Anda di halaman 1dari 41

Skenario I

Aduh Mata Saya Merah


Dodo seorang Laki-laki usia 23 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan
mata kanannya merah, ia juga merasa ada benda asing di mata kanannya, keluhan
tersebut dirasakan sejak 2 hari yang lalu setelah berenang. Ia masih bisa melihat
dengan jelas, dan ketika bangun tidur di keesokan pagi harinya matanya sulit
dibuka. Ia sudah memakai obat tetes mata tetapi matanya tambah merah dan
bengkak.
BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1.1 Mata Merah


Peradangan atau infeksi pada membran transparan (konjungtiva) yang
membatasi kelopak mata dengan bola mata. (James, 2003)
1.2 Benda asing/Corpus alienum
Istilah yang sering digunakan di dunia medis tentang benda asing
dalam tubuh. (Depkes RI, 2005)
BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH

2.1 Mengapa mata kanan dodo merah?


2.2 Mengapa mata terasa seperti ada benda asing?
2.3 Bagaimana hubungan keluhan dengan berenang 2 hari yang lalu?
2.4 Mengapa visus nya tidak menurun atau tidak ada gangguan penglihatan?
2.5 Mengapa mata tetap merah dan bengkak setelah memakai obat mata?

BAB III
CURAH PENDAPAT

3.1 Mata kanan dodo merah


Mata merah merupakan keluhan yang timbul akibat adanya
perubahan warna bola mata yang biasanya/normalnya putih menjadi
merah. Penyebab utama mata merah ialah adanya pelebaran pembuluh
arah konjungtiva, berikut pembuluh darah yang terdapat di konjungtiva :
1 A. konjungtiva posterior yang memperdarahi konjungtiva
2 A. siliar anterior atau episklera
3 A. perikornea
Beberapa penyebab arteri pada konjungtiva diatas yang dapat
mengakibatkan melebarnya pembuluh darah :
1 Hiperemia konjungtiva, yang dapat disebabkan oleh
a Bertambahnya asupan pembuluh darah
b Berkurangannya pengelearan darah dari mata yang dapat
diakibatkan oleh pembendungan
2 Peradangan akut, misalnya kongjungtivitis, keratitis, atau irodosiklitis.
Selain dari melebarnya pembuluh darah, mata merah dapat juga
disebabkan oleh terjadi pecahnya pembuluh darah diatas dan darah
tertimbun dibawah jaringan kongjungtiva, keadaan ini sering disebut
perdarahan subkonjungtiva.

Pelebaran pembuluh darah pada konjungtiva yang menyebabkan


mata merah disebut juga injeksi, terdapat 2 jenis injeksi yaitu :

1 Injeksi konjungtiva
Disebabkan oleh melebarnya A. konjungtivas posterior atau dapat
juga disebabkan karena terjadinya akibat pengaruh mekanis, alergi
ataupun infeksi jaringan konjungtiva.
2 Injeksi Ciliar atau injeksi perikornea

Disebabkan oleh melebarnya pembuluh darah perikornea (A.


siliaris anterior) atau akibat radang kornea, tukak kornea, benda asing
pada kornea, radang jaringan uvea, glaucoma, endoftamlitis, maupun
panoftalmitis

Berdarasarkan sifat berikut table perbedaan injeksi konjungtiva dan


siliar :
Berikut gambaran injeksi konjungtiva dan siliar

(Sidarta Ilyas, ed.3 2008)

3.2 Mata terasa seperti ada benda asing


Adanya benda asing pada mata dapat terjadi pada orang dengan
aktivitas yang tinggi atau pada pekerja tanpa menggunakan alat pelindung
diri. Benda asing yang mengenai permukaan bola mata jarang menyebabkan
penurunan visus, sedangkan jika mengenai intraokular dapat menyebabkan
penurunan visus. (Mansjoer, 2008)
3.3 Hubungan keluhan dengan berenang 2 hari yang lalu
Jaringan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti Streptococcus,
Staphylococcus dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme
pertahanan tubuh ataupun jumlah koloni dapat menyebabkan infeksi klinis.
Perubahan flora normal terjadi karena adanya kontaminasi eksternal.
Kontaminasi eksternal ini kemungkinan didapatkan di kolam renang yang
mengandung bakteri/ agen infeksi lainnya, sehingga menyebabkan keluhan
pada pasien. (Visscher, 2009)
3.4 Visus tidak menurun
Gangguan pada media refraksi menyebabkan penurunan visus baik
mendadak maupun perlahan. Yang termasuk dalam media refraksi adalah
lapisan airmata, kornea, humor aquosus, lensa, dan humor vitrous. Pada
kasus dalam skenario tidak ada gangguan pada media refraksi sehingga
tidak ada penurunan visus.
Golongan penyakit mata berdasarkan ada tidaknya penurunan visus
sebagai berikut :
a Mata merah visus tidak turun
Prinsipnya: mengenai struktur yang bervaskuler (konjungtiva atau
sklera) yang tidak menghalangi media refraksi. Contoh penyakitnya
antara lain: konjungtivitis murni, trakoma, mata kering, xeroftalmia,
pterigium, pinguekula, episkleritis, skleritis.
b Mata merah visus turun
Prinsipnya: mengenai struktur bervaskuler yang mengenai media
refraksi (kornea, uvea, atau seluruh mata). Contoh penyakitnya antara
lain: keratitis, keratokonjungtivitis, uveitis, glaukoma akut,
endoftalmitis, panoftalmitis.
c Mata tenang visus turun mendadak
Contoh penyakitnya antara lain: uveitis posterior, perdarahan
vitreous, ablasio retina, oklusi arteri atau vena retinal, neuritis optik,
neuropati optik akut karena obat (misalnya etambutol), migrain, tumor
otak.
d Mata tenang visus turun perlahan
Contoh penyakitnya antara lain: katarak, glaukoma, retinopati
penyakit sistemik, retinitis pigmentosa, kelainan refraksi.
e Trauma mata
Contoh penyakitnya antara lain: trauma fisik (tumpul dan tajam),
trauma kimia (asam dan basa), trauma radiasi (ultraviolet dan
infrared). (Ilyas, S. 2008)
3.5 Mata tetap merah dan bengkak setelah memakai obat mata
Ada tetes mata yang mengandung kloramfenikol dan tetrasiklin
(antibiotik) ataupun ada yang mengandung kortikosteroid (antialergi). Ada
dua kemungkinan, yang pertama yaitu Dodo peka terhadap antibiotik,
sehingga ketika obat tetes mata mengandung antibiorik, maka hasilnya akan
semakin meradang. Kemungkinan kedua, obat tetes mata yang digunakan
tidak mengandung antibiotik, sehingga ketika pencetusnya bakteri, tetap
terjadi infeksi dan semakin memarah. (Radjamin, 2006)

