Anda di halaman 1dari 104

1 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran

KRISIS MONETER INDONESIA :


SEBAB, DAMPAK, PERAN IMF DAN SARAN*)
Lepi T. Tarmidi
**)
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah
berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni
lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan
meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya
disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh
berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi
seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan
terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di
Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei
1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab
2
dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran
relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit
neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa
masih
cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat
Tabel.
Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan
perdagangan
domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan
ekonomi
tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan
kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam
jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam
dana
dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter,
terjadi
juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini
masih
mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang
badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada,
yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang
datang mengancam.
*) Tulisan ini merupakan revisi dan updating dari pidato pengukuhan Guru Besar
Madya pada FEUI dengan judul
Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF, Jakarta, 10 Juni 1998.
**) Lepi T. Tarmidi : Wakil Kepala Pusat Kajian APEC, Universitas Indonesia, email :
lepi@lpem.feui.org2 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Pertumbuhan ekonomi (%) 7,24 6,95 6,46 6,50 7,54 8,22 7,98 4,65
Tingkat inflasi (%) 9,93 9,93 5,04 10,18 9,66 8,96 6,63 11,60
Neraca pembayaran (US$ juta) 2,099 1,207 1,743 741 806 1,516 4,451 -10,021
Neraca perdagangan 5,352 4,801 7,022 8,231 7,901 6,533 5,948 12,964
Neraca berjalan -3.24 -4,392 -3,122 -2,298 -2.96 -6.76 -7,801 -2,103
Neraca modal 4,746 5,829 18,111 17,972 4,008 10,589 10,989 -4,845
Pemerintah (neto) 633 1,419 12,752 12,753 307 336 -522 4,102
Swasta (neto) 3,021 2,928 3,582 3,216 1,593 5,907 5,317 -10.78
PMA (neto) 1,092 1,482 1,777 2,003 2,108 4,346 6,194 1,833
Cadangan devisa akhir tahun
(US$ juta) 8,661 9,868 11,611 12,352 13,158 14,674 19,125 17,427
(bulan impor nonmigas c&f) 4,7 4,8 5,4 5,4 5,0 4,3 5,2 4,5
Debt-service ratio (%) 30,9 32,0 31,6 33,8 30,0 33,7 33,0
Nilai tukar Des. (Rp/US$) 1,901 1,992 2,062 2.11 2.2 2,308 2,383 4.65
APBN* (Rp. milyar) 3,203 433 -551 -1.852 1,495 2,807 818 456
* Tahun anggaran
Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan
Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 19983 Krisis Moneter Indonesia : Sebab,
Dampak, Peran IMF dan Saran
Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar
AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim
managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan
demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk
menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar
semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp
2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian
berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini
lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang
swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor
rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS
yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya . Krisis yang
berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam,
akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS
(spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.
Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi
pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan
lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila
tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena
cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini
diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang
datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,karena
penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa. Anwar Nasution melihat
besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya
sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28).
Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama- sama membuat krisis
menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama adalah
akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997,
sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini,
dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir
utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan
1 Dalam teori, overshooting nilai tukar biasanya bersifat sementara untuk kemudian
mencari keseimbangan jangka panjang baru. Tetapi selama krisis ini berlangsung, nilai
overshooting adalah sangat besar dan sudah berlangsung sejak akhir tahun 1997.4
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999 pada sistim perbankan. Ketiga
adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintahmenangani dan
mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan
donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak
pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan
Presiden Soeharto pada waktu itu.
Sementara menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang
sangat
tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang
berbeda
menurut sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari
berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1) Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim
devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang
sebesar-
besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening
valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas bebas diperdagangkan di dalam negeri,
sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri.
2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga
5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan
kenaikan
pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari
kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama
makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga
proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan
produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang
kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor
menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued
ini
sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan
nilai tukar yang nyata.
3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak
tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan
juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi
utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang
sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa
tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang5
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena
telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah
terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam
rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif
murah.
Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian
dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah.
Jadi di sini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan
pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun
sehingga
memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang
semakin
besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap
utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah
dengan dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar
negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga disebabkan suatu
gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of thinking2
, di mana pengusaha
beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun bidangnya sudah
jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya melihat dirinya sendiri saja dan tidak
memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak kreditur luar negeri juga ikut
bersalah, karena kurang hati-hati dalam memberi pinjaman dan salah mengantisipasi
keadaan (bandingkan IMF, 1998: 5). Jadi sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri
juga
ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita oleh debitur.
Kalau masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun
masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net capital
outflow3
yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang pokok dan
bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan modal luar
negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta, pinjaman luar negeri
pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu pembayaran, tingkat
bunganya
relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan pinjaman baru.
Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan
diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang
pemerintah
US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge
(Nasution: 12). Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati
selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri (Wessel et al., hal. 22),
misalnya
2 Yang dimaksud di sini adalah perilaku pengusaha yang bertindak atas pertimbangan
dirinya sendiri tanpa mengetahui
apa yang dilakukan oleh pengusaha lainnya. Misalnya pengusaha ramai-ramai mendiri-
kan apotik, membuka
tambak udang, membangun realestat dan kondomium.
3 Total pembayaran cicilan utang pokok dan bunga setelah dikurangi pinjaman baru.6
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi
tambah
besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan IDE). Ditambah
lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai
rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya.
Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak
yang dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan
untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan
sehingga
jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak kembali
(Nasution: 28; Ehrke: 3). Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar
yang
dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang tidak
menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti pembangunan hotel,
resort
pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping malls dan realestat (Nasution: 9;
IMF Research Department Staff: 10). Proyek-proyek besar ini umumnya tidak
menghasilkan barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka
sedikit
sekali pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar
negeri. Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand
dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari
krisis
di Asia Timur. Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga
terjadi
investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka mulai
mencari
dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar AS untuk di hedge
(World Bank, 1998, hal. 1.4).
4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang
dikenal
sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa
yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang
memungkinkan
dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri
sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga
meminjam dari sistim perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya
mengapa Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena
tidak akan ada gunanya. Meskipun pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi
mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian
dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah
dalam
jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan
pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu
mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS (Wessel et al., hal. 1).
Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara
Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian
menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia (Nasution: 1; IMF Research7
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
Department Staff: 10; IMF, 1998: 5). Krisis moneter yang terjadi sudah saling kait-
mengkait
di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (butir 16 dari
persetujuan IMF 15 Januari 1998).
5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan
pita
batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan
mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal
14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas
dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih
berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis
menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk
memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).
6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff:
10; IDE),
yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor
dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah
yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif
murah
dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7) Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran
diming-
imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar (bandingkan World
Bank, 1998, hal. 1.3, 1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan
luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar
dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil
sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir
masuk. Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana
modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan tingkat
bunga
yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga
terletak
pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5).
Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p. 2.1).
8) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan
yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga
menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang
menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari
pinjaman
IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar baru akan
mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji
akan8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai
banyak
pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah
mempertajam dan memperpanjang krisis.
9. Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak
semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim
perbankan untuk bermain.
10.Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas
menyerbu
membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik
keuntungan
dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan
terhadap
dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi
dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya
ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal
Desember
1997 hingga awal Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri
karena ketidak stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu (World Bank,
1998: 1.4, 1.10). Kerusahan besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang
ditujukan
terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan
harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan
kegiatan ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan
mereka dan untuk sementara tidak melaukan investasi baru.
11. Terdapatnya keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah
terhadap
dollar AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata
uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang
negara-
negara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia Timur
meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan relokasi
dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs dollar AS
berbalik
menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam
dollar
AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan.
(Ehrke: 2).
Di lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan
yang mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-
tahun
masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-
balikkan
perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber
ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan/kelompok tertentu
yang
menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat banyak dan perusahaan-perusahaan
yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli di berbagai bidang, penyaluran
dana
yang besar untuk proyek IPTN dan mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan9
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar
negeri, dan kurang dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan
sektor
riil dalam negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah.
Membenahi
sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam
jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS
melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera didahulukan
untuk
mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri,
membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan kepercayaan masyarakat
dalam
dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi Indonesia, menstabilkan nilai tukar
rupiah
pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah penting adalah mengembalikan stabilitas
sosial
dan politik.
Program Reformasi Ekonomi IMF
Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena
pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi.
Strategi
pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata
uang,
yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program
pemulihan
ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu
pemerintah
Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second
Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24
Juni,
kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16
Maret 1999.
Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997.
Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
1. Penyehatan sektor keuangan;
2. Kebijakan fiskal;
3. Kebijakan moneter;
4. Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$
11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar
dicairkan
segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program
penyehatannya
telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai
kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia
sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan.
(IMF,
1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan
negara-
negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai
lebih10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini
dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program
yang diprasyaratkan IMF.
Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar
untuk jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF.
Thailand
hanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di antaranya US$ 4
milyar
dari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari Indonesia dan Korea.
Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak
Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah
negosiasi
kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent)
yang
ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saran-
saran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan
kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998).
Pokok-
pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan,
maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum
pada
tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan
memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang
masuk
adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal
pelaksanaan
masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural.
Strategi
yang akan dilaksanakan adalah:
1. menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
2. memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
3. memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang
efisien
dan berdaya saing;11 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
4. menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
5. kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor
bisa bangkit kembali.
Ke tujuh appendix adalah masing-masing:
1. Kebijakan moneter dan suku bunga
2. Pembangunan sektor perbankan
3. Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
4. Reformasi BUMN dan swastanisasi
5. Reformasi struktural
6. Restrukturisasi utang swasta
7. Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan.
Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecil-
menengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan
20
dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4
juta dan
jumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan
Juli,
bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko
Ekuin/
Kepala Bappenas menegaskan bahwa Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita
gunakan
untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman,
rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki
cukup
devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri (Kompas, 6
Mei
1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni
baru
akan terlaksana awal bulan September ini.
Kritik Terhadap IMF
Banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal
menangani
krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu
seragam,
padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan (2) program
IMF
terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet
dan
Sachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia
(Thailand,
Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga
negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai
permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program
penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya
surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja
negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun
surplus12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru
untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus
dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup
anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%.
Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran
yang
besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah,
tetapi
oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai
tukar
rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu
pemecahan
utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar.
J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang
teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan
berpotensi
menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang
dinamakan konsensus Washington, yaitu negara pengutang lazimnya harus
mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya
memperluas
kesempatan ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa
pencairan bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah
AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan
menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).
Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya
masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk
meningkatkan
penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai
sasaran
surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana
ingin
dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah
peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada
program
yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk
mendorong
ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai
mengatakan bahwa IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan
keputusan.
Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan
dan
visi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada
fakta
konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak
asasi
manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti
Dewan
Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan. Demikianpun halnya
dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak
memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak
IMF13 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan
menyediakan
dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut
kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan
efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan
inflasi.
(Sri Mulyani: 72). Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini
berasal
dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan
fungsi
lender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema
pengetatan,
juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal (Sri Mulyani: 72).
Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim
perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang
amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan
ini
tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter,
Bank
Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat
beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan
pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan
nasional
yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF
tanggal
15 Januari 1998).
Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah
sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi
yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan
Amerika
Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju
lainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah
mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun
1996
dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap
dalam
jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk
menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia
terus
merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan bantuan tahap
kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar,
ditambah
jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan
pemulihan
ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan
memperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat
yang
menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan
tambahan
yang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain
pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan
bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan
tuntutan
reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada
mundurnya Presiden Soeharto.14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret
1999
Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang
ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan
ekonomi,
dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk
IMF
(lihat butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen).
Sayangnya
tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali
nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan
permasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja
terlebih
dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau,
dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang
didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-
negara
sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat
dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputar-
putar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan
sektor
riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari
negara-
negara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan
menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.
Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan
kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda
kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas
dan
berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan
menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih
program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan
kestabilan
nilai tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF
dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari
IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap
masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi
struktural
yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan
sekaligus
secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan
masyarakat
dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan
pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan
reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir
tenggelam
diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi
disuruh belajar berenang dahulu.
Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar
dan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang,
sementara
pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin
banyak15 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan
pasaran
dalam negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-
perusahaan
ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak
terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta
dan
nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar
jangka
pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan
kemurnian
kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak
melihat
inti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan
dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi
duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing?
Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan
politik
dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara
mencurigakan
mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-
tahun
didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia (lihat World Bank, 1996, bab 2;World Bank, 1997, bab 4 dan 5).
Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak
dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena
dalam
jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal,
anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi
BBM
dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah
benar. Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi
silang
sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah
dan
melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun
penurunan
subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4
Mei
1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat
kecil,
meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan
keselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah membantu memicu
terjadinya
kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah,
apakah
pemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan,
menunggu
keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan
dengan
IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara
mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih
bisa
diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk
berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi
sekarang
hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober
1998
direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen).
Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan
dalam
anggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini
disebabkan16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah
besar
yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi
tindakan
yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan
dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas
dasar
nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada
konsumen,
sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak
sebelum
terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak
sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi.
Halnya
akan lain, bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali
lipat
sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di
Indonesia misalnya.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya
krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa
yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk
berkorban
mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya
menaikkan harga BBM dan tarif listrik.
Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal
asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi
peluang
yang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan
hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari
perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go
public.
Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang
bagi
bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai
perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO,
AFTA
dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari
keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi
dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah
anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah
menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal
kecil?
Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima
titipan
pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya
dengan
menggunakan kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani: 72-3).
Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan
program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang-
Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari
1998).
Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena
IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan
kreditor17 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
luar negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF
bisa bertindak sebagai perantara yang netral dan dipercaya.
Dampak dari Krisis
Dewasa ini semua permasalahan dalam krisis ekonomi berputar-putar sekitar kurs
nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan
pendapatan masyarakat dalam rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun
ditambah PHK, padahal harga dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagian
sektor pertanian dan ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam
secara
umum sudah kita ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar
negeri dalam rupiah melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik,
perusahaan
tutup atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual barangnya dan beban
utang
yang tinggi, toko sepi, PHK di mana-mana, investasi menurun karena impor barang
modal
menjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri melonjak. Dampak lain adalah laju inflasi
yang
tinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan disebabkan karena imported
inflation4
,
tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign exchange induced inflation. Masalah ini hanya
bisa
dipecahkan secara mendasar bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang
wajar atau nyata (riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan
harga-harga bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat,
meskipun
tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya krisis moneter.
Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah secara tajam juga membawa hikmah.
Secara umum impor barang menurun tajam termasuk impor buah, perjalanan ke luar
negeri
dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri, kebalikannya arus masuk turis asing akan
lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor rendah
meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya yang
berbasis
pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat sejalan dengan merosotnya nilai
tukar
rupiah, pengusaha domestik kapok meminjam dana dari luar negeri. Hasilnya adalah
perbaikan dalam neraca berjalan. Petani yang berbasis ekspor penghasilannya dalam
rupiah
mendadak melonjak drastis, sementara bagi konsumen dalam negeri harga beras, gula,
kopi
dan sebagainya ikut naik. Sayangnya ekspor yang secara teoretis seharusnya naik, tidak
terjadi, bahkan cenderung sedikit menurun pada sektor barang hasil industri. Meskipun
penerimaan rupiah petani komoditi ekspor meningkat tajam, tetapi penerimaan ekspor
dalam
valas umumnya tidak berubah, karena pembeli di luar negeri juga menekan harganya
karena
tahu petani dapat untung besar, dan negara-negara produsen lain juga mengalami
depresiasi
4 Suatu inflasi dikatakan terjadi karena imported inflation bila harga barang-barang di
negara pengekspornya naik,
dan ini tidak terjadi.18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
dalam nilai tukar mata uangnya dan bisa menurunkan harga jual dalam nominasi valas.
Hal yang serupa juga terjadi untuk ekspor barang manufaktur, hanya di sini ada
kesulitan
lain untuk meningkatkan ekspor, karena ada masalah dengan pembukaan L/C dan
keadaan
sosial-politik yang belum menentu sehingga pembeli di luar negeri mengalihkan
pesanan
barangnya ke negara lain.
Sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, pada Oktober 1998 ini
jumlah keluarga miskin diperkirakan meningkat menjadi 7,5 juta, sehingga perlu
dilancarkan
program-program untuk menunjang mereka yang dikenal sebagai social safety net.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai tukar rupiah
yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang
berkurang
karena PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat
inflasi yang tinggi, sehingga bila nilai tukar rupiah bisa dikembalikan ke nilai nyatanya
maka biaya besar yang dibutuhkan untuk social safety net ini bisa dikurangi secara
drastis.
Namun secara keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih
lebih besar dari dampak positifnya.
Prospek Ekonomi Indonesia
Prospek ekonomi untuk beberapa tahun mendatang adalah kurang cerah dan akan
ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang negatif. Menurut perkiraan IMF pada bulan
Maret
1999 lalu, pertumbuhan GDP nyata Indonesia pada tahun 1998/9 diperkirakan akan
negatif
sebesar 16%, dan tingkat inflasi sekitar 66%. Keadaan ekonomi yang sangat parah ini
diperkirakan pada bulan-bulan mendatang masih akan berlangsung terus, karena krisis
belum juga menyentuh dasar jurang. Berapa lama krisis ekonomi ini masih akan
berlangsung,
sulit untuk diramalkan karena tergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut
adalah
bantuan IMF dan donor-donor lainnya yang segera, menguatnya nilai tukar rupiah
terhadap
dollar AS pada tingkat yang wajar, pulihnya kepercayaan investor dalam dan luar
negeri,
keamanan yang mantap, suasana politik dan sosial yang stabil.
Tapi sekali krisis berakhir dan ekonomi berbalik bangkit kembali (rebound), maka
perbaikan ini diperkirakan akan berlangsung relatif cepat. Karena prasarana dasar
untuk
pembangunan sudah tersedia, tenaga terlatih, pabrik, mesin-mesin sudah ada, sehingga
yang diperlukan adalah pulihnya kepercayaan dan masuknya modal baru.
Saran-Saran
Krisis moneter telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk menentukan
kebijakan di masa depan, maka upaya yang paling utama dan mendesak bagi
Indonesia19 Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
dewasa ini adalah program penyelamatan yang bisa mengembalikan kepercayaan
masyarakat serta menstabilkan kurs rupiah pada nilai tukar yang nyata (bandingkan
juga
Stiglitz). Para ekonom dari CSIS berpendapat bahwa langkah yang harus diambil untuk
mengatasi kemelut ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
dalam tingkat yang wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utang
swasta dengan penjadwalan ulang (Kompas, 9 April 1998).
Penulis menginterpretasikan nilai tukar nyata sebagai nilai tukar berdasarkan
purchasing power parity yang bisa menjaga keseimbangan dalam neraca berjalan dan
yang
bisa menjamin ekonomi nasional beroperasi. Dengan sistim ini, harga barang-barang
produksi dalam negeri dengan kandungan lokal tinggi bisa meningkat daya saingnya
sehingga bisa berkembang dan orang tidak mengandalkan bahan impor karena menjadi
mahal, industrialisasi substitusi impor berlanjut, harga mobil terjangkau oleh
masyarakat,
impor secara otomatis akan berkurang (misalnya buah, jalan-jalan ke luar negeri,
berobat di
luar negeri, kirim anak sekolah di luar negeri, pola makan makanan yang bahannya
gandum),
dan meningkatkan ekspor. Kegiatan jasa hotel, perjalanan, perdagangan dan angkutan
juga
bisa hidup kembali.
Setelah mendapat pengalaman dari krisis ini, dana asing akan sangat hati-hati masuk
ke Indonesia, begitupun pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam
dari
luar negeri. Ditambah dengan hilangnya insentif untuk meminjam dari luar negeri
karena
biaya pinjaman yang lebih rendah diimbangi dengan tingkat depresiasi yang lebih
tinggi
dan karena tidak adanya lagi intervensi kurs oleh BI. Dengan demikian sumber utama
krisis
di masa lalu untuk masa mendatang sudah dapat dieliminir, sejauh persyaratan di atas
bisa
dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang oleh
kekuatan sendiri berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia
perbankan
nasional juga telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent.
Bank Dunia menyarankan mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah dengan
empat kebijakan utama: restrukturisasi beban utang swasta, reformasi dan memperkuat
sistim perbankan, memperbaiki governance, dan menjaga stabilitas fiskal dan
moneter
selama masa transisi (World Bank, 1998, p. 2.2).
Inti dari pemecahan krisis moneter dalam jangka pendek haruslah ditujukan kepada
pencegahan penumpukan pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun
pemerintah,
pada suatu saat tertentu dan membagi (spread-out) pembayaran ini secara merata dalam
jangka waktu yang lebih panjang pada tingkat yang terkendali (manageable).
Beberapa saran dari penulis untuk mengatasi krisis ekonomi dewasa ini adalah
sebagai berikut:20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
1. Karena Indonesia telah menanda-tangani persetujuan program reformasi struktural
ekonomi dengan IMF, maka pemerintah juga harus melaksanakannya dengan
konsekuen,
terlebih lagi karena bantuan IMF ini terkait dengan bantuan negara-negara donor
lainnya
yang jumlahnya sangat besar. Pemerintah melaksanakan reformasi dan restrukturisasi
sektor riil dan keuangan secara konsekuen untuk memperkuat fundamental ekonomi
Indonesia. Makin cepat pemerintah melaksanakan program-program reformasi, makin
cepat juga dananya cair. Yang nanti akan menjadi masalah adalah bagaimana membayar
utang bantuan darurat yang mencapai US$ 46 milyar tersebut di samping utang-utang
pemerintah dan swasta yang ada.
Namun pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, harus
bertindak proaktif menghadapi IMF dengan mengajukan saran-sarannya sendiri dan
menolak program-program yang tidak relevan dan cenderung merugikan Indonesia.
2. Membentuk kabinet baru yang terdiri atas teknokrat untuk mengembalikan
kepercayaan
masyarakat Indonesia maupun luar negeri akan kesungguhan program reformasi.
Dengan
adanya kepercayaan ini, termasuk program reformasi IMF, diharapkan akan terjadi arus
balik devisa dan masuknya modal luar negeri.
3. Mengusahakan penundaan pembayaran utang resmi pemerintah berupa pembayaran
cicilan pokok dan bunga selama misalnya dua tahun melalui Paris Club. Sejauh ini
Indonesia memang selalu patuh untuk membayar semua utang-utangnya secara tepat
waktu, yang juga selalu mendapatkan pujian dari Bank Dunia dan IMF. Namun dalam
keadaan krisis yang parah ini, apa salahnya jika Indonesia meminta penundaan waktu
pembayaran kembali utang? Nama Indonesiapun tidak menjadi jelek karenanya, sebab
