Anda di halaman 1dari 29

A.

DEFINISI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


Lupus erimatosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit peradangan
kronik di mana terbentuk antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen
dari yang berlainan. Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah IgG
atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA,
protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit. Komplek antigen-antigen dapat mengendap di jaringan
kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III. Kemudian terjadi
peradangan kronik. (Corwin, 2001)
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun dengan
pembentukan antibodi antinukleus (ANA), terutama terhadap double-
stranded DNA (anti ds- DNA). Dengan terjadinya kerusakan jaringan dan
sel-sel oleh autoantibodi patogen dan kompleks imun. (Sudewi, 2009)
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi
setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan1. Penyakit ini menyerang wanita
muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif
dengan ratio wanita dan pria 5:11. (Utomo, 2012)

B. EPIDEMIOLOGI SYSTEMIC LUPUS ERTYTHEMATOSUS


SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan
perbandingan 10 : 1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus
yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE juga menyerang penderita usia
produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi
pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin
(Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu
etnis Afrika Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per 2000
populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi
terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di
New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian
sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar
14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels, 2006).
Di Amerika Serikat, kejadian tahunan rata-rata 5,1% SLE per
100.000 penduduk. Prevalensi yang dilaporkan adalah 52 kasus per
100.000 penduduk. Menurut laporan 2008 dari Kelompok Kerja Data
Nasional Arthritis, sekitar 250.000 penduduk Amerika telah menderi lupus.

1
Frekuensi dari SLE bervariasi oleh ras dan etnis, dengan tingkat
lebih tinggi dilaporkan di antara orang kulit hitam dan Hispanik. Prevalensi
SLE adalah sekitar 40 per 100.000 orang kulit putih di Rochester,
Minnesota, dibandingkan 100 per 100.000 orang Hispanik di Nogales,
Arizona. Angka kejadian SLE pada wanita hitam adalah sekitar 4 kali lebih
tinggi dibandingkan pada wanita kulit putih. SLE lebih sering pada wanita
Asia dibandingkan pada wanita kulit putih.
Menurut data statistik internasional, prevalensi dari SLE bervariasi.
Para prevalensi tertinggi telah dilaporkan di Italia, Spanyol, Martinique,
dan Inggris populasi Afro-Karibia. Meskipun prevalensi SLE tinggi pada
orang kulit hitam di Inggris, penyakit ini jarang dilaporkan antara orang
kulit hitam yang tinggal di Afrika, menunjukkan bahwa mungkin ada
pemicu lingkungan serta sebagai dasar genetik untuk penyakit mereka.
Perempuan kulit hitam memiliki tingkat lebih tinggi SLE daripada ras lain,
diikuti oleh orang Asia, dan selanjutnya orang perempuan kulit putih. Di
Amerika Serikat, perempuan kulit hitam beresiko 4 kali lebih mungkin
dibanding perempuan kulit putih.
SLE sering dimulai pada wanita usia subur, dan penggunaan
hormon eksogen telah dikaitkan dengan onset lupus dan flare,
menunjukkan peran faktor hormonal dalam patogenesis penyakit. Risiko
pengembangan SLE pada pria adalah sama dengan bahwa pada wanita
postmenopause prapubertas atau. Menariknya, SLE adalah lebih umum
pada pria dengan sindrom Klinefelter (yaitu, genotipe XXY) dibandingkan
pada pria tanpa sindrom, juga mendukung hipotesis hormon.
Untuk semua usia, rasio perempuan : laki-laki 7:1 dan 11:01 selama
tahun-tahun subur. Sebuah korelasi antara usia dan kejadian cermin SLE
tahun puncak produksi hormon seks wanita. Onset dari SLE biasanya
setelah pubertas, biasanya dalam 20-an dan 30-an, dengan 20% dari
semua kasus didiagnosis selama 2 dekade pertama kehidupan. Prevalensi
SLE yang tertinggi adalah di antara wanita berusia 14-64 tahun. SLE tidak
memiliki kecenderungan usia pada laki-laki.

