Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari
perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal
biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan
harga penjualan kembali. Sementara pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan
yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi
mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu
perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.
Perbedaanya jelas terletak dalam definisi dari masing masing definisi pendekatan diatas,
B. Pelaksanaan kedua pendekatan itu secara simultan menurut saya mungkin saja
dilakukan, namun untuk pelaksanaanya per se illegal mungkin akan lebih diutamakan
karena apabila subjek pelanggar dapat dijerat dengan kedua pendekatan tersebut maka
tidak perlu diteliti lebih lanjut mengenai dampak yang dapat ditimbulkan nya.
C. Contoh pada kasus Putusan dalam KPPU dimana terdapat satu perusahaan yang
memiliki saham mayoritas pada beberapa perushaan yang menjual produk yang sejenis
yang dijual di pasaran pada perushaan yang berbeda dan dengan kedua perusahaan
tersebut dia sebagai pemilih saham terbesar melakukan perjanjian dengan perusahaannya
untuk menaikkan harga dan menstop produksi beberapa perusahaan yang memproduksi
kecap asin yang sejenis sehingga terkena pendekatan Per se Illegal yang pada pasal 27
menyatakan: Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan
yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Sehingga unsur unsur pada pasal tersebut
terbukti. Sedangkan Pasal 4 UU No 5 tahun 1999 menyatakan (1) Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Jelas pasal ini
menyatakan bahwa membuat perjanjian penguasaan produksi tidak dilarang, perjanjian
hanya dilarang jika menimbulkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Jadi pelarangan hanya dilakukan jika terbukti perjanjian tersebut
menimbulkan praktek monopoli atau persaingan tidak sehat. Pembuktian dampak inilah
yang menjadi esensi rule of reason. Sehingga harus memerlukan pembuktian Dampak
atas pendekatan rule of reason tersebut maka jika dilakukan secara komplementari saling
melengkapi dapat dilakukan namun dengan pendekatan Per se itu sudah membuktikan
bahwa perushaan itu bersalah.
2. Perbedaan signifikan antara kartel dan trust ialah kartel ini memiliki
kesepakatan, namun tidak secara aktual diwujudkan. Namun kesepakatan itu tetap diakui
dan dijalankan oleh anggota anggotanya. Sementara itu didalam trust kesepakatan
tersebut direalisasikan kedalam bentuk organisasi dan memiliki legalitas hukum. Namun
secara praktik sebetulnya sama saja antara kartel dan trust ini. Yang membedakan secara
jelas hanya masalah legalitas hukum diantara keduanya. Jika kartel tidak berwujud nyata
dan tidak ada legalitas hukum atasnya, namun kesepakatan yang terjadi antara pihak
pihak yang berkaitan itu tetap dilakukan. Sementara trust memiliki bentuk nyata berupa
badan usaha seperti asosiasi industri, persatuan dagang, dan sejenisnya. Oleh karenanya,
perlu diberikan pemisahan, karena dasar hukum yang digunakan untuk
menindaklanjutinya pun harusdibedakan. Kartel biasanya dalam bentuk perjanjian yang
tidak menggabungkan perusahaan sedangkan Trust membuat gabungan perusahaan
4. Menurut pendapat saya, pemberian hak ekslusif itu tidak dapat dianggap sebagai
bentuk monopoli bagi si pemegang hak. Pemberian hak ekslusif disini dimaksudkan
untuk melindungi ciptaaan/kreasi si pencipta agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain
yang tidak memiliki hak atas ide/ kreasi tersebut. Sifat dari hak eklusif itu hanya terbatas
pada hal hal tertentu saja dan tidak dapat dikatakan sebagai monopoli.
Lisensi HAKI yang dikecualikan persaingan usaha adalah Lisensi haki yang
secara otomatis melahirkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang secara serta
merta memiliki sifat anti persaingan Penghimpunan lisensi, pengikatan produk,
Pembatasan jual kembali dan Pengecualian yang diberikan adalah pada perjanjian lisensi
yang pada pasal 50 huruf b UU no. 5 tahun 1999.
5. State Action Doctrine adalah Doktrin perbuatan atau tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah (atau yang diberikan kewenangan) dari atau mewakili pemerintah akan
dikecualikan dari ketentuan undang-undang hukum persaingan. Doktrin yang dikenal di
Amerika Serikat ini berasal dari putusan MA AS dalam kasus Parker vs. Brown tahun
1943 sebagai respon terhadap upaya untuk memberlakukan aturan hukum persaingan
terhadap usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang sebelumnya tidak
terbayangkan ketika Amerika Serikat mengundangkan Sherman Act 1890. MA Amerika
Serikat berpendapat bahwa doktrin ini sesuai dengan keinginan Kongres bahwa tujuan
undang-undang Hukum Persaingan adalah untuk memproteksi persaingan tetapi dengan
tidak membatasi kewenangan Negara. Berdasarkan pemahaman inilah maka terdapat
beberapa kegiatan yang dikecualikan dari pengaturan undang-undang hukum persaingan.
