Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem saraf dan sistem kardiovaskular merupakan dua sistem utama dalam tubuh
manusia yang saling berhubungan. Gangguan pada salah satu sistem akan memberi pengaruh
pada sistem lainnya. Cedera otak seperti penyakit serebrovaskular akut, baik itu perdarahan
subarakhnoid ataupun sindrom stroke yang lain dapat berhubungan dengan gangguan jantung
yang berat. Komplikasi kardiovaskular merupakan hal yang biasa setelah terjadinya cedera
otak dan dihubungan dengan meningkatnya angka kesakitan dan kematian. Keabnormalan ini
meliputi hipertensi, hipotensi, perubahan EKG, aritmia, pelepasan biomarker dari cedera
jantung, dan disfungsi ventrikel kiri. Keabnormalan ini biasanya reversibel dan
penatalaksanaan seharusnya terfokus kepada perawatan suportif secara umum dan
pengobatan cedera otak yang mendasarinya.1,2
Prevalensi (angka kejadian) stroke di Indonesia berdasarkan riset kesehatan dasar
(Riskesdas) tahun 2007 adalah delapan per seribu penduduk atau 0,8 %. Sebagai
perbandingan, prevalensi stroke di Amerika Serikat adalah 3,4 % per 100 ribu penduduk, di
Singapura 55 % per 100 ribu penduduk. Dari jumlah total penderita stroke di Indonesia,
sekitar 2,5 % atau 250 ribu orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat.
Pada 2020 mendatang diperkirakan 7, 6 juta orang akan meninggal karena stroke.3
Cedera jantung neurogenik berhubungan dengan cedera otak yang menginduksi
katekolamin dan respon inflamasi. Mekanisme abnormalitas jantung pada keadaan cedera
otak berhubungan dengan disfungsi sistem saraf otonom, yang mengakibatkan
ketidakseimbangan dari stimulus saraf simpatis dan parasimpatis. Pada kondisi tersebut akan
terjadi pelepasan katekolamin yang berlebihan yang bertanggung jawab terhadap gangguan
pada jantung. Kondisi ini akan menimbulkan manifestasi pada jantung sesuai dengan
beratnya kelainan yang terjadi maupun lokasi dari kelainan tersebut pada otak. Manifestasi
pada jantung dapat berupa perubahan gambaran EKG (dijumpai pada 70% pasien dengan
perdarahan subarakhnoid), aritmia, cedera miokardium, disfungsi ventrikel kiri, sampai yang
terberat berupa edema paru. Semua gangguan ini dapat terjadi karena gangguan
keseimbangan saraf dengan ataupun tanpa adanya kelainan jantung yang mendasari, seperti
penyakit jantung koroner, maupun gagal jantung.1,2,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Fungsi neurologis dan kardiovaskular berhubungan sangat erat. Perfusi serebral


sangat tergantung pada fungsi pompa jantung, dan sebagian besar fungsi jantung diatur oleh
pusat otak. Disfungsi dari salah satu sistem akan menimbulkan disfungsi pada sistem yang
lain1. Mekanisme terjadinya gangguan pada jantung berhubungan dengan disfungsi sistem
saraf otonom, dengan peningkatan rangsangan simpatis dan parasimpatis. Pelepasan
katekolamin miokardium yang berlebihan diduga sebagai penyebab utama gangguan
jantung.2,3
Cedera otak akut dapat terjadi akibat cedera vaskular (stroke, perdarahan
subarakhnoid atau parenkim), trauma, dan inflamasi (ensefalitis, meningitis). Akibatnya pada
jantung dapat berupa fluktuasi tekanan darah dan hemodinamik, perubahan gambaran ekg,
aritmia, dan peningkatan enzim jantung.1,2

