Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

A. DEFINISI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


Lupus erimatosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit peradangan kronik di mana
terbentuk antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen dari yang berlainan. Antibodi-
antibodi tersebut biasanya adalah IgG atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam
nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel
darah putih, dan trombosit. Komplek antigen-antigen dapat mengendap di jaringan
kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III. Kemudian terjadi peradangan
kronik. (Corwin, 2001)
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun dengan pembentukan
antibodi antinukleus (ANA), terutama terhadap double-stranded DNA (anti ds- DNA).
Dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh autoantibodi patogen dan
kompleks imun. (Sudewi, 2009)
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Penyakit ini menyerang
wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif
dengan ratio wanita dan pria 5:11. (Utomo, 2012)

B. ETIOLOGI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES merupakan
interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan lingkungan (sinar UVB,
obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T dan B autoreaktif yang persisten.
(Sudewi, 2009)

Penyebab LES tidak diketahui, walaupun penyakit ini sering terjadi pada orang-
orang dengan kecerendungan mengidap penyakit otoimun. Penurunan fungsi sel T
penekan atau ganggguan penyajian antigen HLA mungkin berperan. LES dapat
dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau menyusui. Pada
beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetusnya enyakit.
Penyakit ini dapat bersifat ringan selama bertahun-tahun, atau dapat bertkembang dan
menyebabkan kematian. (Corwin, 2001)

C. PATOFISIOLOGI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


D.

FAKTOR RESIKO SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


1. Faktor Genetik
Faktor keturunan ini frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana
terdapat anggota keluarga dengan penyakit tersebut. Penemuan terakhir
menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki
kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita
lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus
yang akan menderita penyakit ini.
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria
dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, yaitu pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara terdapat hubungan
antara SLE dan gen HLA kelas II.
Indeks tinggi pada kembar monozigotik (25%) versus kembar dizigotik (1-3%)
faktor keturunan mempunyai risiko yang meningkat untuk penderita SLE, dan
hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat
menunjukkan autoantibody. Pada beberapa pasien SLE (sekitar 6%) mengalami
defisiensi komponen komplemen yg diturunkan. Kekurangan komplemen akan
mengganggu pembersihan komplek imun dari sirkulasi dan memudahkan
deposisi jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.

Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan


resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain
mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human
Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus
(kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q
dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan
interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks
imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi
jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis,
sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sangat berperan sebagai pemicu Lupus, misalnya : infeksi,
stress, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin), cahaya ultra
violet (matahari) dan penggunaan obat obat tertentu.
Sinar matahari adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala
Lupus. Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen
sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimmune. Tetapi bukan berarti bahwa
penderita hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah
sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 dan disarankan agar memakai krim
pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti
Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien yang peka
terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan di bagian
muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang
tidak normal terhadap sinar matahari.
3. Faktor hormon
Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau
selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen)
mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini sedangkan hormon androgen
mengurangi risiko terjadinya SLE.
4. Sinar UV
Sinar ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
maupun secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
5. Sistem Imunitas
Pada pasien SLE terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
6. Obat obatan
o Obat yang pasti menyebabkan lupus
obat : klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
o Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus
obat : dilantin, penisilinamin, dan kuinidin
o Hubungannya belum jelas : garam emas, antibiotik, dan griseofulvin.
7. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan terkadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi. Misal disebabkan oleh agen infeksius seperti virus, bakteri
( virus Epstein Barr, Streptokokus, klebsiella)
8. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini.
9. zat kimia : merkuri dan silikon
10. Silika debu dan merokok dapat meningkatkan risiko mengembangkan SLE
11. Makanan
Makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia yang dikandungnya (Smeltzer & Bare, 2006).

E. MANIFESTASI KLINIS SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis
yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,
kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES.
Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi
secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri
sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya
akan memenuhi kriteria LES.

1. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi karena suhu tubuh >40 oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan poliartritis,
biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat
ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi
tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang
didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul
pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan
dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan
dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
3. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly
rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan lain
sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit,
misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang
memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data
autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi
katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita
dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan
wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai
50%.

5. Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks dan
spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau kelainan
respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi
pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak
bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada
20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal
jantung kongestif. Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan sindrom
antifosfolipid. Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi
terhadap kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli paru.
6. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau
proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya
leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan
pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran trombositopenia
idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan
gambaran LES yang lain.

