Anda di halaman 1dari 8

MAHAMERU

Another Side of Mei Rui Lie


Juli 14, 2010
Proses Terjadinya Api
Posted in K3 (OHAS) pada 3:16 am oleh merulalia

PENGANTAR

1. Api atau pembakaran dapat terjadi karena adanya pertemuan 4 unsur dalam
perbandingan yang baik yaitu :
Bahan bakar.
Oksigen/zat pembakar.
Panas/sumber nyala yang cukup.
Reaksi radikal bebas yang berlangsung secara berantai.

2. Api akan padam apabila :


Semua bahan telah habis terbakar.
Konsentrasi oksigen tidak cukup untuk berlansungnya pembakaran.
Temperatur material berada di bawah suhu penyalaan.
Reaksi berantai terputus.

PROSES REAKSI

A. Pengertian Api
Nyala api yang tampak pada hakekatnya adalah masa zat yang sedang berpijar
yang dihasilkan didalam proses kimia oksidasi yang berlansung secara cepat
dan disertai pelepasan energi/panas.

B. Reaksi Radikal Bebas


Bahan bakar setelah dipanaskan akan mengalami perubahan :

Secara fisik menjadi gas.


Secara kimiawi akan menghasilkan atom-atom yang berdiri bebas (radikal)
Contoh : Ethane (C2H6)====Bentuk bangun H C C H
Setelah dipanaskan, salah satu atom H akan terlepas/berdiri bebas.
Atom H yang berdiri bebas inilah disebut H radikal (H*).
Atom H bersifat sangat reaktif atau mudah berkombinasi dengan oksigen
menjadi HOO*.
Dan seterusnya akan menghasilkan HO* dan O*
Jadi nyala api adalah persenyawaan antara radikal-radikal tersebut.

BESARAN-BESARAN ANGKA

1. Flamable Range
Adalah besaran angka yang menyatakan batas minimal (LEL) daan batas
maksimal (UEL) jumlah perbandingan volume uap bahan bakar di udara, dimana
merupakan konsentrasi yang rapat untuk dapat berlangsungnya nyala
api/pembakaran.
Keterangan :

Lower Explosive Range (LEL) :adalah batas minimal konsentrasi uap bahan
bakar di udara dimana bila ada sumber api akan terbakar.
Upper Explosive Limit (UEL) :adalah batas konsentrasi maksimal uap bahan
bakar di udara dimana bila ada sumber api akan terbakar.
Explosive Range : adalah konsentrasi LEL dan UEL. Pada konsentrasi ini
apabila ada sumber nyala akan dapat terbakar atau meledak. Bila konsentrasi
uap batas explosive range (kurang atau lebih) sekalipun ada sumber nyala tidak
akan terbakar.

Jadi pada konsentrasi uap minyak mentah 1 10 %, dilarang mengadakan


kegiatan menggunakan api, karena akan terjadi kebakaran.
Alat untuk mengukur kadar gas/uap mudah terbakar adalah Combustible Gas
Indicator/Explosimeter.

2. Titik Nyala (Flash Point)


Adalah suhu terendah yang diperlukan untuk mengubah/menghasilkan sejumlah
uap siap untuk terbakar bila ada sumber nyala.
Besaran angka ini dapat digunakan sebagai indikator tingkat resiko bahaya
kebakarannya.
Menurut Peraturan Khusus EE : Bahwa setiap bahan cair yang mempunyai angka
titik nyala/flash point kurang dari 55oC adalah termasuk bahan mudah terbakar.

Menurut NFPA diklasifikasikan sbb :


Klas 1 = Kurang dari 100oF (resiko tinggi)
Klas 2 = 100 140oF (resiko sedang)
Klas 3 = Lebih dari 140oF (resiko rendah)
3. Autoignition Temperature
Adalah temperatur terendah dimana bahan akan terbakar dengan sendirinya
tanpa diberi sumber nyala.
Contoh:

Setrika panas dapat membakar kain yang diseterika.


Instalasi pipa panas kontak langsung dengan bahan-bahan yang mudah
terbakar.

4. Berat Uap
Berat uap bahan bakar juga merupakan indikator yang perlu diperhatikan. Uap
yang lebih ringan terhadap udara akan cenderung ke atas dan lebih berat dari
udara akan ke bawah.
Dengan mengetahui berat uap bahan bakar, maka dapat ditentukan dimana
exhaust fan harus ditempatkan.

