ABSTRAK
Beralih fungsinya hutan dikawasan DAS Citarum Hulu akibat maraknya pembangunan yang
terjadi diduga faktor penyebab berubahanya nilai koefisien runoff. Besar dan perubahan nilai koefisien
runoff inilah yang akan menjadi pemicu terjadinya banjir. Pada penelitian ini, pengamat mencoba
menyajikan hasil model perbandingan nilai Artificial Runoff saat kondisi inisial dengan kondisi saat ini
dengan menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Perhitungan NDVI akan
menggambarkan nilai koefisien limpasan permukaan. Selanjutnya, digunakan metode rasional untuk
melakukan perhitungan debit dengan membagi area kajian menjadi lima sub DAS. Peningkatan nilai debit
terbesar terjadi di sub DAS Cikapundung untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 162.06 m3/s dan sub
DAS Ciwidey untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar 46.43 m3/s. Penurunan nilai debit terbesar terjadi di
sub DAS Ciwidey untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 27.05 m3/s dan sub DAS Cikapundung untuk
tahun 1997 sampai 2006 sebesar 125.55 m3/s.
Kata kunci: DAS Citarum Hulu, Perubahan Tataguna Lahan, Koefisien Runoff, Artificial Runoff, NDV.:
1
2.2 Normalized Difference Vegetation Index runoff. (University Corporation for Atmospheric
(NDVI) Research; The-COMET-Program;, 2006).
Artificial runoff, maksudnya adalah kondisi
NDVI (Normalized Difference Vegetation
limpasan permukaan di suatu wilayah karena sistem
Index), merupakan suatu metode untuk mendeteksi
tata guna lahan di daerah tersebut sudah mengalami
tingkat kerapatan vegetasi yang menutupi suatu
banyak perubahan melalui modifikasi manusia,
area, melalui analisa data citra satelit penginderaan
misalnya dengan menjadikannya sebagai perumahan,
jauh (Direktorat-Jendral-Penataan-Ruang, 2007).
pertokoan, gedung bertingkat, wilayah industri, usaha
Transformasi NDVI adalah salah satu teknik yang
pertanian, dan lain- lain. (Irawan dkk, 2011).
telah digunakan secara luas untuk berbagai aplikasi
Artificial Runoff dapat juga disebut sebagai
(Wibowo dkk., 2008). NDVI merupakan indeks
limpasan perkotaan, seperti yang telah diteliti oleh
vegetasi sederhana namun memiliki sensitifitas yang
Horner dkk. pada tahun 1994. Limpasan perkotaan
paling tinggi terhadap perubahan kerapatan tajuk
menurutnya, didefinisikan sebagai aliran sungai atau
vegetasi dibanding indeks vegetasi lainnya (Wibowo
jumlah dari limpasan permukaan dan limpasan bawah
dkk., 2008). Selain keunggulannya dalam
permukaan. Limpasan permukaan terjadi ketika
membedakan kerapatan vegetasi, nilai NDVI juga
penyimpanan permukaan dan tanah menjadi jenuh,
berasosiasi dengan persentase permukaan kedap air
infiltrasi berhenti dan curah hujan berikutnya menjadi
pada tiap- tiap piksel (Xian, 2003). Tutupan
limpasan permukaan. Limpasan bawah permukaan
permukaan kedap air dengan persentase rendah
adalah air hujan yang infiltrat permukaan dan
akan memiliki nilai NDVI tinggi karena adanya
mengalir lebih lambat dalam perjalanan ke aliran dari
tutupan vegetasi yang dominan, demikian juga
limpasan permukaan (Horner, 1994).
sebaliknya.
Zero Artificial Runoff, berarti kondisi limpasan
Dasar NDVI adalah menghitung seberapa besar
permukaan karena sistem penggunaan lahan atas
penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama
wilayah di suatu daerah masih alami. Dengan
bagian daun, yang berkisar antara -1 sampai dengan
demikian, jumlah limpasan yang terjadi sangat sedikit.
+1 (WWF-Uni-Eropa-ITB, 2007).
(Irawan dkk., 2011).