BAB IV

KERANGKA KONSEP

Dodo 23 Tahun

Poliklinik 2 hari lalu


berenang

migrasi
Mata merah pada Air kolam
kpermukaan Bakteri
sebelah kanan bola mata Virus
Terasa seperti ada bertemu fibrin Jamur
Keluar
Diberi
inflamasi
sekret
obatasing
benda Mata
Mengiritasi
merah Mata
Eksudat
Dilatasi
sulit
Bahan
dan mukus
tetes mata
Bengkak mata mengering
pembuluh
dibuka
kimia
dari sel goblet
darah
alergen
BAB V

TUJUAN PEMBELAJARAN

5.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan anatomi, histologi dan


fisiologi sistem penglihatan
5.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang dianjurkan
5.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kegawatdaruratan mata
merah
5.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang skleritis
5.5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang konjungtivitis virus
5.6 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang konjungtivitis
bakteri
5.7 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang konjungtivitis non
infeksi

BAB VI

BELAJAR MANDIRI
BAB VII

HASIL BELAJAR

7.1 Anatomi dan fisiologi sistem penglihatan


a. Anatomi sistem penglihatan
Aksesoris Mata
a) Orbita
a. Hanya seperlima rongga orbita yang terisi bola mata,
sisanya berisi jaringan adipose dan ikat serta otot mata.
b. Ada dua lubang pada orbital, foramen optic yang
berfungsi untuk lintasan saraf optic dan arteri optical
serta fisura orbital superior yang berfungsi sebagai
lintasan saraf dan perdarahan otot mata.
b) Tiga pasang otot mata
a. 2 pasang otot rektus dan sepasang otot oblik.
b. Berfungsi untuk menggerakan bola mata.
c. Dipersarafi oleh N.III, N.IV, dan N.VI
c) Alis Mata : berfungsi melindungi mata dari keringat.
d) Palpebral : berfungsi melindungi mata dari kekeringan dan
debu.
e) Fisura palpebral : celah antara kedua kelopak mata.
f) Kantus medial dan lateral
a. Medial : sambungan medial kelopak mata atas dan
bawah.
b. Lateral : sambungan lateral kelopak mata atas dan
bawah.
g) Karunkel : elevasi kecil pada kantus medial, berisi kelenjar
keringat.
h) Konjungtiva : lapisan pelindung tipis epitelium yang melapisi
bagian dalam palpebral dan terlipat kembali di atas anterior
bola mata.
i) Lempeng tarsal : bubungan jaringan ikat yang rapat
j) Aparatus lakrimal : produksi air mata (Snell, 2006)
A. Struktur Mata
a) Lapisan luar
Lapisan terluar yang keras adalah tunika fibrosa.
Bagian posterior tunika fibrosa adalah sclera opaque yang
berisi jaringan ikat fibrosa putih.
o Sklera memberi bentuk pada bola mata dan
memberi tempat pelekatan untuk otot ekstrinsik.
o Kornea adalah perpanjangan anterior yang
transparan pada sclera di bagian depan mata.

b) Lapisan tengah
Tunika vascular yang tersusun dari koroid, badan siliaris,
dan iris.
o Lapisan koroid adalah bagian yang sangat
terpigmentasi mencegah refleksi internal berkas
cahaya, juga untuk memberi nutrisi mata.
o Badan siliaris adalah penebalan di anterior lapisan
koroid yang mengandung pembuluh darah dan otot
siliaris. Otot melekat pada ligament suspensorik,
tempat perlekatan lensa. Berfungsi mengatur focus.
o Iris adalah perpanjangan anterior koroid, berwarna
bening. Terdiri atas jaringan ikat dan otot radialis
serta sirkularis. Berfungsi sebagai pengendali
diameter pupil.
o Pupil adalah ruang terbuka bulat pada iris yang
dilalui oleh cahaya.
c) Lensa
Struktur bikonveks bening, tepat di belakang pupil.
Memiliki elastisitas tinggi.
Elastisitas menurun seiring dengan usia

d) Rongga mata
Rongga anterior
o Ruang anterior terletak di belakang kornea dan di
depan iris.
o Ruang posterior terletak di depan lensa dan
dibelakang iris.
o Kedua ruang di atas berisia aqueous humor, suatu
cairan bening yang diproduksi prosessus siliaris
untuk kecukupan nutrisi lensa dan kornea.
o Aquaeous humor mengalir ke saluran schlemm dan
masuk sirkulasi vena.
o Tekanan aquaeous humor penting untuk menjaga
bentuk mata.
Rongga posterior
o Terletak diantara lensa dan retina, berisi vitreum
humor.
o Vitreum humor adalah gel transparan untuk
mempertahankan bentuk mata
e) Retina
Lapisan terpigmentasi luar
o Lapisan tunggal sel epitel kuboidal yang
mengandung pigmen melanin.
o Berfungsi untuk penyerapan cahaya berlebih dan
mencegah refleksi internal cahaya.
o Menyimpan vitamin A
Lapisan jaringan saraf dalam
o Sel batang (sensitive cahaya) dan kerucut (persepsi
warna dan pengelihatan siang).
o Neuron bipolar, membentuk lapisan tengah dan
menghubungkan sel batang dan kerucut ke sel
ganglion.
o Sel ganglion, mengandung akson yang bergabung
pada regia khusus dalam retina dan membentuk
saraf optic.
o Sel horizontal dan amakrin, sel lain dalam retina
untuk menghubungkan sinaps-sinaps lateral
Bintik buta
o Titik keluar saraf optic, tidak memiliki fotoreseptor.
Lutea macula
o Area kekuningan di daerah lateral pusat
Fovea
o Perlekukan sentral macula latea yang tidak memiliki
sel batang dan hanya memiliki sel kerucut, pusat
visual mata (Snell, 2006).
Fisiologi Penglihatan

Cahaya masuk ke mata dan di belokkan (refraksi) ketika melalui kornea dan

struktur-struktur lain dari mata (kornea, humor aqueous, lensa, humor

vitreous) yang mempunyai kepadatan berbeda-beda untuk difokuskan di

retina, hal ini disebut kesalahan refraksi.