2.1 Persarafan Jantung


Sistem saraf otonom memberi pengaruh yang kuat pada aktivitas listrik dan mekanis
jantung; terdiri dari dua kategori besar dari jalur efferent, yaitu sistem saraf simpatis dan
parasimpatis. Jalur efferent ini dimodulasi oleh pusat jantung yang lebih tinggi yang
merupakan unit fungsional dari jaringan otonom pusat. Neuron pada korteks serebri,
hipotalamus, otak tengah, pons dan medulla berperan dalam kontrol otonom. Jaringan
otonom pusat menyatukan informasi viseral, humoral, dan lingkungan untuk
memproduksi respon otonom, neuroendokrin, dan perilaku yang terkoordinasi terhadap
stimulus internal maupun eksternal.
2.1.1 Sistem Saraf Parasimpatis Jantung
Jantung dipersarafi oleh kedua jalur dari sistem saraf otonom. Saraf
preganglion parasimpatis bersumber dari nukleus ambiguus di medulla dan sinaps
pada ganglia intrakardiak, melalui nervus vagus. Dari ganglia tersebut, neuron
parasimpatis postganglion yang pendek menginervasi jaringan miokardium.
Inervasi parasimpatis jantung terutama sangat besar pada nodus sinus dan system
konduksi atrioventrikular. Inervasi paraasimpatis jantung dimediasi seluruhnya
oleh nervus vagus. Nervus vagus kanan menginervasi nodus sinus dan ketika
distimulasi dengan hebat akan memicu terjadinya bradiaritmia nodus sinus. Nervus
vagus kiri menginervasi nodus atrioventrikular dan saat distimulasi berlebihan akan

2
memicu terjadinya blok atrioventrikular. Neuron postganglion parasimpatis
melepaskan

Gambar 1. Anatomi persarafan parasimpatis dan simpatis jantung. Serat eferen (vagus) meliputi
serat A-beta, A-delta, dan unmyelinated C. Diproduksi ulang dari Martini FH. Fundamentals of
Anatomy and Physiology. Ed ke-8. 2006. Bab 20, dengan izin Pearcon Education, Inc Prentice Hall,
2006.

asetilkolin yang mengaktivasi reseptor muskarinik M 2 di jantung, yang


menimbulkan efek berupa melambatnya detak jantung, berkurangnya kontraktilitas
otot jantung atrial, dan perlambatan kecepatan konduksi AV node. Stimulasi vagal
tidak memiliki pengaruh pada kontraktilitas otot ventrikel. Stimulasi vagal yang
kuat selama stress emosional, yang biasanya merupakan kompensasi parasimpatis
yang berlebih terhadap aktifasi simpatis saat stress, dapat menyebabkan sinkop
karena penurunan tekanan darah dan denyut jantung yang tiba-tiba. Pasien dengan
bulimia dan anoreksia atau cedera medulla spinalis mungkin memiliki aktifitas
vagal yang tinggi yang berhubungan dengan kejadian aritmia yang sering terjadi
pada pasien-pasien tersebut.
2.1.2 Sistem Saraf Simpatis Jantung
Inervasi simpatis jantung berasal dari kolumna intermediolateral dari spinal
cord toraks dan sinaps dengan neuron postganglion simpatis di superior, middle,
dan inferior ganglia servikal. Neuron simpatis postganglion menginervasi nodus

3
sinus dan nodus atrioventrikular, system konduksi dan miokardium, terutama
ventrikel. Neuron simpatis postganglion melepaskan norepinefrin, yang terutama
melalui reseptor adrenergic meningkatkan denyut jantung, kecepatan konduksi
melalui nodus AV dan kontraktilitas jantung. Rangsangan simpatis terhadap
sirkulasi perifer menyebabkan vasokonstriksi melalui aktifasi reseptor adrenergik
alfa. Situasi tersebut dapat meningkatkan kebutuhan metabolism jantung yang
dapat bermanifestasi sebagai iskemik miokardium.
Rangsangan otonom pada jantung dan vaskularisasi perifer berfluktuasi dari
waktu ke waktu. Hal ini diatur oleh berbagai reflex, yang diinisiasi oleh
baroreseptor dan kemoreseptor arteri dan juga oleh reseptor intrakardiak. Inervasi
otonom jantung dapat juga dipengaruhi oleh kondisi patologis yang terjadi pada
system saraf pusat yang mengganggu keseimbangan antara rangsangan simpatis
dan parasimpatis. Perubahan ini pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi jantung dan hemodinamik. Oleh karena itu, persyarafan jantung merupakan
penghubung antara cedera otak dengan komplikasinya pada jantung.