2
lebih sama dengan 25 Km dengan interval 3 jam 1) Pendekatan Persentase Tutupan Permukaan
terhitung dari pukul 00.00 sampai 21.00. Kedap Air (TPKA). Metode pendekatan ini
digunakan apabila nilai NDVI yang dihasilkan
3.2 Metodologi persamaan menghasilkan nilai < -0,0607.
3.2.1 Curah Hujan Wilayah #$%& = '(. *'+, **'. '+ + -'. .//
Dengan:
Pengolahan data curah hujan dalam kajian ini TPKA : Nilai persentase Tutupan Permukaan Kedap
digunakan metode aritmatik karena bentuk luasan data Air (TPKA)
TRMM berupa persegi. Metode ini dipakai untuk x : Nilai NDVI
daerah-daerah datar dengan pos pengamatan hujan
tersebar merata, dan masing-masing pos mempunyai Nilai TPKA di atas akan digunakan untuk
hasil pengamatan yang tidak jauh berbeda dengan melakukan estimasi koefisien dengan persamaan
hasil rata-ratanya. matematis:
Metode ini dapat dilakukan dengan cara membagi C = 0.05 +0.91TPKA
rata pengukuran pada semua pos hujan terhadap
sejumlah stasiun dalam daerah aliran yang Dengan:
bersangkutan. C = Koeffisien Aliran
1+ 2+ 3++
Pr = 2) Pendekatan Persentase Kerapatan Vegetasi (LPT).
dimana: Metode pendekatan ini digunakan apabila nilai
Pr = Tinggi hujan rata-rata. NDVI yang dihasilkan menghasilkan nilai >
P1, P2, P3, P4, Pn = Tinggi hujan pada tiap stasiun 0,4202.
pengamatan.
n = Jumlah stasiun pengamatan LPT = 127.9x 2.479
Dengan:
3.2.2 Distribusi Kumulatif LPT : Nilai persentase Kerapatan Vegetasi (LPT)
x : Nilai NDVI
Diasumsikan bahwa pola curah hujan yang
terjadi 1989 2006 tidak memiliki perubahan yang Persamaan matematis untuk melakukan
signifikan. estimasi koefisien aliran berdasarkan
Adapun metode penentuan probabilitas nilai pendekatan di atas, adalah:
curah hujan ekstrim yang mungkin terjadi dengan
metode Fungsi Distribusi Kumulatif (cumulative C = -LPT +1
distribution function /distribution function) 3) Sedangkan untuk nilai NDVI antara -0,0607
didefinisikan sebagai : sampai 0,4202, akan mendapatkan nilai
koefisien limpasan (C) sebesar 0,5
( )= ( )= p()
Di dalam transformasi nilai NDVI menjadi Berdasarkan pola curah hujan tahunan, dapat
koefisien limpasan, ada tiga pendekatan yang akan diasumsikan bahwa tidak adanya perubahan pola
digunakan. curah hujan yang sangat signifikan sepanjang tahun
3
pengamatan. Nilai curah hujan sepanjang tahun Perubahan nilai koefisien runoff pada tahun 1997
pengamatan kemudian diolah dengan menggunakan sampai 1996 mengalami penurunan untuk sub DAS
metode distribusi kumulatif. Cikapundung dari 0.4298 menjadi 0.3045 dan sub
Dari kelima Sub DAS yang memiliki probabilitas DAS Citarik dari 0.4054 menjadi 0.3261. Peningkatan
Intensitas hujan terbesar adalah Sub DAS terjadi untuk sub DAS Ciwidey sebesar 0.2157, sub
Cikapundung dengan nilai 9.2763 mm untuk Intensitas DAS Cisangkuy sebesar 0.103, dan sub DAS Cirasea
95%, 6.0219 mm untuk Intensitas 90%, dan 4.2251 sebesar 0.0682.
mm untuk Intensitas 85%.
Tabel 4.3 Tabel nilai koefisien runoff di masing
Tabel 4.1 Tabel Nilai CDF Sub DAS Citarum masing Sub DAS
Koefisien RunOff Rata-Rata Delta Koefisien Runoff Delta Koefisien Runoff
Hulu Sepanjang Tahun Pengamatan Nama Sub DAS
1989 1997 2006 89-97 97-06
4
Tabel 4.5 Tabel Perubahan Nilai Debit pada Pola dari tahun 1989 sampai 1997 berbanding lurus dengan
Musiman pola perubahan koefisien runoff direntang tahun
Q (m3/s) 89-97 Q (m3/s) 97-06
Nama Sub DAS
DJF JJA DJF JJA pengamatan yang sama. Namun perubahan nilai debit
Cikapundung
117.80
153.81
8.74
21.45
-91.27
-119.16
-6.77
232.51
dari tahun 1997 sampai 2006 tidak lagi identik dengan
204.22 469.00 -158.22 -158.22 perubahan nilai koefisien runoff.