Mata mengatur (akomodasi) sedemikian rupa ketika melihat objek yang

jaraknya bervariasi dengan menipiskan dan menebalkan lensa. Pemglihatan

dekat memerlukan kontraksi dari badan ciliary, yang bisa memendekkan jarak

antara kedua sisi badan ciliary yang diikuti dengan relaksasi ligamen pada

lensa. Lensa menjadi lebih cembung agar cahaya dapat terfokuskan pada

retina. Penglihatan yang terus menerus dapat menimbulkan ketegangan mata

karena kontraksi yang menetap (konstan) dari otot-otot ciliary. Hal ini dapat

dikurangi dengan seringnya mengganti jarak antara objek dengan mata.

Akomodasi juga dinbantu dengan perubahan ukuran pupil. Penglihatan dekat,

iris akan mengecilkan pupil agar cahaya lebih kuat melelui lensa yang tebal.

Cahaya diterima oleh fotoreseptor pada retina dan dirubah menjadi aktivitas

listrik diteruskan ke kortek. Serabut-serabut saraf optikus terbagi di optik

chiasma (persilangan saraf mata kanan dan kiri), bagian medial dari masing-

masing saraf bersilangan pada sisi yang berlawanan dan impuls diteruskan ke

korteks visual (Sherwood, 2011)

7.2 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dianjurkan


Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dianjurkan
berdasarkan kasus dalam skenario sebagai berikut :
a. Pemeriksaan tajam penglihatan
b. Pemeriksaan dengan uji konfrontasi, kampimeter dan perimeter
(sebagai alat pemeriksaan pandangan).
c. Pemeriksaan dengan melakukan uji fluoresein (untuk melihat adanya
efek epitel kornea, pembuluh darah retina).
d. Pemeriksaan dengan melakukan uji festel (untuk mengetahui letak
adanya kebocoran kornea).
e. Pemeriksaan oftalmoskop
f. Pemeriksaan dengan slitlamp dan loupe dengan sentolop (untuk
melihat benda menjadi lebih besar dibanding ukuran normalnya).

Pemeriksaan fisik memperlihatkan injeksi pembuluh konjungtival


bulbar. Pada anak anak, tanda dan gejala sistemik bisa meliputi sakit
tenggorokan dan demam. Monosit merupakan yang utama dalam uji
pulasan berwarna pada kerikan konjungtival jika konjungtivitis disebabkan
virus. Sel polimorfonuklear (neutrofil) adalah hal utama jika konjungtivitis
disebabkan bakteri. Uji kultur dan sensitivitas membantu mengidentifikasi
organisme bacterial yang menyebabkan dan mengidentifikasi terapi
antibiotic yang tepat. (Ilyas, 2010)

7.3 Kegawatdaruratan mata merah


a. Definisi
Kedaruratan mata adalah sikap keadaan yang mengancam tajam
penglihatan seseorang berupa penurunan tajam penglihatan sampai
terjadinya kebutaan (Roper- hall, 1990, FI UI 1982, perhimpunan
indonesia 1994).
b. Klasifikasi
Berdasarkan konsep penanganan masalah gawat darurat maka
kedaruratan mata dapat dikelompokkan menjadi beberapa keadaan :
1 Sight threatening condition atau keadaan sangat gawat
Dalam situasi ini mata akan mengalami kebutaan atau cacat yang
menetap dengan penurunan penglihatan yang berat dalam waktu
beberapa detik sampaibeberapa menit saja bila tidak segera
mendapatkan pertolongan yang tepat. Cedera mata akibat bahan kimia
basa (alkali) termasuk dalam keadaan ini. Oklusi arteria sentralis retina
merupakan keadaan bukan trauma yang termasuk dalam kelompok ini.
2 Mayor condition atau keadaan gawat
Dalam situasi ini pertolongan harus diberikan tetapi dengan
batasan waktu yang lebih longgar, dapat beberapa jam sampai
beberapa hari. Bila pertolongan tidak diberikan maka penderita akan
mengalami hal yang sama seperti disebutkan pada sight threatening
condition.
3 Monitor condition
Situasi ini tidak akan menimbulkan kebutaan meskipun mungkin
menimbulkan suatu penderitaan subyektif pada pasien bila terabaikan
pasien mungkin dapatmasuk kedalam keadaan mayor condition.
c. Etiologi
Kedaruratan mata dapat terjadi karena dua hal :
1 Tidak ada hubungannya denga trauma mata, misalnya :
a Glaukoma akuta
b Oklusi arteria sentralis retina
2 Disebabkan trauma. Ada 2 macam trauma yang dapat
mempengaruhi mata, yaitu:
a. Trauma langsung terhadap mata
b. Trauma tidak langsung, dengan akibat pada mata, misalnya
trauma kepala dengan kebutaan mendadak dan lain sebagainya

Sedangkan pembagian yang dapat menyebabkan trauma ialah :