C. ETIOLOGI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan
lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T
dan B autoreaktif yang persisten. (Sudewi, 2009)

2
Penyebab LES tidak diketahui, walaupun penyakit ini sering terjadi
pada orang-orang dengan kecerendungan mengidap penyakit otoimun.
Penurunan fungsi sel T penekan atau ganggguan penyajian antigen HLA
mungkin berperan. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan
dengan kehamilan atau menyusui. Pada beberapa orang, pajanan radiasi
ultraviolet yang berlebihan dapat mencetusnya enyakit. Penyakit ini dapat
bersifat ringan selama bertahun-tahun, atau dapat bertkembang dan
menyebabkan kematian. (Corwin, 2001)

D. PATOFISIOLOGI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

3
E. FAKTOR RESIKO SYSTEMIC LUPU ERYTHEMATOSUS
1. Faktor Genetik
Faktor keturunan
ini frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana
terdapat anggota keluarga dengan penyakit tersebut. Penemuan

terakhir

menyebutkan
tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki
kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan
menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari
penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
daripada pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, yaitu pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara
terdapat hubungan antara SLE dan gen HLA kelas II.
Indeks tinggi pada kembar monozigotik (25%) versus kembar
dizigotik (1-3%)
faktor keturunan mempunyai risiko yang meningkat untuk penderita
SLE, dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara
klinis tidak terkena dapat menunjukkan autoantibody. Pada
beberapa pasien SLE (sekitar 6%) mengalami defisiensi komponen
komplemen yg diturunkan. Kekurangan komplemen akan

4
mengganggu pembersihan komplek imun dari sirkulasi dan
memudahkan deposisi jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.

Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus


dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang
berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung
konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur
produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi
defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan
imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan
-DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel,
kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear,
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q
menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan sangat berperan sebagai pemicu Lupus, misalnya
: infeksi, stress, makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan
penisilin), cahaya ultra violet (matahari) dan penggunaan obat obat
tertentu.
Sinar matahari adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk
gejala Lupus. Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki
banyak ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi
autoimmune. Tetapi bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar
pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul
09.00 atau sesudah pukul 16.00 dan disarankan agar memakai krim
pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara
tropis seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi
para pasien yang peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan
bercak-bercak kemerahan di bagian muka.kepekaan terhadap sinar
matahari (photosensitivity) sebagai reaksi kulit yang tidak normal
terhadap sinar matahari.
3. Faktor hormon
Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi
atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama

5
estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini sedangkan
hormon androgen mengurangi risiko terjadinya SLE.
4. Sinar UV
Sinar ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi
kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga
terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui
peredaran pembuluh darah.
5. Sistem Imunitas
Pada pasien SLE terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T.
6. Obat obatan
o Obat yang pasti menyebabkan lupus
obat : klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan
isoniazid.
o Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus
obat : dilantin, penisilinamin, dan kuinidin
o Hubungannya belum jelas : garam emas, antibiotik, dan griseofulvin.
7. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan terkadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi. Misal disebabkan oleh agen infeksius
seperti virus, bakteri ( virus Epstein Barr, Streptokokus, klebsiella)
8. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini.
9. zat kimia : merkuri dan silikon
10. Silika debu dan merokok dapat meningkatkan risiko
mengembangkan SLE
11. Makanan
Makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE
akibat senyawa kimia yang dikandungnya (Smeltzer & Bare, 2006).

F. MANIFESTASI KLINIS SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ
yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh
manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat
ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan

6
seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat
terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi
secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun
mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan
lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi
kriteria LES.
1. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya..
Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat
menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja,
konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila
kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan
terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan
berat badan inidapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau
diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan
dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan
poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus.
Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi
dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat
ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan
biasanya berhubungan dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus,
tetapi miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat
ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin.
Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas
penyakit dan penggunaan steroid.
3. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah
fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia,

7
panikulitis, lesi psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga
dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena
Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik,
tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-
Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai
kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko
penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal.
Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
5. Manifestasi Paru-paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga
foto toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk,
sesak nafas atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik
dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada
30% kasus, tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak bermakna.
Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada
20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit dibedakan dengan
pneumonia dan gagal jantung kongestif. Hipertensi pulmonal sering
didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pasien dengan
nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap
kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli paru.
6. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan
dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat
proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif,
dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas
5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria
dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7. Manifestasi Hemopoetik
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan
dan anemia hemolitik autoimun.