8. Manifestasi Susunan Saraf


Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi
anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada
LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh
terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang
spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG)
juga tidak memberikan gambaran yangspesifik. CT scan otak kadang-kadang
diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

9. Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMETOSUS

American Rheumatism Association (ARA) tahhun 1982 menetapkan kriteria


diagnosis baru untuk klasifikasi SLE. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada satu
periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih dari 11 kriteria baru dibawah ini, baik
secara berturut-turut, maupun serentak:
1. Ruam malar
2. Lesi diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi mulut, ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
7. Kelainan ginjal, proteinuria lebih dari 0, 5 g/hari
8. Kelainan neurologis berupa kejang-kejang dan psikosis
9. Kelainan hematologi berupa anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, dan
trombositopenia
10. Kelainan imunologi berupa adanya sel LE, anti DNA, antibodi terhadap native
DNA dengan titer abnormal atau anti sm, uji serologi untuk sifilis yang positif
semu.
11. Antibodi antinuklear (ANA)
Pemeriksaan ANA adalah pemeriksaan laboratorium yang paling sensitif untuk
mendeteksi penyakit SLE, dengan sensitivitas 95%. Dikenal sebagai Anti Nuclear
Factor (ANF) adalah suatu antibodi yang menyerang atau mengikat inti sel yang
merupakan pusat perintah sel. Tes darah ANA merupakan tes yang sensitif untuk
Lupus. Ketika ada tiga atau lebih fitur/ciri khas Lupus seperti keterlibatan kulit,
sendi, ginjal, paru-paru, jantung, darah, atau sistem saraf, maka tes ANA yang
positif merupakan konfirmasi adanya Lupus. Namun, hasil tes ANA positif tidak
selalu berarti orang tersebut memiliki Lupus. ANA dapat menjadi positif pada
orang dengan penyakit lain, atau positif pada orang yang tidak sakit. ANA juga
bisa berubah dari positif ke negatif, atau negatif ke positif, pada orang yang sama.
Namun, Antibodi antinuclear biasanya ditemukan (97%) dalam darah penderita
Lupus. Pemeriksaan ANA-ELISA digunakan untuk mendeteksi anti-bodi secara
tidak langsung, meng-gunakan label enzim dan zat kro-mogen sebagai indikator
reaksi Kelebihan pemeriksaan dengan metode ANA-ELISA yaitu hasil
pemeriksaan ber-sifat objektif, meminimalkan risiko human error, kurang
membutuhkan tenaga trampil dan ketelitian peme-riksa, sebab semua prosedur
diker-jakan secara automasi oleh alat. (Roitt, Brostoff & Male, 2001)
Untuk menegakkan diagnosis SLE, diperlukan beberapa jenis uji diagnostik
(pemeriksaan laboratorium) terutama bila gejala-gejala kurang jelas. Tidak ada uji
dignostik tunggal untuk Lupus. Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang sering
dipakai untuk menegakkan diagnosis SLE.
Antibodi untuk DNA untai ganda (anti-dsDNA)
Batas normal : 70 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan
pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit
SLE yang tenang
Antibodi terhadap fosfolipid (aPLs)
Dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menyebabkan
pembekuan darah di kaki atau paru-paru, stroke, serangan jantung, atau
keguguran. Yang paling sering aPLs diukur adalah antikoagulan lupus, antibodi
anticardiolipin, dan anti-Beta2 glikoprotein I. Hampir 30 persen orang dengan
Lupus akan mendapatkan hasil tes positif untuk antibodi antifosfolipid. (Catatan
: Fosfolipid selain ditemukan pada Lupus juga ditemukan pada penyakit
Syphilis, jadi hasil positif untuk tes sifilis tidak berarti bahwa Anda telah atau
pernah menderita Syphilis karena sekitar 20 persen dari penderita Lupus akan
memiliki hasil tes Syphilis positif palsu).
Antibodi terhadap protein Sm dalam inti sel (Anti Sm)
Anti Sm merupakan singkatan dari antibodi Smith, nama ini dipakai
sebagai bentuk penghargaan terhadap seorang gadis yang bernama Stephanie
Smith yang didiagnosis menderita SLE pada tahun 1959 dan akhirnya
meninggal dunia pada tahun 1969 pada usia 22 tahun. Selama sakit, nona
Smith dirawat di Rumah Sakit Universitas Rockefeller New York dibawah
perawatan dr. Henry Kunkel dan dr. Eng Tan. Kedua dokter itu menemukan
suatu antibodi terhadap antigen Sm (suatu set protein inti sel yang diproduksi
nona Smith). Antibodi Sm ditemukan pada 30-40 persen orang dengan Lupus,
keberadaan antibodi ini hampir selalu dapat diartikan bahwa bahwa seseorang
mengidap Lupus.
Antibodi untuk Ro/SS-A dan La/SS-B (Ro dan La adalah nama-nama protein
lain dalam inti sel)
Anti-Ro terutama ditemukan pada Lupus bentuk kutan (kulit), suatu
bentuk Lupus yang menyebabkan ruam yang sangat sensitif terhadap sinar
matahari. Pada wanita hamil, antibodi Ro dan La dapat melewati plasenta dan
dapat menyebabkan Lupus Neonatal pada bayi. Lupus Neonatal jarang terjadi
dan biasanya tidak berbahaya, tetapi bisa serius dalam beberapa kasus.
Komplemen (Complement) C3 dan C4
Komplemen adalah sekelompok protein yang berfungsi membantu
kerja sistem kekebalan tubuh dan berperan dalam proses peradangan. Ada 9
macam komplemen yang bergerak bebas di dalam aliran darah yaitu C1
sampai C9. Komplemen yang penting dalam diagnosis SLE adalah C3 dan C4.
Level normal C3 dan C4 dalam darah untuk perempuan 13-75 mg/dL dan untuk
laki-laki 12-72 mg/dL. Pada SLE aktif, biasanya C3 dan C4 turun dibawah level
normal.
Tes abnormalitas sel darah
Anemia
Tes untuk anemia termasuk tes Hb, Hct dan RBC count. Juga
dilakukan pemeriksaan iron level, total iron-binding capacity dan ferritin.
Selama perjalanan penyakit, sekitar 40% pasien SLE mengalami anemia.
Anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi, perdarahan GIT, obat-obatan
atau pembentukan autoantibody terhadap sel darah merah. Saat pertama
kali didiagosa, sekitar 50% pasien mengalami anemia dengan konsentrasi
Hb dan ukuran sel darah merah yang normal. Ini disebut normochromic-
normocytic anemia atau "anemia of chronic disease." Sedangkan
autoimun hemolytic anemia, dengan tes Coombs positif lebih jarang
dijumpai.
Leukopenia dan trombositopenia
Abnormalitas sel darah putih (WBC) dan platelet counts merupakan
indicator penting untuk SLE. Leukopenia merupakan penurunan jumlah sel
darah putih, sering ditemukan pada 15-20% pasien SLE aktif.
Trombositopenia atau jumlah platelet yang rendah terjadi pada 25-35%
pasien SLE.
Test laboratorium lain
Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin, test fungsi hepar.
Pemeriksaan darah
Bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada
hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan
pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus
dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda.
Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi
tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah
untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem
kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu
dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
Ruam kulit atau lesi yang khas
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya
gesekan pleura atau jantung
Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel
darah
Pemeriksaan saraf.
CBC (Complete Blood Cell Count) untuk mengukur jumlah sel darah, maka
terdapat anemia, leukopenia,trombositopenia.
ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan ESR
akan lebih cepat dari pada normal.
Biopsi untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal
Urinalysis pengukuran urin kadar protein dan sel darah merah
X-ray dada

G. PENATALAKSANAAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Dalam garis besarnya penatalaksanaan SLE dibagi dalam 3 golongan besar yaitu:
1. Konseling dan tindakan supportif
Penderita perlu diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya
(perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis, dan sebagainya) sehingga
diharapkan penderita dapat bersikap positif terhadap penanggulangan
penyakitnya (Albar, 2004).
2. Obat-obatan
a. Anti inflamasi Non steroid (AINS)
Untuk mengobati kelainan muskuloskeletal seperti atralgia, artritis dan
mialgia serta kelainan sestemik lainnya seperti demam dan serositis
ringan.
b. Obat anti malaria
Obat antimalaria efektif dalam mengatasi manifestasi kulit, musculoskeletal
dan kelainan sistemik ringan pada SLE. Kadang-kadang juga terdapat
adenopati hilus serta kelainan paru ringan dan artralgia ringan. Yang paling
sering dipakai ialah klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis 200-
500 mg/hari. Selama pemakaian obat ini pasien harus control ke Ahli Mata
setiap 3-6 bulan, karena adanya efek toksik berupa degenerasi macula.
c. Kortikosteroid
Diberikan pada penderita SLE yang berat disertai dengan problem
sistemik, yaitu penderita SLE dengan kelainan kulit yang memburuk dan
tidak responsif terhadap pengobatan konservatif, dalam keadaan ini
biasanya diperukan takaran rendah sampai sedang, keadaan lain dimana
diperlukan kortikosteroid ialah adanya gejala gangguan susunan saraf
pusat, perikarditis, miokarditis, pleuritis, pneumonitis, vaskulitis, miositis
berat, anmeia hemolitik, leukopenia, trombositopenia, gangguan
pembekuan darah, nefritis, hepatitis dan demam yang tinggi.
d. Obat imunosupresif/sitotoksik
Yang sering dipakai adalah azatiopatin dan siklofosfamid. Azatiopatin
diberikan dengan takaran 2-3 mg/kgBB/hari per oral, kemudian diturunkan
menjadi 1-2 mg/kgBB/hari. Siklofosfamid diberikan dengan takaran 10-15
mg/kgBB/hari intra vena setiap 4 minggu sekali, dapat juga per oral
dengan takaran 1,5-2,5 mg/kgBB/hari, atau bersamaan dengan azatiopatin
takaran rendah (0,5-1 mg/kgBB/hari).
e. Terapi hormonal
Morley dkk. Dalam suatu penelitiannya memberikan 400-600 mg Danazol
(18 etiniltestosteron), suatu gonadotropik yang dapat menekan FSH dan
LH pada 2 penderita SLE wanita dengan keluhan atralgia, demam dan
nyeri dada karena pleuritis yang timbul bertambah berat pada beberapa
hari sebelum tiap-tiap masa haid, ternyata obat tersebut dapat mengurangi
gejala yang timbul dan bahkan dapat mengurangi takaran prednison yang
sudah didapat sebelumnya.
f. Stimulasi imunologik
Digunakan pada pasien SLE yang mengalami kelainan persendian dengan
takaran sebesar 100 mg diberikan 2 kali seminggu.
g. Plasmaferesis
Dilakukan dalam penatalaksanaan berbagai kelainan imunologis, seperti
pada artritis reumatoid, miastenia gravis, sklerosis multiple, sindrom
Goodpasture dan reaksi penolakan jaringan tandur alih.
3. Pengobatan terhadap komplikasi
Pada sistem kardiopulmonar mungkin dapat timbul efusi pleura, efusi perikard
sampai tamponade jantung yang memerlukan tindakan infasiv seperti
perikardiektomi. Obat antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang pada
penderita SLE dengan gangguan susunan saraf pusat. Sedang pada kelainan
muskuloskeletal mungkin diperlukan fisioterapi dan tindakan rehabilitasi untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut pada sendi dan otot serta untuk
mempertahankan kemampuan mobilisasi yang masih ada. Kelainan ginjal dapat
berupa kegagalan fungsi ginjal yang dapat diberikan antideuretik, obat anti
hipertensi, dan mungkin juga dialisis. Antikoagulasi oral dapat diberikan untuk
mencegah trombisi vena yang berulang dan tromboflebitis. Untuk penderita SLE
dengan trombsis arteri dapat diberikan obat anti platelet, yaitu asam asetilsalisilat
(ASA) takaran rendah (100 mg/hari).

