Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat di dunia,
setelah China, India dan Amerika sebenarnya mempunyai peluang menjadi negara maju dan
sejahtera dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Modal utamanya adalah dilihat dari
struktur demografi penduduknya, dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta, serta
didukung dengan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah.
Isu jumlah penduduk besar merupakan salah satu isu strategis ketika kita bicara
tentang kependudukan. Berkaca pada data BPS meskipun laju pertumbuhan penduduk
menurun dari 1,34% tahun 2005 menjadi 1,18% tahun 2015, namun jumlah absolut penduduk
masih cukup besar kenaikannya. Jumlah penduduk meningkat dari 21 juta jiwa tahun 2005
menjadi sekitar 248 juta jiwa pada tahun 2015.
Meskipun upaya penurunan laju pertumbuhan penduduk boleh dikatakan berhasil
dilakukan. Namun jumlah penduduk besar masih akan terus bertambah setiap tahunnya.
Secara absolut pertumbuhan penduduk Indonesia masih akan meningkat sekitar 3 4 juta
jiwa per tahun. Pertambahan jumlah penduduk yang besar ini disumbangkan oleh jumlah
kelahiran yang masih tinggi. Jumlah kelahiran per tahun masih tinggi sekitar 4,279 juta tahun
2009 4,234 juta tahun 2014.
Urgensi peningkatan jumlah penduduk ini harus menjadi perhatian mengingat
berdampak sangat luas. Jumlah penduduk meningkat berarti pemenuhan kebutuhan hidup
juga otomatis meningkat seperti sandang, pangan, papan, energi, kesempatan kerja,
kesehatan, pendidikan, dan hak dasar lainnya.
Indonesia kini tengah mengalami booming bonus demografi. Bonus Demografi adalah
bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif
(rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Bonus demografi
ini hanya terjadi sekali dalam kurun waktu yang sangat lama dan akan berlangsung dalam
waktu yang cukup singkat. Faktor utamanya adalah keberhasilan program Keluarga
Berencana (KB) yang dilakukan pemerintah dalam 40 tahun terakhir. Dengan keberhasilan
KB, jumlah tanggungan keluarga turun signifikan.
Sebagai salah satu bentuk upaya KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) kepada
masyarakat menyoal penggunaan istilah bonus demografi perlu kiranya disederhanakan.
1 | Page
Istilah tersebut terlalu canggih untuk dipahami publik yang (maaf) berpendidikan rendah.
Tidak menutup kemungkinan ada yang memahami kata bonus yang cenderung berkonotasi
positif sebagai legitimasi ungkapan klasik banyak anak banyak rezeki.
Sebenarnya dalam konteks bonus demografi diatas bisa saja menjerumuskan kita
kepada sesat pikir karena bonus demografi yang tidak diikuti dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) dan ketersediaan pasar tenaga kerja justru bisa menjadi bencana
demografi. Oleh karena itu, ada baiknya istilah bonus demografi dicarikan padanan kata
yang lebih mudah dicerna oleh rakyat. Misalnya, istilah ledakan penduduk usia produktif.
Meskipun tak tepat benar, yang terpenting adalah pesannya sampai ke publik.
Persoalan istilah ilmiahnya biar tetap menjadi konsumsi kaum akademik, namun bagi publik
isu bonus demografi sangat perlu dikampanyekan dalam rangka membangkitkan kesadaran
publik tentang urgensi meningkatkan kualitas SDM. Apalgi di era Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) yang makin ketat seperti sekarang ini.
Kasus Indonesia memperlihatkan bahwa jumlah penduduk usia produktif mencapai
62,7 % dari keseluruhan jumlah populasi penduduk sebesar 237 juta orang pada tahun 2013-
2014. Jumlah penduduk usia produktif tersebut mengalami tren kenaikan sebesar 10 % setiap
tahunnya hingga mencapai puncaknya pada tahun 2035.
Hal ini tentu menjadi peluang ekonomi yang perlu direspon pemerintah untuk
berinvestasi pada bidang demografi meliputi kesehatan, pemberantasan kemiskinan,
penyediaan lapangan kerja berbasis padat karya, maupun juga aksesibilitas dalam aktivitas
ekonomi. Besarnya jumlah bonus demografi di Indonesia wajib menjadi kesempatan baik
(windows of opportunity) untuk bisa mengatrol pertumbuhan ekonomi dan sektor UKM.