Paris Club adalah instrumen internasional yang memang khusus dirancang untuk
membantu negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi masalah pembayaran
kembali utang-utang luar negeri pemerintah. Sementara ini sudah banyak negara
sedang
berkembang yang memanfaatkan fasilitas ini. Dengan demikian, Indonesia bisa
bernapas
untuk memperkuat posisi cadangan devisanya. Sebab menurut APBN tahun 1998/99
jumlah pembayaran cicilan utang pokok luar negeri beserta bunganya mencapai US$
7.560 juta, sementara pinjaman luar negeri baru sebesar US$ 6.450 juta. Jumlah ini
sangat
berarti untuk memperkuat cadangan devisa negara. Seandainya Indonesia tidak
menerima
bantuan barupun, maka masih ada selisih positif sebesar lebih dari US$ 1 milyar yang
bisa dihemat. Keuntungan dari penundaan pembayaran utang ini adalah, bahwa beban
utang tidak menjadi bertambah, hanya saja jangka waktu pembayaran kembalinya saja
yang lebih panjang, tanpa merusak nama Indonesia sebagai debitur yang baik. Bila
Jepang
hanya mau membantu dengan dengan menambah pinjaman baru, berarti bahwa beban
utang termasuk pembayaran bunga untuk di kemudian hari akan bertambah besar.
Penjadwalan kembali pembayaran utang resmi pemerintah ini juga akan banyak21
Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
membantu meringankan defisit anggaran belanja, terlebih lagi dengan semakin
terpuruknya nilai tukar rupiah semakin besar pula defisit dalam anggaran belanja
negara
yang harus ditutup. Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah dan telah dicapai
kesepakatan, bahwa Indonesia akan menunda pembayaran cicilan utang pokoknya saja.
4. Menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang riil, artinya tidak lagi overvalued
ketika
regim managed floating, bahkan bisa dipertimbangkan untuk membiarkannya sedikit
undervalued untuk meningkatkan daya saing secara internasional dan merangsang
produksi dalam negeri dan ekspor. Nilai tukar nyata yang wajar ini harus dicari dengan
memperhatikan kriteria-kriteria berikut, paling tidak tingkat depresiasi rupiah tidak
lebih
rendah dari depresiasi nyatanya. Dengan kurs ini defisit anggaran belanja negara bisa
ditekan, juga tingkat inflasi, pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta
dalam
rupiah dapat ditekan sehingga mampu dikembalikan, begitupun harga BBM/listrik dan
pakan ternak, harga barang-barang produksi dalam negeri dapat terjangkau termasuk
sembako dan pabrik-pabrik beroperasi kembali, orang-orang yang menganggur dapat
bekerja kembali, jumlah penduduk miskin dapat ditekan kembali dan jaringan
keamanan
sosial tidak lagi diperlukan, biaya angkutan udara bisa diturunkan, perjalanan domestik
dan luar negeri dapat hidup kembali. Dilain pihak kurs dollar AS ini harus cukup tinggi
untuk menahan impor berbagai macam barang dan bahan serta meningkatkan daya
saing produk dalam negeri termasuk buah-buahan, insentif untuk meminjam dana dari
luar negeri hilang, biaya perjalanan ke dan sekolah di luar negeri tetap masih mahal,
yang semuanya mengurangi pengurangan devisa. Sebaliknya daya saing ekspor masih
cukup tinggi, sehingga ekspor masih bisa tetap bergairah. Bila ini disadari sebagai hal
yang utama dan yang paling mendesak untuk mengakhiri krisis ini, maka seluruh daya
upaya dan pikiran dapat diarahkan untuk memecahkan persoalannya.
Kebijakan depresiasi nilai tukar yang relatif besar dampaknya sama seperti kebijakan
proteksi produksi dalam negeri, karena merubah perbandingan harga antara barang
dalam negeri aktif dalam forum-forum internasional seperti APEC, ASEAN, dan
sebagainya untuk mencari pemecahan atas krisis moneter yang sedang melanda banyak
negara Asia Timur. Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkuat nilai tukar mata
uang masing-masing kembali pada tingkat yang wajar. Misalnya dengan mengajukan
gagasan-gagasan pemecahan yang konkrit dan mendesak diadakannya pertemuan-
pertemuan dengan segera. Hingga kini sikap pemerintah Indonesia terkesan pasif.
6. Mengadakan negosiasi ulang utang luar negeri swasta Indonesia dengan para
kreditor
untuk meminta penundaan pembayaran, yang sekarang sedang diusahakan oleh Tim
Penanggulangan Utang Luar Negeri Swasta (PULNS) atau Indonesian Debt
Restructuring
Agency (INDRA).22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
7. Mengembalikan stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya sehingga bisa
memulihkan kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri.
8. Untuk mengembalikan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di
dalam
negeri, pemerintah bisa mempertimbangkan melakukan operasi swap, apalagi didukung
oleh cadangan devisa pemerintah yang semakin membesar.
9. Menghalangi kemungkinan kegiatan spekulasi valas besar-besaran dengan
mempelajari
kemungkinan melakukan pengawasan devisa secara terbatas tanpa melepas prinsip
regim devisa bebas atau melanggar kesepakatan dengan IMF, misalnya transfer pribadi
dibatasi sampai jumlah tertentu, US$ 10.000. Selanjutnya tidak memberi peluang untuk
memperdagangkan rupiah atau menaruh deposito Rupiah di luar negeri. Deposito valas
hanya boleh di bank-bank devisa dalam negeri dan tidak boleh ditempatkan di luar.
Krugman juga menganjurkan memungut pajak atas dana yang masuk dan membuat
peraturan yang menghambat pengiriman dana ke luar (lihat Wessel dan Davis, hal. 16).
Daftar Kepustakaan
Anwar, Moh. Arsjad. 1997. Transformasi Struktur Perekonomian Indonesia: Pola
dan Potensi, dalam: M. Pangestu, I. Setiati (penyunting), Mencari Paradigma Baru
Pembangunan
Indonesia, Jakarta: CSIS, hal. 33-48.
Bank Indonesia. 1998. Financial Crisis in Indonesia, Jakarta, August.
Bello, W. 1998. Mencari Solusi Alternatif untuk Mengatasi Krisis, saduran, Jakarta:
Kompas, 1 September, hal. 3.
Ehrke, M.1998. Pangloss oder die beste aller moeglichen Welten, Ursachen und
Auswirkungen der Asienkrise, Bonn: Friedrich Ebert Stiftung, Februari.
Fischer, S. 1998a. IMF dan Krisis Asia, Kompas, Jakarta, 6 April.
________. 1998b. Peranan IMF Saat Krisis, Kompas, Jakarta, 8 April.
________. 1998c. The Asian Crisis and the Changing Role of the IMF, Washington,
D.C.: Finance & Development, Vol. 35 No. 2, June, pp. 2-5.
Greenwood, J. 1997. The Lessons of Asias Currency Crisis, Hong Kong: The Asian
Wall Street Journal, 9 Oktober, hal. 6.
Gunawan, A.H., Sri Mulyani I.. 1998. Krisis Ekonomi Indonesia dan Reformasi
(Makro)
Ekonomi, makalah pada Simposium Kepedulian Universitas Indonesia Terhadap
Tatanan
Masa Depan Indonesia, Kampus UI, Depok, 30 Maret - 1 April.23 Krisis Moneter
Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
Hartcher, P., C. Ryan. 1998. The IMF Turns Off the Tap, Australian Financial
Review,
May 21.
Hollinger, W.C. 1996. Economic Policy under President Soeharto: Indonesias Twenty-
Five
Year Record, the United States-Indonesia Society.
IMF. 1997. IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia, Washington, D.C., Press
Release No. 97/50, November 5.
IMF. 1997. IMF Approves Stand-By Credit for Indonesia, Press Release No. 97/50,
November 5.
IMF. 1998. World Economic Outlook, Washington, D.C., May.
IMF. 1999. Indonesia, Supplemetary Memorandum of Economic and Financial
Policies,
Fourth Review Under the Extended Arrangement, March 16.
IMF Research Department Staff. 1997. Capital Flow Sustainability and Speculative
Currency Attacks, Finance and Development, Washington, D.C.: World Bank,
December, hal.
8-11.
IMF Staff. 1998. The Asian Crisis: Causes and Cures, Washington, D.C.: Finance &
Development, Vol. 35 No. 2, June, pp.18-21.
IMF Cairkan Semilyar Dollar AS, Jakarta: Kompas, 6 Mei 1998.
IMF Mulai Sadar Transparensi, Jakarta: Kompas, 13 Mei 1998, hal. 9.
Indonesia - IMF Agreement on Economic Reforms, January 15, 1998.
Indonesia - Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies,
Jakarta, April 10, 1998.
Institute of Developing Economies (IDE). 1997. 1998 Economic Outlook for East Asia,
Tokyo, December 9.
Kitamura, K.; T. Tanaka (editors). 1997. Examining Asias Tigers, Nine Economies
Challenging Common Structural Problems, Tokyo: Institute of Developing Economies,
IDE Spot
Survey.
Korea Letter of Intent, February 7, 1998,
Krause, L.B. 1994. The Pacific Century: Myth or Reality?, the 1994 Panglaykim
Memorial
Lecture, Jakarta: CSIS.24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Krugman, P. 1994. The Myth of Asias Miracle, Foreign Affairs,
November/December,
hal. 62-77.
_________. 1997. Currency Crisis.
_________. 1998a. What Happened to Asia, The Economist, January. Dimuat di
Kompas
dengan judul Di Balik Terjadinya Krisis Keuangan Asia, 27 Januari, hal. 17.
__________. 1998b. Saatnya Dipertimbangkan Solusi Alternatif, Jakarta: Kompas,
28 Agustus, hal. 3.
Montes, M.F. 1998. The Currency Crisis in Southeast Asia, Singapore: ISEAS, 3rd
updated
reprint.
Nasution, Anwar. 1997. Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia,
makalah pada 1997 Economics Conference, diselenggarakan bersama oleh USAID,
ACAES,
LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18 Desember.
Radelet, S., J. Sachs. 1998. Why Not Let the Banks Own the Debtor Firms?, The
Sunday Times, Singapore, July 26, p. 28-29.
RI-IMF Hasilkan Memorandum Tambahan, Jakarta: Kompas, 9 April 1998.
Saran Ali Wardhana untuk Atasi Krisis, Ada yang Harus Dilakukan dan yang Harus
Dihindari, Jakarta: Kompas, 26 Agustus 1998, hal. 3.
Schuman, M., N. Cho. 1997. South Korea, IMF Agree on Bailout; Economy Is Slated
for
Rapid Change, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 4.
Sender, H.1997. Whats a Fund for?, Hong Kong: Far Eastern Economic Review,
September 25, hal. 140-2.
Soros, G. 1998. The Crisis of Global Capitalism, Hong Kong: The Asian Wall Street
Journal, September 16.
Stiglitz, J. 1998. Restoring the Asian Miracle, Hong Kong: The Asian Wall Street
Journal,
February 2, hal. 8.
Sri Mulyani Indrawati. 1998. Kesepakatan Ketiga, Gatra, No. 25 Tahun IV, Jakarta, 9
Mei, hal. 72-3.
Tarmidi, L.T. 1998a. APEC dan Krisis Moneter di Kawasan Asia Timur, majalah
Global, Jakarta, No. 5, hal. 31-38.
___________. 1998b. Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF, pidato
pengukuhan
Guru Besar Madya Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni.25 Krisis
Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
___________. 1998c. APEC and the Monetary Crisis in East Asia, paper presented
at the APEC Study Centre Consortium Conference, Bangi, Malaysia, August 11-13.
Thailand Letter of Intent, February 24, 1998.
Utang Swasta Sekitar 64 Milyar Dollar AS, Jakarta: Kompas, 2 Mei 1998.
Wessel, D., B. Davis. 1998. Crisis Crusaders, Would-Be Keyneses Debate How to
Fight Global Woes, Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, September 28, hal. 1,
16.
Wessel, D., D. McDermott, G. Ip. 1997. Money Trail: Who Ruptured the Rupiah,
Hong Kong: The Asian Wall Street Journal, December 31, hal. 1, 22.
World Bank. 1994. Indonesia: Stability, Growth and Equity in Repelita VI, May 27.
__________. 1996. Indonesia, Dimensions of Growth, Report No. 15383-IND, May 7.
__________. 1997. Indonesia, Sustaining High Growth with Equity, Report No. 16433-
IND, May 30.
__________. 1998. Indonesia in Crisis, A Macroeconomic Update, draft Report, July
2.31 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan
Penerapannya di Indonesia
KONSEP CROSS-GUARANTEE
DALAM PROGRAM PENJAMINAN
DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
Maulana Ibrahim dan Agusman
*)
Tulisan ini mencoba mengetengahkan salah satu bentuk pikiran alternatif dalam
program
penjaminan yang dikenal dengan konsep Cross-Guarantee. Sangat berbeda dengan
konsep-konsep
lainnya dalam program penjaminan, konsep ini sangat progresif dalam hal
mempercayakan
penyelenggaraan penjaminan kepada mekanisme pasar dan meniadakan intervensi
pemerintah,
sehingga mengarah sepenuhnya pada swastanisasi baik penyelenggaraan penjaminan
maupun
pelaksanaan pengaturan dan pengawasan bank yang menyertainya.
Sebagai suatu konsep yang ditujukan untuk mengatasi berbagai kelemahan deposit
insurance
scheme yang berlaku sekarang ini, maka konsep Cross-Guarantee menekankan
pentingnya penggunaan
pendekatan risk-sensitive analysis dalam penetapan besarnya premi. Konsep ini juga
mengupayakan
adanya perlakuan yang sama untuk bank-bank besar dan bank-bank kecil dalam
memper-oleh
penjaminan. Pendekatan Too-Big-To-Fail (TBTF) yang sejak beberapa waktu terakhir
telah
menimbulkan inkonsistensi dalam proses penjaminan diharapkan dapat dihilangkan
oleh konsep ini.
Apabila diterapkan sepenuhnya, konsep Cross-Guarantee juga akan mengakibatkan
perubahan
yang sangat mendasar terhadap seluruh pola dan praktek penjaminan dan pengawasan
bank yang
sudah dijalankan selama ini. Dengan merujuk pada ide yang dilontarkan Bert Ely
tentang Cross-
Guarantee, dalam tulisan ini akan didalami prinsip-prinsip dasar yang terkandung
dalam konsep
tersebut beserta pengaruhnya terhadap pola penjaminan dan pengawasan bank,
sekaligus mempelajari
kemungkinan penerapannya di Indonesia.
*) Maulana Ibrahim : Kepala Urusan Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia
Agusman : Pengawas Bank, Urusan Pengawasan Bank 2, Bank Indonesia32 Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Pendahuluan
P rogram penjaminan merupakan salah satu kebijaksanaan yang diambil pemerintah
untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasional
yang sempat terganggu karena parahnya krisis ekonomi dan keuangan yang
dihadapi Indonesia sejak paroh kedua tahun 1997. Ditinjau dari karakteristiknya, skim
program penjaminan yang dipilih pemerintah tersebut ternyata lebih bersifat blanket
guarantee
(penjaminan menyeluruh).
Sulit untuk memungkiri bahwa skim penjaminan pemerintah yang bersifat menyeluruh
itu akan sangat memberatkan keuangan pemerintah, khususnya karena tidak
sebandingnya
nilai premi dengan cakupan penjaminan disamping adanya peluang untuk melakukan
moral hazard. Untuk tindakan darurat1
, hal tersebut barangkali masih dapat diterima, namun
untuk jangka panjang tampaknya perlu dicari alternatif lain yang memungkinkan
terselenggaranya program penjaminan yang efisien dan efektif. Dalam hubungan ini,
Kusumaningtuti (1999)2
misalnya, telah mencoba mengkaji kemungkinan penggantian
ketentuan blanket guarantee tersebut dengan deposit protection scheme.
Pencarian kemungkinan alternatif lain program penjaminan merupakan hal yang
perlu dilakukan secara terus menerus. Di Amerika Serikat sendiripun upaya pencarian
tersebut masih tetap dilakukan meskipun program penjaminannya dianggap telah jauh
lebih maju dan mapan. Dalam Konferensi mengenai Bank Structure and Competition
yang
baru-baru ini diadakan oleh Federal Reserve Bank of Chicago, Bert Ely3
, seorang pakar
deposit insurance telah mengemukakan konsep Cross-Guarantee sebagai salah satu
alternatif.
Tulisan ini mencoba mengetengahkan pikiran-pikiran Bert Ely mengenai konsep Cross-
Guarantee tersebut, serta mencoba mempelajari kemungkinan penerapannya di
Indonesia.
Latar Belakang Konsep Cross-Guarantee
Konsep Cross-Guarantee muncul antara lain karena adanya berbagai kritik dan
ketidakpuasan terhadap skim penjaminan yang diterapkan pada Federal Deposit
Insurance
Corporation (FDIC) di Amerika Serikat. Kritikan tersebut perlu ditanggapi karena
FDIC
1 Menurut V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, tindakan darurat (emergency
measures) yang dilakukan bank
sentral dapat berupa pemberian fasilitas lender of last resort, intervensi terhadap bank-
bank/lembaga keuangan
bermasalah dan pembentukan deposit insurance. Untuk mendalami masalah ini lebih
lanjut lihat tulisan mereka
berdua dalam Banking Crises: Cases and Issues, Editor: V.Sundararajan dan Tomas
J.T.Balino, International
Monetary Fund, Washington, D.C., 1991.
2 Kusumaningtuti S.S., Ketentuan Blanket Guarantee dan Kemungkinan
Penggantiannya dengan Deposit Protection
Scheme, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Vol.1, No.3,
Desember 1998.
3 Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam The
35th Annual Conference on
Bank Structure and Competition, The Federal Reserve Bank of Chicago, 7 Mei
1999.33 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan
Penerapannya di Indonesia
sekarang ini menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan dengan periode-periode
sebelumnya4
.
Salah satu hal yang memperoleh kritikan adalah mengenai ruang lingkup penjaminan
FDIC yang cenderung agak kurang konsisten sehubungan dengan penerapan
pendekatan
Too-Big-To-Fail (TBTF). Sebagaimana diketahui, pada dasarnya yang dijamin oleh
FDIC
adalah dana pihak ketiga (deposits) maksimum sebesar USD.100.000,- sedangkan non-
deposits
liabilities seperti pinjaman yang diterima, komitmen dan kewajiban off-balance sheet
serta
kewajiban antar bank di atas USD.100.000 tidak dijamin. Namun dalam hal suatu bank
dinilai TBTF maka seluruh pos kewajibannya akan dijamin, termasuk juga pos
pinjaman
subordinasi.
Meskipun penerapan asas TBTF sangat dimungkinkan berdasarkan konsep Reformasi
Deposit Insurance (deposit insurance reforms) yang disetujui Kongres Amerika Serikat
dan
berlaku sejak setelah tahun 1988, akan tetapi tetap saja ada kritik bahwa perlakuan
khusus
tersebut dapat menimbulkan diskriminasi diantara sesama bank, khususnya bagi bank-
bank yang Too-Small-To-Safe (TSTS), sehingga pada gilirannya dapat merugikan
masyarakat
penyimpan dana.
Kritikan berikutnya yang sering ditujukan kepada FDIC adalah berkenaan dengan
penetapan premi yang harus dibayar oleh bank-bank yang ikut penjaminan. Perhitungan
premi oleh FDIC dinilai kurang mencerminkan risiko yang harus ditanggungnya.
Sebagaimana layaknya perusahaan asuransi, seharusnya semakin besar risiko yang
ditanggung semakin besar premi, dan sebaliknya5
. Namun dalam prakteknya prinsip tersebut
ternyata tidak diterapkan karena dua alasan pokok berikut ini. Pertama, pendapatan dari
penanaman dana oleh FDIC jauh melebihi biaya-biaya operasionalnya. Dengan kata
lain,
laba yang diperoleh FDIC cukup besar sehingga ketergantungan pada premi menjadi
semakin
lebih berkurang. Alasan kedua adalah karena jumlah dana yang ditanamkan oleh FDIC
telah melebihi ketentuan minimum Reserve Ratio (RR) perbankan sebesar 1,25%. Oleh
karena
itu, tampaknya hanya dalam FDIC mengalami kerugian dan deposit growth menekan
RR di
bawah 1,25% barulah premi akan dinaikkan.
Disamping itu premi yang dikenakan oleh FDIC sekarang ini juga dinilai terlalu
berlebihan (overcharging) untuk bank-bank yang sehat dan terlalu kecil
(undercharging) untuk
bank-bank yang bermasalah, sehingga menimbulkan cross-subsidies, yaitu bank-bank
yang
4 Adanya risiko yang lebih besar tersebut antara lain dikemukakan oleh Jin-Chuan
Duan, Arthur F. Moreau dan
C.W.Sealey dalam Deposit Insurance and Bank Interest Rate Risk: Pricing and
Regulatory Implications,
Journal of Banking & Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108.
5 Ide agar FDIC menetapkan premi sebagaimana layaknya perusahaan asuransi swasta
mula-mula sekali dilontarkan
oleh Merton (1977). Hal ini diungkap dalam tulisan Yoram Landskroner dan Jacob
Paroush, Deposit Insurance
Pricing and Social Welfare, Journal of Banking & Finance, No.18, Tahun 1994, hal.
531-552.34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
sehat membayar kewajiban bank-bank yang tidak sehat. Hal ini erat kaitannya dengan
belum diterapkannya secara penuh prinsip risk-sensitive premium sebagaimana yang
dipersyaratkan oleh Section 302 FDICIA6
serta penggunaan alat ukur risiko yang belum
sesuai. Sekarang ini FDIC menggunakan 2 (dua) alat ukur risiko yaitu Capital Levels
dan
CAMEL Rating, namun pendekatan ini dinilai kurang ideal dalam perhitungan premi.
Menurut Bert Ely, seharusnya alat ukur yang digunakan adalah leading indicators of
banking
risks seperti risk mismatches, rapid growth, weak internal controls dan execessive
exposure to emerging
speculative bubbles.
Kritikan lainnya adalah mengenai masih terbukanya peluang untuk melakukan moral
hazard dalam sistem yang berlaku sekarang. Hal ini terjadi karena pada satu pihak
FDIC
memiliki kekuasaan besar dalam penentuan premi, sedangkan pihak lain yaitu birokrasi
pemerintah (regulator) berkewajiban untuk meminimumkan kerugian FDIC dan
mencegah
kegagalan bank (bank failures). Struktur seperti ini ternyata dapat mengakibatkan
terjadinya
regulatory moral hazard pada tingkat pembuat ketentuan, dan potensial untuk berubah
menjadi
real moral hazard pada tingkat FDIC. Contoh yang paling baru dari fenomena
regulatory moral
hazard ini adalah dalam hal kegagalan BestBank di Boulder, Colorado pada bulan Juli
1998.
Karakteristik Sistem Cross-Guarantee dalam Penjaminan
Terlepas dari berbagai kritik terhadap skim penjaminan FDIC sebagaimana
dikemukakan di atas, secara implisit konsep Cross-Guarantee sebenarnya sudah
melekat
pada FDIC, meskipun belum seutuhnya. Melalui premi yang mereka bayar, bank-bank
yang
ikut program penjaminan FDIC pada hakekatnya saling menjamin satu-sama lain,
karena
masing-masing bank-bank yang dijamin (insured banks) pada akhirnya menjadi pihak
yang
bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang terjadi apabila ada bank-bank yang
mengalami kegagalan usaha (failed banks). Mekanisme Cross-Guarantee ini memiliki
kemiripan dengan mekanisme yang berlaku pada Standby Letter of Credits, khususnya
dalam hal terdapat multiple participant.
Penerapan konsep Cross-Guarantee dalam program penjaminan memer-lukan
perubahan mendasar terhadap skim penjaminan dan pola pengawasan bank yang sedang
berjalan. Perubahan-perubahan tersebut dapat mencakup aspek penyelenggara, lembaga
penjamin, ruang-lingkup penjaminan, bentuk kontribusi dari bank yang dijamin,
sumber
pembayaran klaim, pelaksana pengawasan bank, ketentuan perbankan, lembaga lain
yang
terlibat dan lain-lain. Pada Lampiran-1 disajikan perbandingan antara Cross-Guarantee
dengan skim penjaminan deposit insurance konvensional untuk masing-masing aspek
tersebut.
6 FDICIA singkatan dari FDIC Improvement Act. Menurut George G.Kaufman, apabila
diterapkan secara penuh
maka ketentuan yang tercakup dalam FDICIA dapat efektif menurunkan moral hazard.
Selanjutnya lihat George
G.Kaufman, FDICIA and Bank Capital dalam Journal of Banking & Finance, No.19,
Tahun 1995, hal.721-722.35 Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan
Kemungkinan Penerapannya di Indonesia
Agar konsep Cross-Guarantee tersebut dapat diimplementasikan dalam praktek maka
perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Setiap bank diberi kebebasan untuk menentukan sendiri penjaminnya (direct
guarantor-
nya). Bank yang dijamin (insured bank) selanjutnya akan melakukan pembicaraan
dengan
direct guarantor-nya untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang akan dituangkan
dalam bentuk perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract). Perjanjian ini akan
berfungsi sebagai pengganti ketentuan perbankan yang berlaku sekarang. Dengan
demikian, akan terjadi pergeseran dari government regulation and deposit insurance
kepada
contractual regulation and guarantees (swasta).
b. Apabila direct guarantor gagal memenuhi kewajibannya maka guarantor dari direct
guarantor
tersebut harus bertanggungjawab. Secara bersama-sama para direct guarantor akan
membentuk suatu sindikat direct guarantor (lihat Lampiran-2). Selanjutnya, secara
accrual
accounting setiap direct guarantor akan langsung mengakui dan mencatat kerugian
sebesar
share yang harus ditanggungnya apabila bank yang dijaminnya mengalami kegagalan
usaha. Direct guarantor akan melakukan pembayaran dengan menggunakan general
funds
(cadangan umum) yang merupakan salah satu unsur modalnya. Dengan cara ini, seluruh
kerugian karena bangkrutnya suatu bank akan langsung diserap oleh modal bank-bank
yang ada dalam sistem perbankan suatu negara. Jumlah modal yang tersedia untuk
menyerap kerugian juga akan semakin besar dan semua itu terjadi atas dasar komitmen
sukarela (committed voluntarily).
c. Untuk memastikan bahwa bank-bank yang dijamin mematuhi cross-guarantee
contract
maka sebuah perusahaan swasta yang disebut syndicate agent akan disewa. Syndicate
agent ini selanjutnya akan menggantikan fungsi pengawas dan pemeriksa bank yang
ada sekarang. Penunjukan syndicate agent ini dilakukan secara terbuka sehingga akan
mendorong adanya kompetisi yang sehat dan efisiensi.
d. Sebuah lembaga baru yang disebut Cross Guarantee Regulation Corporation (CGRC)
harus
dibentuk. Lembaga ini berfungsi untuk memastikan bahwa perjanjian penjaminan
(cross-
guarantee contract) yang disepakati para pihak telah sesuai dengan aturan penyebaran
risiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan lainnya.
Perlu kiranya dikemukakan bahwa aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule)
merupakan salah satu pilar penting dalam konsep Cross-Guarantee. Aturan ini
mencakup
hal-hal sebagai berikut:
Setiap penjamin (guarantor) harus dijamin oleh penjamin-penjamin lainnya dalam
suatu
sistem cross-guarantee, minimal untuk menyelesaikan kewajiban cross-guarantee dari
setiap penjamin. Dengan demikian setiap dolar kerugian pasti akan dapat diselesaikan
oleh bank-bank yang berada dalam himpunan para penjamin (the universe of
guarantors).36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Setiap perjanjian penjaminan (cross guarantee contracts) harus menyebutkan jumlah
minimum para penjamin dan persentase risiko yang ditanggung mereka masing-masing.
Setiap penjamin bertanggungjawab sebatas jumlah risiko cross-guarantee yang
ditanggungnya, baik untuk setiap bank maupun secara aggregat. Secara aggregat, setiap
bank penjamin tidak diperkenankan menerima pendapatan dari premi
7
dalam setahun
melebihi 3 (tiga) persen dari total modalnya.
Untuk memastikan bahwa tidak akan pernah ada suatu bank mengalami kegagalan
usaha karena menjadi penjamin maka perlu diberlakukan suatu standard stop-loss rule,
yang menyatakan bahwa apabila satu penjamin mengalami kerugian cross-guarantee
melebihi lima kali premi yang diperolehnya dalam setahun maka kewajiban cross-
guarantee-nya harus dialihkan kepada direct guarantor-nya.
Manfaat Swastanisasi Penjaminan melalui Cross-Guarantee
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, penerapan konsep Cross-
Guarantee akan menimbulkan pergeseran peranan dari pemerintah kepada pihak swasta
dalam melakukan penjaminan serta pengaturan dan pengawasan bank. Oleh karena itu,
agar dapat terlaksana dengan baik, Cross-Guarantee memerlukan peran aktif dari pihak
swasta untuk mewujudkan suatu skim penjaminan yang diarahkan oleh kekuatan pasar
(market-driven cross-guarantee). Skim penjaminan berbasiskan pasar tersebut
diharapkan dapat
mengeliminir intervensi dari pemerintah, sehingga penjaminan akan terlaksana secara
efisien dan efektif. Karena adanya kebebasan dalam proses merumuskan mekanisme
penjaminan untuk setiap bank, maka konsep Cross-Guarantee dipandang lebih
berorientasi
ke depan dibandingkan dengan konsep penjaminan (FDIC) yang berlaku sekarang.
Semangat untuk melakukan privatisasi penjaminan melalui Cross-Guarantee jelas
terlihat sejak awal penentuan bank penjamin (direct guarantor) yang dilakukan secara
sukarela
(voluntary) dan demokratis. Demikian pula penentuan perjanjian penjaminan (cross-
guarantee
contract) sepenuhnya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu
insured
banks dan direct guarantor-nya. Yang perlu dijaga adalah agar perjanjian dimaksud
sudah
memperhitungkan premi atas dasar sensitivitas terhadap risiko (risk-sensitive
premium),
memenuhi aturan penyebaran risiko (risk dispersion rule) serta ketentuan-ketentuan
lainnya
yang dianggap penting oleh para pihak. Sebagai aturan yang akan menggantikan
prudential
regulation maka perjanjian penjaminan harus dibuat sedemikian rupa agar dapat
menampung
prinsip kehati-hatian.
7 Dalam hal ini premi merupakan proxy terbaik dari cross-guarantee risk.37 Konsep
Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya di
Indonesia
Dengan swastanisasi penjaminan dan pengawasan bank maka nantinya tidak akan
ada lagi fenomena satu ketentuan yang berlaku untuk semua (one-size-must-fit-all
government
regulation) yang selama ini merupakan salah satu kelemahan inheren dari ketentuan
perbankan yang dibuat pemerintah. Dalam praktek selama ini sering ditemukan adanya
beberapa ketentuan yang sulit diterapkan karena bersifat terlalu umum dan kurang
mempertimbangkan karakteristik individual bank. Atas dasar konsep Cross-Guarantee
ini,
insured banks dapat membuat berbagai ketentuan yang mengatur dirinya secara spesifik
berdasarkan kesepakatan dengan direct guarantor-nya.
Konsep Cross-Guarantee juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
insured banks untuk berdiskusi dan bernegosiasi dengan direct guarantor-nya untuk
segala
hal termasuk mengenai masa depan bank tersebut. Hal ini pada gilirannya akan
membuat
strategi business dan perencanaan bank menjadi semakin tajam dan terarah. Pada pihak
lain, kegiatan kontrol atau pengawasan akan semakin lebih ketat karena langsung
dilakukan
oleh kekuatan pasar. Apabila suatu bank memperoleh penilaian yang jelek dari pasar
maka
yang akan menanggung akibatnya bukan hanya bank yang bersangkutan saja, tetapi
juga
menjalar kepada bank yang menjadi direct guarantor. Hal-hal tersebut akan membuat
persaingan dalam industri perbankan akan semakin ketat dan mendorong efisiensi
besar-
besaran dalam sektor keuangan.
Persaingan sehat juga akan terjadi diantara sesama syndicate agent yang akan berfungsi
sebagai pengganti pengawas dan pemeriksa bank yang ada sekarang. Karena
kemungkinan
akan banyak perusahaan syndicate agent yang muncul maka direct guarantor diberi
keleluasaan dalam menentukan syndicate agent yang mereka pilih. Hal ini pada
gilirannya
dapat mendorong kompetisi yang sehat diantara sesama perusahaan syndicate agent dan
mendorong efisiensi pekerjaan penjaminan.
Manfaat berikutnya dari konsep Cross-Guarantee dapat ditinjau dari segi ruang
lingkup penjaminannya. Tanpa memandang besar kecilnya suatu bank, mereka akan
dijamin
sebagaimana layaknya bank-bank lainnya, asal bank-bank tersebut dapat menemukan
direct
guarantor-nya. Oleh karena itu, pendekatan TBTF menjadi tidak relevan sama sekali
dalam
konsep Cross-Guarantee. Dengan menggunakan konsep Cross-Guarantee, maka
transaksi-
transaksi non-funding obligations seperti account payment, unexpired leases dan
kewajiban yang
muncul karena tuntutan hukum akan dapat ikut dijamin. Kewajiban yang tidak dapat
dijamin
hanyalah pinjaman subordinasi karena memiliki karakteristik campuran (hybrid) hutang
dengan modal. Sama halnya dengan program penjaminan biasa, maka dalam cross-
guarantee, unsur modal juga tidak dijamin8
.
8 Pengecualian hanya terjadi dalam hal TBTF, karena ada kemungkinan pinjaman
subordinasinya juga akan ikut
dibayar, tergantung pada bobot permasalahan bank yang TBTF tersebut.38 Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Manfaat lainnya dari konsep Cross-Guarantee adalah adanya kesempatan untuk
melakukan penyesuaian secara cepat terhadap perhitungan premi berdasarkan kekuatan
pasar. Perhitungan tersebut akan mencerminkan risk-sensitivity dari bank yang dijamin
dan diharapkan dapat disesuaikan segera baik secara bulanan atau mingguan. Dalam
hal
ini besarnya premi dapat langsung dibicarakan oleh masing-masing bank dengan direct
guarantor-nya. Dengan adanya kemungkinan untuk melakukan perhitungan premi
berdasarkan kecenderungan pasar tersebut maka cross-subsidies yang inheren dalam
skim
penjaminan yang ada sekarang diharapkan akan dapat dihilangkan.
Pengaruh terhadap Pasar Antar Bank dan Sistem Pembayaran
Cross-guarantee dapat menghilangkan counterparty risk yang selama ini melekat dalam
transaksi antar bank (lihat Lampiran-3). Sistem Kliring akan terbebas dari risiko tidak
dibayarnya tagihan antar bank karena adanya jaminan bahwa direct guarantor masing-
masing
bank pada akhirnya akan bertanggungjawab sesuai perjanjian penjaminan (cross-
guarantee
contract) yang mereka sepakati. Hal ini pada gilirannya memungkinkan
terselenggaranya
suatu Sistem Pembayaran yang bebas risiko (risk-free basis).
Penggunaan konsep Cross-Guarantee ini juga dapat mendorong penggunaan secara
luas net settlement procedures dalam Sistem Pembayaran. Bagi bank sentral hal ini
akan sangat
menguntungkan karena net settlement procedures tersebut dapat lebih efisien dari real-
time
gross settlement .
Kemungkinan Penerapan Konsep Cross-Guarantee di Indonesia
Skim penjaminan yang sekarang ini diterapkan di Indonesia masih mengandung
berbagai kelemahan baik pada tingkat konsep maupun pada tingkat pelaksanaan. Pada
tingkat konsep, karena bersifat blanket guarantee (jaminan menyeluruh) maka skim
tersebut
dapat mengakibatkan beban yang sangat berat bagi keuangan pemerintah, padahal
kemampuan keuangan pemerintah sendiri sudah sangat terbatas. Disamping itu peluang
untuk moral hazard juga besar karena unsur keadilan yang kurang terpenuhi yang
tercermin
antara lain dari gejala cross-subsidies dimana bank-bank yang sehat membayar
kewajiban
bank-bank yang tidak sehat. Pada tingkat pelaksanaan, terdapat pula indikasi bahwa
dalam
praktek tidak seluruh aspek penjaminan dapat terlaksana. Sebagai contoh, untuk
melaksanakan penjaminan transaksi off-balance sheet derivatives perlu ada bukti-bukti
bahwa transaksi itu genuine, sesuatu yang sangat sulit dibuktikan kecuali oleh
perbankan
sendiri.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, konsep Cross-Guarantee tampaknya
dapat menjadi salah satu alternatif jalan keluar, karena hakekat persoalan penjaminan
dikembalikan secara utuh kepada pelaku pasar sendiri yaitu antara bank-bank yang39
Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya
di Indonesia
bertransaksi, sehingga mereka perlu saling menjamin dan saling menjaga kestabilan
sistem
perbankan. Namun demikian perlu kiranya diingat agar pemilihan konsep Cross-
Guarantee
tersebut hendaknya tidak terlepas dari tujuan utama dari program penjaminan, yaitu
untuk
mencegah kegagalan pasar perbankan (banking market failure) dan untuk
membangkitkan
kembali kepercayaan masyarakat serta menghentikan bank runs9
.
Meskipun dapat dipandang sebagai salah satu alternatif jalan keluar, penerapan
konsep Cross-Guarantee di Indonesia dapat menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang
pro
mungkin lebih didasarkan atas adanya peluang besar untuk meringankan beban
keuangan
pemerintah, apalagi dalam situasi krisis seperti sekarang. Sementara itu, yang kontra
lebih
melihat dari sisi kesiapan perbankan dan kalangan pemerintahan kita dalam
menerapkan
konsep dimaksud. Hal yang terakhir ini tampaknya ada benarnya juga karena untuk
sampai
pada konsep Cross-Guarantee perlu dijawab terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan
berikut
ini:
Apakah bank-bank di Indonesia sudah sedemikian sehat dan kuat sehingga mampu
untuk saling menjamin (cross-guarantee) sesama mereka ?
Apakah bank-bank di Indonesia sudah cukup dewasa untuk mendiskusikan sendiri
sesama mereka hal-hal yang berkenaan dengan penjaminan, business strategy dan
prudential regulation untuk dituangkan dalam semacam perjanjian yang mengikat
mereka
secara bersama-sama ?. Pertanyaan ini cukup penting mengingat selama ini bank-bank
di Indonesia sangat tergantung pada petunjuk dan arahan yang diberikan oleh otoritas
moneter sebagai pengawas dan pembina bank-bank.
Apakah sistem informasi yang terdapat pada masing-masing bank dan secara nasional
telah sanggup menyediakan data/informasi yang diperlukan untuk penetapan premi
yang sensitif terhadap risiko ?
Apakah pihak otoritas pengawas yang ada sekarang berkenan menyerahkan fungsinya
pada mekanisme pasar melalui syndicate agent dan dapat menerima keberadaan Cross
Guarantee Regulation Corporation (CGRC) sebagai lembaga yang akan memverifikasi
perjanjian penjaminan (cross-guarantee contract) ?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas cukup relevan untuk kondisi Indonesia dan
memerlukan jawaban-jawaban yang tidak sederhana. Pengkajian lebih lanjut sangat
diperlukan untuk mencegah pengambilan keputusan yang keliru yang dapat berakibat
kontra-
produktif terhadap masa depan sistem perbankan dan sektor keuangan negara kita.
9 Mengenai hal ini lihat misalnya Kerry Cooper dan Donald R.Fraser, The Risk of
Depository Institution Failure
and The Role of Deposit Insurance dalam Banking Deregulation and The New
Competition in Financial
Services, Ballinger Publishing Company, Cambridge Massachusetts, 1984.40 Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 1999
Daftar Pustaka
Bert Ely, The Cross-Guarantee Concept and Interbank Markets, Paper dalam The 35th
Annual Conference on Bank Structure and Competition, The Federal Reserve Bank of
Chicago,
7 Mei 1999.
George G.Kaufman, FDICIA and Bank Capital dalam Journal of Banking & Finance,
No.19, Tahun 1995, hal.721-722.
Jin-Chuan Duan, Arthur F.Moreau and C.W.Sealey dalam Deposit Insurance and
Bank Interest Rate Risk: Pricing and Regulatory Implications dalam Journal of
Banking &
Finance, No.19 Tahun 1995, hal.1091-1108.
Kerry Cooper and Donald R.Fraser, The Risk of Depository Institution Failure and
The Role of Deposit Insurance dalam Banking Deregulation and The New
Competition in Financial
Services, Ballinger Publishing Company, Cambridge Massachusetts, 1984.
Kusumaningtuti S.S., Ketentuan Blanket Guarantee dan Kemungkinan Penggantiannya
dengan Deposit Protection Scheme, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank
Indonesia,
Vol.1, No.3, Desember 1998.
V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, Banking Crises: Cases and Issues, Editor
V.Sundararajan dan Tomas J.T.Balino, International Monetary Fund, Washington, D.C.,
1991.
Yoram Landskroner dan Jacob Paroush, Deposit Insurance Pricing and Social
Welfare dalam Journal of Banking and Finance, No.18, Tahun 1994, hal.531-552.41
Konsep Cross-Guarantee dalam Program Penjaminan dan Kemungkinan Penerapannya
di Indonesia
Lampiran-1
PERBANDINGAN ANTARA CROSS-GUARANTEE
DENGAN DEPOSIT INSURANCE KONVENSIONAL
No. ASPEK DEPOSIT INSURANCE CROSS-GUARANTEE
1 Penyelenggara Pemerintah Swasta
2 Lembaga Penjamin FDIC Sesama bank, baik sebagai direct
guarantor maupun indirect guarantor.
3 Ruang-lingkup Penjaminan Terbatas dan sangat subjektif dalam Seluruh pos-pos
kewajiban, kecuali
penentuan bank-bank yang "TBTF" Pinjaman Subordinasi.
(Too-Big-Too-Fail).
4 Bentuk kontribusi dari yang dijamin Premi (namun belum memenuhi Premi ("risk
sensitive premium").
kriteria "risk-sensitive premium").
5 Sumber pembayaran klaim Hasil pengelolaan dan penanaman General funds (general
reserves) dari
premi pada sektor-sektor yang direct guarantors.
menguntungkan.
6 Pelaksana pengawasan bank Bank Sentral dan FDIC Murni swasta, dilaksanakan oleh
"Syndicate Agent".
7 Ketentuan perbankan Prudential regulation konvensional Berdasarkan kesepakatan
antara
bank yang dijamin (insured banks)
dengan direct guarantor-nya
("Contractual Regulation").
8 Lembaga lain yang terlibat Tidak ada lembaga lain yang terlibat Dibentuk lembaga
baru yang disebut
kecuali FDIC, Bank Sentral dan Cross Guarantee Regulation Corporation
"insured banks". (CGRC) untuk memastikan bahwa
perjanjian jaminan sudah sesuai aturan
penyebaran risiko dan ketentuan lainnya.42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,
Maret 1999
Monitoring fee
Obligation to protect
competitively sensitive data
Syndicate Agent
(Independent of
any other party)
Ensures that cross-gurantee contract
complies with risk dispersion
rules and other statutory
requirementsThis is the html version of the file http://komjakarta.org/wp-
content/uploads/2010/02/ekonomi_pasar_yg_neo-
liberalistik_vs_ekonomi_berkeadilan_sosial_-_bonnie_setiawan.pdf .
Google automatically generates html versions of documents as we crawl the web.
Page 1
1
EKONOMI PASAR YANG NEO-LIBERALISTIK VERSUS
EKONOMI BERKEADILAN SOSIAL *
Oleh: Bonnie Setiawan **
Media biasa menggunakan kata-kata: "Rupiah anjlok karena pemerintah tidak
mengikuti kemauan
pasar atau kehendak pasar". Inilah yang dimaksud sebagai keterikatan terhadap Modal
atau
keterikatan terhadap Ekonomi Pasar. Arti yang dimaksud dari istilah "pasar" tersebut
adalah
sistem ekonomi yang kapitalistik. "Pasar Bebas" artinya kebebasan bergerak dari
ekonomi modal
(dan para pemilik modal) sebebas-bebasnya. Pasar bebas adalah mesin utama dari
Globalisasi
yang saat ini sedang naik daun. Dan untuk memahami Pasar Bebas ini, maka orang
perlu
memahami Neo-Liberalisme (liberalisme baru). Inilah ideologi mutakhir kapitalisme
yang saat ini
sedang jaya-jayanya, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut
Margaret
Thatcher. Semenjak 1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik
menjadi kebijakan
dan praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia:
Bank Dunia,
IMF dan WTO.
Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak terjang
badan-badan
multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan domestik di negara-
negara maju;
kita dapat memahami mengapa terjadi krisis moneter dan ekonomi yang tidak
berkesudahan; kita
dapat memahami mengapa Indonesia didikte dan ditekan terus oleh IMF; kita dapat
memahami
mengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami mengapa BUMN didorong
untuk di-
privatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air, BBM, dan pajak naik; kita dapat
memahami
mengapa impor beras dan bahan pangan lain masuk deras ke Indonesia; kita dapat
memahami
mengapa ada BPPN, Paris Club, Debt Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-
soal yang
membingungkan dan memperdayai publik.
Nama dari program Neo-Liberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah
SAP
(Structural Adjustment Program). Program penyesuaian struktural merupakan program
utama dari
Bank Dunia dan IMF, termasuk juga WTO dengan nama lain. WTO memakai istilah-
istilah seperti
fast-track, progressive liberalization, harmonization dan lain-lain. Intinya tetap sama.
Di balik nama
sopan "penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan pendobrakan radikal"
terhadap
struktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan mekanisme pasar bebas murni.
Jadi
Pasar Bebas adalah intinya (mesin penggeraknya), Neo-Liberal adalah ideologinya, dan
SAP
adalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem
kapitalisme
global.
PASAR BEBAS VERSI NEO-LIBERALISME
Sejarah Neo-Liberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich
von Hayek
(1899-1992) yang bisa disebut sebagai Bapak Neo-Liberal. Hayek terkenal juga dengan
julukan
ekonom ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah Milton Friedman, pencetus
monetarisme.
Pada saat itu adalah juga masa kejayaan Keynesianisme, sebuah aliran ilmu ekonomi
oleh John
Maynard Keynes. Keynesian dianggap berjasa dalam memecahkan masalah Depresi
besar tahun
1929-1930. Terutama setelah diadopsi oleh Presiden Roosevelt dengan program "New-
Deal"
maupun Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa setelah Perang Dunia ke-II,
maka
Keynesian resmi menjadi mainstream ekonomi. Bahkan Bank Dunia dan IMF kala itu
terkenal
sebagai si kembar Keynesianis, karena mempraktekkan semua resep Keynesian. Dasar
pokok
dari ajaran Keynes adalah kepercayaannya pada intervensi negara ke dalam kehidupan
ekonomi.
Menurutnya, kebijakan ekonomi haruslah mengikis pengangguran sehingga tercipta
tenaga kerja
* Disampaikan pada Diskusi Publik Ekonomi Pasar yang Berkeadilan Sosial yang
diadakan oleh Forum
Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi tanggal 12 Juni 2006 di DPR-
RI, Jakarta.
** Direktur Eksekutif di Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta. igj@globaljust.org