2.2 Komplikasi Kardiovaskular dari Kejadian Serebrovaskular


Pelepasan katekolamin miokardium yang berlebihan diduga kuat sebagai penyebab
komplikasi pada sistem kardiovaskular. Stimulasi hipotalamus dapat mengakibatkan
perubahan EKG yang dijumpai pada kejadian serebrovaskular akut.2,4
2.2.1 Komplikasi Kardiovaskular Pada Stroke
Pasien yang mengalami stroke dapat memicu gangguan jantung. Sering kali
sulit untuk memastikan pada setiap individu pasien apakah kejadian
serebrovaskular disebabkan oleh gangguan jantung atau kebalikannya bahwa
stroke menyebabkan gangguan jantung karena prevalensi morbiditas jantung yang
tinggi pada pasien stroke.1
a. Abnormalitas EKG Pada Stroke
Abnormalitas EKG dijumpai pada hampir 90% pasien yang mengalami
stroke akut. EKG tipikal menggambarkan gelombang T yang tinggi dan
interval QT yang memanjang. (Fig. 2). Perubahan EKG seperti ini juga dapat
dilihat pada kondisi perdarahan subarachnoid, TIA, dan lesi serebral
nonvaskular. Perubahan EKG diperkirakan akibat iskemik subendokardium
yang terjadi akibat peningkatan pelepasan katekolamin sentral sebagai respon
hipoperfusi hipotalamus. Perubahan EKG akibat stimulasi hiptalamus ini dapat
dihilangkan dengan transeksi spinal, blockade ganglion stellate, vagolitik, dan
adrenergik bloker.1,6-8

4
Abnormalitas Repolarisasi
Abnormalitas repolarisasi EKG berupa pemanjangan interval QT dapat
dijumpai pada sekitar 38% pasien yang mengalami stroke akut.
Pemanjangan QT meningkatkan periode rentan siklus jantung terhadap
aritmia dan kematian tiba-tiba. Pemanjangan interval QT tanpa adanya
hipokalemia pada pasien stroke menandakan pasien yang beresiko tinggi
terhadap kematian tiba-tiba akibat aritmia. Pemanjangan QT interval sering
dijumpai setelah stroke arteri serebri kanan tengah.1,6-8
Abnormalitas Segmen ST
Perubahan nonspesifik segmen ST dapat dijumpai pada 20% pasien
dengan stroke akut dan pada umumnya depresi segmen ST, gambaran yang
sering terlihat pada stroke arteri serebri kiri tengah. Perubahan segmen ST
yang dinamis dapat mengindikasikan iskemik miokardium yang
sebenarnya; perubahan segmen ST akibat stroke pada umumnya sementara
dan secara paradoks membaik dengan kematian otak.1,6-8
Gelombang Q
Gelombang Q baru muncul pada 10% pasien dengan stroke akut.
Gelombang Q mungkin merupakan gambaran sementara pada stroke, atau
dapat berlanjut melalui perubahan evolusi yang terlihat pada infark
miokard. Gelombang Q yang terlihat pada kondisi ini tidak menandakan
iskemik miokardium.1,6-8
Gelombang U
Munculnya gelombang U merupakan hal yang umum pada pasien
stroke akut. Hal ini tidak berhubungan dengan abnormalitas elektrolit dan
mungkin dijumpai sendiri atau bersamaan dengan perubahan gellombang T
dan pemanjangan interval QT.1

5
Gambar 2. Gambaran EKG pada pasien stroke iskemik akut menunjukkan gelombang T yang tinggi
(tanda panah) di lead V3-V5 dan pemanjangan interval QT koreksi yaitu 0.471 detik. Ekstrasistol
ventrikel (tanda panah terbuka) juga dijumpai.