Lembaga Negara yang memberikan pengecualian untuk itu bisala dilihat dari
UUD45 pasal ## seperti yang sudah dijelaskan diatas itu menjadi dasar konstitutusi
untuk melakukan pengecualian pada barang publik yang penting untuk kesejahteraan
bersama praktiknya lembagan negara yang memperbolehkan untuk itu adalah didasari
oleh UU kementrian Keuangan dan ESDM bila perlu dapat dimintakan persetujuan DPR
serta KPPU yang mengeluarkan Pedoman No.253/KPPU/Kep/VII/2008 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf (a) yang menegaskan mengenai jenis
perbuatan atau kegiatan dan perjanjian apa saja yang dapat dikecualikan. Pada dasarnya
ekonomi memang dilakukan oleh berbagai jenis pelaku usaha dengan kemampuan
berbeda. Di samping itu ada juga berbagai regulasi sekotral yang berkaitan dengan
peraturan lainnya, bahkan peraturan tersebut telah ada jauh sebelum UU No.5 Tahun
1999 diundangkan. Bila terdapat suatu undangundang yang mewajibkan seorang pelaku
usaha untuk melakukan suatu tindakanatau melaksanakan perjanjian, maka tindakan atau
perjanjian tersebut akan dikecualikan.
KPPU berpendapat bahwa tujuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf (a) ditujukan
untuk:Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama, misalnya kegiatan yang
dilakukan oleh pelaku usaha kecil dalam rangka meningkatkan kekuatan penawarannya
ketika menghadapi pelaku usaha yang memiliki kekuatan ekonomi lebih kuat. Dalam
kasus yang demikian terhadap pelaku usaha kecil, dapat diberikan pengecualian dalam
penerapan hukum persaingan usaha.Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan
UU No.5 Tahun 1999 apabila terjadi konflik kepentingan yang sama-sama ingin
diwujudkan melalui kebijakan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.Mewujudkan kepastian hukum dalam penerapan peraturan
perundangundangan, misalnya pengecualian bagi beberapa kegiatan lembaga keuangan
untuk mengurangi resiko dan ketidakpastian. Sektor keuangan perlu dijaga stabilitasnya,
mengingat pentingnya peran sektor keuangan dalam proses pengembangan
ekonomi.Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2), (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketentuan ini sering juga timbul karena kondisi perekonomian yang dinamis
menuntut Pemerintah menetapkan pengecualian yang bertujuan menyeimbangkan antara
penguasaan bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan pemberian
perlindungan pada pengusaha berskala kecil. Pemberian perlakuan khusus bagi cabang
cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk dikuasai oleh negara,
secara tegas diatur dalam Pasal 33 ayat (2), dan ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2), dan ayat (3) sejalan
dengan yang diatur dalam Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999.
6. Menurut analisis saya, rumah sakit yang mewajibkan pasien nya untuk membeli obat di
apotik milik rumah sakit tersebut dapat dikatakan rumah sakit tersebut sudah melakukan
apa yang disebut sebagai perjanjian tertutup. Definisi dari perjanjian tertutup sendiri
adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha agar dapat menjadi sarana dan
upaya bagi pelaku usaha untuk dapat melakukan pengendalian oleh pelaku usaha
terhadap pelaku usaha lain secara vertikal (Pengendalian Vertikal), baik melalui
pengendalian harga maupun melalui pengendalian non-harga. Strategi perjanjian tertutup
ini pada umumnya lebih banyak dilakukan pada level distribusi produk barang dan/atau
jasa.
Dari definisi diatas dapat terlihat bahwa rumah sakit yang mewajibkan pasien untuk
membeli obat hanya di apotik milik rumah sakit tersebut sudah melakukan pengendalian
terhadap pelaku usaha lain, dalam hal ini apotik apotik biasa. Hal ini jelas melanggar
ketentuan dari UU no. 5 tahun 1999 dalam pasal 15 ayat 2 yang berbunyi :
Perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pihak (pelaku usaha) lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok
Perjanjian tertutup ini sangat berpotensi merugikan pelaku usaha lain dan konsumen
sehingga harus dilarang dan pelakunya harus ditidak tegas secara hukum.
PERSAINGAN USAHA
Oleh :
Rian Rizki S.
1111048000060
Ilmu Hukum