FENOMENA KEBAKARAN
1. Pengertian
Kebakaran adalah terjadinya api yang tidak dikehendaki.

2. Sifat-sifat Kebakaran
Terjadinya secara tidak terduga.
Tidak akan padam apabila tidak dipadamkan.
Kebakaran akan padam dengan sendirinya apabila konsentrasi
keseimbangan hubungan 3 unsur segitiga api tidak terpenuhi lagi.

3. Sumber Potensi Penyebab Kebakaran


Api Terbuka
Penggunaan api terbuka di daerah berbahaya/terdapat bahan yang mudah
menyala sering dapat menjadi sumber penyebab terjadinya kebakaran, antara
lain : Pengelasan, dapur api dll.

Permukaan Panas
Pesawat/instalasi pemanas, pengering, oven apabila tidak terkendali/kontak
dengan bahan hingga mencapai suhu penyalaan dapat menyebabkan
kebakaran.
Peralatan ListriK
Bila tidak memenuhi syarat keamanan (PUIL), Pembebanan lebih, tegangan
melebihi kapasitas, dan bunga api pada motor listrik.

Reaksi Exothermal
Reaksi yang menghasilkan panas juga menghasilkan gas yang mudah terbakar.

Reaksi batu karbit dengan air.


Reaksi bahan kimia yang peka terhadap asam.

Gesekan Mekanis
Akibat gerakan secara mekanis seperti pada peralatan yang bergerak bila tidak
diberi pelumasan secara teratur dapat menimbulkan panas.
Bunga api mekanis/gram bubutan atau gerinda dapat menjadi sumber nyala bila
kontak dengan bahan mudah terbakar.

Loncatan Bunga Api Listrik Statis


Akibat pengaruh mekanis pada bahan non konduktor akan dapat terjadi
penimbunan elektron (akumulasi listrik statis)
Contoh :

Minyak adalah bahan non konduktor.


Bila minyak dialirkan melalui slang dengan tekanan tinggi maka elektron
akan tertimbun pada minyak tersebut.
Pada keadaan tertentu elektron dapat terjadi loncatan elektron dan dapat
menjadi sumber penyebab kebakaran.

Doc: Agus Triyono (slide show kuliah Pencegahan Kebakaran dan Sistem
Tanggap Darurat-UPNVJ)

Titik nyala
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Titik nyala dari bahan yang mudah menguap adalah suhu terendah saat dia dapat menguap untuk
membentuk campuran yang bisa menyulut api di udara. Mengukur titik nyala membutuhkan sumber
pengapian. Pada titik nyala, uap dapat berhenti untuk membakar ketika sumber pengapian padam.
Titik nyala jangan dikelirukan dengan suhu swasulut, yang tidak memerlukan sumber pengapian,
atau titik api, suhu pada saat uap terus membakar setelah dinyalakan. Baik titik nyala maupun titik
api tergantung pada suhu sumber pengapian yang jauh lebih tinggi.
Titik nyala seringkali digunakan sebagai karakteristik deskriptif dari bahan bakar cair, dan juga
digunakan untuk membantu mencirikan bahaya kebakaran cairan. "Titik nyala" mengacu antara
cairan yang mudah menyala dan cairan mudah terbakar. Ada berbagai standar untuk mendefinisikan
setiap istilah. Cairan dengan titik nyala kurang dari 60,5 atau 37,8 C (140,9 atau 100,0
F) tergantung pada standar yang diterapkan dianggap mudah menyala, sementara cairan
dengan titik nyala di atas suhu tersebut dianggap mudah terbakar

Contoh[sunting | sunting sumber]

Bahan Titik Suhu


bakar nyala swasulut

Etanol (70%) 16.6 C (61.9 F)[1] 363 C (685 F)[1]

Bensin (petrol) 43 C (45 F)[2] 280 C (536 F)[3]

Diesel (2-D) >52 C (126 F)[2] 256 C (493 F)[3]

Jet fuel (A/A-1) >38 C (100 F) 210 C (410 F)

Kerosene >3872 C (100162 F) 220 C (428 F)

Minyak sayur (canola) 327 C (621 F)

Biodiesel >130 C (266 F)

