Anda di halaman 1dari 10

TUGAS FARMAKOTERAPI II

STUDI KASUS 2
TERAPI ASMA UNTUK IBU MENYUSUI

OLEH:
KELOMPOK 3

Ni Putu Erikarnita Sari 0908505028


I Putu Yogi Budi Irawan 1108505026
Ida Ayu Putu Suara Swasti 1108505027
Nyoman Tria Wiriyanti 1108505033
Ni Kadek Ari Cipta Pratiwi 1108505054
I Gusti A. A. Ratih Cardiani Putri 1108505056
Ni Nyoman Tri Nur Permata Sari 1208505070
Ni Luh Wulandari 1208505073
Ni Made Putri Dwijayanti 1208505083
Ni Wayan Milka Lina 1208505067

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014

0
STUDI KASUS 2
Seorang pasien asma didiagnosis mengalami asma persisten ringan menerima
terapi inhalasi kortikosteroid budesonide dengan dosis 2 x 200 mikrogram per
hari. Pasien menanyakan keamanan penggunaan obat ini karena pasien sedang
menyusui. Pasien pun menjadi ragu untuk tetap menyusui jika menggunakan obat
tersebut. Selaku apoteker, uraikan KIE yang dapat anda berikan!

PENYELESAIAN KASUS
1.1 Asma Persisten Ringan
Semua pasien dengan asma memiliki inflamasi spesifik pada saluran
pernapasan. Inflamasi dikarakterisasi dengan adanya degranulasi sel mast,
infiltrasi eosinofil, dan peningkatan jumlah sel T-helper 2 teraktivasi. Hal ini
dipercaya sebagai akibat inflamasi yang mengakibatkan timbulnya gejala klinis
asma., termasuk bunyi mendesis pada saluran pernapasan (wheezing), batuk, dan
kesulitan bernapas (Barnes and Adcock, 2003).
Ada banyak macam mediator yang meningkat jumlahnya pada pasien asma,
yaitu mediator lipid, peptida, kemokin, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Pada
pasien asma, terdapat perubahan pada struktur sel disekitar saluran pernapasan,
yaitu: sel epitel, sel oto polos pada saluran pernapasan, sel endotelial, dan
fibroblas, yang mana sel-sel ini berperan dalam menghasilkan mediator inflamasi
pada asma. Sel epitel merupakan yang paling berperan penting dikarenakan sel ini
dapat dengan mudah teraktivasi akibat sinyal lingkungan (hipersensitif) dan
melepaskan bermacam-macam protein pemicu inflamasi, seperti: sitokin,
kemokin, mediator lipid, dan faktor pertumbuhan (Barnes and Adcock, 2003).
Terdapat 4 pengelompokan asma berdasarkan tingkat keparahannya seperti
pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Derajat Penyakit dan Gambaran Klinis
Gambaran Klinis
Derajat Penyakit Gejala APE atau Variabilitas
Gejala harian
malam VEP1 APE
Tahap 4 Terus
Sering 60% >30%
Persisten berat menerus

1
>1 malam
Tahap 3 <60%
Setiap hari dalam 1 >30%
Persisten sedang -<80%
minggu
>2 hari
dalam 1 >2 malam
Tahap 2
minggu dalam 1 80% 20%-30%
Persisten ringan
tetapi <setiap bulan
hari
2 hari 2 malam
Tahap 1
dalam 1 dalam 1 80% 20%
Intermitten
minggu bulan

Keterangan :
APE : Arus Puncak Ekspitusi
a. Tahap 1 : Asma Intermitten Bronkodilator kerja singkat, terutama 2 agonis
inhalasi direkomendasikan sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati
gejala pada asma intermitten. Aksi utama 2 agonis adalah untuk
merelaksasikan otot polos jalan napas dengan menstimulus 2 reseptor,
sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan bronkodilatasi.
Salbutamol adalah 2 agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan baik.
Belum terdapat data yang membuktikan kejadian cidera janin pada penggunaan
2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontraindikasi selama menyusui
(NAEPP, 2005).
b. Tahap 2 : Asma Persisten Ringan
Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma
persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid
merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek
klinisnya ialah mengurangi gejala beratnya serangan, perbaikan arus puncak
ekspirasi dan spirometri, mengurangi terjadinya hiperresponsif.
c. Tahap 3 : Asma Persisten Sedang
Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan
2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi

2
sampai dosis medium. Data yang menunjukkan keefektifan dan atau keamanan
penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi
menurut data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil
menunjukkan bahwa penambahan 2 agonis inhalasi kerja lama pada
kortikosteroid inhalasi dosis rendah menghasilkan asma yang lebih terkontrol
daripada hanya meningkatkan dosis kortikosteroid (NAEPP, 2005).
d. Tahap 4 : Asma Persisten Berat
Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih
membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus
dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika
cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk
penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005).