1 Trauma langsung
a Trauma mekanik
1 Trauma tajam
Trauma tajam biasanya mengenai struktur diluar bola mata
(tulang orbita dan kelopak mata) dan mengenai bola
mata(ruptura konjungtifa, ruptura kornea)
2 Trauma tumpul
Fraktura dasar orbita ditandai enoftalmus. Dapat terjadi
kebutaan pasca trauma tumpul pada orbita.Hematoma palpebra
biasanya dibatasi oleh rima orbita, selalu dipikirkan cedera
pada sinus paranasal.
3 Trauma akibat ledakan/tembakan
Ada 3 hal yang terjadi, yaitu :- Tekanan udara yang
berubah- Korpus alineum yang dilontarkan kearah mata yang
dapat bersifat mekanik maupun zat kimiatertentu- Perubahan
suhu/ termis
b Trauma non mekanik
1 Trauma kimia
Trauma kimia. Dibedakan menjadi 2, trauma oleh zat yang
bersifat asam dan trauma yang bersifatbasa.
2 Trauma termik
Trauma ini disebabkan seperti panas, umpamanya percikan
besi cair, diperlukan sama seperti traumakimia

3Trauma radiasi
Trauma radiasi disebabkan oleh inframerah dan ultraviolet.
d. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut:
1 Lebam
2 Edema
3 Nyeri
4 Lakrimasi
5 Adanya benda asing
Tatalaksana : Ambil benda asing, alat berujung tumpul hindari
gunakan aplikator beraujung kapas karena dapat bergesek epitel
terlalu banyak
6 Pupil bergeser (TIO meningkat)
7 Adanya zat kimia
Tatalaksana :
a. Irigasi segera dengan air bersih atau larutan NaCl
b. Cuci mata dibawah aliran air keran
c. Memasukkan mata kedalam air
d. Mengejap-ngejapkan mata
e. Bilas terus selama 20 mnt atau sampai bersih
f. Balut mata bilateral
8 Perubahan visus (Sidarta Ilyas, ed.3 2008).

7.4 Skleritis
a Definisi
Skleritis adalah peradangan pada sklera atau gangguan
granulomatosa kronik pada sklera yang ditandai oleh destruksi kolagen,
sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya
vaskulitis. (Eva, 2000)

b Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Penyakit ini dapat
terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak,
dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan. (Eva, 2000)
c Etiologi
(Eva, 2000)\

d Manifestasi Klinis
1 Rasa nyeri
Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri
tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun
sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang
sementara dengan penggunaan obat analgetik.
2 Mata berair
3 Fotofobia
4 Tanpa disertai sekret mukopurulen
5 Spasme
6 Tanda primernya adalah mata merah.
7 Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan
dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang
menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak.
(Ilyas, 2008)
e Klasifikasi
1 Episkleritis yaitu reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sklera. Terdapat 2 tipe :
a Simple
Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada
usia muda. Gejala klinis yang muncul berupa rasa tidak nyaman
pada mata, disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia.
Terdapat pelebaran pembuluh darah baik difus maupun segmental.
Wanita lebih banyak terkena daripada pria dan sering mengenai
usia dekade 40-an. (Foulks, 1988)
b Nodular
Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk
simple scleritis. Sekitar 30% penyebab skleritis nodular
dihubungkan dengan dengan penyakit sistemik, 5% dihubungkan
dengan penyakit kolagen vaskular seperti artritis rematoid, 7%
dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3%
dihubungkan dengan gout. (Foulks, 1988)
2 Skleritis Anterior
Skleritis anterior merupakan 95% penyebab skleritis. Berbagai
varian skleritis anterior kebanyakan jinak. Ada 3 tipe skleritis ini,
yaitu :
a Difus
Ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster
oftalmikus dan gout. (Foulks, 1988)
b Nodular
Tipe nodular dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.
Tipe nodular lebih nyeri. (Foulks, 1988)
c Nekrotik
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi
sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40%
menunjukkan penurunan visus. 29% pasien dengan skleritis
nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Tipe nekrotik lebih bahaya
dan sulit diobati. Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:
i Dengan inflamasi
ii Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)

(Foulks, 1988)

3 Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama
dengan skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai
dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Ada
perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin
koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem makula.
Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang
okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang
terbatas dan retraksi kelopak mata bawah. (Foulks, 1988)
f Diagnosis
1 Anamnesis
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama
pasien, perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk
riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu
pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. (Ilyas, 2008)

2 Pemeriksaan Fisik
a Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang
difus. Area hitam, abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh
inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya proses
nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa
menjadi avaskular yang menghasilkan bagian putih di tengah
yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman. (Eva, 2000)
(Chern, 2002)
b Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan
dalam episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan
superfisial episklera. (Eva, 2000)
c Pemeriksaan Red-free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang
mempunyai kongesti vaskular yang maksimum, area dengan
tampilan vaskular yang baru dan juga area yang avaskular total.
(Eva, 2000)
d Pemeriksaan umum pada mata meliputi otot ekstra okular,
kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan fundus. (Eva,
2000)
3 Pemeriksaan Penunjang
a Pemeriksaan Lab
Hitung darah lengkap dan laju endap darah
Kompleks imun serum
Faktor rematoid serum
Imunoglobulin E
Kadar asam urat serum (Eva, 2000)
b Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax
Ultrasonography
CT-Scan
MRI (Foulks, 1988)
c Pemeriksaan Lain
Skin Test
Tes usapan dan kultur
Histopatologi (Foulks, 1988)

