Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

HIPERTENSI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmakoterapi dan Terminologi Medik

Disusun oleh :
1. Puji Atmoko 1061511075
2. Salasa Ayu T. 1061511085

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI
SEMARANG
2015
A. PENDAHULUAN
Definisi
Tekanan darah merupakan desakan darah terhadap dinding-dinding arteri

ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan atau gaya yang diberikan darah

pada pembuluh darah. Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah

arteri yang persisten (Sukandar dkk., 2008). Menurut Sustrani dkk. (2004), hipertensi

merupakan suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen

dan nutrisi yang dibawa oleh darah menjadi terhambat ke jaringan yang

membutuhkan.
Seseorang dapat dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik

140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, pada pemeriksaan yang

berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar

penentuan diagnosis hipertensi (PDSKI, 2015).


Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya ( 50 juta jiwa) menderita

tekanan darah tinggi ( 140/90 mmHg), dengan persentase biaya kesehatan cukup

besar setiap tahunnya. Menurut National Health and Nutrition Examination Survey

(NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah

sekitar 29-31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita hipertensi,

dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991.
Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya

tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Resiko untuk

menderita hipertensi pada populasi 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal

adalah 90%. Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah pre-hipertensi sebelum

didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi pada umur

diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki

lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita. Dari umur 55 74 tahun,

sedikit lebih banyak wanita dibandingkan laki-laki menderita hipertensi. Pada


populasi lansia (umur 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65,4%

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).


B. PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiostensin II dari

angiostensin I oleh angiostensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan

penting dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh

ginjal) akan diubah menjadi angiostensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,

angiostensin I diubah menjadi angistensin II yang memiliki peranan dalam menaikkan

tekanan darah melalui 2 aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatnya seksresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa

haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk

mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin

yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi

osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan

dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat

yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi

sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang

memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,

aldosteron akan mengurangi sekresi NaCl (garam) dengan cara mengabsorpsinya dari

tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara

meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan

volume dan tekanan darah.


Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi
(Rusdi dan Isnawati, 2009)
Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
a. Hipertensi primer (essensial) : hipertensi dari patofisiologinya yang belum

diketahui penyebabnya dan hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan

tetapi dapat dikontrol.


b. Hipertensi sekunder : hipertensi yang diketahui penyebabnya dan umumnya

dapat disembuhkan dengan penatalaksanaan penyebabnya secara tepat (Dipiro

dkk., 2008).
Berdasarkan tingkatannya, hipertensi dapat dibedakan seperti menurut The

Seventh Report of The Joint National Committe (JNC 7, 2004) klasifikasi tekanan

darah pada orang dewasa ( 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan
darah atau lebih dapat dibagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi

derajat I dan hipertensi derajat II (tabel 1).


Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan

darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya

kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah > 180/120 mmHg,

dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi ergensi. Pada hipertensi

emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target

akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam

hitungan menit-jam) untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Contoh

gangguan organ target akut : encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel

kiri akut disertai edema paru, disecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil,

dan eklampsia atau hipertensi berat selama hamil. Hipertensi urugensi adalah

tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan organ target yang progresif. Tekanan

darah diturunkan dengan obat antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada tingkat 1

dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari (Direktorat Bina Farmasi Komunitas

dan Klinik, 2006).


Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), klasifikasi tekanan

darah dapat dilihat pada tabel 2.


Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut WHO
(Mansjoer, dkk., 2001)
Etiologi
a. Hipertensi Primer (essensial)

Multifaktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer, yaitu:

1. Ketidaknormalan humoral meliputi system renin angiostensin aldosteron

(SRAA), hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia.


2. Masalah patologi pada sistem saraf pusat, serabut saraf otonom, volume

plasma dan vasokontriksi arteriol.


3. Defisiensi senyawa sintetis lokal vasodilator pada endotelium vaskular,

misalnya prostaksiklin, bradikinin, dan nitrit oksida atau terjadinya

peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor seperti angistensin II dan

endotelin I.
4. Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriutik yang

menginhibisi transpor natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan

reaktivitas transpor natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan

reaktivitas vaskular dan tekanan darah.


5. Peningkatan konsentrasi kalium intraseluler, memicu perubahan vaskular,

fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskular perifer.


b. Hipertensi Sekunder
Penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-
obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat tabel 3). Apabila
penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini
dapat disembuhkan secara potensial.

Tabel 3. Penyebab Hipertensi

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006)


Faktor Resiko

1. Riwayat Keluarga

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu

mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan

kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium

individu dan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar

untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga

dengan riwayat hipertensi.

2. Usia

Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya

usia maka resiko hipertensi menjadi lebih tinggi yang disebabkan oleh perubahan
alamiah dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon.

Asteri kehilangan elastisitas atau kelenturannya serta tekanan darah meningkat

seiring dengan bertambahnya usia.

3. Jenis Kelamin

Pada faktor ini, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita

yang memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik yang tinggi dengan rasio

sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik. Wanita dipengaruhi oleh

beberapa homon termasuk hormon estrogen yang melindungi wanita dari

hipertensi dan komplikasinya termasuk penebalan dinding pembuluh darah atau

aterosklerosis. Menurut Mansjoer, bahwa pria dan wanita menopause memiliki

pengaruh sama pada terjadinya hipertensi yang disebabkan saat menapause

mengalami perubahan hormonal yang menyebabkan kenaikan berat badan dan

tekanan darag menjadi lebih reaktif terhadap konsumsi garam, sehingga

mengakibatkan peningkatan tekanan darah.

4. Etnis

Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari pada yang berkulit

putih. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun pada

orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitifitas

terhadap vasopresin lebih besar.

5. Konsumsi Garam

Garam dapur mengandung 40% dan 60% klorida. Konsumsi 3-7 gram/hari akan

diabsorbsi terutama di usus halus. Pada orang sehat volume cairan ekstraseluler

umumnya berubah-ubah sesuai sirkulasi efektifnya, dan berbanding secara


proposional dengan natrium tubuh total. Volume sirkulasi efektif adalah bagian

volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular yang melakukan perfusi aktif

pada jaringan. Natrium diabsorpsi secara aktif, kemudian dibawa oleh aliran darah

ke ginjal untuk disaring dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang

cukup untuk mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang

dikonsumsi akan dikeluarkan melalui urin yang diatur oleh hormon aldosteron

yang dikeluarkan oleh kelenjar adrenal.

Bagi orang yang peka natrium akan lebih mudah mengikat natrium sehingga

menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah. Garam memiliki sifat

menahan cairan, sehingga mengkonsumsi garam berlebih akan meningkatkan

tekanan darah.

6. Merokok

Merokok dapat menyebabkan hipertensi karena rokok mengandung nikotin.