Penatalaksaan Non Farmakologis:


Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi,
demaminfeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres
emosional. Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup
istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya
hidup
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari khususnya UV pada pukul 10.00 sampai
15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung
hormonestrogen
Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang
berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan
penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan
mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif
sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka
sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga
dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun
penderita selama hamil.
Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan
peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2
organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan
Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan
edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun
memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang
mampu dalam pengobatan.
Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar
sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar
matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30
pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila
terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga
meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan
kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler,
osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga
perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan
hipertensi.

Penatalaksanaan Medikamentosa :
Untuk SLE derajat Ringan:
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan
Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-
steroid
Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid
Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari
Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada
saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun
kacamata
Untuk SLE derajat berat:
Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia
hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit
sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis
sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.
Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa
diberikan obat penekan sistem kekebalan
Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat
pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik
terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis
tinggi.
Pengobatan Pada Keadaan Khusus
- Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan
sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum
ada perbaikan
Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4
minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/hari selama 5 hari berturut-turut
Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat
diberikan prednison 20-40 mg/hari
Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan
dengan siklofosfamid
Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan
metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut- turut
Penatalaksanaan Farmakologis:
1. Terapi Imunomodulator
Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat,
terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid
(bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam
pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi
remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah
sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan
sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >
3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi
intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat
ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-
dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan
penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan
virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu
menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon
Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate
dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF
akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul
adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin
serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid.
Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.
Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian
siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan
prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai
adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam
nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini
digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis
atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis
dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari,
jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3
mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil > 1000.
Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi
menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid,
yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan
gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas
dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum
transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah
obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal
maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan
pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan
dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin
yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah
melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan
karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100
mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali
seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek
samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase,
gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat
fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria,
sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya
harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi,
hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin
terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik
yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus
dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati
lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