Bensin (petrol) merupakan bahan bakar yang digunakan dalam mesin penyalaan percik. Bahan
bakar ini dicampur dengan udara dalam batas dapat terbakar dan dipanaskan di atas titik nyala,
kemudian disulut dengan spark plug. Untuk menyulut, bahan bakar harus memiliki titik nyala yang
rendah, tetapi untuk menghindari terjadinya preignition yang disebagkan oleh panas residual dalam
kamar combustion panas, bahan bakar harus mempunyai suhu swasulut yang tinggi.
Titik nyala bahan bakar diesel bervariasi antara 52 and 96 C (126 and 205 F). Diesel cocok
digunakan dalam suatu compression-ignition engine. Udara dikompresi sampai dipanasi di
atas suhu swasulut bahan bakar, yang kemudian diinjeksi dalam bentuk semprotan bertekanan
tinggi, menjaga campuran bahan bakar dan udara dalam batas dapat terbakar. Dalam mesin
berbahan bakar diesel, tidak ada sumber penyalaan (seperti spark plugs pada mesin berbahan
bakar bensin). Dengan demikian, bahan bakar diesel harus mempunyai titik nyala tinggi dan suhu
swasulut yang rendah.
Titik nyala bahan bakar jet juga bervariasi menurut komposisi bahan bakar. Baik Jet A dan Jet A-1
mempunyai titik nyala antara 38 and 66 C (100 and 151 F), dekat dengan kerosene yang dapat
dibeli di toko. Namun baik Jet B dan JP-4 mempunyai titik nyala antara 23 and 1 C (9 and
30 F).

Suhu swasulut
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suhu swasulut (suhu penyalaan otomatis, temperatur autosulutan, suhu swanyala,
ataupun suhu penyalaan sendiri [1](Bahasa Inggris: autoignition temperature) dari suatu zat
kimia adalah batas temperatur terendah di mana zat tersebut akan terbakar di atmosfer normal
tanpa adanya sumber pembakaran dari luar, seperti api dsb. Pada suhu ini, sebagian besar energi
kinetik gas telah mencapai energi aktivasi dari reaksi pembakaran. Temperatur autsulutan pada
keadaan non-atmosfer turun jika tekanan meningkat atau konsentrasi oksigen meningkat. Fakta ini
biasanya diterapkan pada campuran bahan bakar.
Temperatur autosulutan dari suatu bahan kimia cair biasanya diukur menggunakan labu kimia yang
diletakkan pada oven (yang temperaturnya dapat diatur).

Persamaan swasulut[sunting | sunting sumber]


Waktu yang dibutuhkan suatu bahan untuk mencapai suhu swasulut jika
diekspos pada suatu aliran panas dihitung menurut persamaan berikut
[2]

di manak = konduktivitas termal (W/(mK)), = densitas (kg/m), dan c =


kapasitas panas spesifik (J/(kgK)) dari bahan tersebut. adalah suhu, dalam
satuan Kelvin, suhu awal bahan (atau suhu bahan bulk), dan adalah heat flux
(W/m) yang dikenakan pada bahan.

Titik swasulut sejumlah bahan[sunting | sunting sumber]


Dalam literatur tercatat variasi suhu yang luas dan hanya dipakai sebagai
perkiraan. Faktor-faktor yang menyebabkan variasi ini termasuk tekanan
parsial oksigen, ketinggian, kelembaban, dan panjang waktu yang dibutuhkan
untuk penyulutan. Umumnya suhu swasulut bagi campuran hidrokarbon/udara
turun seiring dengan meningkatkan berat molekul dan bertambahnya panjang
rantai. Suhu swasulut juga lebih tinggi pada hidrokarbon berantai cabang
daripada hidrokarbon berantai lurus.[3]

Titik Titik
Bahan swasulut swasulut Catatan
(C) (F)

Trietilborana 20 C 4 F
Titik Titik
Bahan swasulut swasulut Catatan
(C) (F)

Silana 21 C 70 F atau lebih rendah

Tersulut ketika bersentuhan


Fosfor putih 34 C 93 F dengan bahan organik, kalau
tidak, meleleh

Karbon disulfida 90 C 194 F

Dietil eter 160 C 320 F[4]

Diesel atau Jet


210 C 410 F
A-1

Bensin (Petrol) 247280 C 477536 F[5]

Etanol 363 C 685 F[5]

Butana 405 C 761 F[6]

Kertas 218246 C 424475 F[7]

Magnesium 473 C 883 F

Hidrogen 536 C 997 F[8]

Untuk kertas, ada variasi luas antara sumber-sumbernya, terutama karena ada
banyak variabel fisika pada berbagai jenis kertas, seperti ketebalan, densitas dan
komposisi; lagipula, lebih lama untuk kertas mengalami combustion pada suhu
rendah.[9]

Anda mungkin juga menyukai