b. Aritmia
Aritmia jantung sering terjadi setelah stroke akut, walaupun tidak
dijumpai pada gambaran EKG saat masuk ke rumah sakit. Semua tipe aritmia
dapat dijumpai termasuk ekstrasistole ventrikel, ekstrasistole atrium, takikardi
supraventrikular, dan takikardi ventrikel. Hanya takikardi ventrikel yang
berhubungan dengan meningkatnya angka mortalitas pada pasien stroke.
Banyak aritmia yang terjadi pada pasien dengan fungsi jantung yang normal,
mengarahkan pada penyebab neurologis. Tipe dan lokasi stroke menentukan
tipe dari aritmia yang dijumpai. Mekanisme patofisiologi dari disritmia ini
diduga akibat perubahan rangsangan otonom ke jantung. Bradikardi dan efek
vasodepresor sering terjadi pada cedera regio insular kanan, sedangkan
takikardi dan hipertensi lebih sering terjadi pada cedera regio insular kiri.
Restorasi tonus otonom normal butuh waktu sekitar 6 bulan setelah kejadian
serebrovaskular: selama periode ini, terjadi peningkatan resiko kematian
jantung tiba-tiba.2,6-8

6
Gambar 3. Pasien 49 tahun dengan perdarahan serebral. A. EKG yang direkam 3 jam setelah
masuk rumah sakit atau 4 jam setelah muncul gejala. Dijumpai pemanjangan interval QT. B.
EKG 6 jam setelah masuk rumah sakit. VES bigemini mendahului terjadinya takikardia
ventrikel. Dilakukan kardioversi. Pasien kemudian diterapi dengan beta adrenergik bloker dan
tidak dijumpai takikardi ventrikel berulang. C. EKG 2 minggu setelah masuk rumah sakit.
Interval QT telah kembali normal.

c. Peningkatan Enzim Jantung9,12

7
Peningkatan enzim jantung seperti troponin T, kreatin kinase dan
mioglobin dapat dijumpai pada pasien stroke akut. Besarnya kenaikan
umumnya sedikit. Peningkatan kadar troponin T dilaporkan dapat dijumpai
pada semua tipe stroke. Studi meta analisis yang melibatkan 2901 pasien
stroke, didapatkan 18% pasien mengalami peningkatan nilai troponon T.
Sering troponin hanya akan meningkat pada pasien stroke yang memiliki
penyakit jantung koroner, dan hal ini berhubungan dengan disfungsi ventrikel
kiri dan prognosis yang jelek.
Walaupun penyebab dari peningkatan troponin T pada pasien stroke
belum diketahui dengan pasti, terdapat beberapa kemungkinan penyebab dari
peningkatan troponin T setelah stroke. Meningkatnya rangsangan simpatis
akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang menyebabkan
stunning miokardium dan peningkatan enzim jantung. Infark miokard terjadi
pada sekitar 6% dengan stroke akut dan menimbulkan dilema terapi karena
banyak terapi infark miokard meningkatkan resiko perdarahan intrakranial.
Penyebab lain adalah adanya penyakit penyerta lain pada pasien seperti gagal
jantung dan atau gagal ginjal.

Gambar 4. Hubungan level troponin dengan kemungkinan-kemungkinan penyebab

d. Disfungsi Ventrikel Kiri Neurogenik


Stunned miokardium neurogenik merupakan terminologi klinis yang
menggambarkan gangguan jantung akibat gangguan neurologis yang
reversibel dengan manifestasi disfungsi ventrikel dengan atau tanpa gangguan