8
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80%
kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-
mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali
kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES
yang lain.
8. Manifestasi Susunan Saraf

Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa


migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama
tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.

Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering


ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan
psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan
serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yangspesifik. CT scan otak
kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.

9. Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,
splenomegali, peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis.
Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi
terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMETOSUS

American Rheumatism Association (ARA) tahhun 1982 menetapkan


kriteria diagnosis baru untuk klasifikasi SLE. Diagnosa SLE dapat ditegakkan
jika pada satu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih dari 11 kriteria
baru dibawah ini, baik secara berturut-turut, maupun serentak:
1. Ruam malar
2. Lesi diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi mulut, ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
7. Kelainan ginjal, proteinuria lebih dari 0, 5 g/hari

9
8. Kelainan neurologis berupa kejang-kejang dan psikosis
9. Kelainan hematologi berupa anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia,
dan trombositopenia
10.Kelainan imunologi berupa adanya sel LE, anti DNA, antibodi terhadap
native DNA dengan titer abnormal atau anti sm, uji serologi untuk sifilis
yang positif semu.
11.Antibodi antinuklear (ANA)
Pemeriksaan ANA adalah pemeriksaan laboratorium yang paling sensitif
untuk mendeteksi penyakit SLE, dengan sensitivitas 95%. Dikenal
sebagai Anti Nuclear Factor (ANF) adalah suatu antibodi yang
menyerang atau mengikat inti sel yang merupakan pusat perintah sel.
Tes darah ANA merupakan tes yang sensitif untuk Lupus. Ketika ada tiga
atau lebih fitur/ciri khas Lupus seperti keterlibatan kulit, sendi, ginjal,
paru-paru, jantung, darah, atau sistem saraf, maka tes ANA yang positif
merupakan konfirmasi adanya Lupus. Namun, hasil tes ANA positif tidak
selalu berarti orang tersebut memiliki Lupus. ANA dapat menjadi positif
pada orang dengan penyakit lain, atau positif pada orang yang tidak
sakit. ANA juga bisa berubah dari positif ke negatif, atau negatif ke
positif, pada orang yang sama. Namun, Antibodi antinuclear biasanya
ditemukan (97%) dalam darah penderita LupusPemeriksaan ANA-ELISA
di-gunakan untuk mendeteksi anti-bodi secara tidak langsung, meng-
gunakan label enzim dan zat kro-mogen sebagai indikator reaksi
Kelebihan pemeriksaan dengan metode ANA-ELISA yaitu hasil
pemeriksaan ber-sifat objektif, meminimalkan risiko human error,
kurang membutuhkan tenaga trampil dan ketelitian peme-riksa, sebab
semua prosedur diker-jakan secara automasi oleh alat. (Roitt, Brostoff &
Male, 2001)
Untuk menegakkan diagnosis SLE, diperlukan beberapa jenis uji
diagnostik (pemeriksaan laboratorium) terutama bila gejala-gejala kurang
jelas. Tidak ada uji dignostik tunggal untuk Lupus. Ada beberapa
pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai untuk menegakkan
diagnosis SLE.
Antibodi untuk DNA untai ganda (anti-dsDNA)
Batas normal : 70 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita dengan SLE
aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang

10
tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai
sedang dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik
dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis
bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat
dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus
glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE
yang tenang
Antibodi terhadap fosfolipid (aPLs)
Dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah,
menyebabkan pembekuan darah di kaki atau paru-paru, stroke,
serangan jantung, atau keguguran. Yang paling sering aPLs diukur
adalah antikoagulan lupus, antibodi anticardiolipin, dan anti-Beta2
glikoprotein I. Hampir 30 persen orang dengan Lupus akan
mendapatkan hasil tes positif untuk antibodi antifosfolipid. (Catatan :
Fosfolipid selain ditemukan pada Lupus juga ditemukan pada
penyakit Syphilis, jadi hasil positif untuk tes sifilis tidak berarti bahwa
Anda telah atau pernah menderita Syphilis karena sekitar 20 persen
dari penderita Lupus akan memiliki hasil tes Syphilis positif palsu).
Antibodi terhadap protein Sm dalam inti sel (Anti Sm)
Anti Sm merupakan singkatan dari antibodi Smith, nama ini
dipakai sebagai bentuk penghargaan terhadap seorang gadis yang
bernama Stephanie Smith yang didiagnosis menderita SLE pada
tahun 1959 dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1969 pada
usia 22 tahun. Selama sakit, nona Smith dirawat di Rumah Sakit
Universitas Rockefeller New York dibawah perawatan dr. Henry Kunkel
dan dr. Eng Tan. Kedua dokter itu menemukan suatu antibodi
terhadap antigen Sm (suatu set protein inti sel yang diproduksi nona
Smith). Antibodi Sm ditemukan pada 30-40 persen orang dengan
Lupus, keberadaan antibodi ini hampir selalu dapat diartikan bahwa
bahwa seseorang mengidap Lupus.
Antibodi untuk Ro/SS-A dan La/SS-B (Ro dan La adalah nama-nama
protein lain dalam inti sel)
Anti-Ro terutama ditemukan pada Lupus bentuk kutan (kulit),
suatu bentuk Lupus yang menyebabkan ruam yang sangat sensitif
terhadap sinar matahari. Pada wanita hamil, antibodi Ro dan La dapat
melewati plasenta dan dapat menyebabkan Lupus Neonatal pada

11
bayi. Lupus Neonatal jarang terjadi dan biasanya tidak berbahaya,
tetapi bisa serius dalam beberapa kasus.
Komplemen (Complement) C3 dan C4
Komplemen adalah sekelompok protein yang berfungsi
membantu kerja sistem kekebalan tubuh dan berperan dalam proses
peradangan. Ada 9 macam komplemen yang bergerak bebas di
dalam aliran darah yaitu C1 sampai C9. Komplemen yang penting
dalam diagnosis SLE adalah C3 dan C4. Level normal C3 dan C4
dalam darah untuk perempuan 13-75 mg/dL dan untuk laki-laki 12-72
mg/dL. Pada SLE aktif, biasanya C3 dan C4 turun dibawah level
normal.
Tes abnormalitas sel darah
Anemia
Tes untuk anemia termasuk tes Hb, Hct dan RBC count. Juga
dilakukan pemeriksaan iron level, total iron-binding capacity dan
ferritin. Selama perjalanan penyakit, sekitar 40% pasien SLE
mengalami anemia. Anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi,
perdarahan GIT, obat-obatan atau pembentukan autoantibody
terhadap sel darah merah. Saat pertama kali didiagosa, sekitar
50% pasien mengalami anemia dengan konsentrasi Hb dan
ukuran sel darah merah yang normal. Ini disebut normochromic-
normocytic anemia atau "anemia of chronic disease." Sedangkan
autoimun hemolytic anemia, dengan tes Coombs positif lebih
jarang dijumpai.
Leukopenia dan trombositopenia
Abnormalitas sel darah putih (WBC) dan platelet counts
merupakan indicator penting untuk SLE. Leukopenia merupakan
penurunan jumlah sel darah putih, sering ditemukan pada 15-
20% pasien SLE aktif. Trombositopenia atau jumlah platelet yang
rendah terjadi pada 25-35% pasien SLE.
Test laboratorium lain
Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang
diagnosa serta untuk monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain
adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, urinalisis,
serum kreatinin, test fungsi hepar.
Pemeriksaan darah
Bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang
terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini

12
juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika
menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga
pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar
yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus,
tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein
yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan
antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan
aktivitas dan lamanya penyakit.
Ruam kulit atau lesi yang khas
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan
adanya gesekan pleura atau jantung
Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa
jenis sel darah
Pemeriksaan saraf.
CBC (Complete Blood Cell Count) untuk mengukur jumlah sel
darah, maka terdapat anemia, leukopenia,trombositopenia.
ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan
ESR akan lebih cepat dari pada normal.
Biopsi untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal
Urinalysis pengukuran urin kadar protein dan sel darah merah
X-ray dada

H. PENATALAKSANAAN SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Dalam garis besarnya penatalaksanaan SLE dibagi dalam 3 golongan


besar yaitu:
1. Konseling dan tindakan supportif
Penderita perlu diberi penjelasan mengenai penyakit yang
dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis, dan
sebagainya) sehingga diharapkan penderita dapat bersikap positif
terhadap penanggulangan penyakitnya (Albar, 2004).
2. Obat-obatan
a. Anti inflamasi Non steroid (AINS)
Untuk mengobati kelainan muskuloskeletal seperti atralgia,
artritis dan mialgia serta kelainan sestemik lainnya seperti
demam dan serositis ringan.
b. Obat anti malaria
Obat antimalaria efektif dalam mengatasi manifestasi kulit,
musculoskeletal dan kelainan sistemik ringan pada SLE. Kadang-
kadang juga terdapat adenopati hilus serta kelainan paru ringan

13
dan artralgia ringan. Yang paling sering dipakai ialah klorokuin
atau hidroksiklorokuin dengan dosis 200-500 mg/hari. Selama
pemakaian obat ini pasien harus control ke Ahli Mata setiap 3-6
bulan, karena adanya efek toksik berupa degenerasi macula.
c. Kortikosteroid
Diberikan pada penderita SLE yang berat disertai dengan problem
sistemik, yaitu penderita SLE dengan kelainan kulit yang
memburuk dan tidak responsif terhadap pengobatan konservatif,
dalam keadaan ini biasanya diperukan takaran rendah sampai
sedang, keadaan lain dimana diperlukan kortikosteroid ialah
adanya gejala gangguan susunan saraf pusat, perikarditis,
miokarditis, pleuritis, pneumonitis, vaskulitis, miositis berat,
anmeia hemolitik, leukopenia, trombositopenia, gangguan
pembekuan darah, nefritis, hepatitis dan demam yang tinggi.
d. Obat imunosupresif/sitotoksik
Yang sering dipakai adalah azatiopatin dan siklofosfamid.
Azatiopatin diberikan dengan takaran 2-3 mg/kgBB/hari per oral,
kemudian diturunkan menjadi 1-2 mg/kgBB/hari. Siklofosfamid
diberikan dengan takaran 10-15 mg/kgBB/hari intra vena setiap 4
minggu sekali, dapat juga per oral dengan takaran 1,5-2,5
mg/kgBB/hari, atau bersamaan dengan azatiopatin takaran
rendah (0,5-1 mg/kgBB/hari).
e. Terapi hormonal
Morley dkk. Dalam suatu penelitiannya memberikan 400-600 mg
Danazol (18 etiniltestosteron), suatu gonadotropik yang dapat
menekan FSH dan LH pada 2 penderita SLE wanita dengan
keluhan atralgia, demam dan nyeri dada karena pleuritis yang
timbul bertambah berat pada beberapa hari sebelum tiap-tiap
masa haid, ternyata obat tersebut dapat mengurangi gejala yang
timbul dan bahkan dapat mengurangi takaran prednison yang
sudah didapat sebelumnya.
f. Stimulasi imunologik
Digunakan pada pasien SLE yang mengalami kelainan persendian
dengan takaran sebesar 100 mg diberikan 2 kali seminggu.
g. Plasmaferesis
Dilakukan dalam penatalaksanaan berbagai kelainan imunologis,
seperti pada artritis reumatoid, miastenia gravis, sklerosis
multiple, sindrom Goodpasture dan reaksi penolakan jaringan
tandur alih.
3. Pengobatan terhadap komplikasi