Menghisap rokok menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam

paru-paru dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin akan

memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin atau

adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk

bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih tinggi. Tembakau memiliki

efek cukup besar dalam peningkatan tekanan darah karena dapat menyebabkan

penyempitan pembuluh darah. Kandungan bahan kimia dalam tembakau juga

dapat merusak dinding pembuluh darah seperti karbon monoksida yang akan

menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut yang mengakibatkan

tekanan darah meningkat karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan

oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh. Merokok juga akan
memberikan efek perubahan metabolik berupa peningkatan asam lemak bebas,

gliserol, dan laktat yang menyebabkan penurunan kolestrol High Density Lipid

(LDL) dan trigliserida dalam darah, sehingg dapat meningkatkan resiko terjadinya

hipertensi dan penyakit jantung koroner.

7. Konsumsi Alkohol

Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat cenderung

hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui secara

pasti. Orang - orang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak

memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau

minum sedikit. Menurut Ali Khomsan konsumsi alkohol harus diwaspadai karena

survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi

alkohol. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.

Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah

merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan

darah.Diperkirakan konsumsi alkohol berlebihan menjadi penyebab sekitar 5-

20% dari semua kasus hipertensi. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih minuman

berakohol per hari meningkatkan risiko mendapat hipertensi sebesar dua kali.

Bagaimana dan mengapa alkohol meningkatkan tekanan darah belum diketahui

dengan jelas. Namun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam jangka panjang,

minum minuman beralkohol berlebihan akan merusak jantung dan organ-organ

lain.

8. Obesitas

Obesitas merupakan suatu keadaan dimana indeks massa tubuh 30. Obesitas

meningkatkan resiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar


massa tubuh, makin banyak pula suplai darah yang dibutuhkan untuk memasok

oksigen dan nutrisi dalam jaringan tubuh. Hal ini mengakibatkan volume darah

yang beredar melalui pembuluh darah akan meningkat sehingga tekanan pada

dinding arteri menjadi lebih besar. Kelebihan berat badan juga meningkatkan

frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin

menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.

9. Kurangnya Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang

tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung memiliki frekuensi denyut

jantunga yang lebih tinggi. Hal ini mengakibatkan otot-otot jantunga bekerja lebih

keras pada saat setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa

darah, makin besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga

dapat meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikan tekanan darag.

Kurangnya aktifitas fisik juga dapat meningkatkan resiko kelebihan berat badan

yang menyebabkan resiko hipertensi meningkat (Kartikasari, 2012).

Diagnosis
Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang atau laboratorium. Anamnesis meliputi keluhan yang

sering dialami, lama hipertensi, ukuran tekanan darah selama ini, riwayat pengobatan,

dan kepatuhan berobat, gaya hidup, riwayat penyakit penyerta dan riwayat keluarga.

Pemeriksaan fisik terdiri atas pengukuran tekanan darah, pemeriksaan umum dan

pemeriksaan khusus organ serta funduskopi, perhitungan BMI (Body Mass Index)

yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (m2), auskultasi arteri karotis,

abdominal, bruit arteri femoralis, palpasi pada kelenjar tiroid, pemeriksaan lengkap

jantung dan paru, pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra
abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal, palpasi ektremitas bawah untuk melihat

edema dan denyut nadi, serta penelian neurologis. Pemeriksaan laboratorium ritun

yang direkomendasikan adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit, kalium,

kreatinin, dan kalsium serum, profil lemak (setelah puasa 9-12 jam) termasuk HDL,

LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk

pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin atau kreatinin. Pemeriksaan

yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak

diidentifikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).


Teknik Pengukuran Tekanan Darah Yang Tepat
Faktor yang mempengaruhi pengukuran tekanan darah antara lain teknik

pengukuran, waktu pengukuran, emosi, rasa ketidaknyamanan, cairan tubuh, suhu,

aktivitas fisik, posisi badan serta obat-obatan.


Pengukuran darah dapat dilakukan dengan posisi duduk maupun berbaring.

Sebaiknya alat ukur yang digunakan adalah spygmomanometer air raksa dengan

ukuran cuff yang sesuai. Balon dipompa sampai 20-30 mmHg di atas tekanan sistolik

yaitu saat pulsasi nadi tidak teraba lagi, kemudian dibuka secara perlahan-lahan. Hal

ini dimaksudkan untuk menghindari auscultatory gap yaitu hilangnya bunyi setelah

bunyi pertama terdengar yang disebabkan oleh kekakuan arteri. Akurasi cara

pengukuran tekanan darah dan alat ukur yang digunakan, serta ketepatan waktu

pengukuran yang dianjurkan pada posisi duduk setelah beristirahat 5 mrnit dan 30

menit bebas rokok dan kafein. Pengukuran ulang selalu diperlukan untuk menilai

apakah peninggian tekanan darah menetap sehingga memerlukan intervensi segera

atau kembali ke normal sehingga hanya memerlukan kontrol yang periodik

(Prodjosudjaji, 2000).
Teknik pemeriksaan tekanan darah berdasarkan pedoman penemuan dan

tatalaksana hipertensi :
Gambar 2. Posisi Tubuh Yang Benar Saat Pengukuran Tekanan Darah

Alat tensi meter dipasang pada lengan pasien dalam keadaan duduk bersandar,

berdiri atau berbaring. Tekanan darah diukur dalam posisi duduk atau berdiri,

penurunan lengan dari posisi dampir mendatar (setinggi hantung) ke posisi

hampir ventrikal dapat dinaikkan pembacaan dari kedua tekanan darah sistolik

dan diastolik.
Untuk mencegah penyimpangan bacaan sebaiknya pemeriksaan tekanan darah

dilakukan setelah orang yang akan diperiksa beristirahat 5 menit. Bila perlu

dapat dilakukan dua kali pengukuran selang waktu 5-20 menit pada sisi kanan

dan kiri. Ukuran manset dapat mempengaruhi hasil.


Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Manset sedikitnya harus

dapat melingkari 2/3 lengan dan bagian bawahnya 2 cm di atas daerah lipatan

dengan stetoskop.
Balon dipompa sampai diatas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan-

lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung. Tekanan sistolik

dicatat pada saat terdengan bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan

tekanan diastolik dicatata apabila bunyi tidak terdengar lagi (Korotkoff V)

(Sugiharto, 2007)

Gejala Klinis
Menurut Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang

mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun

berupa :
Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat

tekanan darah intrakranium.


Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler

Tingginya tekanan darah kadang merupakan satu-satunya gejala terjadinya

komplikasi. Gejala lainnya adalah sakit kepala epistaksis, marah, telinga berdengung,

rasa berat ditekuk, suka tidur, mata berkunang-kunang dan pusing.

(Sugiharto, 2007)
Patogenesis
Menurut Kaplan (1988), Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah

melalui sirkulasi dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (Cardiac Output/CO)

dan dukungan dari arteri (Peripheral Resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing

penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang

kompleks (Gambar 3).


Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap

kenormalan tekanan darah. Sebagian besar kasus hipertensi essensial terhadap

ketidaknormalan tekanan darah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

peningkatan curah jantung dan tahanan perifer. Faktor yang mempengaruhi curah

jantung adalah asupan garam, berkurangnya nephron, dan stress. Faktor yang

mempengaruhi tahanan perifer adalah stress, genetik, obesitas, dan faktor endotelium.
Gambar 3. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Tekanan Darah

(Sugiharto, 2007)
Komplikasi
Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan

akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Mortalitas pada pasien

hipertensi lebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan telah menimbulkan

komplikasi ke beberapa organ vital. Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama

akan merusak endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari

hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan

pembuluh darah besar.

Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke,

transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal

ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor
resiko kardiovaskular lain (Tabel 4), maka akan meningkatkan mortalitas dan

morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut.

a. Otak

Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh

hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi,

atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan

tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi

otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke daerah-daerah

yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang mengalami

arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya

aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna atau

hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan tersebut

menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan masuk ke

dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut menyebabkan

neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan kematian (Nuraini, 2015).

b. Ginjal

Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan

tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan

mengakibatkan darah mengalir ke unitunit fungsional ginjal, sehingga nefron akan

terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membran

glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga sering

dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang.

Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik (Nuraini, 2015).

c. Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah

pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut

berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan lain

pada retina yang terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik

neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi arteri

dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina. Penderita

retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada akhirnya

dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir (Nuraini, 2015).

d. Kardiovaskular

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami arterosklerosis

atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang melalui

pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen

yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan

terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi infark.

Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai

peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri

perifer, dan gagal jantung.

Tabel 4. Faktor-Faktor Penyebab Kardiovaskuler


C. TUJUAN TERAPI

Tujuan umum pengobatan hipertensi yaitu :

1. Penurunan angka mortalitas dan morbiditas.


2. Target nilai tekanan darah < 140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan

< 130/80 mmHg untuk penderita diabetes mellitus dan ginjal kronik (Sukandar et

al., 2008).
D. SASARAN TERAPI

Berdasarkan patogenesis penyakit hipertensi, sasaran terapi untuk pengobatan

hipertensi adalah menurunkan curah jantung (CO) dan menurunkan tahanan perifer (PR).

E. TATALAKSANA TERAPI
Algoritma Terapi
Gambar 4. Algoritma Terapi Hipertensi (JNC 8)
Terapi Non Farmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah
tekanan darah tinggi, mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien
tekanan darah prehipertensi, dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan
hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan
gaya hidup. Modifikasi gaya hidup yang penting yang dapat menurunkan tekanan darah
adalah mengurangi berat badan untuk individu yang gemuk dan obesitas, mengadopsi
pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan
kalsium, diet rendah natrium, aktivitas fisik, dan mengurangi konsumsi alkohol.
Program diet yang mudah diterima diperlukan pendidikan pasien dan dorongan
moril. Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti
rasionalitas intervensi diet:
1. Hipertensi 2-3x lebih sering pada orang gemuk
2. Lebih dari 60% pasien hipertensi adalah orang gemuk
3. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4,5 kg) dapat menurunkan
tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk
4. Obesitas abdomen dikaikan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor dari
hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2,
dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskuler
5. Diet kaya dengan buah dan sayuran serta rendah lemak jenuh dapat menurunkan
tekanan darah pada individu dengan hipertensi
6. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam kebanyakan
pasien mengalami penurunan tekanan darah sistolik dengan pembatasan natrium
Modifikasi gaya hidup menurut JNC 7 dapat dilihat pada tabel 3. Aktivitas fisik
seperti olahraga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per
minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga aerobik,
seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat menurunkan
tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat
badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis olah-raga mana
yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target. Merokok merupakan
faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang
merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh
merokok.

Tabel 5. Modifikasi Gaya Hidup (GNC 7)


Terapi Farmakologi

Prinsip terapi farmakologi


Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi.

Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan

harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.

Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti

hipertensi.

Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan

(Direktorat pengendalian penyakit tidak menular, 2006).

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang

dianjurkan oleh JNC 7 adalah:

a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist

b. Beta Blocker (BB)

c. Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)


d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)

e. Angiotensin II Receptor Blocker atau Areceptor antagonist/blocker (ARB)

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan

target tekanan darah tercapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan

untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang

memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai

terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada

tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis

obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum mencapai target,

maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke

antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari

dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar

pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan

darah, tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan

kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro,

2006).

a. Diuretik

Gambar 5. Mekamisme Kerja Diuretik Obat Pada Ginjal


Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis.

Pengurangan volume plasma dan stroke volume (SV) berhubungan dengan diuresis

dalam penurunan curah jantung (cardiac output, CO) dan tekanan tekanan darah pada

akhirnya. Penurunan curah jantung yang utama menyebabkan peningkatan resistensi

perifer. Pada terapi diuretik pada hipertensi kronik, volume cairan ekstraseluler dan

volum plasma hampir kembali pada kondisi sebelum diterapi.

Jika diuretik dikombinasikan dengan antihipertensi lain akan muncul efek

hipotensi yang disebabkan oleh mekanisme aksi. Banyak antihipertensi selain diuretik

menginduksi retensi garam dan air yang dilawan aksinya oleh penggunaan bersama

diuretik. Mekanisme kerja diuretika dengan meningkatkan ekskresi Na, Cl, dan air

sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya menurunkan

CO dan tekanan darah. Diuretika terbagi menjadi beberapa sub golongan yaitu :

diuretika thiazid, diuretika hemat kalium, dan loop diuretika.

Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan

lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah. Penderita dengan fungsi

ginjal yang kurang baik Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) diatas 30 ml/menit,

thiazide merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk menurunkan tekanan

darah.

Mekanisme kerja dengan menghambat transport Na dan Cl di tubulus

ginjal, sehingga ekskresi Na dan Cl meningkat. dapat menghambat ekskresi asam

urat dari ginjal sehingga dapat terjadi urisemia, dapat menyebabkan penurunan

sekresi insulin sehingga dapat menyebabkan hiperglikemi pada pemakaian jangka

panjang, tetapi efektif juga untuk pasien dengan kadar renin rendah.

Diuretika tidak digunakan pada pasien gangguan fungsi ginjal dengan

menurunnya fungsi ginjal karena natrium dan cairan akan terakumulasi maka
diuretik jerat Henle perlu digunakan untuk mengatasi efek dari peningkatan

volume dan natriumtersebut. Hal ini akan mempengaruhi tekanan darah arteri.

Contoh : hidroklorthiazide, indapamid, klortalidon.

Diuretik Hemat Kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika digunakan

tunggal. Efek hipotensim akan terjadi apabila diuretik dikombinasikan dengan

diuretik hemat kalium thiazide atau jerat Henle. Diuretik hemat kalium dapat

mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya.

Obat yang termasuk golongan ini adalah antagonis aldosteron (spironolakton dan

eplerenon), triamteren, dan amilorid. Antagonis aldosteron Antagonis aldosteron

bekerja secara kompetitif menghambat aldosteron. Peranan utama aldosteron

berfungsi memperbesar Na dan Cl di tubulus distal serta memperbesar eksresi K.

Peranan tiamteren dan amilorid menyebabkan retensi K dan memperbesar

ekskresi Na dan Cl.