Page 2
2
penuh (full employment) serta adanya pemerataan yang lebih besar. Dalam bukunya
yang
terkenal di tahun 1926 berjudul The End of Laissez-Faire, Keynes menyatakan
ketidakpercayaannya terhadap kepentingan individual yang selalu tidak sejalan dengan
kepentingan umum. Katanya, Sama sekali tidak akurat untuk menarik kesimpulan dari
prinsip-
prinsip ekonomi politik, bahwa kepentingan perorangan yang paling pintar sekalipun
akan selalu
bersesuaian dengan kepentingan umum. Keynesianisme masih tetap menjadi dominant
economy
sampai tahun 1970-an.
Sementara itu neo-liberal belum lagi bernama. Akan tetapi Hayek dan kawan-kawan
sudah
merasa gelisah dengan mekarnya paham Keynes ini. Pada masa itu pandangan
semacam neo-
liberal sama sekali tidak populer. Meskipun begitu mereka membangun basis di tiga
universitas
utama: London School of Economics (LSE), Universitas Chicago, dan Institut
Universitaire de
Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa. Para ekonom kanan inilah yang
kemudian
setelah PD-II mendirikan lembaga pencetus neo-Liberal, yaitu Societe du Mont-Pelerin,
Pertemuan
mereka yang pertama di bulan April 1947 dihadiri oleh 36 orang dan didanai oleh
bankir-bankir
Swiss. Termasuk hadir adalah Karl Popper dan Maurice Allais, serta tiga penerbitan
terkemuka,
Fortune, Newsweek dan Reader's Digest. Lembaga ini merupakan "semacam
freemansory neo-
liberal, sangat terorganisir baik dan berkehendak untuk menyebarluaskan kredo kaum
neo-liberal,
lewat pertemuan-pertemuan internasional secara reguler".
Pandangan Neo-Liberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal
adalah "The
Road to Serfdom" (Jalan ke Perbudakan) yang menyerang keras Keynes. Buku tersebut
kemudian
menjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di Readers Digest di tahun 1945. Ada
kalimat di
dalam buku tersebut: "Pada masa lalu, penundukan manusia kepada kekuatan
impersonal pasar,
merupakan jalan bagi berkembangnya peradaban, sesuatu yang tidak mungkin terjadi
tanpa itu.
Dengan melalui ketertundukan itu maka kita bisa ikut serta setiap harinya dalam
membangun
sesuatu yang lebih besar dari apa yang belum sepenuhnya kita pahami". Neo-liberal
menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana
kebebasan
individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah
dalam
kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme
pasar, bukan
pemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para
individu
akan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga
mekanisme pasar
dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka,
pengetahuan para
individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu disalurkan melalui
lembaga-
lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka Neo-liberal juga tidak percaya pada
Serikat Buruh
atau organisasi masyarakat lainnya.
Dengan demikian Neo-liberal secara politik terus terang membela politik otoriter. Ini
ditunjukkan
oleh Hayek ketika mengomentari rejim Pinochet di Chili, "Seorang diktator dapat saja
berkuasa
secara liberal, sama seperti mungkinnya demokrasi berkuasa tanpa liberalisme.
Preferensi
personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang memilih
pemerintahan
demokratis yang tidak punya liberalisme". Demokrasi politik, menurut neo-Liberal,
dengan
demikian adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam
melakukan pilihan dalam transaksi pasar, bukan sistem politik yang menjamin aspirasi
yang
pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat. Bahkan salah seorang pentolan
neo-Liberal,
William Niskanen, menyatakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak
mengutamakan
kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan
stabil. Bila
terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka
mereka
memilih untuk mengorbankan demokrasi.
Salah satu benteng neo-liberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek mengajar di
situ antara
tahun 1950 sampai 1961, dan Friedman menghabiskan seluruh karir akademisnya.
Karena itu
mereka juga terkenal sebagai "Chicago School". Buku Friedman adalah "The Counter
Revolution
in Monetary Theory", yang menurutnya telah dapat menyingkap hukum moneter yang
telah
diamatinya dalam berabad-abad dan dapat dibandingkan dengan hukum ilmu alam.
Friedman
percaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim. Dengan
demikian,
neo-Liberal tidak mempersoalkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan di dalam