14
Pada sistem kardiopulmonar mungkin dapat timbul efusi pleura, efusi
perikard sampai tamponade jantung yang memerlukan tindakan infasiv
seperti perikardiektomi. Obat antikonvulsi diberikan untuk mengatasi
kejang pada penderita SLE dengan gangguan susunan saraf pusat.
Sedang pada kelainan muskuloskeletal mungkin diperlukan fisioterapi
dan tindakan rehabilitasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada
sendi dan otot serta untuk mempertahankan kemampuan mobilisasi
yang masih ada. Kelainan ginjal dapat berupa kegagalan fungsi ginjal
yang dapat diberikan antideuretik, obat anti hipertensi, dan mungkin
juga dialisis. Antikoagulasi oral dapat diberikan untuk mencegah
trombisi vena yang berulang dan tromboflebitis. Untuk penderita SLE
dengan trombsis arteri dapat diberikan obat anti platelet, yaitu asam
asetilsalisilat (ASA) takaran rendah (100 mg/hari).

Penatalaksaan Non Farmakologis:


Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit
lain, seperti anemi, demaminfeksi, gangguan hormonal,
komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi
kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan
aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari khususnya UV pada pukul 10.00
sampai 15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung
hormonestrogen
Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE
merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali
informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis
yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda
sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas
yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting
diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya
kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga

15
dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin
maupun penderita selama hamil.
Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut
sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus.
Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus
SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka
bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan
masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan
advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu
dalam pengobatan.
Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah
terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari
paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir
surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar,
diulang tiap 4-6 jam.
Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu
diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya.
Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat
immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit
kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga
meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian
faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Penatalaksanaan Medikamentosa :
Untuk SLE derajat Ringan:
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan
Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan
non-steroid
Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid
Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari
Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai
kebutuhan

16
Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya
pada saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang
ataupun kacamata
Untuk SLE derajat berat:
Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya
(anemia hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas,
penyakit ginjal, penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh
ahlinya
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan
dosis sesuai kelainan organ sasaran yang terkena.
Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat
bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan
Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat
pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon
yang baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada
kortikosteroid dosis tinggi.
Pengobatan Pada Keadaan Khusus
- Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat
ditingkatkan sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari
sampai 1 minggu belum ada perbaikan
Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon
dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan
dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut
Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif
dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari
Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat
dikombinasikan dengan siklofosfamid
Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi
pleura/drainase
Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu

17
Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil
dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan.
Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-
turut
Penatalaksanaan Farmakologis:
1. Terapi Imunomodulator
Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang
berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod
dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding
hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal,
mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal.
Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah
sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan
vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat
ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil >
1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit
dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1
gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah,
kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat
dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12
hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan
leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama
Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu
menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian
hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum
terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Mycophenolate mofetil (MMF)
MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate
dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin.
MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi
ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria
dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis
yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi

18
umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan
Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan
prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone.
MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai
adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons
tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis
asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral.
Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk
pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk
manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat
dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3
mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm 3 dan
metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka
dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi
lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu
supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine
juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi
demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan
biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan.
Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka
fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini
merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus
yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif
aman.
Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis
pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis.
Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE
yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.
Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari
kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu
kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan

19
sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum
transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer,
sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita
SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada
umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata
terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds
DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30%
atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek
samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi,
hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama
bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik
yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal
harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada
penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2
mg/kgBB/hari karena relatif aman.