Diuretika kuat (loop diuretika), obat golongan ini memiliki onset kerja yang

cepat, efek diuretiknya kuat sehingg jarang digunakan pada terapi hipertensi.

Obat yang termasuk golongan ini antara lain furosemide, torasemid, bumetamid,

dan asam etakrinat. Mekanisme kerja menghambat cotransport Na, K, Cl dan

resorpsi air dan elektrolit diansa Henle asenden. Ini merupakan pilihan utama

pada gangguan fungsi ginjal (kreatinin dalam serum .2,5 mg/dl) atau gagal

jantung. Dapat terjadi hipokalemia, hiperkalsiuria, dan hipokalsemia.

Efek samping

Thiazide adalah hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia hiperurisemia,

hiperglikemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Diuretik jerat Henle

memiliki efek samping yang lebih kecil pada lipid serum dan glukosa tetapi
hipokalemia dapat terjadi. Hipokalemia dan hipomagnesia dapat menyebabkan

kelelahan otot atau kejang. Aritmia jantung dapat terjadi terutama pada penderita

yang mendapatkan terapi digitalis, penderita dengan hipertropi ventricular kiri,

dan penyakit jantung iskemia. Terapi dosis rendah (misalnya HCT 25 mg atau

Klortalidon 12,5 mg setiap harinya) jarang menyebabkan kekurangan elektrolit

yang signifikan.

Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia terutama pada

penderita penyakit ginjal kronik atau diabetes dan penderita yang diberikan

inhibitor ACE, ARB, AINS, atau suplemen kalium secara bersamaan. Epelrenon

dapat meningkatkan faktor resiko hiperkalemia dan kontraindikasi dengan

penderita gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 disertai proteinuria.

Spironolakton dapat menyebabkan ginekomastia pada 10% penderita, efek ini

jarang terjadi pada penggunaan eplerenon.

Sediaan beredar Hidroklortiazid : sehari 1 x 1 tab

Furosemid : hipertensi ringan sampai sedang dosis awal: sehari 2 x;

pemeliharaan: sehari 1 x; anak: 2 mg/kgBB maksimal sehari 40mg

Manitol : dewasa 250 ml-1 L dlm 24 jam.

Spironolakton : dewasa : 50-100mg sehari dalam dosis bagi; selanjutnya dapat

ditingkatkan sampai 400 mg. Anak: 3mg/kgBB/hari dalam

dosis bagi.

b. Inhibitor Angiotensin-Converting Anzyme (ACEI)


ACE membantu produksi angiotensin II yang berperan penting dalam regulasi

tekanan darah arteri. Sehingga dengan inhibitor ACE ini dapat mencegah perubahan

angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor potensial dan stimulus sekresi


aldosteron). Inhibitor ACE ini juga mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi

sintesis senyawa vasodilator lainnya termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin.


Dosis awal inhibitor ACE sebaiknya dosis rendah kemudian ditambahkan

perlahan. Efek samping golongan obat ini adalah neutropenia dan agranulosit,

proteinuria, glomerulonefritis, dan gagal ginjal akut; efek ini terjadi pada penderita

kurang dari 1%.

Kaptopril: Capoten, *Capozide

Derivat-prolin ini adalah penghambat ACE pertama yang digunakan. Maka

berbeda dengan vasodilator lainnya, zat ini tidak menimbulkan udema atau reflex-

tachycardia. Kaptopril digunakan pada hipertensi ringan sampai berat dan pada

dekompensasi jantung.Efek sampingnya yang sering terjadi adalah hilangnya rasa

(kadang-kadang juga pencium), batuk kering dan exanthema. Efeknya dapat

ditiadakan oleh indometasin dan NSAID lainnya.

Dosis: hipertensi:oral 1-2 dd 25 mg, bila perlu setelah 2-3 minggu 1-2 dd 50

mg; dekompensasi: 3 dd 6,25-12,5 mg, berangsur-angsur dinaikkan sampai 3 dd 25-

50 mg. setelah infark jantung: semula 6,25 mg, berangsur-angsur dinaikkan sampa 2-3

dd 50 mg. Sediaan kombinasi: *Capozide (kaptopril 50 + HCT 25 mg)

Benazepril:Cibacen, *Cibadrex

Derivate benzadiazepin ini adalah prodrug yang di dalam tubuh dihirolisa

menjadi metabolit aktif benzaprilat.Digunakan pada hipertensi dan gagal jantung.

Dosis: hipertensi oral 1x sehari 10 mg, maksimal 1-2x 20 mg; dekompensasi: 1 dd 2,5

mg , maksimal 1-2 dd 10 mg. Sediaan kombinasi: *Cibadrex (benazepril 50 + HCT

12,5 mg).

c. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB )


Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin angiotensin (termasuk ACE) dan

jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti chymases. Inhibitor ACE

hanya menutup jalur renin-angiotensin, ARB menahan langsung reseptor angiotensin

tipe I (AT1), reseptor yang memperantarai angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan

aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepsan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol

eferen glomerulus).

Tidak seperti inhibitor ACE, ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin. Hal

ini tidak memberikan efek samping batuk, banyak konsekuensi negatifkarena

beberapa efek inhibitor ACE dapat menyebabkan meningkatnya level bradikinin.

Bradikinincukup pentinguntuk regresi hipertropi miosit dan fibrosis, serta

meningkatnya level aktivator jaringan palsminogen.

Semua obat pada tipe ini memiliki kesamann efikasi dan memiliki hubungan

antara dosis respon yang linier. Tambahan dosis rendah diuretik thiazide dapat

meningkatkan efikasi secara signifikan.

Pada penderita diabetes tipe 2 dan nefropati, terapi ARB telah ditunjukan

secara signifikan mengurangi perkembangan nefropati. Untuk penderita dengan gagal

jantung sistolik, terapi ARB juga telah ditunjukkan untuk mengurangi resiko

kardiovaskular saat ditambahkan pada regimen diuretik, inhibitor ACE, dan -bloker

atau terapi alternatif inhibitor ACE penderita intoleran.

ARB memiliki efek samping yang lebih rendah daripada antihipertensi

lainnya. Batuk sangat jarang terjadi. Seperti inhibitor ACE mereka dapat

mengakibatkan insufisiensi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi ortotastik. Angioedema

jarang terjadi daripada inhibitor ACE tetapi reaktivitas silang telah dilaporkan. ARB

tidak boleh digunakan pada ibu hamil (ISO farmakoterapi, 2008: 124).

Sediaan beredar
Losartan: dosis awal : sehari 1 x 50mg, dapat ditingkatkan sampai sehari 100 mg.

Pada pasien dengan gangguan hati dan yang beresiko terjadi hipotensi

sebaiknya menggunakan dosis awal 25 mg. Penyesuaian dosis awal tidak

diperlukan pada pasien lansia dan pasien dialisis, karena losartan dan

metabolitnya tidak dibuang melalui proses dialisis. Losartan dapat

dikombinasi dengan antihipertensi lain (ISO vol.46, 2012: 330).

Valsartan: hipertensi: sehari 1 x 80 mg, dapat ditingkatkan sampai dengan 160 mg

(ISO vol.46, 2012: 331).