g Penatalaksanaan
Terapi awal diberi obat anti inflamasi non-steroid sistemik.
(indometasin 100 mg perhari atau ibuprofen 300 mg perhari). Apabila
tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak
penyumbatan vaskular diberi terapi steroid sistemik dosis tinggi.
Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari
yang diturunkan dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis
pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Penyakit yang berat
mengharuskan terapi intravena dengan metil prednisolon 1 g setiap
minggu. (Eva, 2000)
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki
perforasi sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar
diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi langsung
mikroba. (Eva, 2000)
h Komplikasi
1 Keratitis
2 Uveitis
3 Glaukoma
4 Proptosis
5 Katarak
6 Hipermetropia (Ilyas, 2008)
7.5 Konjungtivitis virus
a. Definisi
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan
oleh berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri
dan dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri
(Vaughan, 2010).
b. Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi
adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini,
dan herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu
penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster,
picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human
immunodeficiency virus (Scott, 2010). Penyakit ini sering terjadi pada
orang yang sering kontak dengan penderita dan dapat menular melalu di
droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan
virus (fomites) dan berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas,
2008).
c. Gejala Klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan
etiologinya. Konjungtivitis folikular viral akut dibedakan menjadi
Demam Faringokonjungtival, Keratokonjungtivitis Epidemika,
Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks, Konjungtivitis Hemoragika
Akut. Sedangkan Konjungtivitis Viral Kronik dibedakan menjadi
Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum, Blefarokonjungtivitis
Varicella-Zoster, Keratokonjungtivitis Campak. (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis folikular viral akut
1) Demam Faringokonjungtival
Ditandai oleh demam 38,3-40oC, sakit tenggorokan dan
konjungtivitis folikular pada satu atau dua mata
Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus
tipe 3, 4 dan 7
Folikel sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan mukosa
faring
Khas : limfadenopati preaurikular (tidak nyeri tekan)
Lebih sering pada anak- anak daripada dewasa dan mudah menular
di kolam renang berklor rendah
Tidak ada pengobatan spesifik, umumnya sembuh sendiri dalam 10
hari. (Vaughan, 2010).
2) Keratokonjungtivitis Epidemika
Pada awalnya terdapat injeksi konjungtiva, nyeri sedang dan mata
berair; dalam 5-14 hari akan diikuti fotofobia, keratitis epitel, dan
kekeruhan subepitel.
Sensasi kornea normal dan terdapat nodus preaurikular dengan
nyeri tekan yang khas.
Berlangsung paling lama 3-4 minggu
Disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29 dan 37. (Vaughan,
2010).

3) Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks


Biasanya mengenai anak kecil ditandai oleh injeksi unilateral,
iritasi, sekret mukoid, nyeri dan fotofobia ringan.
Vesikel- vesikel herpes terkadang muncul di palpebra, disertai
edema palpebra hebat. Khasnya, ditemukan sebuah nodus
preaurikular kecil yang nyeri tekan.
Virusnya mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator
berujung Dacron kering atau alginat calcium di atas konjungtiva
secara hati- hati dan memindahkan ke biakan jaringan yang sesuai.
Konjungtivitas HSV dapat berlangsung selama 2-3 minggu
(Vaughan, 2010).

4) Konjungtivitis Hemoragika Akut


Gejala dan tanda yang khas adalah perdarahan subkonjungtiva
difus, tetapi awalnya berupa bintik- bintik; mulai dari konjungtiva
bulbaris superior menyebar ke bawah.
Kebanyakan pasien mengalami limfadenopati preaurikular, folikel
konjungtiva, dan keratitis epitel.
Virus ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan oleh
benda penular seperti seprai, alat- alat optik yang terkontaminasi
dan air.
Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari dan tidak ada pengobatan
yang pasti. (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis Viral Kronik
1) Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Reaksi radangnya mononuklear, lesi bulat berombak, putih mutiara,
non inflamatorik dengan bagian tengah yang melekuk khas untuk
molluscum contagiosum.
Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan daerah
tepi memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan
konjungtivitisnya.
Lesi molluscum contagiosum yang multipel di palpebra atau wajah
ditemukan pada pasien AIDS. (Vaughan, 2010).

2) Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
Hiperemia dan konjungtivitis infiltratif disertai erupsi vesikular
yang khas di sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus
cabang oftalmika adalah khas herpes zooster.
Konjungtivitisnya biasanya papilar, tetapi pernah ditemukan
folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer yang kemudian
berulserasi.
Kerokan dari palpebranya mengandung sel raksasa dan banyak
leukosit PMN.
TL : Acyclovir oral dosis tinggi, 800 mg per oral 5x/hari selama 10
hari (Vaughan, 2010).
3) Keratokonjungtivitis Campak
Pada tahap awal, tampilan konjungtiva mirip kaca yang aneh lalu
akan diikuti edema plica semilunaris. Beberapa hari sebelum erupsi
kulit, timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen.
Kerokan konjungtiva menunjukan reaksi sel mononuklear. Pada
pulasan Giemsa menunjukan sel- sel raksasa. (Vaughan, 2010).
d. Diagnosis
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung
etiologinya, karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang
membedakan tipetipe menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi
mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan
dan frekuensi gejala, faktorfaktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar
untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada
anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya
sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).
Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri
berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan
lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan karena
menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).
e. Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti
blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya
pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan
keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).
g. Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau
pada orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak
diperlukan terapi, namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan
untuk mencegah terkenanya kornea (Vaughan, 2010). Pasien
konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan
penyebaran infeksi (James, 2005)

7.6 Konjungtivitis bakteri


Terdapat dua bentuk konjungtivitis bakteri: akut (termasuk
hiperakut dan subakut) dan kronik. Konjungtivitis bakteri akut biasanya
jinak dan dapat sembuh sendiri, berlangsung kurang dari 14 hari. (Vaughan
& Asbury, 2014)

a. Etiologi
Hiperakut (purulen) : Neisseria gonorrhoeae, Neisseria meningitidis,
Neisseria gonorrhoeae subspesies kochii
Akut (mukopurulen) : Pneumococcus (Streptococcus penumonia)
(iklim sedang), Haemophilus aegyptus (basil Koch-Weeks) (iklim
sedang)
Subakut : Haemophilus influenzae (iklim sedang)
Kronik : Staphylococcus aureus, Moraxella lacunata (diplobasil
Morax-Axenfeld)
(Vaughan & Asbury, 2014)