H. KOMPLIKASI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


1 Serangan pada ginjal.
a Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal).
b Kelainan ginjal berat (gagal ginjal).
c Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebih melalui urin)
2 Serangan pada jantung dan paru.
a Pleuritis
b Pericarditis
c Efusi Pleura
d Efusi pericard
e Radang otot jantung (Miocarditis)
f Gagal jantung
g Perdarahan Paru
3 Serangan sistem saraf
a Sistem Saraf Pusat
- Cognitive Disfunction
- Sakit kepala pada lupus
- Sindrom Antiphospholipid
- Sindrom Otak
- Fibromyalgia
b Sistem saraf Tepi
- Mati rasa atau kesemutan pada ekstremitas
c Sistem Saraf Otonom
- Gangguan suplai darah ke otakk dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak, sel-sel otak, kerusakan otak permanen (stroke).
4 Serangan pada kulit
a Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi diskoid.
o Ciri ciri spesifik:
Berparut, berwarna merah, berbentuk koin sangat sensitif terhadap
sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kulit subakut/ cutaneus
lupus subacute. Kadang menyerupai luka psioriasis.
Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu.
b Alopecia, vaskulitis.
5 Serangan pada sendi dan otot
a Radang sendi
b Radang otot
6 Serangan pada mata
7 Serangan pada darah
a Anemia
b Trombositopenia
c Gangguan pembekuan
d Limfositopenia
8 Serangan pada hati.
(Joe. 2009. SLE)
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
d. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
e. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
2. Masalah Keperawatan
a. Nyeri
b. Keletihan
c. Gangguan integritas kulit
d. Kerusakan mobilitas fisik
e. Gangguan citra tubuh
3. Intervensi
a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
1) Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres
panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal
penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
2) Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
3) Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
4) Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta
sifat kronik penyakitnya.
5) Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa
rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti
manfaatnya.
6) Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien
untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
7) Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
b. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-
hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
1) Beri penjelasan tentang keletihan :
a) hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
b) menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara
melaksanakannya
c) mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi
air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
d) menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik,
artikuler dan emosional
e) menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
f) kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
2) Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
3) Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
4) Rujuk dan dorong program kondisioning.
5) Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan
suplemen.
c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
1) Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
2) Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
a) Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
b) Meningkatkan pemakaian alat Bantu
c) Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
d) Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
3) Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
4) Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
a) Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
b) Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
c) Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta
psikologik yang ditimbulkan penyakit.
Intervensi :
1) Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan
penanganannya.
2) Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
a) Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
b) Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
c) Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
1) Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
2) Hilangkan kelembaban dari kulit
3) Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat
penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
4) Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
5) Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran


Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah Berbagai Penyakit Hidup
Sehat untuk Keluarga. Jakarta : Kompas
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Buku Kedokteran
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara
Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4). Buku Kedokteran
Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi Penyakit (edisi 5). Buku Kedokteran
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart
edisi 8 volume 3. Jakarta : EGC
http://doktersehat.com/lupus-apa-itu-penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 15 Maret 2017,
jam 19.30 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_eritematosus_sistemik , diakses pada tanggal 15 Maret
2017, jam 19.30 WIB
http://infokesehatan101.blogspot.com/2012/07/penyakit-lupus.html , diakses pada tanggal
15 Maret 2017, jam 19.30 WIB
http://kotasehat.blogspot.com/2012/01/penyakit-lupus-gejala-dan-pengobatannya.html ,
diakses pada tanggal 15 Maret 2017, jam 19.30 WIB
http://www.lupusarthritisindonesia.org/id/basicinfo-systemic.php , diakses pada tanggal 15
Maret 2017, jam 19.30 WIB
http://majalahkesehatan.com/penyakit-misterius-bernama-lupus/ , diakses pada tanggal 15
Maret 2017, jam 20.00 WIB
http://mazrie.wordpress.com/2010/01/14/67/ , diakses pada tanggal 15 Maret 2017, jam
19.40 WIB
http://niwanasod.net/penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 15 Maret 2017, jam 19.35 WIB
http://www.antaranews.com/berita/338354/gejala-penyakit-lupus-yang-sering-diabaikan oleh
editor Aditia Maruli, diakses pada tanggal 15 Maret 2017, jam 19.55 WIB
http://www.metris-community.com/penyakit-lupus-gejala-penyebab-lupus-penyakit/ , diakses
pada tanggal 15 Maret 2017, jam 19.43 WIB
http://www.penyakitlupus.net/ , diakses pada tanggal 15 Maret 2017, jam 19.50 WIB

LAPORAN PENDAHULUAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen emergency


Di Ruang UGD RS Ngudi Waluyo Wlingi, Blitar

OLEH :
Vivi Wulan Aguspriyanti
NIM. 150070300011134

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

Anda mungkin juga menyukai