BAB I
PENDAHULUAN
Refleks ialah respon yang terjadi secara otomatis tanpa usaha sadar. Secara
neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang terdiri atas
jalur aferen yang dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen yang mengaktivasi
refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan refleks yang terdiri atas
jalur aferen yang dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen yag mengaktivasi
organ efektor, serta hubungn antara kedua komponen ini. Bila lengkungan ini
rusak maka refleks akan hilang. Selain lengkungan ini didapatkan pula hubungan
dengan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang tugasnya memodifikasi refleks
tersebut. Bla hubungan dengan pusat yang lebih tinggi ini terputus dapat
kontraksi dari otot sfingter ani eksternus. Refleks anal merupakan refleks kunci
yang menunjukkan fungsi dari saraf tulang belakang segmen S2-S4, S5.(lumb)
2
terutama pada lesi medulla spinalis. Hal ini terjadi karena setiap refleks berasal
dari radiks saraf tertentu, yaitu saraf aferen dan eferen relevan yang terletak di
dilakukan pada orang dengan penurunan kesadaran, bayi, anak, orang yang
2007.
http://flexikon.doccheck.com/en/Anal_wink
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Refleks ialah respon yang terjadi secara otomatis tanpa usaha sadar.
terdiri atas jalur aferen yang dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen yang
mengaktivasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. (1,2)
kontraksi atau relaksasi otot, kontraksi atau dilatasi pembuluh darah. Dengan
adanya kegiatan refleks, tubuh mampu mengadakan reaksi yang cepat terhadap
refleks merupakan bagian dari mekanika pertahanan tubuh yang terjadi jauh lebih
cepat dari gerak sadar, misalnya menutup mata pada saat terkena debu, menarik
kembali tangan dari benda panas menyakitkan yang tersentuh tanpa sengaja.
Gerak refleks dapat dihambat oleh kemauan sadar ; misalnya, bukan saja tidak
menarik tangan dari benda panas, bahkan dengan sengaja menyentuh permukaan
panas.(2)
4
fungsi nervus, dan koordinasi tubuh. Dari refleks atau respon yang diberikan oleh
2.2 Refleks
gerakan yang bangkit untuk penyesuaian diri, baik untuk menjamin gerakan
volunter, maupun untuk membela diri. Gerakan reflektorik tidak saja dilaksanakan
oleh anggota gerak akan tetapi setiap otot lurik dapat melakukan gerakan
tetapi semua impuls perseptif dapat merangsang gerakan reflektorik. Ketika suatu
bahwa daerah yang dirangsang dan otot yang bergerak secara reflektorik itu
terdapat hubungan.
Lengkung reflex ini terdiri dari reseptor, serat saraf aferen, satu atau lebih sinaps
yang terdapat di susunan saraf pusat atau di ganglion simpatis, serat saraf eferen,
dan efektor. Reseptor adalah ujung distal dendrit yang menerima stimulus peka
sepanjang akson neuron motorik sampai efektor yang akan merespon impuls
Alat efektor dapat berupa otot rangka, otot jantung, atau otot polos kelenjar yang
merespon, merupakan tempat terjadinya reaksi yang diwakili oleh suatu serat otot
atau kelenjar. Pada mamalia, hubungan (sinaps) antara neuron somatil aferen dan
eferen biasanya terdapat di otak atau medulla spinalis. Serat neuron aferen masuk
susunan saraf pusat melalui radiks dorsalis medulla spinalis atau melalui nervus
nervi kranialis atau melalui nervus cranial yang sesuai. Kenyataan radiks dorsalis
medulla spinalis bersifat sensorik dan radiks ventralis bersifat motorik dikenal
reseptor ini akan membangkitkan potensial aksi yang bersifat gagal atau tuntas, di
saraf aferen. Frekuensi potensial aksi yang terbentuk akan sebanding dengan
besarnya potensial generator. Di sistem saraf pusat (SSP), terjadi lagi respons
(sinaps). Respon yang timbul di serat eferen juga berupa repons yang bersifat