Page 3
3
masyarakat. Pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya
semata-mata
dianggap sebagai manifestasi dari kegiatan individu atas dasar kebebasan memilih dan
persaingan bebas. Efek sosial yang ditimbulkan oleh kekuasaan ekonomi pada
segelintir
kelompok kuat tidak dipersoalkan oleh neo-Liberal. Karenanya demokrasi ekonomi
tidak ada di
dalam agenda kaum neo-Liberal.1
Pandangan kaum neo-Liberal pada dasarnya tidak populer di masyarakat Barat. Mereka
anti
terhadap welfare state (negara kesejahteraan) dan mereka juga anti demokrasi. Tetapi
mengapa
mereka bisa berjaya sekarang? Susan George menjawabnya, bahwa mereka berasal dari
sebuah
kelompok kecil rahasia dan mereka sangat percaya pada doktrin tersebut, yang
kemudian dengan
bantuan para pendananya, membangun jaringan yayasan-yayasan internasional yang
besar,
lembaga-lembaga, pusat-pusat riset, berbagai publikasi, para akademisi, para penulis,
serta
humas yang mengembangkan, mengemas dan mempromosikan ide dan doktrin tersebut
tanpa
henti. Kata Susan, mereka membangun kader-kader ideologis yang luar biasa
efisiennya karena
mereka memahami apa yang disampaikan oleh pemikir marxis Itali Antonio Gramsci
ketika ia
berbicara tentang konsep hegemoni kultural. Bila kamu dapat menguasai kepala orang,
maka hati
dan tangan mereka akan ikut.2 Salah seorang yang menjadi ujung tombaknya adalah
Anthony
Fisher, seorang pengusaha sukses yang kemudian mendirikan Institute of Economic
Affairs (IEA)
pada tahun 1955 dengan bantuan dana dari kaum indutrialis lainnya. Tujuan lembaga
ini adalah
menyebarkan pemikiran ekonomi yang kuat di berbagai universitas dan berbagai
lembaga
pendidikan mapan lainnya. IEA inilah yang kemudian memberi pengaruh besar kepada
Margaret
Thatcher, seperti dikatakan Milton Friedman, Tanpa adanya IEA, maka saya
meragukan akan
bisa terjadi revolusi Thatcherite. Salah satu koran yang menjadi corong neo-Liberal di
Inggeris
adalah The Daily Telegraph. Lembaga lain juga didirikan, yaitu Centre for Policy
Studies (CPS) di
tahun 1974 yang sangat berpengaruh kepada para politisi di Inggeris. IEA kemudian
melahirkan
Adam Smith Institute (ASI) di tahun 1976. Kerjasama mereka dengan Heritage
Foundation,
didirikan di Washington tahun 1973 oleh lulusan LSE, adalah guna membuat hal yang
sama bagi
politik Amerika sebagaimana yang dilakukan oleh CPS kepada politik Inggeris.
Anthony Fisher
kemudian menjadi presiden pertama dari lembaga Fraser Institute di Kanada di tahun
1974. Di
tahun 1977, ia mendirikan International Centre for Economic Policy Studies di New
York, di mana
salah satu pendirinya adalah Bill Casey, yang kemudian menjadi Direktur CIA. Tahun
1979, Fisher
mendirikan Institute for Public Policy di San Francisco. Fisher juga terlibat dalam
mendirikan
Centre for International Studies (CIS) di Australia, di mana Direkturnya Greg Lindsay
merupakan
kontributor penting berkembangnya ide pasar bebas di politik Australia. Dalam rangka
memudahkan mengelola berbagai lembaga tersebut, Fisher mendirikan Atlas Economic
Research
Foundation yang menyediakan struktur kelembagaan pusat, yang di tahun 1991
mengklaim
membantu, mendirikan, membiayai sekitar 78 lembaga serta mempunyai hubungan
dengan 81
lembaga lainnya di 51 negara. Ketika tembok Berlin rubuh, maka banyak personelnya
yang pindah
ke Eropa Timur guna merubah ekonomi-ekonomi yang sakit menjadi kapitalisme.3
Para ekonom neo-Liberal di tahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi.
Di tahun
1974, Hayek dianugerahi Nobel Ekonomi. Sesudahnya Friedman mendapat Nobel
Ekonomi di
tahun 1976. Juga Maurice Allais, seorang anggota Mont-Pelerin Society, mendapat
Nobel
Ekonomi di tahun 1988. Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar. Sejak itu
pulalah seluruh
paradigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir neo-Liberal,
termasuk ke
dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi
WTO).
Dengan demikian Margaret Thatcher menjadi pengikut dari Hayek, sedangkan murid
dari
Friedman adalah Ronald Reagan. Inilah yang menghantar neo-Liberal menjadi ekonomi
mainstream di tahun 1980-an lewat Thatcherism dan Reaganomics. Thatcher
sebenarnya adalah
1 Lihat dalam Eric Toussaint, Your Money or Your Life: The Tiranny of Global
Finance, Pluto Press, 1999,
hlm. 178-182; dan Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, CIDES, 1998,
hlm. 36-39.
2 Susan George, A Short History of Neoliberalism, dalam Walden Bello, Nicola
Bullard, Kamal Malhotra
(ed.), Global Finance: New Thinking on Regulating Speculative Capital Markets, Zed
Books, 2000, hlm. 28-
29.
3 Ted Wheelwright, How Neo-Liberal Ideology Triumphed, Third World Resurgence,
No. 99/1998, hlm. 11-
12.

Page 4
4
seorang social-darwinist, sampai akhirnya ia menemukan buku Hayek, dan kemudian
menjadi
salah satu pengikutnya. Doktrin pokok dari Thatcher adalah paham kompetisi
kompetisi di antara
negara, di antara wilayah, di antara perusahaan-perusahaan, dan tentunya di antara
individu.
Kompetisi adalah keutamaan, dan karena itu hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu
kompetisi
dalam pasar bebas pasti baik dan bijaksana. Kata thatcher suatu kali, Adalah tugas kita
untuk
terus mempercayai ketidakmerataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan
diberikan jalan
keluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama. Artinya, tidak perlu khawatir ada
yang
tertinggal dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang
alamiah. Akan
tetapi ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi
manfaat pada
semua orang. Hasilnya, di Inggeris sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang dianggap
hidup di
bawah kemiskinan. Kini, satu dari empat orang dianggap miskin; dan satu anak dari
tiga anak
dianggap miskin. Thatcher juga menggunakan privatisasi untuk memperlemah kekuatan
Serikat
Buruh. Dengan privatisasi atas sektor publik, maka Thatcher sekaligus memperlemah
Serikat-
Serikat Buruh di BUMN yang merupakan terkuat di Inggeris. Dari tahun 1979 sampai
1994, maka
jumlah pekerja dikurangi dari 7 juta orang menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar
29%).
Pemerintah juga menggunakan uang masyarakat (para pembayar pajak) untuk
menghapus hutang
dan merekapitalisasi BUMN sebelum dilempar ke pasar. Contohnya Perusahaan Air
Minum (PAM)
mendapat pengurangan hutang 5 milyar pounds ditambah 1,6 milyar pounds dana untuk
membuatnya menarik sebelum dibeli pihak swasta. Demikian pula di Amerika,
kebijakan neo-
Liberal Reagan telah membawa Amerika menjadi masyarakat yang sangat timpang.
Selama
dekade 1980an, 10% teratas meningkat pendapatannya 16%; 5% teratas meningkat
pendapatannya 23%; dan 1% teratas meningkat pendapatannya sebesar 50%. Ini
berkebalikan
dengan 80% terbawah yang kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah, jatuh ke
titik nadir,
kehilangan pendapatan15%.4
Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang Dunia Ketiga, maka paham neo-
Liberal
menjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan WTO.
Tiga poin
dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa;
perputaran
modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo neo-Liberal telah
memenuhi pola
pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran
yang
standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-
jampi lainnya.
Kaum mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik, kini juga berpindah paham menjadi
neo-liberal.
Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:5
1. ATURAN PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap
keterikatan yang
dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional
dan
investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan
hak-hak
buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal,
barang
dan jasa.
2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL.
Ini seperti
terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk jaring
pengaman
untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik,
seperti
jalan, jembatan, air bersih ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak
mereka
tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
3. DEREGULASI. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa
mengurangi
keuntungan pengusaha.
4. PRIVATISASI. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor
swasta.
Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah
sakit,
bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang
nyatanya
berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik
membayar
lebih banyak.
5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU
KOMUNITAS.
Menggantinya dengan tanggungjawab individual, yaitu menekankan rakyat miskin
untuk
4 Susan George, Ibid., hlm. 29-31.
5 Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, What is Neo-Liberalism?, Third World
Resurgence No. 99/1998,
hlm. 7-8.