Gambar 6. Mekanisme Kerja ACEI dan ARB

d. Penghambat Saluran Kalsium (CCB)

CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat

saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan sehingga mengurangi masuknya

kalsium ekstra selluler ke dalam sel. Relaksasai otot polos vaskular menyebabkan

vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal kalsium
dihidropiridini dapat menyebakan aktivasi refleks simpatetik dan semua golongan ini

(kecuali amilodipin) memberikan efek inotropik negative.

Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat konduksi nodus AV, dan

menghasilkan efek inotropik negative yang dapat memicu gagal jantung pada

penderita lemah jantung yang parah. Diltiazem menurunkan konduksi AV dan denyut

jantung dalam level yang lebih rendah daripada verapamil.

e. Beta Bloker
Beta blocker memblok betaadrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan

menjadi reseptor beta1 dan beta2. Reseptor beta1 terutama terdapat pada jantung

sedangkan reseptor beta2 banyak ditemukan di paruparu, pembuluh darah perifer,

dan otot lurik. Reseptor beta2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor

beta1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.

Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan

neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi

reseptor beta1 pada nodus sinoatrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan

kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan

pengepasan rennin, meningkatkan aktivitas system rennin angiotensin aldosteron.

Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan

peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.

Terapi menggunakan betablocker akan mengantagonis semua efek tersebut

sehingga terjadi penurunan tekanan darah.

Betablocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta

blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta1, tetapi tidak spesifik

untuk reseptor beta1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat
asma dan bronkhospasma harus hati-hati. Betablocker yang nonselektif (misalnya

propanolol) memblok reseptor beta1 dan beta 2.

Betablocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai

aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya acebutolol, bekerja sebagai stimulan

beta pada saat aktivitas adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok

aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolah raga).

Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari. Beberapa

betablocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga memblok efek adrenoseptoralfa

perifer. Obat lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta2 atau

vasodilator.

Betablocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan

obat dalam air atau lipid. Obatobat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus

diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal

biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali

dalam sehari. Betablocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara

bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat terjadi fenomena

rebound.

Efek samping

Blokade reseptor beta2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme,

bahkan jika digunakan betabloker kardioselektif. Efek samping lain adalah

bradikardia, gangguan kontraktil miokard, dan tangakaki terasa dingin karena

vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta2 pada otot polos pembuluh darah perifer.

Kesadaran terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1

dapat berkurang. Hal ini karena betablocker memblok sistem saraf simpatis yang
bertanggung jawab untuk memberi peringatan jika terjadi hipoglikemia.

Berkurangnya aliran darah simpatetik juga menyebabkan rasa malas pada pasien.

Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan betablocker yang

larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga dapat terjadi. Betablockers nonselektif

juga menyebabkan peningkatan kadar trigilserida serum dan penurunan HDL.

Mekanisme hipotensi beta bloker tidak diketahui tetapi dapat melibatkan

menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif dan efek inotropik jantung dan

inhibisi pelepasan renin dan ginjal.

a. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada dosis

rendah dan mengikat baik reseptor 1 daripada reseptor 2. Hasilnya agen

tersebut kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokontruksi serta lebih aman

dari non selektif bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi pulmonari

kronis (COPD), diabetes dan penyakit arterial perifer. Kardioselektivitas

merupakan fenomena dosis ketergantungan dan efek akan hilang jika dosis tinggi.

b. Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik

simpatomimetik (ISA) atau sebagian aktivitas agonis reseptor .

f. Alphablocker

Penyekat alfa blocker selektif memblok adrenoreseptor 1, yang akan terjadi

dilatasi pada arteria (menurunkan tahanan perifer) dan pada vena (menurunkan alir

balik vena).

Prasozin, Terasozin dan Doxazosin merupakan penghambat reseptor 1 yang

menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular perifer yang memberikan efek

vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor 2 sehingga tidak

menimbulkan efek takikardia. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.


Efek samping

Alphablocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada

pemberian dosis pertama kali. Alphablocker bermanfaat untuk pasien lakilaki lanjut

usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.


Tabel 6. Strategi Obat Antihipertensi

Tabel 7. Kombinasi Obat Hipertensi

Terapi Hipertensi pada Kondisi Khusus


Rasional kombinasi obat antihipertensi:

Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan:

1. Mempunyai efek aditif


2. Mempunyai efek sinergisme
3. Mempunyai sifat saling mengisi
4. Penurunan efek samping masing-masing obat
5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu
6. Adanya fixed dose combination akan meningkatkan kepatuhan pasien

(adherence)

Menurut European Society of Hypertension 2003, kombinasi dua obat untuk

hipertensi ini dapat dilihat pada gambar dimana kombinasi obat yang dihubungkan

dengan garis tebal adalah kombinasi yang paling efektif.

Gambar 6. Kombinasi Obat-Obat Antihipertensi

a. Hipertensi Pada Orang Tua

Penderita pada orang tua umumnya lebih sensitive terhadap pengosongan volume

dan inhibisi simpatetik serta pengobatan yang diberikan secara umum sebaiknya diawali

dengan dosis kecil diuretic (misalnya: hydrochlorthiazida 12,5 mg) dan meningkat secara

bertahap.Sebaiknya perlu ditambahkan inhibitor ACE dalam dosis rendah yang kemudian

ditingkatkan secara bertahap. bloker merupakan pilihan utama intuk orang tua dengan

hipertensi dan angina, serta inhibitor ACE sangat baik untuk penderita dengan diabetes

atau gagal jantung.


b. Hipertensi Pada Anak-Anak Dan Remaja
Hipertensi sekunder lebih umum terjadi di anak-anak daripada dewasa. Penyakit

ginjal merupakan kasus yang umum terjadi pada hipertensi sekunder anak-anak. Diuretic,

bloker, dan inhibitor ACE merupakan antihipertensi yang efektif.

c. Hipertensi Pada Ibu Hamil


Preclampsia dapat dengan cepat terjadi komplikasi pada ibu dan janin; pada

umumnya terjadi setelah 20 minggu kehamilan pada wanita primigravid. Diagnosisnya

tergantung pada nilai hipertensi (lebih besar dari 140/90 mmHg) setelah 20 minggu

dengan proteinuria. Obat yang biasa digunakan adalah hidralazine intravena; intravena

labetalol juga efektif.

d. Hipertensi Dengan Penyakit Pulmonari Dan Arterial Perifer

Obat 1 selektif dapat dipilih untuk pengobatan pada penderita hipertensi

dengan asma mild-moderat atau COPD dapat menerima bloker untuk menangani

compelling indications.

e. Hipertensi Dengan Dislipidemia


Dislipidemia merupakan faktor resiko utama kardivaskular dan sebaiknya

dikontrol pada penderita hipertensi. Diuretik thiazida dan bloker tanpa ISA lebih

dianjurkan pada penderita dislipidemia.

f. Hipertensi Kritis
Hipertensi gawat idealnya ditangani dengan cara terapi pemeliharaan melalui

penambahan antihipertensi baru dan/meningkatkan dosis pengobatan.