Penatalaksanaan Terapi
Tujuan dari manajemen asma adalah kontrol terhadap penyakitnya. Kontrol
terhadap asma didefinisikan sebagai berikut:
Tidak terdapat gejala harian
Tidak terbangun di malam hari karena asma
Tidak memerlukan pengobatan darurat
Tidak terjadi perburukan keadaan
Tidak terdapat batasan aktivitas kecuali olahraga
Fungsi paru normal
Kelompok kerja National Asthma Education and Prevention Program
(NAEPP) merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologi dalam
penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi. Prednison, teofilin, anti
histamin, kortikosteroid inhalasi, 2 agonis dan kromolin bukan merupakan
kontraindikasi pada penderita asma yang menyusui. Rekomendasi
penatalaksanaan asma selama laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama
kehamilan (NAEPP, 2005).

3
Terapi yang dapat diberikan sesuai dengan derajat penyakit pasien dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Pengobatan asma berdasarkan tingkat keparahan

Derajat Penyakit Pengobatan


Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, dan 2 agonis
inhalasi kerja lama, dan jika perlu kortikosteroid tablet
atau sirup (2mg/kg/hari, tidak >60mg/hari)
Tahap 4
Persisten berat Terapi alternatif :

Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, dan teofilin lepas


lambat sampai kadar serum 5-12 mcg/mL
Kortikosteroid inhalasi dosis rendah, dan 2 agonis
inhalasi kerja lama atau :

Kortikosteroid inhalasi dosis sedang, jika perlu


(terutama pada pasien serangan
berat berulang)

Tahap 3 Kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan 2 agonis


Persisten sedang inhalasi kerja lama

Terapi alternatif :

Kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan teofilin atau


antagonis reseptor leukotrien, jika perlu kortikosteroid
inhalasi dosis sedang dan teofilin atau antagonis
reseptor leukotrien
Tahap 2 Kortikosteroid inhalasi dosis rendah
Persisten ringan
Terapi alternatif :

4
Kromolin

Antagonis reseptor leukotrien, atau teofilin lepas


lambat sampai kadar serum 5-12 mcg/mL
Tidak diperlukan pengobatan harian intermitten
Tahap 1
Bila terjadi serangan asma berat, dianjurkan pemberian
Intermitten
kortikosteroid sistemik untuk jangka waktu singkat

1.2 Terapi Inhalasi Kortikosteroid Budesonide


Kortisteroid merupakan terapi yang digunakan untuk menekan inflamasi pada
asma saluran pernapasan dimana aksi obat mampu menekan gejala asma. Pada
tingkat selular, kortikosteroid berperan mengurangi jumlah sel penyebab inflamasi
pada saluran pernapasan, seperi eosinofil,limfosit T, sel mast, dan sel dendritik.
Ini ditimbulkan dimana aksi obat yang berperan dalam menghambat aksi
pemanggilan (recruitment) sel inflamasi menuju sel-sel saluran pernapasan
dengan cara menekan produksi faktor kemotaktik dan mengurangi kemampuan
adhesi molekul tersebut, serta mengurangi ketahanan/daya hidup sel inflamasi
(eosinofil, limfosit T, dan sel mast). Sel epotel merupakan target utama
kortikosteroid inhalasi. Sehingga kortikosterois memiliki spektrum luas sebagai
agen anti-inflamasi pada asma, dengan menghambat berbagai macam mediator
inflamasi (Barnes and Adcock, 2003).
Kortikosteroid meningkatkan jumlah reseptor 2 adrenergik dan
meningkatkan respon reseptor terhadap stimulasi 2 adrenergik yang
mengakibatkan penurunan produksi mukus dan hipersekresi, mengurangi
hiperresponsivitas bronkus serta mencegah dan mengembalikan perbaikan jalur
nafas. Kortikosteroid inhalasi merupakan terapi jangka panjang yang paling
efektif untuk asma persisten. Kortikosteroid sistemik juga direkomendasikan
untuk penanganan pasien dengan parah akut yang sepenuhnya tidah merespon
pada pemberian agonis 2 inhaler secara agresif (Sukandar, 2009).
Efek samping dari penggunaan budesonide jangka panjang terjadi pada 3%
pasien atau lebih mengalami keluhan seperti nyeri, sakit punggung, infeksi saluran

5
pernapasan atas, sinusitis, faringitis, batuk, konjungtivitis, sakit kepala, rhinitis,
epistaksis, otitis media, infeksi telinga, infeksi virus, gejala flu, perubahan suara.