Page 5
5
mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan,
jaminan
sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka
program neo-
Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:6
1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari
komponen-
komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b)
Devaluasi; (c)
Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit, peningkatan suku
bunga
kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities, dan
penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.
2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau
diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-
luasnya
dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara; (c)
liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi; (d)
memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas
yang
lebih luas dan longgar.
3. Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam
menghadapi
krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS, yang
merupakan
gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik disana-sini.
Di Indonesia, paham neo-liberal mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika
pemerintah
mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud dalam
berbagai
paket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah terjadinya krisis
hutang
dunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default (menyatakan tidak mampu
membayar
hutangnya). Setelah itu Bank Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-
negara yang
terkena krisis hutang lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika
Latin dan
Afrika. Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP.
Akan tetapi
sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal,
khususnya
karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF.
LIBERALISME EKONOMI YANG MEMATIKAN
Berbagai kebijakan deregulasi perbankan dan keuangan di awal tahun 1980-an adalah
awal dari
liberalisme ekonomi dan dominasi paham neo-liberal di antara para ekonom. Sejak itu
berbagai
kebijakan, peraturan, dan tindakan pemerintah adalah untuk melayani kepentingan
korporasi, yang
pada masa itu adalah para konglomerat Orde Baru, keluarga Suharto dan TNC yang
digandengnya. Dengan liberalisme itu, mereka menjarah berbagai asset dan
sumberdaya nasional
untuk memenuhi kepentingan keserakahan modal dan kehidupan serba mewah mereka.
Globalisasi melestarikan kompradorisme (kaki tangan dan kepanjangan tangan
kapitalisme
internasional), tetapi sekaligus juga hendak menancapkan kukunya lebih dalam lagi
guna
menguasai secara total perekonomian nasional suatu negara. Pada intinya adalah
menghancurkan kedaulatan nasional. Kaum komprador yang terlalu berkuasa secara
nasional
juga tidak mereka sukai, seperti kerajaan bisnis Suharto serta kroni-kroni
konglomeratnya, karena
seringkali mampu menghalang-halangi kepentingan kapital global untuk kepentingan
mereka
sendiri yang mengganggu mekanisme pasar. Yang mereka inginkan sekarang adalah
dominasi
sepenuhnya, mekanisme pasar sepenuhnya, dan kontrol hukum sepenuhnya.
Kita bisa mencatat banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudiannya telah
menghancurkan
dan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional, kedaulatan hukum,
dan korban
berjuta-juta rakyat Indonesia memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus
berlanjut hingga
kini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang
tidak mau
diakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu
menyalahkannya kepada
pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari segi KKN, korupsi, bad-governance dan
lainnya;
6 Sritua Arif, Op.cit., hlm. 360-367.

Page 6
6
karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya. Kenyataannya baik
IMF/Bank
Dunia dan Pemerintah Orde Baru, dua-duanya bersalah dan harus bertanggungjawab.
Kita menghadapi dua masalah besar yang harus segera diselesaikan. Pertama, adalah
sistem
KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang parah. Indonesia menjadi bangsa yang celaka
dan merugi
karena selama 32 tahun hanya membangun KKN. KKN ini terjadi karena
pemerintahnya sejak
awal memang berorientasi untuk Korupsi, sehingga kekayaan nasional yang luar biasa
besarnya
hanya dibagi di kalangan elite saja (keluarga Presiden dan kroni-kroni konglomerat
serta elit
kekuasaan). Dan yang menyedihkan nampaknya system KKN masih terus berlanjut
hingga kini.
Kedua, adalah sistem Pasar Bebas yang kapitalistik yang memanfaatkan KKN untuk
keuntungan
pemodal asing (TNC/MNC) dari negara-negara maju. Contoh paling jelas adalah
Freeport di
Papua dan Exxon di Aceh. Sistem pasar bebas dan globalisasi ini mengekalkan
hubungan neo-
kolonialisme-imperialisme, sehingga Indonesia sukar sekali keluar dari
ketergantungannya pada
negara-negara maju dan badan-badan dunia tersebut.
Di sini akan diberikan contoh-contoh kasus bagaimana kedua hal tersebut telah
membawa
dampak luar biasa pada pemiskinan, penindasan dan penjualan bangsa secara besar-
besaran
kepada asing; dan di lain pihak kaum elit komprador Orde Baru yang sampai sekarang
masih tetap
bebas dari hukuman atas terjadinya malapetaka nasional ini dan terus melanggengkan
situasi ini :
1. Perampokan besar-besaran Bank Sentral
Ini sesungguhnya adalah skandal keuangan Bank Sentral terbesar di dunia. Bantuan
Likuiditas
Bank Indonesia, adalah skema program bail-out (penalangan) utang perbankan (swasta
dan
pemerintah) untuk dialihkan menjadi beban pemerintah lewat penerbitan obligasi. Ini
adalah
bagian dari program pemulihan krisis ekonomi Indonesia yang dipaksakan oleh IMF
lewat LoI,
bersama-sama dengan Bank Dunia dan ADB sejak bulan Oktober 1997. Semula BLBI
bernama KLBI yang bersifat Kredit; kini diganti menjadi bersifat Bantuan,
sehingga tidak
jelas lagi aspek pertanggungjawabannya. BLBI secara jelasnya adalah bantuan dana
yang
diberikan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, jadi
merupakan utang
bank-bank penerima kepada BI. Akan tetapi melalui program penjaminan pemerintah,
hak
tagih BI dialihkan kepada pemerintah. Untuk membayar hak tagih tersebut, pemerintah
menerbitkan Surat Utang (Obligasi) senilai Rp 164,53 trilyun dan juga menerbitkan
Surat Utang
untuk penyediaan dana dalam rangka program penjaminan senlai Rp 53,77 trilyun.
Meskipun hakekatnya adalah pinjaman dengan persyaratan suku bunga, jangka waktu
dan
jaminan tertentu, pada akhirnya menjadi pengurasan uang negara yang diduga
dilakukan baik
oleh bank penerima maupun oleh pejabat-pejabat BI sendiri. Pengurasan tersebut
diperkirakan
telah mencapai Rp 144,53 trilyun (per-29 Januari 2000). Laporan audit investigasi BPK
tanggal
31 Juli 2000 mengungkapkan dugaan penyimpangan tersebut. Potensi kerugian negara
yang
ditimbulkannya adalah Rp 138,44 trilyun (95,78%) dari dana penyaluran BLBI.
Sementara
penyimpangan dari bank penerima dana BLBI berupa berbagai pelanggaran yang
mencapai
nilai Rp 84,84 trilyun (59,7%) dari dana BLBI, dilakukan oleh 48 bank penerima.
Sementara itu
kerugian dan dampaknya terhadap APBN juga luar biasa. Pemerintah dengan ini
mempunyai
kewajiban untuk membayar angsuran dan bunga obligasi tersebut, yang dibayar dari
dana
APBN. Di tahun 2001 diperkirakan angsuran dan bunga obligasi tersebut mencapai Rp
55,7
trilyun, artinya sekitar 18,9% dari APBN hanya akan dipakai untuk membayar beban
utang
BLBI. Sementara bila kita tengok pengeluaran APBN untuk keperluan subsidi
masyarakat
hanya mencapai 16,4% (Rp 48,2 trilyun) dan untuk keperluan pembangunan hanya
11,3% (Rp
33,3 trilyun). Dengan skandal keuangan BLBI ini, yang disarankan oleh IMF, maka
telah
mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya diterima oleh rakyat lewat APBN.7
2. Tambal sulam kemiskinan lewat utang
7 BLBI: Bantuan atau Bencana, Pernyataan Bersama LSM Tentang Penyelesaian
Kasus BLBI; LoI dan
MEFP 31 Oktober 1997, di www.imf.org

Page 7
7
Program pinjaman dari Bank Dunia dan ADB dengan nama SSNAL (Social Safety Net
Adjustment Loan) atau pinjaman untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang
dilaksanakan
sejak terjadinya krisis. Besarnya US$ 600 juta yang tahap pertamanya telah dikucurkan
sebesar US$ 300 juta pada Januari 2000. Merupakan politik etis dari Bank Dunia agar
krisis
yang terjadi tidak menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan yang bisa merugikan
kepentingan Bank Dunia sendiri. Sejak awal telah ditentang oleh para aktivis, karena
hanya
menambah beban utang dan bersifat tambal sulam. Skema program JPS ini dibagi ke
dalam
12 program, diantaranya OPK (Operasi Pasar Khusus), PDM-DKE (Pemberdayaan
Daerah
dalam Mengatasi Dampak Ekonomi), DBO (Dana Bantuan Operasional), dan PKP
(Padat
Karya Perkotaan). Sampai tahun anggaran 1999/2000 program JPS telah menghabiskan
dana
Rp 15 trilyun.
Dalam kenyataannya, terbukti terjadi banyak penyimpangan. Salah satu bukti yang
jelas
adalah sebesar Rp 8 trilyun dari Rp 17,9 trilyun dana JPS di tahun anggaran 1998/1999
malah
digunakan untuk kampanye otonomi luas Timor Timur dan Kampanye Pemilu 1998.
Demikian
pula, dugaan penyelewengan dana JPS tahun 1999/2000 hampir sebanyak Rp 4,5
milyar dana
OPK dan Rp 500 juta dana PDM-DKE untuk 15 propinsi di Indonesia, di mana
sebagian besar
penyelewengan (49%) terjadi di tingkat kecamatan. Demikian pula dari hasil audit
BPK,
ditemukan bahwa dana JPS bidang pendidikan tahun 1998/1999 dan 1999/2000
terdapat
pengeluaran sebesar Rp 5,4 milyar yang diragukan kebenarannya, dan terdapat dana
untuk
Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DPO) sebesar Rp 12,3 milyar yang tidak
disalurkan
ke siswa dan sekolah. Juga ditemukan 21 kasus yang merugikan negara sebesar Rp 1,5
milyar, kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 75,6 juta, dan uang yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan (6 temuan) sebesar Rp 227,9 juta. Meskipun jelas ada banyak
penyimpangan, Bank Dunia dan pemerintah terus melanjutkan program ini. Baru
kemudian
setelah terlihat bahwa program ini dapat menghancurkan kredibilitas Bank Dunia
sendiri,
akhirnya pada Juli 2001 oleh Bank Dunia program ini dibatalkan sama sekali.
3. Penghancuran ketahanan pangan
Lewat LoI Oktober 1997 dan MEFP 11 September 1998, IMF menuntut
diberlakukannya tariff
impor beras sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula.
Selain
itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan
agar
melepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas perdagangan
beras,
itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula BULOG harus
mengambil
pinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana BLBI yang sangat ringan.
Liberalisasi juga
telah diberlakukan dalam hal harga pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak
lagi
disubsidi pemerintah, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu
subsidi
petani lewat KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan
dana
BLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal,
sementara harga
jual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian dari ratifikasi Indonesia
atas
Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang mengatur penghapusan dan
pengurangan
tarif serta pengurangan subsidi.
Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga lebih
murah dari
beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba untuk mendatangkan
beras
dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras impor yang
masuk
ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal
produksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton, sementara kebutuhan nasional
diperkirakan
mencapai 32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta
ton.
Karena jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor
dinaikkan
menjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukan
penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan Australia
dengan
tetap meraih untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya, setelah keluar dari
Tanjung
Priok dijual Rp 1.600/kg, dan beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih
meraih
laba sekitar Rp 600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada
Maret
2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras impor
terus saja

Page 8
8
masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi lokal terus merosot
tajam,
sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg. Padahal harga pupuk sudah sekitar
Rp
700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila
tidak ada
langkah-langkah protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan
dan akan
menyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan
liberalisasi
pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir
besar.8
4. Penciptaan pasar tanah
Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan
suatu
mega-proyek yang disebut sebagai Land Administration Project (LAP). Ini adalah suatu
proyek
ambisius mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah Land Resource and
Management
Planning yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020) yang hendak
merancang
suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya
adalah
terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap
lima
tahun. LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggaran
nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%)
dan
sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah
ditentang
oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali
dilaksanakan,
dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot
proyek
sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai
sebesar US$
110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman
Bank
Dunia.
Pelaksanaan LAP I, sebagaimana sudah diduga, telah menimbulkan banyak masalah.
Registrasi tanah LAP I yang katanya menggunakan prinsip transparansi, partisipasi dan
kontrol
masyarakat, ternyata tidak terjadi. Penemuan di lapangan oleh KPA (Konsorsium
Pembaruan
Agraria) memperlihatkan adanya peluang bagi petugas untuk korupsi dan menipu
warga.
Warga juga tidak mengetahui keberadaan LAP sampai petugas BPN datang mengukur
tanah
mereka. Juga tidak ada standard biaya registrasi. Sebuah kasus di Depok, warga
dikenakan
biaya Rp 50.000, sementara kwitansi dari BPN hanya tertera Rp 11.500. Bahkan hasil
analisis
dari Bank Dunia sendiri berjudul The Social Assessment of the Land Certification
Program:
The Indonesia Land Administration Project, LAP I mempunyai banyak masalah,
diantaranya
adalah: proyek tersebut tidak sustainable, karena 62% dari Tim Ajudikasi Tanah telah
bubar
sesudah proyek selesai. Selain itu di Jawa ada jutaan hektar tanah yang merupakan
residual
claims, yaitu tanah yang diambil secara paksa dari rakyat pada zaman Orde Baru.
Masalah
residual claims ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, sebelum ada proses
sertifikasi.
LAP I juga mempunyai dampak negatif terhadap kaum perempuan, karena nama-nama
perempuan tidak dimasukkan di dalam sertifikat tanah. Sementara itu BPN berkilah
mengenai
beban hutang. Menurutnya pembayaran utang akibat program LAP ini akan diambil
dari
pemasukan UU PHTB (Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), di mana ditentukan
setiap
transaksi tanah atau bangunan senilai di atas Rp 30 juta sejak Januari 1998 akan
dikenai
pajak 5%. Dengan demikian, rakyat kembali yang akan dibebankan pembayaran utang.
Secara keseluruhan, LAP akan meliberalisasi pertanahan di Indonesia, karena tanah
kini
dijadikan obyek komoditas (barang dagangan). Dampaknya, tanah akan dijadikan
obyek
penguasaan pemodal besar dan TNC, dengan legalitas yang dijamin.9
5. Penguasaan air minum
Air minum telah dijadikan incaran banyak TNC dunia. Sektor Air disebut juga sebagai
emas
biru (blue gold), merupakan sektor yang strategis sekaligus bisnis besar. Liberalisasi
air
didorong pula oleh Bank Dunia. Dalam laporannya tentang kerangka kebijakan untuk
sektor air
di perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework), Bank Dunia
merekomendasikan
8 MEFP, 11 September 1998; Bisnis Indonesia, 13 April 2000, 2 Oktober 2000; Suara
Pembaruan, 18 Maret
2000
9 KPAs First, Second and Third Memorandum on Land Administration Project in
Indonesia; Hentikan LAP II
dan Tinjau LAP I, Background Paper INFID untuk Lobby CGI, Oktober 2000