Pencegahan

Pengobatan hipertensi memang penting tetapi tidak lengkap jika tanpa dilakukan

tindakan pencegahan untuk menurunkan faktor resiko penyakit kardiovaskuler akibat

hipertensi. Menurut Bustan MN (1995) dan Budistio (2001), upaya pencegahan dan
penanggulangan hipertensi didasarkan pada perubahan pola makan dan gaya hidup. Upaya

pencegahan yang dapat dilakukan meliputi:

Perubahan pola makan


Pembatasan penggunaan garam hingga 4-6gr per hari, makanan yang mengandung soda

kue, bumbu penyedap dan pengawet makanan.


Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi (jeroan, kuning telur, cumi-

cumi, kerang, kepiting, coklat, mentega, dan margarin).


Menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol
Olah raga teratur
Hindari stres

KASUS

Permasalahan

Tetangga Anda, Ibu SY berusia 51 tahun, menunjukkan obat-obatnya (dalam sak plastik, ada

aturan pakai) kepada anda, beliau mendapat resep dari dokternya (spesialist penyakit dalam).

Beliau pernah mengalami stroke dan mempunyai riwayat hipertensi dan DM.
Frego 2x1 tab
Exforge 5/80 1x1
Kutoin 100 2x1
Crestor 20 1x1
Herbio 2x1
Nimotop 4x2
Glucophage 1x1
Beliau tidak mendapatkan penjelasan tentang obat-obatnya yang dikonsumsinya (dari dokter).

Karena itu, minta kepada anda untuk menjelaskannya. Lakukan konseling yang tepat kepada

tetangga anda (a.l. kapan minum obatnya). Adakah interaksi obat dan dugaan off label drug?

PENYELESAIAN

Subjek : Ibu SY 51 tahun, pernah mengalami stroke, dan memiliki riwayat Hipertensi dan

Diabetes Mellitus.

Objektif : -

Assasment :

1. Indikasi yang tidak ditangani (Untreated Indication) : tidak ada.


2. Pilihan Obat yang Kurang Tepat (Improper Drug Selection)
- nimotop (nimodipin 30mg) penggunaan nimodipin diberikan pada pasien yang

mengalami serangan strok. Pada pasien tidak mengalami serangan. Tetapi hanya

riwayat.
3. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi (Drug Use Without Indication)
- Tidak ada keterangan pasien mengalami epilepsi tetapi mendapat R/ kuntoin

(phenytoin) yang di indkasikan untuk epilepsi


- Tidak ada keterangan pasien mengalami hiperkolesterol tetapi mendapat R/ crestor

20 (rosuvastatin) yang diindikasikan antikolesterol.


- Tidak ada keterangan pasien mengalami gangguan pencernaan tetapi mendapat R/

hexbio yang diindikasikan sebagai suplement untuk diet.


4. Dosis Terlalu Kecil (Sub-Therapeutic Dosage)
- dosis initial glucophage PO 500 mg tiap 12 jam atau 850 mg/hari dan maintenance

dose nya 1500-2550 mg/hari tiap 8-12 jam. (medscape). Pada R/ pemberian

glucophage hanya 1x1 atau 500mg/ hari.


- Dosis maintenance phenytoin 100 mg PO/IV setiap 6-8 jam sehari. (medscape)
Pada R/ penggunaan phenytoin hanya 2x1 tab /hari
5. Dosis Terlalu Besar (Over Dosage) : tidak ada.
6. Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (Adverse Drug Reactions) : tidak ada.
7. Interaksi Obat (Drug Interactions)
- Phenytoin+amlodipine = penytoin mengurangi efek dari amlodipin dengan

mempengaruhi enzym metabolisme CYP3A4 di hepatic/intestinal. Minor or non-

significant interaction (medscape).


- Phenytoin+nimodipine = Phenytoin akan menurunkan efek nimodipin dengan

mempengaruhi enzym metanolisme CYP3A4 di hepatic/intestinal. Minor or non-

significant interaction (medscape).


8. Gagal Menerima Obat (Failure to receive medication)
- Dosis frego10mg (flunarizine) dalam pengobatan migrain vestibular dosis

maksimum adalah 10 mg/ hari pada orang dewasa. Terapi optimal pada pasien

epilepsi yang menerima obat antiepilepsi lain adalah 15-20 mg/ hari pada orang

dewasa. Pemberian obat 1x1 pada malam hari. (Peter A., 2012).
Pada R/ pemberian dengan dosis terbagi 2x1 perhari .

PLAN :

KIE
1. Menggali informasi penunjang pengobatan pada pasien.
Misal:
BB, tekanan darah pasien pada pemeriksaan sebelumya, adakah keluhan yang

dirasakan, riwayat strok yang diderita, kebiasaan pasien (makan dan olahraga),

kondisi lingkungan tempat tinggal, dll.


2. Memberikan informasi mengenai fungsi, dosis, dan cara penggunaan obat.
a. Frego @10mg tab
Indikasi : pengobatan migrain vestibular isis .
Dosis pemberian frego disarankan ke dokter untuk ganti menjadi 1x2 tab sehari,

diminum pada malam hari.


Dikarenakan adanya penggunaan bersama phenitoin pada R/ sebagai antiepilepsi

sehingga digunakan dosis 15-20mg/hari (Peter A., 2012).

b. Exforge 5/80 (5 mg amlodipin/ 80 mg valsartan) tab


Exforge merupakan kombinasi antihipertensi amlodipin (CCB) dengan valsartan

(ARB) yang pada penelitian menunjukan kombinasi keduanya memberikan terapi

yang signifikan dalam menurunkan dan mengotrol tekanan darah pada penderita

hipertensi disertai DM dan strock. Pada penderita dengan rata-rata TD

152/99mmHg dapat diturunkan sampai pada target TD yaitu 130/80mmHg

(Novartis Pharm., 2013).


Indikasi: antihipertensi
Dosis: Diminum 1 x 1 tab sehari pada siang hari, secara konstan dengan makanan

atau tanpa makanan. Sangat direkomendasikan meminum exforge menggunakan

air putih. Minum Exforge tidak bersamaan dengan phenytoin karena ada interaksi

(Novartis Pharm., 2013).


c. Kuntoin 100 (phenytoin 100mg)
Indikasi: phenytoin dosis 300-400mg/hari sebagai antiepilepsi
Phenytoin dosis 200-300mg/hari sebagai antikonvulsan (Medscape).
Dosis: 100mg 2x1 tab/hari. Diminum sesudah makan.
Drug off label dari phenytoin pada penggunaan 300mg/hari dapat sebagai terapi

profilaksis pada pasien yang menderita kejang disertai trauma cedera otak (Te

Department of Surgical Education, 2012).


d. Crestor 20 (Rosuvastatin @20mg)
Indikasi: dosis 10-20mg PO sehari sebagai antikolesterol
Dosis : Diminum 1x1 tab sehari pada malam hari, sebelum tidur, sesudah atau

sebelum makan.
Drug off label: pada dosis 20mg sehari dapat digunakan untuk terapi pada

penderita strok dengan kadar kolesterol rendah tetapi mempunyai kadar sensitif c-

reactif protein yang tinggi. Terapi ini dapat menurunkan angka kejadian strok

hingga 50% (Brendan M. Everett, 2009).


e. Herbio
Indikasi: sebagai suplement diet.
Dosis: diminum dengan dosis 2x1 sachet. diminum sesudah makan dengan

mencampurkan pada segelas air.