I. KOMPLIKASI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS


1 Serangan pada ginjal.
a Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal).
b Kelainan ginjal berat (gagal ginjal).
c Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebih melalui urin)
2 Serangan pada jantung dan paru.
a Pleuritis
b Pericarditis
c Efusi Pleura
d Efusi pericard
e Radang otot jantung (Miocarditis)
f Gagal jantung
g Perdarahan Paru
3 Serangan sistem saraf
a Sistem Saraf Pusat
- Cognitive Disfunction
- Sakit kepala pada lupus
- Sindrom Antiphospholipid
- Sindrom Otak
- Fibromyalgia
b Sistem saraf Tepi
- Mati rasa atau kesemutan pada ekstremitas
c Sistem Saraf Otonom
- Gangguan suplai darah ke otakk dapat menyebabkan kerusakan
jaringan otak, sel-sel otak, kerusakan otak permanen (stroke).
4 Serangan pada kulit

20
a Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung
cahaya disebut lesi diskoid.
Ciri ciri spesifik:
- Berparut, berwarna merah, berbentuk koin sangat sensitif terhadap
sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kulit subakut/ cutaneus
lupus subacute. Kadang menyerupai luka psioriasis.
- Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu.
b Alopecia, vaskulitis.
5 Serangan pada sendi dan otot
a Radang sendi
b Radang otot
6 Serangan pada mata
7 Serangan pada darah
a Anemia
b Trombositopenia
c Gangguan pembekuan
d Limfositopenia
8 Serangan pada hati.
(Joe. 2009. SLE)

J. ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan :
1 Ansietas berhubungan dengan status kesehatan
2 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal ditandai dengan bengkak pada ekstremitas antara
os. Femur dan os. Tibia.
3 Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
sekunder (penurunan Hb, Imunosupresi, leukopenia, supresi respon
inflamasi)

21
Analisa Data

Data Etiologi Masalah keperawatan

22
Ds :
Bertanya tanya Genetik, kuman/virus, sinar UV, Ansietas berhubungan dengan
Rasa gelisah obat2an tertentu status kesehatan
Khawatir
Mata kabur
Do : Autoimun berlebihan
Nadi : 15x/menit
BB sebelum sakit
68 dan setelah Autoimun menyerang organ2
sakit 55 tubuh

Penyakit Lupus

Produksi Antibodi secara terus


menerus

Mencetus penyakit inflamasi


multi organ

Darah

HB turun

Penurunan suplai O2/Nutritien

ATP

BB turun

Perubahan status kesehatan

Ansitas

Tujuan: Mengurangi Ansitas pada pasien dalam waktu 3x24 jam

Kriteria Hasil : Mencapaai skala yang diinginkan

23
NOC: Anciety level

NO Indikator 1 2 3 4 5
1 Kegelisahan -
2 Rasa gelisah -
3 Gelisah secara verbal -
4 Peningkatan nadi -

Keterangan penilaian :

1 Tidak pernah demonstrasi


2 Jarang demonstrasi
3 Kadang-kadang demostrasi
4 Sering demonstrasi
5 Selalu demontrasi

Intervensi NIC : Ansiety Reduction

1 Gunakan tehnik diam untuk pendekatan yang meyakinkan


2 Menyediakan informasi faktual mengenai diagnosis pengobaatan dan
prognosis
3 Menganjurkan keluarga untuk bersama pasien
4 Mendengarkan dengan penuh perhatian
5 Indentifikasi ketika level ansitas berubah
6 Instruksikan kepada pasien untuk menggunakan tehnik relaksai
7 Kaji verbal dan non verbal tanda ansietas

ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah


. keperawatan
DS : Imun kompleks Hambatan mobilitas
Klien mengatakan fisik berhubungan
Mengendap di pembuluh dengan gangguan
mengeluh
darah muskuloskeletal

24
kelemahan. ditandai dengan
Membentuk trombosis bengkak pada
DO : ekstremitas antara
Hasil pemeriksaan Pengendapan menyebar ke os. Femur dan os.
seluruh tubuh hingga ke Tibia.
fisik menunjukkan
cairan persendian kaki
bahwa terdapat
bengkak pada
Terjadi pembengkakan
persendiaan antara
os. Femur dan os.
Tibia. Erosi tulang
Hasil foto rontgen
sendi kaki
Ektremitas melemah
menyatakan adanya
erosi tulang.
Hambatan mobilitas fisik

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan No. 2 :

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal


ditandai dengan bengkak pada ekstremitas antara os. Femur dan os. Tibia.