Page 9
9
agar Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya milik Pemda DKI diswastakan. Tujuannya
untuk
meringankan beban utang pemerintah. Dengan itu, Bank Dunia lalu memberikan
pinjaman
sebesar Rp 2,4 trilyun untuk pengembangan Jakarta, termasuk di dalamnya untuk
pembiayaan
pengelolaan air minum. Hasilnya tanggal 12 Juni 1994, dikeluarkan instruksi presiden
(Suharto) untuk mengalihkan pengelolaan usaha air minum di Jakarta dan sekitarnya
kepada
swasta (privatisasi). Proses privatisasi ini melalui proses KKN, di mana akhirnya
dikuasai oleh
PT Kekarpola Airindo milik Sigit Harjojudanto dan Bambang Trihatmojo yang
menggandeng
perusahaan air Inggeris, Thames Water International (TWI); dan oleh PT Garuda Dipta
Semesta milik Anthony Salim yang menggandeng perusahaan air dari Perancis,
Lyonnaise des
Eaux (LDE). Padahal privatisasi ini jelas-jelas melanggar Konstitusi UUD 45 pasal 33
dan UU
No. 1 tahun 1961 yang melarang swastanisasi bisnis air minum. Setelah Suharto turun
tahta,
akhirnya diambil alih oleh Pemda Jakarta lewat instruksi Gubernur Sutiyoso No. 131
tanggal 22
Mei 1998, tetapi dua perusahaan asing tersebut semakin dikukuhkan sebagai pengelola.
Dua
perusahaan asing tersebut kemudian berganti nama menjadi PT PAM Lyonnaise Jaya
(Palyja)
dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Pemda DKI mengambil alih dengan saham 10 persen,
sementara Thames dan Lyonnaise sebagai pemilik saham mayoritas yaitu 90%. Mereka
juga
mendapatkan hak eksklusif untuk mengelola seluruh asset PAM Jaya selama 25 tahun,
tanpa
perlu membangun jaringan infrastruktur dan pelanggan, sehingga bisa langsung
menangguk
keuntungan. Bayangkan saja captive market (pasar yang sudah pasti) dari PAM Jaya,
yaitu 2,3
juta pelanggan.
Akan tetapi dalam penetapan harga air untuk semester I tahun 1999, PT TPJ
menetapkan
harga Rp 2.400 per-meter kubik, dan Palyja Rp 2.900 pe-meter kubik. Padahal harga
jual air
PAM Jaya ke konsumen jauh di bawah itu, yakni Rp 2.130 per-meter kubik. Hasilnya,
kekurangan tersebut harus ditutupi oleh perusahaan daerah ini. Sampai Oktober 2000,
defisit
yang harus ditanggung pemerintah adalah sebesar Rp 86,4 milyar dengan beban utang
Rp
394,6 milyar. Jadi alhasil sebenarnya pemerintah mensubsidi rakyat atau mensubsidi
TNC?
Dan siapa yang membayar semua itu? Sampai kini pun layanan dan harga air tetap
tidak
memuaskan. Akan tetapi PAM kini tidak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terikat
kontrak
selama 25 tahun. Serikat Pekerja PAM yang juga telah berjuang untuk menentang
proses ini,
justru 20 aktivisnya ditahan dan terus-menerus ditekan. Meskipun sudah berjuang lebih
dari
dua tahun, nampaknya TNC dan pemerintah jalan terus. Nampaknya proses privatisasi
ini
akan menjadi contoh bagi privatisasi air minum berikutnya di daerah-daerah lain.10
6. Mafia Utang lewat Kredit Ekspor
Fasilitas kredit ekspor disediakan oleh ECA (Export Credit Agencies and Investment
Insurance
Agencies), yang merupakan badan milik pemerintah di negara-negara maju. Perannya
adalah
merealisasikan berbagai proyek investasi dan infrastruktur berskala besar di negara-
negara
berkembang. Badan ini memberikan asuransi risiko politik apabila ada jaminan balik
(counter
guarantee) dari pemerintah Indonesia. Pemerintah diwajibkan untuk menjamin
keamanan
politik dan membayar kembali investasi yang sudah dikeluarkan apabila proyek gagal
akibat
situasi politik. Meskipun merupakan proyek antar swasta, tetapi karena dijamin oleh
pemerintah, maka risiko hutang swasta bisa menjadi hutang pemerintah. Cara kerja
ECA ini
mirip mafia, karena di negara asalnya tidak dapat dikontrol parlemen, tidak transparan,
dan
tidak membuka informasi kepada publik mengenai proyek-proyeknya. Sementara di
Indonesia,
mega proyek yang didanainya, adalah proyek-proyek berbiaya tinggi yang penuh
dengan KKN.
Di Indonesia proyek-proyek yang dibiayainya sebanyak 33 buah, yang biasanya
merupakan
mega-proyek milik konglomerat, kroni dan anak-anak Suharto. Diantaranya adalah
berbagai
pabrik pulp and paper, yaitu PT Tanjung Enim Lestari, PT Indah Kiat Pulp and Paper di
Sumatera Selatan, dan PT Riau Andalan Permai di Riau; tambang tembaga dan emas
PT
Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa; proyek PLTGU Paiton I di Jawa Timur; serta
berbagai
proyek semen, teknologi satelit, serta teknologi dan transport militer.
10 TEMPO, 27 November-3 Desember 2000
Page 10
10
Dalam kenyataannya, semua mega-proyek ini bermasalah karena mark-up proyek dan
korupsi
besar-besaran; serta membawa bencana, karena merusak lingkungan, menggusur rakyat
dan
menambah beban hutang. Pada masa Suharto, dari tahun 1992-1996, hutang dari ECA
sebanyak US$ 28,2 milyar, atau 24% dari stok hutang Indonesia.Tiga besar ECA yang
aktif di
Indonesia adalah Bank Exim Jepang (JEXIM, sekarang merger dengan OECF menjadi
JBIC),
Bank Exim AS, dan Hermes dari Jerman. JBIC (Japan Bank for International
Cooperation) kini
adalah ECA terbesar di dunia, yang juga mengelola proyek-proyek pinjaman bilateral
pemerintah Jepang. JBIC mendanai 10 proyek besar di Indonesia, yaitu PLTGU Paiton,
Tambang Batu Hijau, LNG Pertamina, Semen Indo-Kodeco, penyulingan minyak
Pertamina,
Indocement, proyek listrik Jawa dan Jawa Barat, listrik Tambak Lorok, Tanjung Enim
Lestari
pulp and paper, dan tambang INCO. ECA kini cenderung semakin menggantikan
mekanisme
ODA (Overseas Development Assistance), karena besarnya kepentingan TNC-TNC di
negara
maju untuk mengerjakan berbagai mega-proyek infrastruktur lewat pembiayaan
bilateral
maupun multilateral. ECA juga aman bagi TNC, karena akan digaransi oleh
pemerintah.
Artinya rakyat juga yang harus membayar hutangnya.11
7. Penjarahan kekayaan intelektual masyarakat/komunitas
Perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights), salah satu
perjanjian
di dalam WTO, telah diratifikasi oleh pemerintah. Ini adalah perjanjian HAKI (Hak
Atas
Kekayaan Intelektual) terkait perdagangan, yang memberikan hak istimewa bagi
individu atau
perusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk, dan Hak Cipta; juga untuk
Sirkuit
Terpadu, Rahasia Dagang, dan Indikasi Geografis. Indonesia telah membuat 5 UU
HAKI
sebagaimana di atas, karena harus bersesuaian dengan TRIPs. Dengan UU Paten, maka
berbagai barang temuan dapat dikuasai siapa saja yang mendaftarkannya terlebih
dahulu.
Syaratnya adalah merupakan temuan baru, mengandung langkah inovatif, dan dapat
diterapkan dalam industri (produksi massal). Paten atas makhluk hidup, yaitu mikro-
organisme
dan jasad renik juga dapat dipatenkan. Ini adalah kepentingan TNC bioteknologi yang
telah
memantenkan berbagai benih dan tanaman hasil rekayasa genetik. Dengan TRIPs ini
maka
akan terjadi bahaya besar lewat pematenan atas kekayaan intelektual milik publik
/komunitas.
HAKI komunitas dapat saja dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing maupun para
peneliti/individu, dengan sekedar merubah proses dan produknya. Ini disebut sebagai
bio-
piracy (pembajakan hayati).
Hal ini telah terjadi dengan rempah-rempah Indonesia. Perusahaan kosmetik besar
Jepang,
Shiseido, telah mematenkan kosmetiknya yang berasal dari berbagai bahan rempah di
Indonesia, seperti kayu rapet, kemukus, lempuyang, pelantas, pulowaras, diluwih, cabe
jawa,
brotowali, kayu legi, dan bunga cangkok. Sementara itu Tempe, makanan tradisional
Jawa,
juga telah dipatenkan. Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten
adalah
milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy
mengenai
minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan
makanan;
dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe.
Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten
mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe
yang
diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken
Vitamin
Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai
dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-
kaseinat
dan putih telur. Demikian pula kasus pematenan disain kerajinan perak hasil kerja
Suwarti di
Bali, oleh pengusaha asal AS. Justru kemudian Suwarti yang dituntut oleh pengusaha
tersebut, ketika dia masuk ke pasar Amerika. Suwarti tidak bisa berbuat apa-apa,
karena biaya
peradilan HAKI sangat mahal untuk pengrajin seperti dirinya. Ini adalah kasus nyata
pembajakan HAKI komunitas Indonesia oleh pemodal besar. Kecenderungan ini akan
semakin
meningkat. Padahal bagi orang Indonesia, berbagai kekayaan budaya itu tidak mungkin
dipatenkan, karena merupakan milik publik. Dalam kasus lain, paten atas benih dan
tanaman
transgenik oleh TNC, akan mengancam keberlangsungan benih tradisional dan
kelestarian
11 ECA NEWS, edisi I, Januari 2000; Stephanie Fried dan Titi Soentoro, Export
Credit Agency Finance in
Indonesia, Jakarta, April 2000

Page 11
11
tanaman. Petani akan semakin tergantung kepada benih-benih milik TNC. Di lain
pihak, TNC
tersebut akan masuk langsung untuk menanamnya di negara bersangkutan,
sebagaimana
yang terjadi dengan kasus Monsanto yang menanam kapas Bt di Sulawesi Selatan.
Pertanian
lama-kelamaan akan menjadi lahan bisnis dan monopoli (paten) teknologi oleh TNC-
TNC.
BAGAIMANA MEWUJUDKAN PEREKONOMIAN BERKEADILAN SOSIAL
Kini saatnya memformulasikan kebijakan ekonomi yang berkeadilan sosial yang
memutus
keterikatan dan ketergantungan kepada agenda globalisasi. WTO dan IMF telah
membatasi
pilihan-pilihan kebijakan yang ada dan memaksakan kebijakan yang hanya sesuai
dengan agenda
mereka. Pada masa lalu mereka memakai pendekatan Economic Growth
(pertumbuhan
ekonomi) sebagai doktrin, dan sekarang mereka menambahkan Kompetisi Bebas
sebagai
doktrin. Ini harus ditentang dan dicarikan alternatifnya. Ada banyak alternatif yang
tersedia
sebenarnya, asalkan kita tidak turut dan manut saja terhadap pasar bebas /
globalisasi. Oleh
karena itu berbagai kelompok nasional harus berembuk dan berdialog bersama guna
menetapkan
pokok-pokok pandangan dan visi nasional yang non-Pasar Bebas. Banyak alternatif
yang mungkin
dilakukan (There Are Many Alternatives), yaitu:
1. Sistem ekonomi jangan berprinsip pasar bebas (liberalisme ekonomi). Haruslah
mencontoh
berbagai pengalaman negara lain, termasuk AS, Jerman dan Jepang, yang dalam
sejarahnya
juga memakai ekonomi merkantilis dan proteksionis ketimbang pasar bebas di masa
awal
pembangunannya. Indonesia masih dalam tahap-tahap awal perkembangannya, dan
karenanya perlu menerapkan ekonomi yang proteksionis dan kerakyatan.
2. Sistem ekonomi haruslah mendahulukan pasar domestik dan menaruh di belakang
orientasi
pada pasar ekspor. Sistem ekonomi dikembangkan untuk memperkuat produksi
domestik
untuk pasar dalam negeri, sehingga memperkuat perekonomian rakyat; dan bukan
untuk
melayani kepentingan TNC dan konglomerat atas pasar eksport.
3. Pertanian dijadikan prioritas utama perekonomian, karena di sinilah hidup mayoritas
rakyat.
Karena itu alokasi untuk sektor pertanian (termasuk kelautan dan perikanan) harus
lebih besar
dari yang lain-lainnya. Pertanian harus dirubah melalui agrarian reform, sehingga
terjadi
distribusi tanah dan sumberdaya yang merata. Selain itu diadakan berbagai kemudahan
dan
fasilitas serta perlindungan bagi petani untuk memperkuat sektor pertanian.
4. Industrialisasi berdasarkan pada bahan baku setempat, sehingga tidak tergantung
impor dari
luar. Ini berarti di satu pihak memperkuat sektor pertanian, sektor kelautan dan lain-
lainnya;
serta memperkuat sektor industri itu sendiri serta industri-industri kecil yang terkait
dengannya.
5. Diadakan perekonomian yang berorientasi kepada kesejahteraan, yaitu negara
menjalankan
berbagai peran penyelenggaraan barang publik (public goods) dan prasarana publik
(public
facilities), seperti air, listrik, transportasi, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Segala
sesuatu
yang bersifat publik haruslah bersifat gratis.
6. Tidak tergantung kepada badan-badan multilateral, dan ikut serta merubah badan-
badan
tersebut agar menjadi badan yang terutama melayani kepentingan negara-negara Dunia
Ketiga
7. Penghapusan sebagian besar hutang karena alasan-alasan etika, moral, dan ekonomi
yang
layak.
8. Melepaskan diri dari rejim devisa bebas dan rejim nilai tukar mengambang bebas
(free-float
exchange rate); dan sebagai gantinya menetapkan kontrol modal (capital control) dan
nilai
tukar tetap (fixed exchange).
9. Menyokong diadakannya Tobin Tax terhadap arus keluar masuk modal swasta yang
saat ini
merupakan hot money dan volatilitasnya sangat tinggi.
10. Menolak paham Neo-liberal dan mencari alternatif ilmu ekonomi yang lebih
mencerminkan
kepentingan rakyat dan nasional, seperti dengan neo-protectionism, neo-keynesianism,
welfare state, ekonomi kerakyatan dan lain-lainnya.
11. Demokrasi yang diarahkan bagi penguatan aspirasi rakyat dan organisasi rakyat;
kebebasan
berpikir, berbicara, berorganisasi; dan pemenuhan HAM sepenuhnya.
12. Kerjasama Dunia Ketiga untuk bersama-sama menghadapi kepentingan negara-
negara maju
(G-7, OECD), untuk di dapat resolusi yang layak bagi Dunia Ketiga, seperti
memperkuat

Page 12
12
kembali hasil yang telah dicapai UNCTAD lewat GSP (Generalized System of
Preference) dan
pengurangan hutang.
Adapun rekomendasi kebijakan kongkrit yang perlu segera dilakukan agar kita bisa
segera keluar
dari keterikatan kepada kapitalisme global adalah sebagai berikut:
Pertama, Indonesia tidak membutuhkan resep neo-lliberalisme sebagaimana saran IMF,
Bank
Dunia maupun WTO. Indonesia harus dapat memilah-milah liberalisasi macam apa
yang memang
dibutuhkan, dan liberalisasi macam apa yang harus ditolak mentah-mentah dan dibuang
jauh-jauh.
Kedua, Indonesia harus segera memulai membenahi diri sendiri dan mengerjakan PR-
nya yang
tidak kunjung diselesaikan, yaitu pemberantasan segera atas KKN, pemrosesan hukum
atas
semua pelaku KKN Orba, dan penyitaan harta jarahan kaum KKN untuk kepentingan
negara dan
program-program kesejahteraan rakyat.
Ketiga, perekonomian Indonesia harus kembali ke rel-nya, yaitu ekonomi kerakyatan
(sebagaimana yang digagas oleh Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain). Ekonomi
kerakyatan ini
menempatkan rakyat Indonesia sebagai kekuatan dasar perekonomian, yang mampu
menggerakkan roda perekonomian lewat penguatan pasar domestik (nasional,
wilayah,lokal);
penguatan pertanian dan pedesaan yang masih sekitar 70% perekonomian nasional; dan
penguasaan dan pengelolaan sepenuhnya kekayaan alam Indonesia yang melimpah-
ruah.
Keempat, memutus sepenuhnya ketergantungan pada badan-badan multilateral, seperti
IMF,
Bank Dunia dan WTO. Hutang yang merupakan mekanisme ketergantungan harus
segera diputus,
dengan menghapus hutang haram dan peringanan berbagai beban hutang lainnya.
Demikian pula
forum WTO harus dirubah menjadi forum bagi kepentingan negara-negara
berkembang, dan untuk
itu Indonesia harus memainkan peran yang kuat dan tegas, sebagai salah satu pemimpin
negara
berkembang.
Apakah dengan memutus keterikatan kepada kapitalisme global tersebut, berarti kita
akan
diasingkan atau mengisolasi diri. Tidak sama sekali! Indonesia tetap ada dalam
kapitalisme global,
sebagaimana RRC, Kuba, Vietnam, Libya, Iran atau Venezuela. Akan tetapi Indonesia
tidak diikat
oleh agenda neo-liberalisme, tetapi mempunyai kebijakan ekonomi-politiknya sendiri
yang sesuai
dengan kepentingan dan kebutuhannya sendiri. Bila tetap terikat, maka kita hanya akan
menjadi
bangsa kuli yang rendah. Bila tidak terikat, maka akan menjadi bangsa yang disegani
dan tuan
atas dirinya sendiri. Tentu saja tidak harus konfrontasional terhadap kekuatan
kapitalisme global
(yaitu AS dan Eropa Barat). Perjuangan politik tetap bebas-aktif dan berdaulat.
Perjuangan utama
tetap di jalur ekonomi, yaitu dengan mensejahterakan rakyat miskin dan mengikis habis
korupsi.
Banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk merebut kembali
kedaulatannya, sebagai
bangsa yang besar dan kuat, dan tidak disepelekan dan diinjak-injak oleh negara-negara
lain dan
badan-badan global. Asumsi dasarnya adalah, kalau rakyat Indonesia kuat, maka
negaranya juga
akan kuat. Kalau rakyatnya sejahtera, maka negaranya juga akan sejahtera. Kalau
rakyatnya
cerdas, maka negaranya juga akan cerdas. Inilah yang seharusnya terus dipikirkan oleh
kita
tentang Indonesia masa depan yang lepas dari diktator pasar kapitalisme global.
***
Options
Disable

Get Free Shots


All About Economic
Beranda
Makro
Mikro
Tips Usaha
UKM
Akpem
Enyong
jump to navigation
Awal Krisis Moneter Indonesia Juni 14, 2007
Posted by dinconomy in Makro.
trackback
Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara
dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai
terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang
ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan
ekonomi yang kurang berkembang di negara ini.
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia
memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan
mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut,
ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan
tersebut level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada
saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur
perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada
14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas.
Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi
rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan
rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik
terendah pada bulan September. Moodys menurunkan hutang jangka panjang
Indonesia menjadi junk bond.
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada
November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan.
Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang
disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar,
yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di
negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesiaa,
tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie
menjadi presidenSampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara
berkembang . Tetapi, Thailand , Indonesia dan Korea Selatan memiliki current account
deficit dan perawatan kecepatan pertukaran pegged menyemangati peminjaman luar
dan menyebabkan ke keterbukaan yang berlebihan dari resiko pertukaran valuta asing
dalam sektor finansial dan perusahaan.
Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi nyata
sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi secara efektif dengan
eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-
eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan
erat dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari
pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya rendah
dibanding dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997 dan mempengaruhi mata uang, pasar bursa
dan harga aset beberapa ekonomi Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika
Selatan, investor Barat kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan
memulai menarik uangnya, menimbulkan efek bola salju .
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs , telah meremehkan
peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan pasar finansial yang diakibatkan
kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini telah membuat Sachs dan lainnya untuk
membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock resiko yang
tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang ketat yang diterapkan
oleh pemerintah pada saat krisis dimulai, sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke
peranan informasi asimetrik dalam pasar finansial yang menuju ke mental herd
diantara investor yang memperbesar resiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata.
Krisis ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di
psikologi pasar .
Komentar

1. Qinimain Zain - Mei 31, 2008


Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 31 Mei 2008
Matinya Ilmu Administrasi dan Manajemen
(Satu Sebab Krisis Indonesia)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. C(OMPETENCY) = I(nstrument) . s(cience). m(otivation
of Maslow-Zain) (Hukum XV Total Qinimain Zain).
INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa
tetap buruk saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?
Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah
utamanya. Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan
organisasi (juga perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi
krisis apa pun adalah paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan
(sistem) ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya,
yaitu ilmu pengetahuan, system ilmu pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian
penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan apa pun, selalu dikatakan dan
ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas apa pun bahwa untuk
mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah sistem, sistem
ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur, teknik,
keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan
kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan,
keamanan dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem
ilmu pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan
itu sendiri.
Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan,
berasal dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know).
Sampai abad XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh
seseorang misalnya menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII,
pengertian diperhalus mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic
knowledge). Kemudian dari pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang
teratur lahir cakupan sebagai ilmu eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie,
2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial paradigma lama krisis karena belum
memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan, bukti nyata masalah, ini
kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas besar (yang malah
dicetak berulang-ulang):
Contoh, umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu
pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan
kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum
ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang
tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial
lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum
menemukan hukum-hukum ilmiah itu (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, diskusi secara tertulis dalam bidang
manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat dikatakan belum ada
kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang
yang segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan (M. Manullang, Dasar-Dasar
Manajemen, 2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas,
Yogyakarta).
Kemudian, ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap
klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi,
yaitu tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan
kematangannya. Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara
kuantitas maupun secara kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang
relatif dan sulit diukur dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini
baru sosiologi yang mengukuhkan keberadaannya ada tahap ini (Inu Kencana Syafiie,
Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga,
Bandung).
Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-
21, Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan
(pertama sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan
dengan (r)evolusi paradigma TOTAL QINIMAIN ZAINn (TQZ): The Strategic-Tactic-
Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ
Administration and Management Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO
Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu administrasi dan manajemen karena tahun
itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli menspesialisasikan diri bidang ini
berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, TQC Tahap Consolidation
(1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga kebenarannya tidak
terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi. Ketiga, TQS
Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji
kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan
informal di tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini
peran tingkah-laku manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan
dalam hal kerja. Kemudian, Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu
administrasi dan manajemen akan memasuki tahap matematika, didasarkan gejala
penemuan alat modern komputer dalam pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya
penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah ilmu pengetahuan, bukan komputer).
Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang). Tahap setelah tercapai ilmu
sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem ilmiah dengan
ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu
pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu
pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok
Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja sistem ZQD,
padanan m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta sistem
mks. Paradigma (ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu
pun tanpa satuan). (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan
yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan
ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis
paradigma. Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution
(1957:138), Albert Einstein dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45),
atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).
Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami
kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis
(matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang
dan organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu
memahami, mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa
kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu
pengetahuan)nya.
PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat
bantu, membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Ahli strategi, tinggal di Banjarbaru, email: tqz_strategist@yahoo.co.id
(www.scientist-strategist.blogspot.com).
THANK you very much for Dr Heidi Prozesky SASA (South African Sociological
Association) secretary about Total Qinimain Zain: The New Paradigm The
(R)Evolution of Social Science for the Higher Education and Science Studies sessions
of the SASA Conference 2008.
Balas

2. Anna - November 26, 2008


Thanks infonya.mampir yach Mas ke blog ku.
Balas
Top of Form
Klik di sini untuk membatalkan balasan.
12 0 /2007/06/14/aw a
message

say
it!
name email url
1270651695

Beritahu saya tulisan-tulisan baru melalui surel.

Beritahu saya mengenai komentar-komentar selanjutnya melalui surel.


Kebijakan moneter
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk
mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih
sejahtera . Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman ,
"margin requirement ", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam
usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur
keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat
terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi
barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas
pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi
dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang
apabila mengalami kesulitan likuiditas.

