LP Sle
LP Sle
Penyebab LES tidak diketahui, walaupun penyakit ini sering terjadi pada orang-
orang dengan kecerendungan mengidap penyakit otoimun. Penurunan fungsi sel T
penekan atau ganggguan penyajian antigen HLA mungkin berperan. LES dapat
dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau menyusui. Pada
beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetusnya enyakit.
Penyakit ini dapat bersifat ringan selama bertahun-tahun, atau dapat bertkembang dan
menyebabkan kematian. (Corwin, 2001)
1. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat
disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi karena suhu tubuh >40 oC tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan poliartritis,
biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50% kasus dapat
ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi
tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang
didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul
pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan
dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan
dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
3. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas, butterfly
rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan lain
sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit,
misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang
memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data
autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi
katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita
dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan
wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai
50%.
5. Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks dan
spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau kelainan
respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi
pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak
bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada
20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal
jantung kongestif. Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan sindrom
antifosfolipid. Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi
terhadap kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli paru.
6. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau
proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya
leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada LES ditemukan
pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran trombositopenia
idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan
gambaran LES yang lain.
9. Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.
Dalam garis besarnya penatalaksanaan SLE dibagi dalam 3 golongan besar yaitu:
1. Konseling dan tindakan supportif
Penderita perlu diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya
(perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis, dan sebagainya) sehingga
diharapkan penderita dapat bersikap positif terhadap penanggulangan
penyakitnya (Albar, 2004).
2. Obat-obatan
a. Anti inflamasi Non steroid (AINS)
Untuk mengobati kelainan muskuloskeletal seperti atralgia, artritis dan
mialgia serta kelainan sestemik lainnya seperti demam dan serositis
ringan.
b. Obat anti malaria
Obat antimalaria efektif dalam mengatasi manifestasi kulit, musculoskeletal
dan kelainan sistemik ringan pada SLE. Kadang-kadang juga terdapat
adenopati hilus serta kelainan paru ringan dan artralgia ringan. Yang paling
sering dipakai ialah klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis 200-
500 mg/hari. Selama pemakaian obat ini pasien harus control ke Ahli Mata
setiap 3-6 bulan, karena adanya efek toksik berupa degenerasi macula.
c. Kortikosteroid
Diberikan pada penderita SLE yang berat disertai dengan problem
sistemik, yaitu penderita SLE dengan kelainan kulit yang memburuk dan
tidak responsif terhadap pengobatan konservatif, dalam keadaan ini
biasanya diperukan takaran rendah sampai sedang, keadaan lain dimana
diperlukan kortikosteroid ialah adanya gejala gangguan susunan saraf
pusat, perikarditis, miokarditis, pleuritis, pneumonitis, vaskulitis, miositis
berat, anmeia hemolitik, leukopenia, trombositopenia, gangguan
pembekuan darah, nefritis, hepatitis dan demam yang tinggi.
d. Obat imunosupresif/sitotoksik
Yang sering dipakai adalah azatiopatin dan siklofosfamid. Azatiopatin
diberikan dengan takaran 2-3 mg/kgBB/hari per oral, kemudian diturunkan
menjadi 1-2 mg/kgBB/hari. Siklofosfamid diberikan dengan takaran 10-15
mg/kgBB/hari intra vena setiap 4 minggu sekali, dapat juga per oral
dengan takaran 1,5-2,5 mg/kgBB/hari, atau bersamaan dengan azatiopatin
takaran rendah (0,5-1 mg/kgBB/hari).
e. Terapi hormonal
Morley dkk. Dalam suatu penelitiannya memberikan 400-600 mg Danazol
(18 etiniltestosteron), suatu gonadotropik yang dapat menekan FSH dan
LH pada 2 penderita SLE wanita dengan keluhan atralgia, demam dan
nyeri dada karena pleuritis yang timbul bertambah berat pada beberapa
hari sebelum tiap-tiap masa haid, ternyata obat tersebut dapat mengurangi
gejala yang timbul dan bahkan dapat mengurangi takaran prednison yang
sudah didapat sebelumnya.
f. Stimulasi imunologik
Digunakan pada pasien SLE yang mengalami kelainan persendian dengan
takaran sebesar 100 mg diberikan 2 kali seminggu.
g. Plasmaferesis
Dilakukan dalam penatalaksanaan berbagai kelainan imunologis, seperti
pada artritis reumatoid, miastenia gravis, sklerosis multiple, sindrom
Goodpasture dan reaksi penolakan jaringan tandur alih.
3. Pengobatan terhadap komplikasi
Pada sistem kardiopulmonar mungkin dapat timbul efusi pleura, efusi perikard
sampai tamponade jantung yang memerlukan tindakan infasiv seperti
perikardiektomi. Obat antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang pada
penderita SLE dengan gangguan susunan saraf pusat. Sedang pada kelainan
muskuloskeletal mungkin diperlukan fisioterapi dan tindakan rehabilitasi untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut pada sendi dan otot serta untuk
mempertahankan kemampuan mobilisasi yang masih ada. Kelainan ginjal dapat
berupa kegagalan fungsi ginjal yang dapat diberikan antideuretik, obat anti
hipertensi, dan mungkin juga dialisis. Antikoagulasi oral dapat diberikan untuk
mencegah trombisi vena yang berulang dan tromboflebitis. Untuk penderita SLE
dengan trombsis arteri dapat diberikan obat anti platelet, yaitu asam asetilsalisilat
(ASA) takaran rendah (100 mg/hari).
Penatalaksanaan Medikamentosa :
Untuk SLE derajat Ringan:
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan
Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-
steroid
Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid
Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari
Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada
saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun
kacamata
Untuk SLE derajat berat:
Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia
hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit
sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis
sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.
Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa
diberikan obat penekan sistem kekebalan
Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat
pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik
terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis
tinggi.
Pengobatan Pada Keadaan Khusus
- Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan
sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum
ada perbaikan
Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4
minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/hari selama 5 hari berturut-turut
Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat
diberikan prednison 20-40 mg/hari
Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan
dengan siklofosfamid
Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan
metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut- turut
Penatalaksanaan Farmakologis:
1. Terapi Imunomodulator
Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat,
terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid
(bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam
pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi
remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah
sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan
sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >
3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi
intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat
ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-
dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan
penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan
virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu
menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon
Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate
dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF
akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul
adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin
serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid.
Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.
Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian
siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan
prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai
adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut.
Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam
nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini
digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis
atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis
dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari,
jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3
mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan metrofil > 1000.
Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi
menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid,
yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan
gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas
dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum
transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah
obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal
maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan
pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan
dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin
yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah
melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan
karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100
mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali
seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek
samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase,
gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat
fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat
ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria,
sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya
harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi,
hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin
terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik
yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus
dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati
lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH :
Vivi Wulan Aguspriyanti
NIM. 150070300011134