8
hemodinamik. Umumnya juga dijumpai perubahan EKG, aritmia, dan enzim
jantung yang meningkat. Fenomena ini tidak berkaitan dengan penyakit
jantung koroner dan sering dijumpai pada pasien stroke, terutama pada stroke
insular kiri. Gambaran patologis termasuk pendarahan petekie
subendokardium dan nekrosis berkas kontraksi. Rangsang simpatis yang
berlebihan dan pelepasan katekolamin diduga sebagai mekanisme terjadinya
gambaran patologis tersebut1. Blokade katekolamin bersifat protektif terhadap
cedera jantung neurogenik. Sindroma Tako-tsubo (kardiomiopati balon apikal),
suatu kondisi yang umumnya dijumpai pada wanita usia tua yang menyerupai
presentasi klinis infark miokard anterior diduga akibat dari stress peningkatan
katekolamin. Hal ini berhubungan dengan pola karakteristik gerakan dinding
ventrikel yang abnormal, dengan hipokinetik apex jantung dan ventrikel.
Prognosis untuk sembuh baik.13-14
2.2.2 Komplikasi Kardiovaskular Pada Perdarahan Subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid berhubungan dengan angka morbiditas dan


mortalitas yang tinggi dan merupakan 10% dari seluruh stroke. Hal ini biasanya
akibat dari ruptur aneurisma intraserebral sakular, tetapi penyebab lain seperti
trauma, malformasi arterivena dan penggunaan obat seperti kokain dan amfetamin.
Hampir seluruh perubahan pada EKG, enzim jantung, dan disfungsi ventrikel kiri
dapat dilihat pada perdarahan subarakhnoid, akan tetapi ada karakteristik khusus
yang seringnya terlihat pada perdarahan subarakhnoid1.
Perubahan EKG dapat dilihat pada lebih dari 50% pasien dengan perdarahan
subarakhnoid berupa inversi gelombang T yang dalam atau gelombang T serebral
(Gambar 6 dan 7). Perubahan EKG ini dapat terlihat sampai 2 minggu setelah
perdarahan akut. Pemanjangan interval QT dan dispersi QT dijumpai lebih dari
70% pasien dengan perdarahan subarakhnoid, temuan yang predisposisi terjadinya
aritmia ventrikular dan kematian jantung tiba-tiba. Pemanjangan QTc interval >440
msec menandakan pasien trauma berat yang beresiko terjadinya aritmia ventrikel
dan kematian tiba-tiba2,6-8.

9
Gambar 5. Ventrikulografi kiri pada pasien apical ballooning syndrome

Gambar 6. EKG pasien dengan perdarahan subarakhnoid menunjukkan elevasi segmen ST dan Gelombang T
terbalik (tanda panah) di lead V2-V3, dengan kecurigaan infark anteroseptal. Tetapi, tidak adanya gambaran
resiprokal dan pemanjangan interval QT umum dijumpai pada perdarahan subarakhnoid dan membantu dalam
membedakannya dari infark miokard anterior.

Peningkatan enzim jantung umum dijumpai setelah perdarahan subarakhnoid,


diduga terjadi akibat rangsang simpatis yang berlebihan. Semakin besar kadar
troponin T, maka semakin buruk outcome pasien9,12.
Disfungsi ventrikel kiri neurogenik lebih sering dijumpai pada perdarahan
subarakhnoid daripada stroke iskemi dengan insidensi sekitar 10%. Patofisiologi
dari disfungsi ventrikel kiri sama seperti dengan stroke, yaitu cedera miosit jantung
akibat pelepasan katekolamin yang besar karena rangsang simpatis yang
meningkat. Pada beberapa pasien dengan perdarahan subarakhnoid, apex dan basis