Drug off label: memodulasi mikrobiota usus sehingga meningkatkan sensitifitas

dari insulin (Gomes, Aline C., 2014).


f. Nimotop @30mg (nimodipin)
Dosis: 60mg PO setiap 4 jam selama 21 hari, terapi dimulai sejak 96 jam setelah

terjadi pendarahan subarachnoid. (medscape).


Nimotop dihilangkan karena pada tidak terjadi serangan strok pada pasien dan

mempunyai. Terapi perventif untuk riwayat strock sudah cukup dengan pemberian

phenytoin dan gol rosuvastatin.


g. Glucophage
Indikasi: antidiabetes
Dosis initial glucophage PO 500mg tiap 12 jam atau 850mg/hari dan maintenance

dose nya 1500-2550 mg/hari tiap 8-12 jam. Pada R/ pemberian glucophage hanya

1x1 atau 500mg/ hari. Sehingga saran dinaikan dosis menjadi 2x 1 tab tiap 12 jam.
Drug off label: pada dosis PO 850 mg/hari digunakan sebagai pencegahan pada

diabetes type 2 (medscape).


3. Disarankan kepada pasien untuk melakukan cek tekanan darah secara rutin.
4. .Menyarankan kepada pasien untuk menjaga makanan dan gaya hidup sehat :
a. Pembatasan penggunaan garam hingga 4-6gr per hari, makanan yang

mengandung soda kue, bumbu penyedap dan pengawet makanan.


b. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi (jeroan, kuning telur,

cumi-cumi, kerang, kepiting, coklat, mentega, dan margarin).


c. Olah raga teratur (lari pagi, senam, joging)
d. Hindari stres
5. Memberikan informasi tambahan agar tidak ngeden buang air besar, karena dapat

memicu strok dan memperparah strok yang diderita.

Daftar Obat Pasien

FLUNARIZINE

Bentuk Sediaan:

Tablet 5 mg atau 10 mg
Farmakologi:

Penghambat kanal calcium yang bekerja dengan cara menghambat konsentrasi calcium yang
berlebihan dengan cara menurunkan pemasukan calcium ke dalam sel melalui kanal calcium.
Flunarizine diabsorpsi baik di usus. Kadar puncak dalam plasma setelah 2-4 jam pemberian
oral. Konsentrasi obat di jaringan, terutama di jaringan lemak dan otot rangka beberapa kali
lebih tinggi daripada kadarnya di dalam plasma darah.

Flunarizine dan metabolitnya diekskresi terutama melalui feses.

Indikasi:

Mengatasi gejala vertigo akibat gangguan pada sistem vestibuler (vetigo perifer), serta
profilaksis migraine.

Dosis:

Frego 10 mg diberikan pada malam hari pada pasien dengan usia < 65 tahun dan 5 mg pada
pasien dengan usia > 65 tahun. Apabila selama terapi timbul efek depresi, gejala
ekstrapiramidal, atau gejala-gejala lainnya maka pemberian obat ini harus dihentikan.

Kontraindikasi:

Flunarizine tidak boleh diberikan pada pasien dengan alergi terhadap flunarizine, pasien
dengan riwayat depresi atau memiliki gejala-gejala gangguan ekstrapiramidal.

Peringatan dan Perhatian:

Beberapa studi klinik menunjukkan bahwa pemberian flunarizine, bahkan pada dosis yang
dianjurkan dapat menyebabkan gangguan motorik pada beberapa pasien yang sebelumnya
tidak memiliki gangguan/defisit neurologis. Gejala yang mungkin timbul adalah menyerupai
gejala-gejala parkinson, namun gejala ini tidak dapat membaik dengan obat-obat anti
parkinson. Karena flunarizine dapat menimbulkan rasa mengantuk dan rasa lelah (fatigue)
maka pasien harus diperingatkan untuk berhati-hati dalam melakukan aktivitas yang
membutuhkan kewaspadaan atau tindakan cepat dan tepat (misalnya mengoperasikan mesin
atau kendaraan bermotor).

Efek Samping:
Pada pemberian obat ini dapat timbul efek samping berupa lelah, peningkatan berat badan
dan peningkatan nafsu makan. Beberapa efek samping lainnya dilaporkan timbul pada
penggunaan kronik flunarizine seperti : depresi dan gejala-gejala ekstrapiramidal.

EXFORGE 5/80 Amlodipine bestylate 5 mg, valsartan 80 mg


Komposisi:
Indikasi: Hipertensi esensial pada pasien dengan TD yang tidak cukup
dikendalikan hanya dengan monoterapi.
Dosis: 1 tablet/hari.
Pemberian Obat: Diberikan sebelum atau sesudah makan.
Kontra Indikasi: Hamil, laktasi, gangguan ginjal berat, angioedema herediter,
angioedema yang timbul selama terapiawal dengan ACE inhibitor
atau antagonis reseptor angiotensin II.
Perhatian: Penggunaan bersama dengan suplemen K, diuretik hemat K,
pengganti garam yang mengandung K, atau obat yang dapat
meningkatkan kadar K (misalnya heparin). Hindari penghentian
pengobatan secara mendadak, stenosis arteri ginjal bilateral atau
unilateral, menjalani transplantasi ginjal, gangguan fungsi hati atau
obstruksi saluran empedu, stenosis katup aorta atau mitral,
karsiomiopati hipertrofi obstruktif, pasien dengan deplesi bolume
cairan tubuh dan atau deplesi garam yang mendapat diuretik dosis
tinggi.
Efek Samping: Sakit kepala, rasa panas dan kemerahan pada wajah, lemas,
nasofaringitis, influenza, edema, pitting oedema, edema pada
wajah, edema perifer.
Interaksi Obat: Suplemen K, diuretik hemat K, pengganti garam yang
mengandung K, obat yang dapat meningkatkan kadar K (misalnya
heparin), teofilin, ergotamin.
Kemasan: Tablet salut selaput 5 mg/80 mg x 2 x 14

Hexbio

is a probiotic compound containing 6 microorganism strains. It is an orange flavoured, cream


coloured granular powder.

Bentuk sedian : Pleasant taste granules for all age group. Box of 3 gram x 10 sachets.

Composition : Each sachet has a concentration of 3x1010 colony forming unit (CFU) of
probiotic granules at the time of manufacturing.
Probiotic strains:

Lactobacillus acidophilus BCMCTM 12130..............107mg

Lactobacillus lactis BCMCTM 12451.......................107mg

Lactobacillus casei BCMCTM 12313.......................107mg

Bifidobacterium longum BCMCTM 02120................107mg

Bifidobacterium bifidum BCMCTM 02290................107mg

Bifidobacterium infantis BCMCTM 02129.................107mg

Indication :As a dietary supplement

Dosage :Adults 2 sachets , Children 1 sachet

Administration :1 sachet to be taken orally before or after meal. Drink a glass of water.