Tujuan :Dapat meningkatkan mobilitas fisik klien dalam waktu 7x24 jam.

Kriteria Hasil :Pada evaluasi akhir didapat skor yang telah ditentukan pada NOC.

NOC : Mobility

N INDIKATOR 1 2 3 4 5
O

25
1. Keseimbangan

2. Gerak sendi

3. Berjalan

Keterangan Penilaian :

1 Severe compromised

2 Substantially compromised

3 Moderately compromised

4 Mildly compromised

5 Not compromised

Intervensi NIC : Body Mecanisme Promotion

1 Menentukan bagaimana memindahkan berat satu kaki dengan kakli yang


lainnya untuk berdiri (1).
2 Mengistruksikan pasien bagaimana menggerakan kaki dulu baru tubuh untuk
berjalan ketika posisi berdiri (3).

Intervensi NIC : Exercise Therapy : Ambulation

1 Mengkaji pasien bagaimana penggunaan gerak kaki katika berjalan untuk


mencegah injuri.
2 Mengkonsultasikan pada ahli terapi fisik masalah alat bantu yang hendak
dipakai.

Intervensi NIC : Exercise Therapy : Joint Mobility

1 Menjelaskan pada pasein dan keluarga tujuan dan rencana untuk gerak
sensinya.
2 Menguatkan gerak Range Of Motion pasien, secara teratur dan terjadwal
3 Mengkaji pasien untuk mengembangkan jadwal ROM.

26
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
3 DS : Faktor eksogen/endogen Resiko infeksi
Pasien mengeluh berhubungan
demam, sakit perut, Supresi Respon imun dengan
riwayat sariawan ketidakadekuatan
tidak sembuh- Antibody meningkat pertahanan
sembuh, mata kabur. sekunder
Autoimun (penurunan Hb,
Imunosupresi,
Inflamasi sistemik leukopenia,
DO : supresi respon
-Terdapat lesi pada Kerusakan jaringan inflamasi)
tangan kanan
denhgan bentuk Resiko infeksi
tidak teratur
- proteinuria : 0,12
gr/ 24 jam; Hb : 9,2
mg/dl
- kreatinin dan BUN
meningkat
- bengkak pada kaki
dan persenian
antara os femur dan
os tibia

ANALISA DATA

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

27
Diagnosa Keperawatan No. 3

Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan


sekunder (penurunan Hb, Imunosupresi, leukopenia, supresi respon inflamasi)

Tujuan: Mengurangi resiko kerusakan infeksi klien secara efektif dalam jangka
waktu 3x24 jam

Kriteria Hasil : Skala 4 NOC

NOC : Immune Status

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Fungsi kandung kemih
2 Penurunan Berat badan
3 Kelelahan kronis
4 Titer antibodi
5 Suhu tubuh
6 Integritas Kulit
Keterangan penilaian :

1 Terancam
2 Terganggu
3 Cukup terganggu
4 Agak terganggu
5 Tidak terganggu

Intervensi NIC :

Risk Identification

1 Penilaian risiko secara rutin, dengan menggunakan instrumen yang


handal dan valid
2 Menentukan status pendidikan
3 Tentukan sumber daya masyarakat yang sesuai untuk kebutuhan hidup
dan kesehatan dasar
4 Identifikasi pasien dengan kebutuhan perawatan yang berkelanjutan
Infection Protection
1 Memonitor tanda-tanda dan gejala sistemik dan lokal dari infeksi
2 Periksa kulit dan mukus membran untuk kemerahan, kehangatan yang
ekstrim, atau drainase
3 Memantau perubahan tingkat energi / malaise
4 Dorong asupan cairan, sesuai kebutuhan
5 Mengadministrasikan agen imunisasi, sesuai kebutuhan

28
29

Anda mungkin juga menyukai