gagal atau tuntas. Bila potensial aksi ini sampai di efektor, terjadi lagi respons
yang besarnya sebanding dengan kuat rangsang. Bila efektornya berupa otot
polos, akan terjadi sumasi respons sehingga dapat mencetuskan potensial aksi di
otot polos. Akan tetapi, di efektor yang berupa otot rangka, respons bertahap
tersebut selalu cukup besar untuk mencetuskan potensial aksi yang mampu
aferen dan eferen biasanya terdapat di system saraf pusat, dan kegiatan di
lengkung reflex ini dapat dimodifikasi oleh berbagai masukan dari neuron lain
mempunyai satu sinaps anatara neuron aferen dan eferen. Lengkung reflex
semacam itu dinamakan monosinaptik, dan reflex yang terjadi disebut reflex
antara neuron aferen dan eferen dinamakan polisanptik, dan jumlah sinapsnya
antara 2 sampai beberapa ratus. Pada kedua jenis lengkung reflex, terutama pada
fasilitas spasial dan temporal, oklusi, efek penggiatan bawah ambang (subliminal
fisika, kimia dilingkunagn reseptor yang dapat dideteksi. Sebagai respon terhadap
jalur aferen ke pusat integrasi untuk diolah. Biasanya, sebagai pusat integrasi
adalah SSP. Korda spinalis dan batang otang bertanggung jawab untuk
lebih tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada sistem piramidal, hal ini
mempunyai satu sinaps anatara neuron aferen dan eferen. Lengkung reflex
semacam itu dinamakan monosinaptik, dan reflex yang terjadi disebut reflex
antara neuron aferen dan eferen dinamakan polisinaptik, dan jumlah sinapsnya
antara 2 sampai beberapa ratus. Pada kedua jenis lengkung reflex, terutama pada
fasilitas spasial dan temporal, oklusi, efek penggiatan bawah ambang (subliminal
refleks superfisial, refleks dalam, refleks viseral, dan refleks patologis. Refleks
superfisial adalah refleks yang timbul akibat perangsangan kulit atau mukosa yang
8
sedangkan refleks dalam atau refleks regang otot adalah refleks yang timbul
akibat adanya peregangan otot oleh rangsangan yang diberikan dan sebagai
pada saraf viseral. Refleks patologis adalah refleks-refleks yang tidak dapat
dibangkitkan pada orang-orang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil.
orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan oleh aktivitas susunan piramidal.
BAB III
KESIMPULAN
1. Refleks
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, A., et. al. 2001, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi III, Cetakan
3. Saba HI. Anemia in cancer patient: Introduction and over view. Cancer Control
1.html
4. Moll AC, Imhoff SM, Van meeteren AY, Boers M. 2000. At what age could
EJCMO ; Vol.2:89-92.
8. Riordan-Eva,P. et al. 2009. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum (17th ed).
11. Simon, G. J. B., et al. 2012. Histological and Clinical Features of Primary and
13. Budiono, S., et al. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga
University Press
14. Alena, F., et al. 2015. Periocular Basal Cell Carcinoma. Journal of Dermatology
15. Dourmishev, A. L., et al. 2013. Clinical Variants, Stages, and Management of
Basal Cell Carcinoma. Indian Dermatology Online Journal, Vol. 4(1): 12-17
17. Bagheri, A., et al. 2013. Eyelid Masses: A 10-year Survey from a Tertiary Eye
192
18. Arora, R. S., et al. 2014. Massive Periocular Squamous Cell Carcinoma Engulfing
the Globe: A Rare Case Report. Case Reports in Oncological Medicine, Vol. 2014
19. Albert SL, Carolyn YS, Lisa R, Anne S, Tatyana M, Ira JU. Recurrence of Ocular
20. Sanket US, Swathi K, Kim HJ, Sara EL, Jerry AS, Carol LS. Topical Interferon
21. Kim HJ, Carol LS, Sanket US, Swathi K, Sara EL. Giant Ocular Surface
22. Stephen G, Ephantus M, Joy K, Alain MZ, Hilary R, Ernest O, Joseph W, Rhoda
23. Stephen G, Mandeep SS, Helen AW, Matthew JB. 2013. Epidemiology of Ocular
Saunders.
26. Bita Esmaeli, 2011. Ophthalmic Oncology. MD Anderson Solid Tumor Oncology