Kerajaan gowa adalah sebuah kerajaan tradisional yang pernah besar di Nusantara.
Nama kerajaan Gowa menjadi sangat terkenal di Mata dunia terutama pada penghujung
abad ke-16 dan awal abad ke-17. Raja gowa yang paling terkenal di mata dunia adalah
Sultan Hasanuddin yang bergelar Ayam Jantan dari Timur. Kemungkinan Besar orang
belanda memberikan nama Ayam Jantang dari timur karena sifat ayam jantan yang terus
berjuang dan bertarung sampai akhir meski peluang untuk menang sangat kecil.
Sebuah pendapat yang dikeluarkan oleh salah satu keturunan Raja Gowa yakni Andi Ijo,
kata Gowa berasal dari "Gua", bukan dari kata betawi tetapi merujuk pada sebuah lubang
dalam tanah, namun pendapat ini masih diragukan mengingat bahasa kata Gua adalah
bahasa Melayu dan apakah penggunaan bahasa Melayu lebih dulu ada atau kerajaan
Gowa yang lebih dulu ada hal ini belum terbukti secara empirik. Fakta lain gua dalam
bahasa Makassar juga dikenal dengan sebutan "Kalibbong" sehingga masih kurang dasar
untuk menjadikan kata Gowa merujuk pada kata Gua.
Tumanurung Baine
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa sebelum kehadiran "Tumanurung" ri butta Gowa,
Gowa adalah adalah sekumpulan kerajaan kecil yang tergabung dan menyatakan
berkongsi atau bersekutu (Bondgenoot) dibawah pengawasan "Paccallayya". Paccallayya
sendiri secara harfiah berarti "mencela" namun dalam hal cela yang dimaksud adalah
mengingatkan ketika bagian dari persatuan melakukan kesalahan. Analogi yang tepat untuk
menempatkan posisi paccalayan adalah ketua dewan hakim tertinggi yang diangkat dari
orang-orang bijak dan merupakan wakil dari masing kerajaan kecil.
5. Kasuwiang Data (Daerah Malakaji yang dikenal dengan nama Gowa dataran tinggi)
7. Kasuwiang Bisei
8. Kasuwiang Kailing
9. Kasuwiang Sero
Hampir sama dengan kondisi kerajaan yang berbentuk federasi, selalu ada perbedaan
pendapat terlebih tidak adanya pemimpin yang jelas dari persatuan kesembilan kasuwiang
ini karena Paccallaya adalah pengawas tanpa kekuatan militer sehingga terkadang nasehat
hanya sebatas nasehat saja. Hal ini semakin berat ketika terjadi perang saudara antara
gowa bagian utara dan gowa bagia selatan dari sungai Je'neberang. Kondisi stabil tidak
akan bertahan lama dalam keadaan seperti ini kecuali ada seorang karismatik atau memiliki
kekuatan militer sehingga mampu untuk membawahi secara langsung kesembilang
kasuwiang ini. dari cerita terdapat dua versi yang muncul yakni:
1. Pendapat pertama: Petunjuk datang dari langit, sehingga turun seorang wanita dari
langit yang kemudian disebut dengan istilah "Tumanurung" atau titisan dari langit,
berita ini dibawa oleh Paccailaya bahwa putri tersebut turun di atas bukit tamalatea
yang berada di Taka' Bassia. Cerita ini diperkuat dengan adanya cahaya yang muncul
dari langit yang dilihat oleh orang Bontobiraeng yang secara perlahan-lahan turun ke
daerah Taka'ssia, namun sebagaian sejarawan menyangsikan ini karena dianggap
tidak rasional.
2. Pendapat kedua: Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan baru terbentuk pada
masa itu di mana orang-orang yang ada di sulawesi selatan berasal dari sebuah suku
yang lebih tua yakni keturunan i La Galigo di kerajaan Luwu. Paccallaya yang
mengetahui hal ini kemudian meminta kepada raja Luwu untuk mengutus seorang
bijak agar bisa menyatukan kesembilan kasuwiang ini agar tidak hancur kemudian
mengirim putrinya yang kemudian dihilangkan jejaknya agar orang-orang Gowa tetap
menaruh hormat kepada Orang ini. Hal ini juga didukung dengan adanya falsafah
Gowa yang berbunyi "Somba opu" yang artinya menyembah atau mengabdi pada Opu
yang merupakan istilah untuk raja Luwu.
Pada proses penyembahan ini kemudian Paccallayya yang mewakili rakyat gowa memohon
untuk kesedian Tumanurung Baine untuk menetap di Gowa dan memerintah Gowa.
Permonohan Paccallaya inipun dikabulkan dan secar aserentak bergemurulah orang-orang
yang hadir dan meneriakkan "Somabi Karaengnu Tu Gowa" (Sembahlah Rajamu Hai
Orang-Orang Gowa) dijawablah dengan lantang "Sombangku" (Penguasaku atau tuanku".
Kata Somba ini kemudian dijadikan sebagai gelar raja yang memimpin untuk raja-raja
penerus. Ini adalah kisah yang paling tua yang menceritakan asal-usul penggunaan nama
Gowa sebagai nama Resmi.
Tanda-tanda kesembilang kasuwiang ini masih ada hingga saat ini dan yang paling terkenal
adalah adanya pohon tala' atau pohon lontar di daerah Tala' Salapang dekat dengan
Unismuh yang berada di Jalan Sultan Alauddin. Pohon Tala tersebut Berjumlah sembilang
namun salah satu dari tala tersebut roboh sekitar tahun 2000, sehingga pemerintah
kabupaten Gowa menggantinya dengan pohon yang lebih muda.
2. Tumassalangga Baraya
4. I Tuniatabanri
5. Karampang ri Gowa
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'. Lahir 31
Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir pada tanggal
29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681
19. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri
Lakiyung. (1677-1709)
20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya
pada tahun 1735)
26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri
Kakuasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur
Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin
(1956-1960) merupakan Raja Gowa terakhir dan yang pertama mengenakan gelar
"Andi", meninggal di Jongaya pada tahun 1978.