RSS
Home
About
Catatan Redaksi
Tips & Trik Penulisan di Wartawarga
Seberapa besar pengaruh krisis global dalam perekonomian Indonesia
January 3rd, 2010 Related Filed Under
Filed Under: Umum
PENGARUH KRISIS MONETER AMERIKA SERIKAT
A. KRISIS MONETER DI AMERIKA SERIKAT
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita simak pendapat Fauzi Ichsan, Senior Vice
President Standard Chartered Bank, yang menceritakan dengan cukup detail tentang
krisis moneter yang pernah terjadi. Lama saya mengira bahwa krisis ekonomi terparah
yang pernah saya alami adalah krisis moneter (krismon) Asia pada tahun 1997/1999.
Ternyata dampak krismon Asia kalah jauh dibandingkan dengan krisis finansial yang
melanda dunia sekarang. Sewaktu krismon Asia, setidaknya ada surga aman atau safe
heaven bagi para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Investor
bisa menjual saham dan surat utangnya di Indonesia, Thailand dan Korea (walau rugi)
yang mengalami krisis, dan membeli saham di bursa New York dan London. Sekarang,
negara safe heaven pun mengalami krisis ekonomi yang parah. Investor kesulitan
mencari safe heaven untuk memarkir dananya dan, karena pasar saham, surat utang dan
komoditas semuanya anjlok, cash is king again.
Seberapa parah krisis finansial dunia ini?
Patokan ada. Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG, Freddie Mac dan
Fannie Mae, sebagai lembaga finansial raksasa AS, selamat menghadapi resesi ekonomi
AS paska serangan teroris tahun 2001. Mereka selamat manghadapi resesi ekonomi
dunia akibat embargo minyak OPEC tahun 1973 dan selamat menghadapi dua perang
dunia. Mereka juga selamat menghadapi resesi ekonomi dunia tahun 1930-an yang
sering disebut the great depression, akibat krisis keuangan AS pada 1929.
Namun, mereka tidak selamat menghadapi krisis kredit pembelian rumah (KPR)
subprime di AS pada 2007/2008. Artinya, terpuruknya beberapa lembaga keuangan
terbesar di dunia tersebut adalah indikasi bahwa permasalahan ekonomi AS dan dunia
sekarang memang jauh lebih parah dari perkiraan kita sebelumnya.
Dari uraian di atas, kita tahu bahwa krisis moneter di Amerika Serikat akhir-akhir ini
telah mewabah ke berbagai benua dan dipastikan lebih parah dari krisis yang sudah
pernah terjadi.
B. DAMPAK SECARA GLOBAL
Krisis moneter di Amerika Serikat kali ini menumbulkan dampak luar biasa secara
global. Hal ini bisa dilihat dari kepanikan investor dunia dalam usaha mereka
menyelamatkan uang mereka di pasar saham. Mereka ramai-ramai menjual saham
sehingga bursa saham terjun bebas. Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%,
India 52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan
zona Eropa 37%. Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang
melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas
minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Di AS, setelah melihat bursa saham Wall Street terus melorot, akhirnya kongres
menyetujui program penyelamatan sektor keuangan (troubled asset recovery program
TARP) senilai US$ 700 miliar yang diajukan oleh pemerintah. Namun, karena lamanya
negosiasi politik antara pemerintah dan kongres, investor kecewa melihat politikus di
Washington tidak memiliki sense of crisis.
Krisis pasar modal (saham dan surat utang) global pada dasarnya hanya memengaruhi
investor pasar modal. Tetapi krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil
ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Inti cerita yang terjadi adalah sektor perbankan AS
sedang terpuruk, kekurangan modal, dan enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke
bank-bank internasional di Eropa dan Asia.
Akibatnya, perbankan internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para
pengusaha dunia yang membutuhkan dolar untuk investasinya (untuk impor mesin,
bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.
Kita sudah tahu bahwa dolar AS merupakan mata uang inti dalam dunia usaha.
Akibatnya, walaupun suku bunga bank sentral AS (atau Fed Funds Target Rate) sampai
diturunkan ke 1,5%, suku bunga London Inter-Bank Offer Rate (LIBOR), sebagai
patokan suku bunga yang digunakan oleh pelaku ekonomi, melonjak tajam.
Masalah rumit yang terjadi sekarang, macetnya sistem pembayaran dan penyaluran
kredit global sebagai oksigen untuk napasnya dunia bisnis. Suku bunga bank sentral
bisa rendah, tetapi suku bunga kredit untuk pelaku bisnis, kalaupun bisa dapat
pinjaman, sangat tinggi karena perbankan ketakutan meminjamkan dananya. Menurut
para ahli ekonomi, sebenarnya hal itu merupakan bahaya sektor perbankan global. Jadi,
bukan anjloknya pasar saham, yang sebetulnya bisa melumpuhkan pertumbuhan
ekonomi dunia secara perlahan.
Akhirnya, bank sentral dunia mengerti betapa pentingnya melakukan kebijakan yang
terkoordinasi. Tujuh bank sentral (termasuk US Federal Reserve, European Central
Bank, Bank of England dan Bank of Canada) akhirnya memangkas suku bunganya
0,5%. Ini merupakan yang pertama kalinya kebijakan suku bunga bank sentral
dilakukan secara bersamaan dalam skala yang besar. Terjadi di tahun 2008 ini.
Hal lain yang dilakukan adalah kebijakan terkoordinasi bank sentral dan pemerintah
dunia selebihnya harus ditujukan untuk memenuhi tiga sasaran. Pertama, memulihkan
kembali sistem perbankan dan pembayaran global yang lumpuh agar sirkulasi dana
internasional bisa normal kembali dan bank bisa memberi kredit lagi.
Kedua, mengeluarkan aset bermasalah (terutama surat utang KPR subprime) dari
perbankan AS dan memperbesar modal perbankan agar lebih bisa memberi kredit
dalam jumlah yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, bank sentral dunia harus berani terus menurunkan suku bunga (untuk
membantu meringankan bunga kredit) dan, yang lebih penting, pemerintah harus
memperbesar belanjanya untuk pembangunan infrastruktur dan memberi stimulus
ekonomi karena investor swasta enggan berinvestasi dalam krisis likuiditas.
Kebijakan di atas bisa berhasil, bisa juga gagal. Hal tersebut beralasan karena
kebijakan ekonomi berskala global belum pernah dilakukan dalam sejarah, tetapi risiko
terjadinya resesi ekonomi dunia yang parah akan lebih besar kalau bank sentral dan
pemerintah dunia tidak melakukan apa-apa.
Kalau berhasil, kapan hasilnya akan kelihatan? Paling cepat dua tahun. Artinya, resesi
ekonomi AS dan Eropa akan lebih parah (sementara pertumbuhan ekonomi dunia
melambat) pada 2009, sebelum pulih pada 2010. Kenapa? Karena titik terburuk
ekonomi AS dan Eropa belum tercapai: misalnya, turunnya harga properti AS (pemicu
krisis subprime) belum berakhir (jumlah rumah yang belum terjual masih terlalu
banyak), pabrik masih melakukan PHK masal dan masih banyak bank yang harus
bangkrut.
Selain itu, dampak stimulus kebijakan moneter dan fiskal memang makan waktu lebih
dari satu tahun. Kalau ekonomi dunia baru pulih 2010, kapan pasar saham global pulih?
Paling cepat semester 1, 2009, karena pasar saham biasanya menguat 6-9 bulan
sebelum sektor riil ekonomi pulih.
C. DAMPAK DI INDONESIA
Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi
karena net-ekspor (ekspor dikurangi impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari
produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil dibandingkan
dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar, misalnya Hong
Kong, Singapura, dan Malaysia.
Seperti pada tahun 2001/2002, atau terakhir kali AS mengalami resesi, ada tiga negara
di Asia yang tidak terlalu terpukul ekonominya: China, India, dan Indonesia. Ketiga
negara ini memiliki penduduk yang banyak sehingga belanja masyarakatnya merupakan
motor penggerak ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif
kenaikan harga bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar dari
pada dampak resesi ekonomi AS.
Namun demikian, krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang
berlarut akan berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan
kegiatan investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan
terus menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat
turun, yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Dari sini kita tahu bahwa dampak krisis moneter di Amerika Serikat terhadap
perekonomian Indonesia tidak hanya pada melemahnya nilai tukar Rupiah, namun juga
pada berbagai sector lain yang lebih rumit. Berikut akan dijelaskan dengan singkat.
Rupiah Melemah
Akibat krisis moneter di Amerika Serikat, nilai tukar rupiah melemah dan sempat
menembus Rp 9.860 per USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat menembus
Rp 10.000 per USD. Pelemahan rupiah yang terjadi saat ini masih sejalan dengan
beberapa mata uang lainnya.
Berbeda dengan krisis 1997, BI kini juga telah mengetahui pencatatan valas perbankan.
BI juga tetap waspada dan terus menjaga agar tidak terjadi pergerakan gejolak yang
terlalu besar. BI sebagai bank sentral meminta pasar tidak panik menghadapi situasi
saat ini.
Turbulensi di pasar finansial saat ini terjadi di seluruh dunia. Bank sentral akan terus
memantau perkembangan ekonomi global, dan berusaha agar dampaknya bisa
seminimal mungkin.
Jatuhnya Bursa Saham
Dampak lain yang terjadi akibat krisis moneter di Amerika Serikat adalah jatuhnya
bursa saham yang terjadi dalam pertengahan Oktober 2008. Meskipun para ahli
ekonomi menilai kecil kemungkinan krisis ini menjelma menjadi krisis ekonomi berupa
ambruknya perbankan dan sektor riil. Namun untuk meningkatkan kepercayaan pelaku
pasar, pemerintah sebaiknya fokus menjaga daya beli masyarakat.
Pada hari Jumat tanggal 10 Oktober 2008, pemerintah membatalkan rencana
pembukaan kembali perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang ditutup pada hari
Rabu, 8 Oktober 2008. Hal ini dilakukan karena otoritas bursa ingin melindungi
emiten. Emiten perlu dilindungi dari kemungkinan keterpurukan nilai harga saham
akibat sentimen negatif pasar terhadap kondisi keuangan global yang sedang krisis.
Para ahli menilai tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda dengan
Amerika Serikat (AS), Eropa, dan negara maju lainnya. Di AS, krisis telah merasuk ke
semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan, hingga sektor riil.
Namun, di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di pasar
modal dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar
modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga memberikan pendapatnya di sebuah surat kabar bahwa
sebenarnya ekonomi tidak terlalu terpengaruh dengan ambruknya bursa dunia, seperti
Wall Street. Perbedaannya, kita banyak menggantungkan pada ekonomi domestik.
Seperti di AS, pengaruh bursa itu sampai 1,5 kali dari produk domestik bruto mereka.
Kalau kita pengaruhnya hanya 20 persen. Jadi, jangan terlalu dirisaukan, kata Wakil
Presiden dalam sebuah wawancara di media massa.
Penyesuaian yang terjadi di pasar modal dan nilai tukar domestik merupakan hal wajar
karena seluruh dunia terkena imbas krisis keuangan AS. Penurunan ekonomi AS dan
Eropa dinilai tidak perlu dikhawatirkan mengingat peran mereka dalam perdagangan
dunia makin menyusut. Sebagai gantinya, kini muncul kekuatan ekonomi baru, seperti
China, India, dan Rusia.
Krisis keuangan global yang terjadi saat ini merupakan koreksi atas kesenjangan (gap)
yang terjadi antara pertumbuhan sektor riil dan sektor finansial. Koreksi berupa
penurunan harga-harga di sektor finansial dan kenaikan harga-harga di sektor riil,
seperti harga komoditas.
Hal tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa meskipun krisis moneter di
Amerika Serikat telah memicu krisis ekonomi global, dan di Indonesia juga terkena
dampaknya dengan melemahnya nilai Rupiah dan jatuhnya pasar saham, kita tidak
perlu khawatir karena krisis tersebut tidak akan melumpuhkan perekonomian Indonesia
seperti yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu.

VN:F [1.6.8_931]
please wait...
Rating: 0.0/10 (0 votes cast)
VN:F [1.6.8_931]
Rating: 0 (from 0 votes)
Popularity: 1% [?]
www.ginandjar.com

1
KRISIS MONETER DAN DAMPAKNYA TERHADAP REPELITA VII

Oleh:

Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri

Disampaikan pada Rapim ABRI


Jakarta, 10 Februari 1998
I. PENDAHULUAN
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Rabi yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan lindungan-Nya kepada kita sekalian. Selanjutnya, dalam
suasana yang sangat
diwarnai oleh semangat silaturahmi ini, kami juga mengucapkan Selamat Lebaran 1418
Hijriah, Minal
Aidin Wal Faizin, dan Mohon Maaf Lahir dan Bathin kepada saudara-saudara yang
merayakannya.
Seperti kita semua ketahui, bangsa Indonesia sedang menghadapi cobaan yang sangat
berat.
Krisis ekonomi yang sedang kita alami sekarang secara mendasar telah mengubah
kondisi
perekonomian Indonesia. Dampak negatipnya dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Pertumbuhan
ekonomi kita menurun tajam, disertai dengan pengangguran yang meningkat pesat.
Kenaikan harga-
harga tidak tertahankan lagi. Keadaan menjadi lebih buruk dengan adanya musim
kekeringan yang
sangat panjang. Di beberapa daerah telah terjadi rawan pangan yang cukup parah.
Kondisi yang berat ini tentu akan mempengaruhi pembangunan nasional kita di masa
depan.
Masalah krisis ekonomi, dan pengaruhnya terhadap formulasi Repelita VII akan
menjadi pusat
pembahasan saya pada pagi hari ini. Namun, karena Repelita VII harus merupakan
penjabaran dari
Garis-garis Besar Haluan Negara 1998 yang saat ini belum memperoleh pengesahan
oleh wakil-wakil
kita di MPR, maka saya akan membahasnya secara garis besarnya saja.

II. KRISIS KEUANGAN


Perkembangan nilai tukar Rupiah yang kita hadapi sejak Agustus hingga awal tahun
1998 ini
menunjukkan gejolak yang lebih panjang dan lebih dalam. Nilai rupiah telah merosot
lebih dari 75
persen sejak bulan Juli 1997 yang lalu. Depresiasi Rupiah, yang banyak pihak
menyatakan telah
melebihi kewajaran ini, berkembang menjadi krisis ekonomi. Bagaimana proses
terjadinya krisis ini
masih belum dapat ditentukan secara tepat, namun ada beberapa faktor yang
diperkirakan dominan
mendorong terjadinya krisis.
Sejak dilepaskannya rentang intervensi dalam bulan Agustus 1997 yang lalu, terdapat
faktor
internal yang menyebabkan tajamnya penurunan nilai tukar rupiah. Kita harus
mengakui adanya faktor
imbas dari gejolak nilai tukar mata-uang negara-negara tetangga, yang dimulai dari
Thailand. Namun,
faktor eksternal tersebut diperkirakan lebih kecil efeknya daripada tiga masalah internal
perekonomian
kita yang mencuat ke permukaan selama dua tahun terakhir.
Masalah pertama adalah akumulasi serta membengkaknya kesenjangan tabungan dan
investasi
masyarakat yang tercermin pula dalam defisit transaksi berjalan. Misalnya dalam kurun
waktu
1993/94-1996/97, defisit transaksi berjalan terus mengalami peningkatan dari US$ 2,9
miliar menjadi
US$ 8,1 miliar.
Kedua, adalah lemahnya sektor perbankan seperti tercermin dari besarnya kredit macet
yang
disebabkan oleh praktek perbankan yang tidak berhati-hati (prudent). Banyak kredit
disalurkan bukan
berdasarkan pada kriteria-kriteria yang umum digunakan, misalnya keuntungan.
Banyak bank yang
menyalurkan hanya kepada kelompok-kelompok bisnisnya. Hal ini tidak saja
melanggar ketentuan www.ginandjar.com

2
perbankan legal lending limit, tetapi juga meningkatkan resiko usaha bank yang
bersangkutan. Sektor
property juga mendapatkan kredit yang berlebihan. Industri perbankan yang lemah
tersebut menjadi
lebih lemah dengan adanya gejolak moneter. Likuidasi 16 bank pada bulan Nopember
yang lalu
ternyata semakin menggoyahkan kepercayaan nasabah dan kreditor bank kepada sistem
perbankan
kita. Untuk memulihkan kepercayaan tersebut, sampai Pemerintah perlu memberikan
jaminan kepada
nasabah dan kreditor Bank, untuk menenangkan para depositor dan berangsur-angsur
dapat
memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan kita.
Tingginya suku bunga dalam negeri pada waktu yang lalu membuat banyak perusahaan
lebih
tertarik mencari pinjaman luar negeri yang bersuku bunga lebih rendah, khususnya
dalam mata uang
dolar AS, daripada dana dalam negeri. Hutang luar negeri swasta meningkat dengan
pesat selama
Repelita VI ini. Nilai hutang swasta saat ini diperkirakan mencapai sekitar US$ 73,9
miliar
1
, dari
keseluruhan hutang luar negeri pada saat ini sekitar US$ 137,4 miliar. Keadaan ini
dianggap sebagai
salah satu pemicu krisis ekonomi Indonesia. Dengan adanya gejolak nilai tukar, pihak
swasta langsung
memburu dolar untuk membayar hutang mereka, walaupun sebagian daripadanya masa
jatuh temponya
belum tiba. Mereka khawatir bahwa Rupiah akan terus melemah, dan tentu saja akan
sangat
mengganggu kesehatan perusahaan mereka. Kekhawatiran yang berlebihan ini menjadi
kenyataan
(self-fulfilling prophecy), karena semakin banyak yang memburu dolar maka rupiah
semakin melemah.
Ini merupakan masalah ketiga, yakni besarnya hutang perusahaan swasta kita dalam
bentuk dolar.
Krisis moneter yang melanda kawasan Asia ini mengakibatkan rupiah terdepresiasi
menjadi
sekitar Rp. 10.000 per satu dolar Amerika pada hari terakhir ini. Padahal pada 1 Juli
1997 yang lalu
harga satu dolar Amerika masih Rp. 2.430. Jadi depresiasinya adalah 75,8 persen,
padahal di negara-
negara sekawasan yang juga terkena krisis moneter, depresiasi yang tertinggi adalah
48,8 persen, yaitu
mata-uang Baht. Krisis ini mempunyai ramifikasi yang sangat luas. Pertama,
perusahaan-perusahaan
baik BUMN maupun swasta yang mempunyai hutang luar negeri dan tidak
mengasuransikannya
(hedge) mengalami kesulitan melunasi pokok dan bunga hutangnya. Sebagian bahkan
secara teknis
sudah bangkrut oleh karena modal neto sudah negatip. Akibat lanjutannya adalah
makin meningkat
lagi kredit macet di sektor perbankan, dan terjadi pemutusan hubungan kerja. Keadaan
ini telah
menyebabkan makin rendahnya kepercayaan masyarakat domestik maupun
internasional akan prospek
perekonomian kita. Masyarakat kita sendiri menjadi enggan menyimpan dananya di
perbankan dan
cenderung menyimpan uang dalam bentuk dolar. Masyarakat internasional terlebih lagi
sangat
meragukan kesehatan lembaga keuangan dan perusahaan swasta nasional, yang juga
didorong oleh
menurunnya peringkat perusahaan swasta nasional kita yang diberikan oleh Standard &
Poor dan
Moody. Bahkan Letter of Credit (L/C) yang dikeluarkan oleh bank swasta nasional
tidak diterima oleh
eksportir asing, sehingga menimbulkan hambatan terhadap impor, termasuk bahan
baku, yang sangat
diperlukan.
Kedua, harga bahan baku dan barang antara (intermediate goods) terutama yang
diimpor
meningkat. Sebagai akibatnya, harga barang jadi juga meningkat. Kenaikan tersebut
pada akhirnya
harus diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Sebagai
akibatnya inflasi
meningkat.
Kenaikan harga dari kebutuhan masyarakat ini tercermin dari kenaikan tingkat inflasi
sejak
Oktober 1997, utamanya pada bulan Januari lalu yang mencapai sekitar 6,9 persen,
suatu tingkat
inflasi tertinggi dalam kurun waktu 20 tahun ini. Inflasi dalam tahun anggaran 1997/98
sampai dengan
Januari telah mencapai 16,0 persen. Sebagai negara yang selama 30 tahun berhasil
mengendalikan
inflasi pada tingkat yang aman sudah tentu keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Sudah
hampir dapat
dipastikan bahwa upah riil buruh, utamanya upah gaji tetap (fixed income earner), akan
turun cukup
besar.
Kita telah merasakan bahwa harga-harga kebutuhan bahan pokok telah meningkat
dengan

1
Hutang swasta nasional sebenarnya hanya sekitar US$ 23,07 miliar, dan sisanya
sebagian besar
terdiri dari hutang perusahaan patungan dengan pihak luar negeri. www.ginandjar.com