b. Klasifikasi
Konjungti vitis bakteri hiperakut (purulen)
Disebabkan oleh N gonorrhoeae, N kochii dan N meningitidis,
ditandai oleh eksudat purulen yang banyak. Konjungtivitis
mengingokok kadang0 kadang terjadi pada anak- anak. (Vaughan &
Asbury, 2014)
Konjungtivitis mukopurulen (cattarhal) akut.
Penyakit ini ditandai dengan hiperemia konjungtiva akut dan
sekret mukopurulen berjumlah sedang. Penyebab paling sering adalah
Streptococcus pneumonia pada iklim sedang dan Haemophilus
aegyptus pada iklim tropis. Penyebab yang kurang umum adalah
staphylococcus dan streptococcus lain. Konjungtivitis yang
disebabkan oleh S pneumoniae dan H aegyptus dapat disertai
perdarahan subkonjungtiva. (Vaughan & Asbury, 2014)
Konjungtivitis subakut
Paling sering disebabkan oleh H influenzae, dan terkadang
oleh Escherichia coli dan spesies proteus. Infeksi H influenzae
ditandai dengan eksudat tipis, berair, atau berawan. (Vaughan &
Asbury, 2014)
Konjungtivitis bakteri kronik
Terjadi pada pasien dengan obstruksi ductus nasolacrimalis
dan dakriosistitis kronik, yang biasanya unilateral. Infeksi ini juga bisa
menyertai blefaritis bakterial kronik atau disfungsi kelenjar meibom.
(Vaughan & Asbury, 2014)
c. Patofisiologi
(Elizabeth J. Corwin, 2009)

d. Tanda dan Gejala


Hiperemia adalah tanda klinis konjungtivitis akut yang paling
mencolok. Kemerahan paling jelas di forniks dan makin berkurang ke
arah limbus karena dilatasi pembuluh- pembuluh konjungtiva
posterior.
Mata berair (epifora), sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sensasi
benda asing, sensasi terbakar atau tergores, atau oleh rasa gatalnya.
Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh- pembuluh yang
hiperemik dan menambah jumlah air mata tersebut.
Eksudasi adalah ciri semua konjungtivitis akut. Eksudatnya berlapis-
lapis dan amorf pada konjungtivitis bakteri. Pada hampir semua jenis
konjungtivitis, didapatkan banyak kotoran mata di palpebra sangat
bangun tidur, jika eksudat sangat banyak dan palpebranya saling
melengket, kemungkinan disebabkan oleh bakteri atau klamidia.
Pseudoptosis adalah terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di
otot Muller. Keadaan ini dijumpai pada beberapa jenis konjungtivitis
berat, seperti trakoma dan keratokonjungtivitis epidemika.
Hipertrofi papillar adalah reaksi konjungtiva non spesifik yang terjadi
karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh
serabut- serabut halus.
Kemosis konjungtiva dapat timbul pada konjungtivitis gonokok atau
meningokok akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral.
Folikel, merupakan suatu hiperplasia limfoid lokal di dalam lapisan
limfoid konjungtiva dan biasanya mempunyai sebuah pusat germinal.
Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat kelabu atau
putih yang avaskular.
Pseudomembran dan membran adalah hasil dari proses eksudatif dan
hanya berbeda derajatnya. Pseudomembran adalah suatu pengentalan
(koagulum) di atas permukaan epitel, yang bila diangkat, epitelnya
tetap utuh. Membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel,
yang jika diangkat, meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah.
Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan paling sering
berupa kalazion.
Fliktenula konjungtiva awalnya berupa perivaskulitis dengan
penumpukan limfosit di pembuluh darah.
Limfadenopati preaurikular adalah tanda penting konjungtivitis.
Sebuah KGB preaurikular besar atau kecil, kadang- kadang sedikit
nyeri tekan. (Vaughan & Asbury, 2014)

e. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopik kerokan konjungtiva yang dipulas dengan


pulasan Gram atau Giemsa neutrofil PMN

Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan sensitivitas antibiotik. (Vaughan & Asbury, 2014)

f. Tatalaksana
Sambil menunggu hasil laboratorium, diberikan antibiotic spectrum luas
(polymyxin-trimethroprim).
Pada setiap konjungtivitis purulen yang pulasan Gram nya menunjukan
diplococcus gram negative, sugestif neissseria, segera dimulai terapi
topical dan sistemik.
Jika kornea tidak terlibat, diberikan ceftriaxone 1 gr do tunggal per
intramuscular.
Jika kornea terlibat, dibutuhkan ceftriaxone parenteral, 1-2 gr per hari
selama 5 hari.
Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, saccus conjungtivalis harus
dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan secret konjungtiva.
Untuk mencegah penyebaran, jaga higiene perorangan. (Vaughan &
Asbury, 2014)
g. Komplikasi dan Sekuele
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis stafilokok
Parut konjungtiva dapat mengikuti konjungtivitis pseudomembranosa
dan membranosa
Ulserasi kornea marginal dapat terjadi paad infeksi N gonorrhoeae, N
kochii, N meningitides, H Aegyptus, S aureus dan M catarrhalis
Produk toksik N gonorrheae berdifusi melalui kornea masuk ke bilik
mata depan, timbul iritasi toksik. (Vaughan & Asbury, 2014)

