkan menurunnya daya dukung habitat terhadap bidupan liar, maka panjang jalur tebang maksimal 500 meter dan dapat dilanjutkan dengan diselingi tegakan tinggal minimal 1 (satu) kali tinggi pohon jenis dominan. Tegakan tinggal ini berfungsi sebagai koridor satwa sekaligus sebagai sumber materi genetik yang akan menyebar/disebarkan, baik oleh faktor alam, hewan penyebar biji maupun secara sengaja oleh manusia. Tebangan berikutnya pada jalur antara, juga mengikuti ketentuan yang sama, Koridor satwa pada setiap Jalur tebang dapat tidak sejajar, disesuaikan dengan kondisi lepangan dan pada tebangan daur berikutnya dapat diubah letaknya. ©) Jalur antara dapat ditebang setelah regenerasi di jalur tebang berumur 10 tahun untuk daur tebang 20 tahun dan berumur 15 tahun untuk daur tebang 30 tahun, schingga Penebangan di areal ini dapat dilaksanakan setiap 10 tahun dan 15 tahun, masing-masing untuk daur tebang 20 dan 30 tahun, Regenerasi alam pada jalur tebang berasal dari pohon-pohon di jalur antara, dan areal bekas tebangan dengan angka kecukupan regenerasi alam yang kurang dilengkapi dengan tanaman pengayaan. 8) Penjarangan pada jalur antara (jika diperlukan) dilakukan pada waktu yang sama dengan penebangan pada Jalur tebang yaitu pada umur 10 tahun untuk daur tebang 20 tahun dan umur 15 tahun untuk daur tebang 30 tahun. 5. SURVEI AREAL BEKAS TEBANGAN (SABT) a. Objek yang Disurvei dapat Objek yang disurvei adalah permudaan tin, gkat semai dan pancang. b. Metode Survei Metoda sensus areal untuk menentukan areal bekas tebangan yg Permudaannya kurang, untuk dipetakan, yang selanjutnya akan dilakukan penanaman/pengayaan. Data hasil survei dianalisis untuk mengetahui jumlah bibit yang diperlukan untuk ditanam ©. PEMELIHARAAN PERMUDAAN / TEGAKAN a. Penanaman/Pengayaan Areal Bekas Tebangan (PABT) PABT meliputi kegiatan penanaman/pengayaan terhadap areal yang kurang permudaannya dan lokasi yang diperkirakan akan dan telah ditumbuhi gulma pada lokasi bekas tebangan sesuai hasil survei areal bekas tebangan, b. Pemeliharaan Tanaman 1) Pemeliharaan tanaman merupakan _kegiatan Perawatan Permudaan dengan cara membebaskan permudaan dari gulma dan menyulam tanaman yang mati dengan bibit yang sehat. 2) Penyulaman dengan bibit dilaksanakan dengan jarak yang sama dengan jarak tanam. c. Penjarangan 1) Penjarangan merupakan kegiatan penebangan pohon untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih baik bagi pohon binaan dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tegakan. 2) Penjarangan juga dilakukan untuk memanfaatkan individu pohon, 3) Penjarangan dapat dilaksanakan bila dipertukan sesuai dengan kondisi setempat dan tujuan pengelolaan, 7. PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN a. Kegiatan perlindungan dan pengamanan meliputi usaha pencegahan dan penanggulangan terjadinya abrasi Pantai, erosi parit, pencurian, Perambahan dan’ pengendalian hama/penyakit, kebakaran hutan dan lahan, serta perlindungan terhadap Jenis-jenis satwa dan fumbuhan alam yang dlindungi beserta habitatnya. b. Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain memelihara batas Tuar areal kerja,melakukan _perondaan hutan, mengadakan Penyuluhan dan membantu kehidupan masyarakat di sekitar hutan, Perlindungan terhdap satwa dan tumbuhan alam yang dilindungi. © Pelaksanaan kegiatan perlindungan dan pengamanan dilakukan Secara terus menerus selama pengusahaan hutan, DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI, Dr6 yr, IDA BAGUS PUTERA PARTHAMA

Anda mungkin juga menyukai