10
ventrikel kiri berkontraksi normal sedangkan midventrikel akinetik, suatu kondisi
peneliti Jepang sebut dengan panic myocardium.13,15-17
2.2.3 Komplikasi Kardiovaskular Pada Trauma Kepala
Trauma kepala tertutup menyebabkan 175.000 kematian dan 500.000
perawatan RS tiap tahun, dengan kejadian puncak pada laki-laki usia 15 hingga 24
tahun. Trauma kepala berhubungan dengan komplikasi jantung yang dapat
memberikan hasil klinis yang negatif, termasuk gangguan ritme dan konduksi
jantung. Temuan EKG berupa gelombang T yang panjang, tinggi, tegak, atau
terbalik dalam; QT interval yang memanjang; depresi atau elevasi segmen ST; dan
gelombang U. Disritmia pada pasien cedera kepala sering membaik ketika tekanan
intrakranial menurun. Pemanjangan QT dan aritmia fatal yang berhubungan lebih
sering dihubungkan dengan perdarahan intraserebral dengan peningkatan tekanan
intrakranial. Penurunan cedera iskemia serebral bergantung kepada terjaganya
cardiac output yang adekuat; seiring terjadinya disfungsi jantung, hasil neurologis
akan memburuk.1
2.2.4 Cedera Otak dan Antikoagulan
Cedera kepala pada pasien yang menggunakan antikoagulan oral memberi
efek yang buruk terhadap angka harapan hidup karena meningkatnya insidensi
perdarahan intrakranial. INR lebih dari 3.3 berhubungan dengan peningkatan
insidensi perdarahan intraserebral akibat trauma kepala dan outcome yang buruk.1
2.2.5 Epilepsi dan Manifestasi Pada Jantung
Manifestasi kardiovaskular pada kejang epilepsi sering dijumpai, dan dapat
ditemukan pada periode preiktal, iktal, maupun post iktal. Efek tipikal
kardiovaskular akibat perubahan fungsi otonom yaitu perubahan denyut jantung,
tekanan darah, dan EKG. Gambaran EKG pada epilepsi termasuk depresi dan
elevasi segmen ST, dan gelombang T inversi. Sinus takikardi dijumpai pada 60%
pasien. Sinus takikardi yang disertai vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah
berhubungan dengan lesi hipotalamus. Bradiaritmia terjadi pada kurang dari 5%
pasien kejang dengan gambaran sinus bradikardi, sinus arrest, AV blok, dan asistole
yang panjang. Aritmia jantung lain yang dijumpai pada pasien kejang seperti
percepatan atau perlambatan denyut jantung, sinus aritmia, denyut prematur
atrium, sinus pause, AV blok, irama escape, takikardi supraventrikular dan
ventrikular ektopik.1

2.2.6 Terapi Elektrokonvulsi dan Manifestasi Pada Jantung


Terapi elektrokonvulsi merupakan kejang artifisial yang berhubungan dengan
peningkatan pelepasan katekolamin dan stimulus otonom terutama stimulus

11
parasimpatis. Perubahan EKG terjadi saat terapi elektrokonvulsi dan dan sama
dengan perubahan EKG yang terjadi pada kelainan kejang primer. Terdapat satu
studi prospektif yang menilai efek terapi ini terhadap fungsi sistolik ventrikel yang
menunjukkan bahwa terapi elektrokonvulsi berhubungan dengan disfungsi sistolik
ventrikel yang bersifat sementara. Terapi yang berulang tidak punya efek kumulatif
terhadap fungsi ventrikel, dan toleransi terhadap syok akan terjadi setelah beberapa
kali terapi.1
2.2.7 Komplikasi Kardiovaskular Pada Ensefalomielitis
Ensefalomielitis adalah gangguan inflamasi pada sistem saraf pusat, ganglia,
dan saraf otonom akibat etiologi infeksi maupun noninfeksi (seperti vaskulitis atau
sindrom paraneoplastik). Ensefalomielitis dapat berkaitan dengan manifestasi pada
jantung akibat kerusakan stimulus otonom yang berat pada keadaan ini. Kelainan
ini meliputi hipertensi, takikardi dan level katekolamin yang tinggi, sesuai dengan
keadaan hipersimpatis.1

BAB III
PENUTUP

12
Sistem saraf dan sistem kardiovaskular merupakan dua sistem yang saling berkaitan.
Pada keadaan cedera otak, baik berupa stroke maupun perdarahan inraserebral akibat trauma
dapat terjadi gangguan pada jantung. Gangguan yang terjadi dapat berupa perubahan
gambaran EKG seperti elevasi atau depresi segmen ST, gelombang T yang tinggi atau inversi
dalam, pemanjangan interval QT, aritmia (fibrilasi atrium, takikardi supraventrikular,
takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel), dan perubahan non spesifik lainnya.
Cedera otak juga dapat menyebabkan cedera pada otot jantung yang menyebabkan
meningkatnya kadar troponin T di atas normal, dan juga menyebabkan gangguan fungsi
sistolik ventrikel kiri. Pada keadaan yang lebih berat, dapat terjadi udem paru akut
neurogenik. Hal ini diduga disebabkan oleh disfungsi sistem saraf otonom, dimana terjadi
pelepasan katekolamin yang berlebihan.
Pemberian analgetik dan juga penghambat adrenergik seperti beta bloker dapat
mengurangi cedera miokardium yang terjadi, dan juga mengurangi angka kejadian aritmia
yang fatal.