7.7 Konjungtivitis non infeksi


A. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)
Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung
1) Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
a. Tanda dan gejala
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai
demam jerami (rhinitis alergika). Biasanya ada riwayat alergi terhadap
tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh tentang
gatal-gatal, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa
matanya seakan-akan tenggelam dalam jaringan sekitarnya. Terdapat
sedikit penambahan pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi,
dan selama serangan akut sering terdapat kemosis berat. Mungkin
terdapat sedikit sekret, khususnya jika pasien telah mengucek matanya.
(Vaughan, 2000)
b. Laboratorium
Pada hasil laboratorium, sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan
atau biakan konjungtiva. (Vaughan, 2000)
c. Terapi
Meneteskan vasokonstriktor lokal pada tahap akut (epineprin,
larutan 1 : 1000 yang diberikan secara topical, akan menghilangkan
kemosis dan gejalanya dalam 30 menit). Kompres dingin membantu
mengatasi gatal-gatal dan antihistamin hanya sedikit manfaatnya.
Respon langsung terhadap pengobatan cukup baik, namun sering
kambuh kecuali antigennya dapat dihilangkan. (Vaughan, 2000)
2) Konjungtivitis Vernalis
a. Definisi
Konjungtivitis vernalis adalah Inflamasi konjungtiva yang bersifat
bilateral dan rekuren. Kelainan ini ditandai oleh papil cobblestone pada
konjungtiva tarsal dan hipertrofi papil pada konjungtiva limbus.
Penyakit ini, juga dikenal sebagai catarrh musim semi atau
konjungtivitis musim kemarau, adalah penyakit alergi bilateral yang
jarang. Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada di
daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim
semi, musim panas dan musim gugur daripada musim gugur. (Ilyas,
2008)
b. Insiden
Biasanya mulai dalam tahun-tahun prapubertas dan berlangsung 5
sampai 10 tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki daripada
perempuan. (Ilyas, 2008)
c. Klasifikasi
Tipe Palpebral
a) Terutama mengenai konjungtiva palpebra superior yaitu terdapat
pertumbuhan papil yang besar yang disebut cobble stone.
b) Sebagian mengalami hiperplasi dan yang lain terjadi atrofi,
dimana substanti propia mengalami infiltrasi oleh sel-sel
limfosit plasma dan eosinofil.
c) Stadium lanjut, jumlah sel-sel lapisan plasma dan eosinofil akan
makin meningkat sehingga terbentuk tonjolan-tonjolan jaringan
di daerah tarsus dan terjadi pembentukan kapiler baru di
tengahnya.
Tipe Limbal
a Terjadi perubahan yang serupa sebagaimana yang terjadi pada
tipe palpebral.
b Pada bentuk limbal ini terjadi hipertrofi limbal yang membentuk
jaringan hiperplastik gelatine.
c Hipertrofi limbus ini disertai bintik-bintik yang sedikit
menonjol, keputihan, yang dikenal sebagai Horner-Trantas dots
atau degenerasi epithel kornea, atau eosinofil dengan bagian
epithel limbus kornea.
d. Tanda dan gejala
Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-
serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami,
eczema, dan lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan
terdapat banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Konjungtiva palpebra superior sering memiliki papilla raksasa mirip
batu kali. Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata,
dan mengandung berkas kapiler. (Ilyas, 2008)
e. Laboratorium
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat
banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. (Ilyas, 2008)
f. Terapi
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai terhadap
gejala hanya memberikan hasil jangka pendek, berbahaya jika dipakai
untuk jangka panjang. Steroid sistemik, yang mengurangi rasa gatal,
hanya sedikit mempengharuhi penyakit kornea ini, dan efek
sampingnya (glaucoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat
merugikan. Crmolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk
kasus sedang sampai berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan
kompres es ada manfaatnya. Yang paling baik adalah pindah ke tempat
beriklim sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan ini sangat tertolong
bahkan dapat sembuh total. (Ilyas, 2008)
3) Konjungtivitis Atopik
a. Tanda dan gejala
Sensasi terbakar, sekresi berlendir, merah, dan fotofobia. Tepian
palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu.
Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti
pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus
inferior. Berbeda dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis
vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat
muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi
konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial
yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea
tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan. (Ilyas,
2008)

Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema)


pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita
dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat
siku dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti
dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut
dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti
keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila
pasien telah berusia 50 tahun. (Vaughan, 2000)