Pemerintah dirasa belum sepenuhnya mengeksploraso fenomena ini secara komprehensif
melalui produk kebijakan afirmatif. Sehingga terkesan abai mengenai kemunculan bonus
demografi yang hanya terjadi setiap periode 100 tahun ini.
2 | Page
Era otonomi daerah (otda) dewasa ini menjadikan pemerintah daerah (pemda)
menjadi garda terdepan yang mengemban tanggungjawab. Otda tak lain adalah sebuah upaya
membangun Indonesia dari daerah. Bagi pemerintah, untuk mewujudkan hal tersebut tentu
tak semudah membalik telapak tangan.
Meski secara makro pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik, namun dalam
realitasnya masih banyak potret rakyat yang kondisi sosial ekonominya berada di titik nadir.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi belum diikuti oleh pemerataan pembagian kue
pembangunan. Merujuk data BPS memperlihatkan bahwa pada tahun 2015 jumlah tenaga
kerja pendidikan sekolah dasar ke bawah mencapai 54,6 juta orang, tingkat kemiskinan
11,22% (per Agustus 2015), dan tingkat pengangguran per Agustus 2015 mencapai 7,56 juta
orang.
Berbicara mengenai kendala pembangunan di daerah isu utama adalah menyoal
anggaran dana. Hal ini adalah sebuah alasan klasik yang sesungguhnya bukan hal yang sangat
mencemaskan. Namun, persoalan yang lebih mengkhawatirkan adalah rendahnya political
will pemda dalam memprioritaskan APBD untuk kepentingan publik. Hal ini terlihat jelas
setidaknya dari postur APBD untuk belanja modal yang hanya sekitar 30-40% ketimbang
belanja rutin yang mencapai 60-70%. Idealnya adalah kebalikan daripada itu. Presiden
misalnya pernah mengingatkan agar APBD tidak dihabiskan untuk belanja pegawai.
Mengharap perubahan dari dalam ibarat mengharapkan siput untuk berlari. Dalam
iklim birokrasi daerah yang cenderung belum tereformasi secara substansial ini, tak ada
pilihan lain bagi rakyat kecuali membangun kesadaran (build conciousness) dan kekuatan
politiknya sebagai pendobrak mata hati nurani penguasa.
3 | Page
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) termasuk yang teramputasi
karena tak memiliki kaki lagi di daerah (Kabupaten/Kota).
4 | Page
Meskipun secara kelembagaan kedudukan BKKBN kini lebih kuat dari sebelumnya
karena bertanggungjawab langsung ke Presiden (UU Pembangunan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga 2009). Namun, hal tersebut dirasa masih belum cukup karena objek
vital kependudukan sesungguhnya ada di daerah (Kabupaten/Kota).
Berdasarkan hal-hal diatas, terjadi kerancuan dalam menterjemahkan UU No 52 tahun
2009. Kerancuan ini kemudian akan menyebabkan kebingungan dan kevakuman tentang
lembaga mana yang akan menangani masalah kependudukan secara lintas sektoral.
Ketidakjelasan tata kelembagaan semacam ini menyebabkan dampak pada berbagai program
kependudukan, terutama jika dikaitkan dengan otonomi daerah. Beberapa kementerian yang
melaksanakan kebijakan kependudukan maupun lembaga pemerintah non kementerian seperti
BKKBN mengalami penurunan kewenangan yang berdampak pada penurunan kinerja.
Lepas dari fenomena itu semua, dalam jangka pendek perlu dibangun konsensus,
kerja sama dan sinergi yang kuat antara BKKBN dan Pemda. Bonus demografi sejatinya
membuka mata hati semua pihak, termasuk pemerintah, dalam rangka mewujudkan impian
Indonesia sebagai salah satu 10 kekuatan ekonomi dunia pada 2030 (McKinsley Global
Institute, 2012). Kemudian, yang lebih penting adalah mendorong partisipasi aktif rakyat
dalam mengawal ketat program-program kerja pemerintah daerah, tanpa hal tersebut jangan
bermimpi bahwa bonus demografi akan menjadi bonus investasi dan sebagainya, melainkan
sebaliknya, bisa menjadi bencana demografi.
5 | Page