Overdose: Not known

KI : Not known

Precautions : Pregnant individuals should consult doctor before consuming this product.

Side Effects : Some individuals may experience loose stools initially; however, this condition
will resolve gradually with time.

Storage : stored in a dry place below 25. Keep away from direct sunlight.

Keep out of reach from children.

Komposisi: Rosuvastatin
Indikasi: Hiperkolesterolemia primer (tipe IIa, termasuk hiperkolsterolemia
familial homozigot) atau dislipidemia campuran (tipe IIb) sebgai terapi
tambahan terhadap diet dan olahraga. Menurunkan kadar kolesterol total,
LDL, trigliserida dan Apo B dan meningkatkan HDL. Sebagai terapi
tambahan terhadap diet dan terapi penurunan kadar lemak darah lain
(misalnya aferesis LDL) untuk hiperkolesterolemia familial homozigot.
Dosis: Awal 5-10 mg 1 kali/hari , baik pada pasien yang belum pernah mendapat
terapi statin atau pasien yang menjalani pergantian terapi dari penghambat
HMG-Coa reduktase lain, bila perlu dosis dapat ditingkatkan sampai
tingkat berikutnya sesudah 4 minggu.
Pemberian Obat: Diberikan sebelum atau sesudah makan.
Kontra Indikasi: Penyakit hati aktif termasuk peningkatan persisten kadar transaminase
serum yang tidak diketahui penyebabnya, serta kenaikan transaminase
serum 3 kali dari batas atas nilai normal, miopati, penggunaan bersama
dengan siklosporin, wanita usia subur, hamil dan laktasi.
Perhatian: Konsumsi alkohol berlebihan dan atau memiliki riwayat penyakit hati,
hiperkolesterolemia sekunder yang disebabkan karena hipotiroidisme atau
sindrom nefrotik. Lakukan tes fungsi hati sebelum terapi dan 3 bulan
berikutnya. Pasien sebaiknya dianjurkan untuk segera melaporkan
bilamana ada keluhan nyeri otot yang tidak diketahui penyebabnya,
kelemahan atau kram otot, terutama jika disertai demam atau gejala
kurang enak badan. Monitor peningkatan kadar kreatinin kinase. Pasien
dengan faktor predisposisi bersama dengan gembrozil. Dosis diatas 40 mg
dikontarindikasikan untuk diberikan bersama fibrat. Usia lanjut > 70
tahun.
Efek Samping: Sakit kepala, pusing, konstipasi, mual, nyeri perut, mialgia, astenia.
Interaksi Obat: Antagonis vit K, gemfibrosil dan obat penurun lemak lain, siklosporin,
antasida, eritromisin, kontrasepsi oral atau terapi sulih hormon.
Kemasan: Tablet salut selaput 10 mg x 2 x 14

Kuntoin 100

Bentuk sediaan: capsul 100mg 200mg 300mg

Dosis : antiepilepsi maintanance 100mg IV/PO tiap 6-8 jam

Antikonvulsan: 100mg PO 2x1 sampai 4x1

ES: drowsiness, fatigue ataxia, headache

Interaksi: Phenytoin+amlodipine = penytoin mengurangi efek dari amlodipin dengan

mempengaruhi enzym metabolisme CYP3A4 di hepatic/intestinal. Minor or non-significant

interaction (medscape).

- Phenytoin+nimodipine = Phenytoin akan menurunkan efek nimodipin dengan

mempengaruhi enzym metanolisme CYP3A4 di hepatic/intestinal. Minor or non-significant

interaction (medscape).

Glucophage
Sediaan: IR: 500mg, 850mg, 1000mg

Indikasi: antidiabetes

Dosis initial glucophage PO 500mg tiap 12 jam atau 850mg/hari dan maintenance dose nya

1500-2550 mg/hari tiap 8-12 jam.

ES: asthenia, diare, kelelahan, myalgia

Nimotop @30mg (nimodipin)

Kemasan: gel capsul 30mg oral solutio 60mg/20ml

Indikasi: untuk meningkatkan neurologia outcome dengan mengurangi kejadian dari

ischemic disertai subarachnoid hemorrrhage .

Dosis: 60mg PO setiap 4 jam selama 21 hari, terapi dimulai sejak 96 jam setelah terjadi

pendarahan subarachnoid.

ES: mengurangi tekanan darah sistemik, diare, sakitkepala, rash. (medscape).

DAFTAR PUSTAKA

Brendan M. E., dkk., Rosuvastatin in the Prevention of Stroke Among Men and Women With
Elevated Levels of C-Reactive Protein Justification for the Use of Statins in
Prevention: An Intervention Trial Evaluating Rosuvastatin (JUPITER).
NCT00239681| November 2, 2009.
Dikrektorat Bina Farmasi dan Klinik. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi.
Jakarta : Departemen Kesehatan.

Gomes , Aline C. dkk., Gut microbiota, probiotics and diabetes. Nutrition Journal 2014,
13:60 http://www.nutritionj.com/content/13/1/60

Jantungsehat.web.id

Kartikasari, A.N. 2012. Faktor Resiko Hipertensi Pada Masyarakat Di Desa Kabongan Kidul,
Kabupaten Rembang. Skripsi. Fakultas Kedokteran : Universitas Diponegoro.

Mansjoer, A., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I : Nefrologi dan Hipertensi.
Jakarta : Media Aesculapius FKUI.

Novartis Pharm. Australia Pty Limited. 5/80 EXFORGE 5/160 EXFORGE


10/160 EXFORGE 5/320 EXFORGE 10/320 EXFORGE amlodipine
besylate/valsartan. Name Of The Medicine. 24 December 2013.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana


Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskuler. Indonesian Heart Association. 01 :01.

Peter A. T., and Paul Benfield. 2012. A Reappraisal of its Pharmacological Properties and
Therapeutic Use in Neurological Disorders. Volume 38, Issue 4, pp 481-499

Rusdi and Isnawati, N. 2009. Awas, Anda Bisa Cepat Mati Cepat Akibat Hipertensi dan
Diabetes. Jogjakarta : Power Books (Inhidina).

Sugiharto, A. 2007. Faktor-faktor Hipertensi Grade II Pada Masyarakat (Studi Kasus di


Kabupaten Karanganyar). Tesis. Pasca Sarjana : Universitas Diponegoro
Semarang.

Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., dan Kusnandar. 2008.
ISO Farmakoterapi. Jakarta Barat : PT. ISFI Penerbitan.

Sustrani, L., Alam, S., dan Hadibroto, I. 2004. Hipertensi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.

the Department of Surgical Education. Seizure Prophylaxis In Patients With Traumatic Brain
Injury (TBI). Orlando Regional Medical Cente. 8/27/2012

The Eighth Report of The Joint National Committe. 2014. Evidance-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults Report. Clinical Review &
Education.

The Seventh Report of The Joint National Committe. 2004. Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Presure. Departement of Health And
Human Service.

www.medscape.com

www.bcobres.com

Anda mungkin juga menyukai