4.49 0.02 8.28 0.03
Cirasea 6.62 0.92 12.20 66.50
Perubahan pola debit pada rentang tahun 1997
10.30 70.54 18.98 18.98 samapai 2006 dimungkinkan karena pengaruh
1.43 0.27 17.76 3.40
Cisangkuy 2.07 0.44 25.78 97.71 perubahan tutupan lahan yang dapat dilihat pada sub
3.14 104.19 39.07 39.07 bab 4.4. Penurunan jumlah lahan dengan vegetasi
44.82 1.95 -40.08 -1.75
Citarik 56.50 7.66 -50.53 172.63 sedang sampai rimbun yang terjadi antara tahun 1989
77.65 286.05 -69.44 -69.44
-15.31 -3.70 26.28 6.35
sampai 1997 memungkinkan terjadinya peningkatan
Ciwidey -21.71 -5.43 37.26 76.79 nilai debit. Sebaliknya, peningkatan jumlah vegetasi
-37.93 58.32 65.10 65.10
terjadi diselang waktu berikutnya diindikasikan
sebagai penyebab perubahan pola debit.
Perubahan debit maksimum untuk tahun 1989 5. Kesimpulan
sampai 1997 terjadi di sub DAS Cikapundung,
sedangkan perubahan debit minimum terjadi pada sub Nilai perubahan koefisien runoff dari
DAS Ciwidey. Untuk tahun 1997 2006 perubahan tahun1989 sampai 1997 menunjukkan
debit maksimum terjadi di sub DAS Ciwidey, penurunan sebesar 0.0662 dan dari tahun
sedangkan perubahan minimum terjadi di sub DAS 1997 sampai 2006 menunjukkan
Citarik. peningkatan sebesar 0.0294.
4.4 Parameter yang Mempengaruhi Nilai Peningkatan nilai debit terbesar terjadi di
Perubahan Nilai Debit sub DAS Cikapundung untuk tahun 1989
sampai 1997 sebesar 162.06 m3/s dan sub
Perubahan Nilai debit berbanding lurus dengan DAS Ciwidey untuk tahun 1997 sampai
perubahan nilai koefisien runoff. Perubahan maksimum nilai 2006 sebesar 46.43 m3/s. Penurunan nilai
koefisien runoff untuk tahun 1989 sampai 1997 terjadi pada debit terbesar terjadi di sub DAS Ciwidey
sub DAS Cisangkuy dan perubahan minimum terjadi di sub
DAS Ciwidey. Namum secara kumulatif perubahan untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar
minimum terjadi di sub DAS Citarik. 27.05 m3/s dan sub DAS Cikapundung
Perubahan nilai koefisien runoff dari tahun 1997 untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar -
sampai 2006. Perubahan nilai maksimum terjadi pada sub 125.55 m3/s.
DAS Ciwidey, sedangkan perubahan nilai minimumnya
terjadi pada sub DAS Cisangkuy. Namun secara kumulatif
Hal tersebut menunjukkan nilai koefisien
perubahan minimum terjadi pada sub DAS Cikapundung. runoff merupakan faktor utama dalam
peningkatan debit banjir.
Tabel 4.6 Faktor yang mempengaruhi nilai perubahan Faktor perubahan nilai debit tidak hanya
debit untuk sepanjang tahun pengamatan ditentukan oleh perubahan nilai koefisien
runoff. Kondisi tutupan lahan juga
diindikasikan besar pengaruhnya terhadap
pola perubahan nilai debit
REFERENSI
BPLHD. (2004). West Java Annual State of The
Environment Report. Bandung: Badan Pengendalian
Tabel 4.3 Faktor yang mempengaruhi nilai perubahan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat,.
debit untuk pola musiman
Direktorat-Jendral-Penataan-Ruang. (2007, September).
Berita Penataan Ruang. Retrieved November 13, 2011,
from
http://www.penataanruang.net/taru/upload/berita_cetak/Edis
i-2007/BeritaPR-9.pdf
5
Irawan, E., Hukama, I. R., & Dauwani, K. N. (2011). ZERO
ARTIFICIAL RUNOFF KOTA BANDUNG DENGAN
PENGOLAHAN CITRA SATELIT.
6
Gambar 2 Peta Koefisien Runoff Sub DAS Citarum
Hulu