1.3 Terapi Asma pada Ibu Menyusui


Berikut adalah dosis pengobatan kontrol jangka lama selama kehamilan dan
laktasi:

Sebagian besar obat asma aman digunakan dalam menyusui. Perempuan


harus didorong untuk melanjutkan pengobatan selama menyusui. Kontrol laktasi
asma pada masa postpartum penting sama halnya dengan pada wanita yang tidak
hamil dan sehat. Penelitian mengenai keamanan obat asma selama menyusui
sangat terbatas. Penelitian yang dipublikasikan dalam masa postpartum hanya
serangkaian kasus kecil dan umumnya sedikit yang ditindaklanjuti (Lim, 2013).
Evidence Base Pengobatan Asma Selama Menyusui
Absorbsi sistemik obat inhalasi umumnya minim dan kecil kemungkinan
membahayakan bayi. Paparan bayi hanya 10 sampai 1000 kali kurang dari
paparan saat kehamilan. Jumlah tertelan melalui air susu ibu jauh di bawah tingkat

6
terapi untuk bayi. Kebanyakan di bawah 3% dari dosis terapi per kilogram berat
badan. Sehingga Agonis beta short-acting dapat digunakan pada dosis normal.
Dosis pemeliharaan budesonide inhalasi (200 mikrogram atau 400 mikrogram dua
kali sehari) menghasilkan paparan sistemik yang diabaikan untuk bayi. Setelah
diserap, budesonide inhalasi merupakan sistemik lemah dan dengan pemberian
pada konsentrasi sekecil itu tidak mungkin memberikan dampak klinis yang
relevan melalui air susu ke bayi. Demikian pula, hanya 30% dari fluticasone
diserap secara sistemik dan mayoritas dimetabolisme melalui first pass effect
metabolism (Lim, 2013).

1.4 Konseling, Informasi dan Edukasi yang diberikan


KIE merupakan salah satu tata laksana nonfarmaka. Pada pengendalian asma
harus diperhitungkan faktor-faktor sosioekonomi, budaya, individu, dan keluarga.
Penjelasan edukasi mencakup serangan asma, gejala alergi dan khususnya
keadaan anafilaksis. Untuk itu, dokter perlu meluangkan waktu melaksanakan
KIE (Matondang et al., 2009).
Untuk terapi non farmakologi, selain pasien diberitahukan tentang penyakit
yang diderita, pasien dapat diberitahukan untuk melakukan olahraga secara
teratur, misalnya renang karena olahraga renang dapat melatih pernafasan,
sehingga otot-otot pernapasan menjadi lebih kuat dan pasien akan lebih terbiasa
dengan udara dingin sehingga mengurangi timbulnya gejala asma. Namun
hendaknya olahraga dilakukan secara bertahap dan dengan melihat kondisi pasien.
Selain itu, dapat diberikan penjelasan kepada pasien agar menghindari atau
menjauhkan diri dari faktor-faktor yang diketahui dapat menimbulkan asma serta
penanganan yang harus dilakukan jika serangan asma terjadi. Jika pasien
merokok, pasien harus diberikan edukasi bahwa rokok dapat memperburuk
saluran pernapasan. Kegemukan juga masalah yang serius bagi pasien asma oleh
karena itu, pada pasien asma kegemukan hendaknya dihindari. Dan perbanyak
minum air untuk menghindari adanya dehidrasi (John Rees et al, 1998).
Untuk terapi farmakologi, pengobatan asma persisten ringan pada pasien
menyusui menggunakan kortikosteroid budesonide inhaler dosis 2 x 200

7
mikrogram per hari dapat dikatakan sudah aman. Sehingga perlu diinformasikan
kepada pasien bahwa obat yang diberikan sudah aman walaupun pasien dalam
keadaan menyusui, sehingga pasien dapat tetap menyusui ketika sedang
menggunakan obat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, P.J. and I.M. Adcock. 2003. A Review: How Do Corticosteroids Work in
Asthma?. Ann Intern Med. Vol. 139: 359 370.

8
John Rees et al. 1998. Petunjuk Penting Asma, Edisi III. Jakarta: Penerbit buku
Kedokteran EGC.
Lim, A. 2013. Article Asthma Drugs in Pregnancy and Lactation. Vol. 36 (5):
150-153. Cited: June 8, 2014. Available at www.australianprescriber.com.
Matondang, M. A. 2009. Peran Komunikasi, Infromasi, dan Edukasi Pada Asma
Anak. Sari Pediatri. Vol 10 (5): 314-319.
National Asthma Education and Prevention Program. 2005. Managing Asthma
During Pregnancy Recommendations for Pharmacologic Treatment
update 2004. London: US Department of Health and Human Services.
National Institutes of Health National Heart, Lung and Blood Institute.
Sukandar, E. Y., R. Andrajati, J. I. Sigit, Adnyana, A. P. Setiadi dan Kusnandar.
2009. ISO Farmakoterapi, Cetakan kedua. Jakarta: PT ISFI Penerbitan.
Hal. 448-459.

Anda mungkin juga menyukai