b. Laboratorium
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak
sebanyak yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal.
(Vaughan, 2000)
c. Terapi
Antihistamin oral termasuk terfenadine (60 - 120 mg dua kali
sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg
waktu tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat
antiradang non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan
iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Pada
kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada kasus
lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan
transplantasi kornea untuk mengembalikan ketajaman
penglihatannya. (Ilyas, 2008)
Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat
1) Phlyctenulosis
a. Definisi
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon hipersensitivitas
lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil
tuberkel, Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis,
Haemophilus aegyptus, dan Chlamydia trachomatis serotype L1, L2,
dan L3. (Vaughan, 2000)
b. Tanda dan Gejala
Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang keras, merah,
menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk
segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat
putih kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10 - 12 hari.
Phlyctenule pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh
terjadi di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat
jarang di tarsus. (Ilyas, 2008)
Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan
air mata, namun phlyctenule kornea dan limbus umumnya disertai
fotofobia hebat. Phlyctenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif,
konjungtivitis bacterial akut, dan defisiensi diet. (Ilyas, 2008)
c. Terapi
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein
dari infeksi sistemik lain berespon secara dramatis terhadap
kortikosteroid topical. Terjadi reduksi sebagian besar gejala dalam 24
jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya. Antibiotika topical
hendaknya ditambahkan untuk blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif.
Pengobatan hendaknya ditujukan terhadap penyakit penyebab, dan
steroid bila efektif, hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala
akut dan parut kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin
memerlukan tranplantasi. (Ilyas, 2008)
2) Konjungtivitis Ringan Sekunder terhadap Blefaritis kontak
Blefaritis kontak yang disebabkan oleh atropine, neomycin,
antibiotika spectrum luas, dan medikasi topical lain sering diikuti oleh
konjungtivitis infiltrate ringan yang menimbukan hyperemia, hipertropi
papiler ringan, bertahi mata mukoid ringan, dan sedikit iritasi.
Pemeriksaan kerokan berpulas giemsa sering hanya menampakkan
sedikit sel epitel matim, sedikit sel polimorfonuklear dan mononuclear
tanpa eosinofil. (James, 2005)
Pengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab dan
menghilangkannya. Blefaritis kontak dengan cepat membaik dengan
kortikosteroid topical, namun pemakaiannya harus dibatasi.
Penggunaan steroid jangka panjang pada palpebra dapat menimbulkan
glaucoma steroid dan atropi kulit dengan telangiektasis yang
menjelekkan. (James, 2005)
Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun
1) Keratokonjungtivitis Sicca
Berkaitan dengan Sindrom Sjorgen (trias : keratokonjungtivitis
sika, xerostomia, dan artritis). (Ilyas, 2008)
a. Gejala
a Khas : hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang
tidak sebanding dengan tanda-tanda radang.
b Dimulai dengan konjungtivitis kataralis.
c Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi
menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.
d Lapisan air mata berkurang (uji schirmer : abnormal).
b. Pengobatan
b) Air mata buatan untuk vitamin A topikal.
c) Obliterasi puncta lakrimal.
B. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif
1) Konjungtivitis Iatrogenik Pemberian Obat Topikal
Konjungtivitis folikular toksik atau konjungtivitis non-spesifik
infiltrate, yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi akibat
pemberian lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin, dan obat-
obat lain yang disiapkan dalam bahanpengawet atau vehikel toksik atau
yang menimbulakan iritasi. Perak nitrat yang diteteskan ke dalam
saccus conjingtiva saat lahir sering menjadi penyebab konjungtivitis
kimia ringan. Jika produksi air mata berkurang akibat iritasi yang
kontinyu, konjungtiva kemudian akan cedera karena tidak ada
pengenceran terhadap agen yang merusak saat diteteskan kedalam
saccus conjungtivae. (James, 2005)
Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel epitel
berkeratin, beberapa neutrofil polimorfonuklear, dan sesekali ada sel
berbentuk aneh. Pengobatan terdiri atas menghentikan agen penyebab
dan memakai tetesan yang lembut atau lunak, atau sama sekali tanpa
tetesan. Sering reaksi konjungtiva menetap sampai berminggu-minggu
atau berbulan-bulan lamanya setelah penyebabnya dihilangkan. (James,
2005)
2) Konjungtivitis Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan Iritans
Asam, alkali, asap, angin, dan hamper setiap substansi iritan
yang masuk ke saccus conjungtiva dapat menimbulkan konjungtivitis.
Beberapa iritan umum adalah pupuk, sabun, deodorant, spray rambut,
tembakau, bahan-bahan make-up, dan berbagai asam dan alkali. Di
daerah tertentu, asbut (campuran asap dan kabut) menjadi penyebab
utama konjungtivitis kimia ringan. Iritan spesifik dalam asbut belum
dapat ditetapkan secara positif, dan pengobatannya non-spesifik. Tidak
ada efek pada mata yang permanen, namun mata yang terkena
seringkali merah dan terasa mengganggu secara menahun. (James,
2005)
Pada luka karena asam, asam itu mengubah sifat protein
jaringan dan efek langsung. Alkali tidak mengubah sifat protein dan
cenderung cepat menyusup kedalam jaringan dan menetapdi dalam
jaringan konjungtiva. Disini mereka terus menerus merusak selama
berjam-jam atau berhari-hari lamanya, tergantung konsentrasi molar
alkali tersebut dan jumlah yang masuk. Perlekatan antara konjungtiva
bulbi dan palpebra dan leokoma kornea lebih besar kemungkinan terjadi
jika agen penyebabnya adalah alkali. Pada kejadian manapun, gejala
utama luka bahan kimia adalah sakit, pelebaran pembuluh darah,
fotofobia, dan blefarospasme. Riwayat kejadian pemicu biasanya dapat
diungkapkan. (James, 2005)
Pembilasan segera dan menyeluruh saccus conjungtivae dengan
air atau larutan garam sangat penting, dan setiap materi padat harus
disingkirkan secara mekanik. Jangan memakai antidotum kimiawi.
Tindakan simtomatik umum adalah kompres dingin selama 20 menit
setiap jam, teteskan atropine 1% dua kali sehari, dan beri analgetika
sistemik bila perlu. (Ilyas, 2008)

BAB VIII

PENUTUP

8.1 Kesimpulan
Konjungtivitis adalah inflamasi konjungtiva dan ditandai dengan
pembengkakan dan eksudat. Pada konjungtivitis mata tampak merah,
sehingga sering disebut mata merah. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, ataupun bentuk noninfeksius.

Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan


oleh berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat
menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan
dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri. Etiologi
terbanyak pada penyakit ini disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4, 8, dan 19.

Terdapat dua bentuk konjungtivitis bakteri: akut (termasuk hiperakut


dan subakut) dan kronik. Konjungtivitis bakteri akut biasanya jinak dan
dapat sembuh sendiri, berlangsung kurang dari 14 hari.

Untuk pelaksanaan dari konjungtivitis sendiri dibedakan sesuai


dengan penyebabnya. Biasanya pada konjungtivitis virus dapat sembuh
sendiri (self-limiting disease), sedangkan pada konjungtivitis bakteri dan
non infeksius harus diberikan terapi medikasi tertentu.

8.2 Saran
Tutorial yang membahas skenario 1 di kelompok 5 telah berjalan
dengan lancar. Masing-masing anggota telah menyampaikan pendapat
disertai referensi yang jelas. Ketua kelompok telah memimpin jalannya
tutorial dengan baik dan adil. Sebaiknya peserta tutorial lebih aktif
menyampaikan pendapat agar potensi masing-masing peserta dapat
berkembang dan memahami lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada
pada skenario selanjutnya agar tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
ditargetkan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Chern KC. 2002. Iridocyclitis and Traumatic Iritis. In: Emergency


Ophthalmology. Boston, Massachusetts: McGraw-Hill Medical Publishing
Division

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Penggunaan ICD-10 (Seri I). Jakarta:
Pusat Data Kesehatan

Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya


Media.

Eva PR. 2000. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J,


Editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : EGC

Foulks GN, Langston DP. 1988. Cornea and External Disease. In: Manual of
Ocular Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America:
Library of Congress Catalog

Ilyas, S. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Ilyas, S. 2010. Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.

James, B., James, Chew, C. Bron, A. 2003. Lecture Notes : Ophthalmology.


Bandung : Penerbit Erlangga.
James, Brus, dkk. 2005. Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta : Erlangga

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta :
Penerbitan Media Aesculapius FKUI

Radjiman, Tamin, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Surabaya : Airlangga


University Press

Vaughan & Asbury. 2014. Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC.

Vaughan, Daniel G. dkk. 2000. Oftalmologi Umum. Jakarta : Widya Medika

Vaughan, Daniel G. dkk. 2010. Oftalmologi Umum. Jakarta : Widya Medika

Visscher, K.L., et al. 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective


Conjunctivitis. Canada: Canadian Family Physician.

Anda mungkin juga menyukai