Anda di halaman 1dari 4

No Berita

1 https://investigasi.tempo.co/toyota/

Prahara Pajak
Raja Otomotif

Direktorat Jenderal Pajak menuding PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


menghindari pembayaran pajak senilai Rp 1,2 triliun dengan transfer pricing.
Kasusnya terkatung-katung di Pengadilan Pajak. Investigasi Tempo menguak lebar-lebar
kasus ini dan memetakan bagaimana tuduhan itu berawal.

Ribuan mobil produksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia diekspor ke luar negeri dari
pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Yang tak banyak diketahui orang, nilai ekspor itu
di bawah biaya penjualan. Modus ini diduga merupakan strategi transfer pricing.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sudah lama mencurigai Toyota Motor
Manufacturing memanfaatkan transaksi antar-perusahaan terafiliasi --di dalam dan luar
negeri-- untuk menghindari pembayaran pajak. Istilah bekennya transfer pricing.

Berkembang sebagai bagian dari perencanaan pajak korporasi, transfer pricing kini
menjadi momok otoritas pajak sedunia. Modusnya sederhana: memindahkan beban
keuntungan berlebih dari satu negara ke negara lain yang menerapkan tarif pajak
lebih murah (tax haven). Pemindahan beban dilakukan dengan memanipulasi harga secara
tidak wajar. Membongkar transfer pricing adalah pertarungan negara melawan perusahaan
multinasional, kata Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmani, kepada Tempo awal Februari
lalu.

https://investigasi.tempo.co/toyota/
Lika Liku Transfer Pricing

Skandal transfer pricing Toyota di Indonesia terendus setelah Direktorat Jenderal Pajak
secara simultan memeriksa surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT) Toyota Motor
Manufacturing pada 2005.

Perbedaan penghitungan inilah yang kemudian menjadi sengketa di pengadilan pajak. Yang
mencurigakan, sejak diadili pada 2007 sampai sekarang, kasus ini tak kunjung diputus.

Direktorat Jenderal Pajak mengerahkan belasan petugas untuk memeriksa laporan


keuangan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Ditemukan jumlah laba anjlok pasca
restrukturisasi perusahaan itu. Padahal volume penjualan meningkat. Kemana keuntungan
Toyota?

Dari pemeriksaan SPT Toyota pada 2005 itu, petugas pajak menemukan sejumlah
kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota anjlok lebih dari 30 persen, dari Rp
1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan
antara laba kotor dengan tingkat penjualan-- juga menyusut. Dari sebelumnya 14,59 persen
(2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian.

Apa yang memicu penurunan pendapatan perusahaan multinasional ini? Rupanya pada
tahun itu, Toyota melakukan restrukturisasi mendasar. Sebelumnya, semua lini bisnis
produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera: PT Toyota Astra Motor.
Pemilik sahamnya ada dua: PT Astra International Tbk (51 persen) dan Toyota Motor
Corporation
Jepang (49 persen).

Pada pertengahan 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di Toyota Astra Motor
kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya, Astra punya utang jatuh tempo yang
tak bisa ditangguhkan lagi. Walhasil, Toyota Jepang kini menguasai 95 persen saham
Toyota Astra Motor. Nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN).

Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor
Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek
dengan nama lama: Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi
pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Sisanya milik Toyota
Motor Corporation Jepang.

Setelah restrukturisasi itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota anjlok. Melorotnya
keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga berkurang.
Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun rupiah. Pada
2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar
pajak Rp 168 miliar.

Yang janggal, meski laba turun, omzet produksi dan penjualan mereka pada tahun itu justru
naik 40 persen. Jadi kemana keuntungan Toyota menguap?

Pemeriksa pajak menemukan jawabannya ketika memeriksa struktur harga penjualan dan
biaya Toyota dengan lebih seksama. Di sinilah jejak transfer pricing perseroan ini mulai
tercium. Toyota diduga memainkan harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan
menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar.

Skema jual-beli via negara perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam
perdagangan internasional. Apalagi penjual dan pembelinya adalah bagian dari korporasi
perusahaan multinasional yang sama. Tapi Justinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for
Indonesia Taxation Analysis, mengingatkan, ada persyaratan yang harus dipenuhi agar
suatu transfer pricing --atau transaksi antar-pihak terafiliasi-- tidak dituding sebagai modus
penghindaran pajak (tax avoidance). Syaratnya, nilai transaksi mereka harus memenuhi
standar kewajaran, katanya, Februari lalu.

Di sinilah masalahnya. Merujuk pada dokumen persidangan sengketa pajak ini, ada
sejumlah temuan yang mengindikasikan bahwa Toyota Indonesia menjual mobil-mobil
produksi mereka ke Singapura dengan harga tidak wajar.

Dokumen pemeriksaan di pengadilan pajak yang diperoleh Tempo menunjukkan bahwa


petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang dianggap memiliki
karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan itu adalah
Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang
Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina).

Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan itu, pemeriksa menetapkan bahwa
kisaran keuntungan bruto yang dapat dinilai wajar (arms length range) untuk perusahaan
otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22 - 13,58 persen.

Berdasarkan itu, pemeriksa pajak lalu mengkoreksi harga pada transaksi Toyota Motor
Manufacturing Indonesia kepada Toyota Motor Asia Pacific di Singapura. Hasilnya
fantastis: omzet penjualan Toyota Motor Manufacturing pada 2007 jadi melonjak hampir
setengah triliun dari laporan awal perusahaan itu. Nilainya sekarang menjadi Rp 27,5
triliun.

Petugas pajak kemudian memeriksa laporan keuangan Toyota Manufacturing pada 2008.
Modus ekspor dengan nilai tak wajar juga berulang pada tahun itu. Koreksi serupa
dilakukan dan sim salabim: nilai omzet Toyota tahun itu melonjak 1,7 triliun menjadi Rp
34,5 triliun.

Di salahsatu ruang sidang yang lengang inilah, perkara sengketa pajak Toyota diadili.
Meski nilai fulus yang dipertaruhkan dalam perkara ini bukan main-main, sorotan publik
bisa dibilang amat minim. Padahal jika dinyatakan kalah di pengadilan ini, Toyota harus
membayar kekurangan pajak sampai Rp 1,22 triliun. Sebaliknya, jika menang, negara harus
rela mengembalikan kelebihan pajak Toyota sebesar lebih dari Rp 400 miliar.

Jumlah sebesar itu merupakan akumulasi dari tiga sengketa pajak Toyota. Laporan pajak
yang dipersoalkan Direktorat Jenderal Pajak adalah surat pemberitahuan pajak tahunan
Toyota tahun 2005, 2007 dan 2008.

Yang kini jadi pergunjingan adalah lamanya waktu yang dibutuhkan majelis hakim
pengadilan pajak untuk memutus ketiga perkara itu. Kasus tahun pajak 2005 dan 2007
misalnya sudah selesai disidangkan dua tahun lalu. Sedangkan kasus pajak Toyota tahun
2008 sudah rampung disidangkan pada Maret 2013 lalu. Nasib ketiga perkara itu kini tak
jelas.

2 http://nasional.kontan.co.id/news/sengketa-pajak-toyota-motor-menanti-
palu-hakim
26 Maret 2013

Sengketa pajak Toyota Motor menanti palu hakim

Dalam laporan pajaknya, TMMIN menyatakan nilai penjualan mencapai Rp 32,9 triliun,
namun Ditjen Pajak mengoreksi nilainya menjadi Rp 34,5 triliun atau ada koreksi sebesar
Rp 1,5 triliun. Dengan nilai koreksi sebesar Rp 1,5 triliun, TMMIN harus menambah
pembayaran pajak sebesar Rp 500 miliar.
Mengapa Ditjen Pajak mencurigai laporan pajak TMMIN? Menurut Muhammad Amin,
aparat pajak yang mewakili Ditjen Pajak di pengadilan pajak, Ditjen Pajak mengoreksi
hitungan bisnis TMMIN setelah membandingkan bisnis TMMIN sebelum 2003 dengan
sesudah 2003.

Sebelum 2003, perakitan mobil (manufacturing) Toyota Astra masih digabung dengan
bagian distribusi di bawah bendera Toyota Astra Motor (TAM). Namun sesudah 2003,
bagian perakitan dipisah dengan bendera TMMIN sedangkan bagian distribusi dan
pemasaran di bawah bendera TAM. Mobil-mobil yang diproduksi oleh TMMIN dijual dulu
ke TAM, lalu dari TAM dijual ke Auto 2000. Dari Auto 2000, mobil-mobil itu dijual ke
konsumen.

Sebelum dipisah, margin laba sebelum pajak (gross margin) TAM mengalami peningkatan
11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dipisah, gross margin TMMIN hanya sekitar
1,8% hingga 3% per tahun. Sedangkan di TAM, gross margin mencapai 3,8% hingga 5%.
Jika gross margin TAM digabung dengan TMMIN, prosentasenya masih sebesar 7%.
Artinya lebih rendah 7% dibandingkan saat masih bergabung yang mencapai 14%.
Kemana larinya 7%?, begitu tanya Muhammad Amin, aparat pajak yang mewakili Ditjen
Pajak di pengadilan pajak, Senin (26/3).

Aparat pajak menduga, laba sebelum pajak TMMIN berkurang setelah 2003 karena
pembayaran royalti dan pembelian bahan baku yang tidak wajar. Penyebab lainnya
penjualan mobil kepada pihak terafiliasi seperti TAM (Indonesia) dan TMAP (Singapura)
di bawah harga pokok produksi sehingga mengurangi peredaran usaha.

Anda mungkin juga menyukai