3
pesat. Selain kebutuhan pokok, penyediaan obat-obatan yang hampir 90 persen bahan
bakunya diimpor
juga mengalami goncangan. Stok bahan baku untuk obat-obatan yang terbatas, serta
menurunnya daya
beli masyarakat akan menurunkan kemampuan masyarakat untuk mendapatkan obat-
obatan yang
sangat diperlukannya.
Kita harus menyadari bahwa proses penyesuaian dengan situasi baru ini masih belum
selesai.
Walaupun inflasi dalam bulan Januari lalu sudah mencapai 6,9 persen, proses
penyesuaian harga
tersebut belum selesai sehingga tingkat harga umum diperkirakan akan masih
meningkat. Hambatan
terhadap proses penyesuaian harga ini, karena satu dan lain hal, akan berakibat
penurunan produksi
atau bahkan penutupan perusahaan sama sekali. Penyesuaian yang dilakukan oleh dunia
usaha ini akan
menyebabkan tingkat pengangguran masih meningkat. Kedua masalah ini, inflasi dan
pengangguran
yang semakin meningkat, akan menyebabkan daya beli masyarakat akan semakin
menurun. Akibatnya
akan meningkat pula kerawanan sosial dan ancaman bagi stabilitas politik.
Seperti kita ketahui bersama, asumsi yang digunakan dalam penyusunan RAPBN
1998/99
adalah nilai tukar sebesar Rp. 5.000 per dolar AS, tingkat inflasi sekitar 20 persen, dan
tanpa adanya
pertumbuhan riil dari perekonomian kita. Dengan menggunakan asumsi ini, Pemerintah
telah
menyadari bahwa tingkat pengangguran akan meningkat. Bahkan diperkirakan tingkat
pengangguran,
mencapai sekitar 10 persen dari angkatan kerja kita, atau sekitar 8,7 juta pekerja,
dibandingkan
perkiraan tahun 1997 sekitar 5,7 persen atau 5,3 juta pekerja. Bisa kita perkirakan
bahwa
pengangguran terdidik akan meningkat pesat pula.
Keadaan akan lebih buruk apabila nilai tukar rupiah tidak menguat kembali seperti
yang kita
harapkan. Memang tidak akan kembali seperti semula, yaitu sekitar Rp. 2.500 per dolar
AS, karena
dalam tingkat itu Rupiah kita overvalued, tetapi di atas Rp. 5.000/6.000, sesungguhnya
Rupiah kita
menurut perkiraan sudah undervalued. Jika keadaan seperti sekarang ini terus
berlangsung,
perekonomian kita akan mengalami pertumbuhan negatip, suatu keadaan yang tidak
pernah kita alami
dalam kurun waktu Orde Baru ini. Demikian pula dengan tingkat pengangguran kita
yang akan
semakin meningkat dengan menurunnya kemampuan penyerapan tenaga kerja akibat
pertumbuhan
negatip dari perekonomian kita.
Selain krisis ekonomi kita juga mengalami kekeringan yang disebabkan oleh badai El
Nino
yang mempengaruhi kawasan Asia. Musim kekeringan yang berkepanjangan yang
menyebabkan
mundurnya musim tanam dan panen pada tahun 1997/98 terjadi di berbagai daerah di
seluruh
Indonesia. Selain berdampak langsung terhadap penurunan produksi sektor pertanian,
musim
kekeringan inipun mengakibatkan kebakaran hutan di beberapa daerah, yang pada
gilirannya
menurunkan produktivitas sektor pertanian. Pada tahun 1997 yang baru lalu, sub-sektor
tanaman bahan
makanan mengalami pertumbuhan negatip, -1,8 persen, dan demikian juga dengan
sektor kehutanan
sebesar -0,6 persen. Sedangkan sub-sektor tanaman perkebunan, peternakan dan
perikanan masih dapat
tumbuh lebih dari 4 persen.
Memasuki tahun 1998, keterlambatan musim tanam dan panen ini tidak dapat
mendorong
sektor pertanian untuk segera kembali pulih. Selain itu, ternyata gejala El Nino masih
mempengaruhi
iklim kita, sehingga musim hujan ini tidak berlangsung seperti biasanya. Sejak bulan
Pebruari ini
mulai terasa berkurangnya curah hujan di beberapa tempat di Indonesia. Bahkan di
Kalimantan Timur,
curah hujan sangat sedikit sehingga kebakaran hutan harus selalu diwaspadai. Sektor
pertanian yang
diharapkan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi pada saat yang sulit ini tidak
dapat tumbuh
secepat yang diharapkan.
Melambatnya pertumbuhan sektor pertanian ini juga ikut memberikan tekanan berat
pada
kemampuan perekonomian Indonesia dalam penyerapan tenaga kerja, apalagi dalam
keadaan krisis
ekonomi saat ini. Juga mempengaruhi ketersediaan komoditi pangan, sehingga
berpengaruh pula pada
laju inflasi. Biasanya sektor konstruksi di perkotaan dapat menyerap tenaga kerja yang
berasal dari
pedesaan dalam musim kemarau. Namun krisis ekonomi yang menyebabkan
perlambatan pertumbuhan
sektor konstruksi ini berdampak pada penurunan tenaga kerja musiman yang bisa
diserap. Pekerja
musiman, yang biasanya merupakan tenaga lepas, ini merupakan kelompok sasaran dari
program padat
kerja yang sudah mulai kita laksanakan. www.ginandjar.com

4
Pemerintah menyadari bahwa krisis ekonomi akan mempunyai dampak yang besar dan
harus
ditangani dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat crash program. Untuk menjaga
stabilitas harga
pangan, Pemerintah telah mengimpor beras. Selain itu diupayakan peningkatan
produksi pangan
dengan menekan kehilangan hasil panen musim tanam 1997/98, serta meningkatkan
intensifikasi dan
pemanfaatan lahan-lahan tidur (tidak produktif). Sementara itu melalui program padat
karya
diharapkan dapat menyerap tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya. Kegiatan crash
program ini
diarahkan kepada pekerja berketerampilan rendah di daerah perkotaan dan perdesaan.
Sedangkan jenis
kegiatannya mencakup rehabilitasi atau pembangunan jalan desa, saluran irigasi,
lingkungan dan
usaha-usaha produktif lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat.
Dalam penyusunan anggaran tahun mendatang, upaya penanggulangan kemiskinan dan
pemerataan pembangunan tetap dilanjutkan dan diprioritaskan. Anggaran rupiah yang
didaerahkan
mencapai dua per tiga dari seluruh tabungan pemerintah. Dengan alokasi ini diharapkan
daerah dapat
memelihara momentum pembangunan dan kegiatan ekonomi masyarakat.
Upaya penciptaan lapangan kerja juga terus dilanjutkan dan mencakup antara lain
program
pengembangan wirausaha, serta pengembangan agroindustri dan produksi pangan, yang
relatif padat-
karya dan tidak begitu terpengaruh oleh melonjaknya nilai tukar Rupiah terhadap mata-
uang asing.
Pada tataran makro langkah-langkah untuk mengatasi berkembangnya gejolak nilai
tukar
Rupiah telah diupayakan sejak awal gejolak. Pemerintah menjalankan kebijaksanaan
fiskal dan
moneter yang ketat. Kebijaksanaan fiskal yang dilaksanakan antara lain meliputi
penjadwalan kembali
beberapa proyek-proyek dan merevisi penggunaan anggaran pembangunan. Sementara
itu dalam
rangka kebijaksanaan moneter ketat maka suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dinaikkan.
Selain itu Pemerintah telah menyusun program reformasi dan restrukturisasi ekonomi
dan
keuangan yang menyeluruh dan mencakup berbagai bidang. Program-program itu
meliputi bidang
moneter, perbankan, fiskal, perdagangan dalam dan luar negeri, investasi dan
privatisasi BUMN. Sejak
diumumkannya program reformasi ini oleh Bapak Presiden pertengahan bulan Januari
1998 yang lalu
sebagai kesepakatan dengan IMF, telah banyak yang dilaksanakan dengan
dikeluarkannya berbagai
peraturan dan Keputusan Presiden serta Instruksi Presiden yang bertujuan menyehatkan
sistem
perbankan kita dan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat, misalnya
pembentukan Dewan
Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan, pemberian jaminan atas deposito
masyarakat dan
pinjaman perbankan, pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional,
penyelesaian utang swasta,
dan berbagai program lainnya.
Krisis ekonomi yang sedang kita alami ini merupakan cobaan yang sangat berat bagi
perjalanan hidup bangsa kita. Pengangguran diperkirakan masih akan meningkat,
sementara harga-
harga kebutuhan pokok naik dengan cepat. Keadaan ini mungkin menyebabkan
sebagian dari kita
mengira bahwa hal ini merupakan akibat dari reformasi yang kita sudah mulai dan akan
kita jalankan
terus.
Pandangan itu tidak sepenuhnya tepat. Langkah-langkah reformasi ini merupakan
langkah
yang harus dijalani agar kita dapat keluar dari krisis ekonomi ini. Memang reformasi
ini terasa seperti
pil pahit yang harus kita telan. Sebagian dari kita mungkin tidak bisa menerima
program-program
reformasi yang akan dan sudah dijalankan. Di sinilah diharapkan peran ABRI, yaitu
mengamankan
pelaksanaan langkah reformasi dengan mencegah oknum-oknum mengail di air keruh.

III. REPELITA VII


Dengan berbagai keadaan seperti yang saya uraikan di atas jelas bahwa sesungguhnya
kita
sedang dalam keadaan krisis ekonomi yang terparah sejak awal Orde Baru, bahkan oleh
duniapun telah
dianggap sebagai kondisi yang dapat mengganggu ekonomi kawasan dan ekonomi
dunia pada
umumnya. Kemungkinan besar sebagian sasaran-sasaran yang ditetapkan dalam
Repelita VI akan sulit
dicapai. Sehingga dalam memasuki Repelita VII kita masih akan mengejar berbagai
sasaran yang
belum terpenuhi pada Repelita VI. www.ginandjar.com

5
Dalam proses penyesuaian ini diperkirakan tidak akan terjadi pertumbuhan untuk tahun
1998/99. Kita tidak dapat mengetahui berapa lama kita akan keluar dari krisis ini dan
setelah keluar
dari krisis berapakah tingkat pertumbuhan yang berkelanjutan tersebut. Mungkin saja
tingkat
pertumbuhan yang berkelanjutan untuk Indonesia akan berada di bawah pertumbuhan
yang biasa kita
nikmati selama ini.
Seperti kita ketahui, pertumbuhan ekonomi kita selama ini memang cukup tinggi.
Selama 30
tahun terakhir ekonomi Indonesia tumbuh dengan rata-rata 7 persen per tahun. Bahkan,
dalam tahun
1996 pertumbuhan ekonomi kita mencapai sekitar 8 persen. Hanya sedikit lebih rendah
dari tahun
1995 yang mencapai 8,2 persen. Berdasarkan pengalaman pertumbuhan yang selalu
tinggi inilah kita
menetapkan sasaran pertumbuhan ekonomi selama PJP II sebesar rata-rata 7 persen per
tahunnya.
Dengan kata lain, kita bisa menganggap bahwa pertumbuhan 7 persen adalah
pertumbuhan yang
berkelanjutan sesuai dengan daya dukung perekonomian kita. Namun, dengan
perkembangan akhir-
akhir ini perekonomian kita mengalami penyesuaian struktural yang sangat drastis.
Sehingga sasaran
rata-rata pertumbuhan pada Repelita VII sebesar 7 persen untuk sementara ini di luar
jangkauan kita.
Potensi pertumbuhan perekonomian ini dapat kita dekati dari sumber-sumber
pertumbuhannya, yaitu pertumbuhan modal, tenaga kerja, dan produktivitas. Perlu saya
tekankan di
sini bahwa prioritas pembangunan dalam Repelita VII tetap pada bidang ekonomi
seiring dengan
pembangunan SDM, dan landasan kebijaksanaan pembangunan tetap pada Trilogi
Pembangunan, yaitu
pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas.
Akumulasi modal diperkirakan tidak akan meningkat secepat beberapa tahun terakhir
ini.
Selama ini Indonesia dianggap sebagai tempat yang menarik untuk melakukan
investasi. Investasi
langsung luar negeri selalu meningkat dengan pesat. Selain investasi langsung luar
negeri, dana luar
negeri dalam bentuk pinjaman maupun portofolio-pun meningkat dengan pesat.
Indonesia dianggap
sebagai tempat yang sangat menguntungkan dalam melakukan investasi. Dengan
demikian kita terbiasa
dengan masuknya modal dari luar negeri untuk mendukung pembangunan yang sedang
kita jalankan.
Nampaknya untuk kurun waktu Repelita VII segala keberuntungan ini akan sulit kita
peroleh lagi.
Berkurangnya kepercayaan pihak luar negeri terhadap mata uang kita akan
mengakibatkan lebih
langkanya investasi langsung luar negeri maupun dana luar negeri lainnya. Dalam dua
atau tiga tahun
ke depan para investor akan sangat berhati-hati sebelum memutuskan untuk
menanamkan modalnya di
Indonesia. Kondisi ini juga menuntut ABRI untuk tetap dapat menjaga stabilitas politik
dan keamanan
kita.
Pemeliharaan stabilitas politik tersebut harus didukung dengan upaya-upaya
penyediaan
bantuan sebagai jaring penyelamat (safety net), khususnya untuk mengurangi beban
masyarakat kita
yang berpendapatan rendah dan miskin selama proses penyesuaian ini berlangsung.
Karena memang
saudara-saudara kita inilah yang paling rawan dalam menghadapi perubahan kondisi
ekonomi. Saat ini
telah dijalankan berbagai proyek padat karya. Proyek-proyek seperti ini mungkin masih
akan
diperlukan pada awal-awal Repelita VII sehingga lapisan masyarakat yang terkena
dampak krisis
keuangan mempunyai waktu untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan ekonomi yang
baru.
Selain itu, kita juga sudah mendapatkan bukti bahwa untuk membantu saudara-saudara
kita ini
harus dilandasi dengan konsep pemberdayaan. Kita tidak akan melindungi secara
berlebihan. Karena
hal ini hanya akan memperlemah. Satu-satunya jalan adalah memberdayakan, memberi
akses kepada
mereka untuk dapat meningkatkan modal, baik finansial, maupun SDM dengan
penyediaan fasilitas-
fasilitas pelayanan sosial yang diperlukan seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Namun untuk
satu dua tahun ke depan ini Pemerintah tampaknya harus kembali memberi subsidi
pada masyarakat
untuk beberapa kebutuhan pokok, seperti beras, gula, kedele, terigu, dan BBM. Secara
bertahap
subsidi tersebut harus kita kurangi lagi.
Kita tidak boleh melupakan program pengentasan masyarakat miskin. Kita masih
bertekad
bahwa kemiskinan absolut sebagian besar sudah akan terselesaikan pada akhir Repelita
VII. Dalam
penanggulangan kemiskinan, kita telah mendapatkan hasil yang cukup
menggembirakan, walaupun
jumlah penduduk miskin masih besar. Saudara kita yang harus hidup di bawah garis
kemiskinan
absolut berjumlah 22,5 juta atau sekitar 11,3 persen. Program ini harus dilanjutkan,
bahkan www.ginandjar.com

6
ditingkatkan dalam Repelita VII.
Di samping menjaga stabilitas politik, salah satu tugas utama kita dalam menarik minat
investor dalam Repelita VII, adalah melanjutkan proses pemulihan kepercayaan
terhadap
perekonomian Indonesia. Melanjutkan pemulihan kepercayaan terhadap mata uang
rupiah dan pasar
modal harus menjadi prioritas utama. Karena hanya dengan kepercayaan yang semakin
mantap ini,
maka investasi dan oleh karena itu pertumbuhan ekonomi, akan mencapai tingkat yang
berkelanjutan
lagi.
Pemantapan pelaksanaan reformasi ekonomi harus terus dilanjutkan. Kebijaksanaan
ekonomi
yang akan diambil dalam Repelita VII harus pula mengacu pada komitmen kita
terhadap lingkungan
internasional, seperti WTO, APEC dan AFTA.
Sumber pertumbuhan yang kedua adalah pertumbuhan angkatan kerja. Secara kuantitas,
faktor
ini tidak menjadi permasalahan. Namun agar efektif diperlukan sumber daya manusia
yang lebih baik.
Dalam jangka pendek memang kita tidak akan kekurangan tenaga kerja tetapi pada saat
kita terlepas
dari resesi ini, apalagi bila struktur industri kita menjelma dengan bentuk yang berbeda,
kebutuhan
akan sumber daya manusia yang lebih berkualitas tidak dapat dihindari.
Selain itu, telah terbukti selama ini bahwa peningkatan pendidikan masyarakat kita
merupakan
modal bagi masyarakat kita yang berpendapatan rendah untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Dengan demikian, selain untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dengan
lebih cepat,
pendidikan juga akan memperkecil tingkat kesenjangan pada masyarakat kita.
Untuk itu dalam Repelita VII segala upaya wajib belajar yang telah dilakukan di
sekolah dasar
akan terus dilanjutkan. Program Wajib Belajar 9 tahun (WAJAR 9 tahun) akan tetap
mendapatkan
prioritas yang tinggi, sehingga dapat dilakukan sesuai rencana, yaitu selambat-
lambatnya tuntas pada
Repelita VIII. Perbaikan kurikulum perlu dilakukan pada semua tingkat pendidikan.
Upaya
peningkatan tingkat partisipasi pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas akan
terus diupayakan
selama Repelita VII ini. Selanjutnya dalam situasi yang sulit ini kita juga tidak akan
melupakan
pendidikan tinggi. Dalam suasana ekonomi yang makin terbuka dan bebas ini lulusan
pendidikan
tinggi akan makin dibutuhkan. Sudah tentu pemerintah tidak dapat melakukan sendiri
penyelenggaraan
pendidikan tinggi tersebut. Pemerintah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi
pihak swasta
untuk ikut serta dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dengan makin banyaknya
lulusan
perguruan tinggi diharapkan kita akan semakin kompetitif.
Sumber pertumbuhan ketiga adalah peningkatan produktivitas. Peningkatan kualitas
SDM
seperti diuraikan di atas akan sangat menunjang peningkatan produktivitas, utamanya
setelah proses
penyesuaian yang sedang kita alami saat ini. Tidak kalah pentingnya sebagai sumber
peningkatan
produktivitas adalah realokasi sumber daya ekonomi. Reformasi ekonomi yang sedang
kita lakukan
akan membebaskan segala macam hambatan dalam realokasi sumber daya ekonomi
tersebut. Berbagai
keputusan akan lebih banyak dilakukan oleh para pelaku pasar.
Namun penurunan produktivitas tenaga kerja mungkin akan terjadi dalam proses
penyesuaian.
Hal ini disebabkan oleh kecenderungan dunia usaha kita untuk tidak begitu saja
memecat para
karyawannya. Dengan demikian, walaupun produktivitas mungkin akan menurun,
namun hal ini masih
lebih baik bagi pekerja daripada harus kehilangan pekerjaan. Selain itu, dunia usaha
juga akan dapat
segera meningkatkan produktivitas usahanya dengan cepat jika proses penyesuaian
telah berhasil
dilaluinya, tanpa harus mencari dan melatih pekerja baru lagi.
Dalam rangka peningkatan produktivitas tersebut, peningkatan peran pemerintah
daerah harus
ditingkatkan. Karena pemerintah daerahlah yang merupakan ujung tombak dari
kegiatan pembangunan
yang dilaksanakan Pemerintah. Pemerintah daerah lebih mengetahui karakteristik
daerah dan
kebudayaan setempat. Proses umpan balik dari masyarakatpun diharapkan memberikan
hasil yang
lebih cepat. Sehingga agenda yang penting dalam Repelita VII adalah mendorong
proses desentralisasi.
Di lain pihak, desentralisasi tidaklah cukup hanya dengan kemauan politik semata.
Desentralisasi harus
pula dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia di
daerah. Karena
kemampuan sumber daya yang tidak memadai justru akan menurunkan efisiensi dan
efektivitas dari www.ginandjar.com

7
proyek pembangunan di daerah.

IV PENUTUP
Demikianlah uraian saya mengenai berbagai keadaan serta prioritas yang akan
melatarbelakangi pembuatan Repelita VII. Walaupun kita masih menghadapi krisis
ekonomi yang
sangat berat ini, tetapi saya percaya bahwa ekonomi kita jauh akan lebih sehat setelah
krisis ini
terlewati.
Sudah tentu masih banyak lagi program-program penting yang akan masuk dalam
Repelita
VII, saya mengharapkan Rapim ABRI ini dapat pula memberikan masukan agar dapat
ikut mewarnai
Repelita VII.

Anda mungkin juga menyukai