DAFTAR PUSTAKA

13
1 Anavekar NS, Puwanant S, Chandrasekaran K. Acute Brain Injury and The Heart. Mayo
Clinic Cardiology. Edisi 3. Mayo Clinic Scientific Press. Chapter 87. p. 1049
2 Groh WJ, Zipes DP. Neurologic Disorders and Cardiovascular Disease. Braunwald
Heart Disease Textbook of Cardiovascular Medicine. Edisi 9. Elsevier and Saunders.
Chapter 92. p. 1934
3 Baguley IJ, Nicholls JL, Felmingham KL, Crooks J, Gurka JA, Wade LD. Dysautonomia
After Traumatic Brain Injury: A forgotten Syndrome? J Neurol Neurosurg Psychiatry.
1999;67:39-43
4 Sherwood L. Sistem Saraf Perifer: Divisi Eferen. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.
Edisi I. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Bab 7. p. 197
5 Lemke DM. Sympathetic Storming After Severe Traumatic Brain Injury. Crit Care
Nurse. 2007;27:30-37
6 Goldstein DS. The Electrocardiogram In Stroke: Relationship to Pathophysiological Type
and Comparison with Prior Tracings. Stroke. 1979;10:253-259
7 Dimant J, Grob D. Electrocardiographic Changes and Myocardial Damage in Patients
with Acute Cerebrovascular Accidents. Stroke. 1977;8:448-455
8 Christensen H, Boysen G, Ahristensen AF, Johannesen HH. Insular Region, ECG
Abnormalities, and Outcome in Acute Stroke. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2005;76:269-271
9 Agewall S, Giannitsis E, Jernberg T, Katus H. Troponin Elevation in Coronary vs Non-
coronary Disease. European Heart Journal. 2011;32:404-411
10 Kral MK, Sanak D, Veverka T, et.al. Troponin T in Acute Ischemic Stroke. Am J Cardiol.
2013;112:117-121
11 Jensen JK, Atar D, Mickley H. Mechanism of Troponin Elevations in Patients With
Acute Ischemic Stroke. Am J Cardiol. 2007;99:867-870
12 Hamm CW, Giannitsis E, Katus HA. Cardiac Troponin Elevations in Patients Without
Acute Coronary Syndrome. Circulation. 2002;106:2871-2872
13 Bahloul M, Chaari AN, Kallel H, et al. Neurogenic Pulmonary Edema Due to Traumatic
Brain Injury: Evidence of Cardiac Dysfunction. Am J Crit Care. 2006;15:462-470
14 Gianni M, Dentali F, Grandi AM, Sumner G, Hiralal R, Lonn E. Apical Ballooning
Syndrome or Takotsubo Cardiomyopathy: A Systematic Review. European Heart Journal.
2006;27:1523-1529
15 Banki NM, Kopelnik A, Dae MW, et al. Acute Neurocardiogenic Injury After
Subarachnoid Hemorrhage. Circulation. 2005;112:3314-3319

14
16 Wittstein IS, Thiemann DR, Lima JAC, et al. Neurohormonal Features of Myocardial
Stunning Due to Sudden Emotional Stress. N Eng J Med. 2005;352: 539-48
17 Chazal ID, Parham WM, Liopyris P, Wijdicks EFM. Delayed Cardiogenic Shock and
Acute Lung Injury After Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. Anesth Analg.
2005;100:1147-9
18 Constant J. Learning Electrocardiography: A Complete Course. Edisi 1. Little, Brown
and Company

15

Anda mungkin juga menyukai