Anda di halaman 1dari 32

BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

IDENTIFIKASI PASIEN

Nama Lengkap : Nn. Ika Ori Irawan

Jenis Kelamin : Perempuan

Tgl.Lahir/Umur : 23-10-1993 / 23 tahun

Suku Bangsa : Lampung

Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan :-

Alamat : Ulu Belu, Tanggamus

ANAMNESIS

Diambil dari : Auto-Alloanamnesis

Tanggal : 15 Januari 2017

Waktu : 07.00 WIB

Keluhan Utama : Perut membesar

Keluhan Tambahan : Kaki bengkak, Urin sedikit

1
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien Perempuan, usia 23 tahun datang dengan keluhat perut membesar sejak 1
bulan SMRS. Perutnya dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah
tegang. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada kedua kaki diikuti dengan
perut yang membesar. Bengkak disertai rasa nyeri. Tidak ada mual dan muntah.
Riwayat demam tidak ada sebelumnya. Buang air kecil berwarna kuning pekat
dan volume berkurang sejak + 2 minggu lalu. Urine berwarna merah disangkal.
Buang air besar pasien lancar dengan konsistensi cair dengan warna kekuningan.
Nafsu makan pasien baik dan pasien meresa sesak.

Riwayat Penyakit Dahulu

Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Dari riwayat penyakit dalam keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki keluhan
yang sama seperti pasien.

Berat Badan

Berat badan rata-rata (kg) : 38 kg

Berat badan sekarang (kg) : 40 kg

Riwayat Makanan

Frekuensi /hari : 2-3 kali/hari

Jumlah /hari : 3 piring sehari dengan porsi sedikit

Variasi /hari : bervariasi

2
Nafsu makan : Menurun sejak sakit

Pendidikan
( ) SD ( V ) SLTP (x) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Kursus ( ) Tidak Sekolah

PEMERIKSAAN JASMANI (Tanggal 16 Oktober 2015)


Pemeriksaan Umum
Tinggi badan : 147 cm
Berat badan : 40 kg
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 100 x/menit, tegangan dan isi cukup
Pernapasan (frek.& tipe) : 24 x/menit
Suhu : 36,80C
Keadaan gizi : normal (IMT = 18,51)
Kesadaran : Compos Mentis
Sianosis :-
Edema umum :-
Cara berjalan : Normal
Mobilitas (aktif/pasif) : pasif

ASPEK KEJIWAAN
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses berpikir : Wajar

KULIT
Warna : Asianosis, sawo matang
Pertumbuhan rambut : warna hitam, tidak mudah rontok
Pembuluh darah : tidak terlihat
Suhu raba : afebris
Lembab/kering : kering

3
Turgor : baik
Ikterus : Tidak
Lapisan lemak : Cukup
Edema : Ekstremitas inferior

KELENJAR GETAH BENING


Tidak teraba pembesaran

KEPALA
Ekspresi wajah : wajar
Permukaan wajah : normal
Simetri muka : simetris
Rambut : hitam

MATA
Exopthalmus :-
Enophtalmus :-
Kelopak : normal
Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-

TELINGA
Normal

MULUT
Gigi geligi dan gusi : tidak ada caries
Faring : tidak hiperemis
Lidah : tidak kotor

LEHER

4
Tekanan Vena Jungularis (JVP) : 5+2 cm H20 (Normal)
Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran
Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran

DADA
Bentuk : simetris
Pembuluh darah : normal
Buah dada : normal

PARU-PARU DEPAN
Inspeksi Simetris
Palpasi Fremitus taktil dan vokal kiri = kanan
Perkusi Kiri : Sonor
Kanan : Sonor
Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), Ronkhi (-)
Kanan : vesikuler ( + ), wheezing (-), Ronkhi (-)

BELAKANG
Inspeksi Simetris
Palpasi Fremitus Simetris
Perkusi Kiri : Sonor
Kanan : Sonor
Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), Ronkhi (-)
Kanan : vesikuler ( + ), wheezing (-), Ronkhi (-)

JANTUNG
Inspeksi : ictus cordis terlihat di linea midclavicula sinistra ICS 5
Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS 5
Perkusi
Batas pinggang jantung : linea parasternal sinistra ICS 3
Batas kanan jantung : linea parasternal dextra ICS 5

5
Batas kiri jantung : linea midclavicula sinistra ICS 5
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : cembung
Palpasi
Dinding perut : Tegang
Hati : Tidak Teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-), nyeri cva (-)
Perkusi : Redup, Shifting Dullnes (+), Fluid Wave (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal (7 kali/ menit)

ALAT KELAMIN (tidak ada indikasi)

ANGGOTA GERAK
Lengan Kanan Kiri
Otot tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Tonus : normal normal
Massa : tidak teraba tidak teraba
Sendi : normal, nyeri (-) normal, nyeri (-)
Gerakan : normal normal

Tungkai dan Kaki


Luka : tidak ditemukan
Varises : (-)
Otot (tonus dan massa) : normotonus
Sendi : nyeri sendi (-)
Gerakan : aktif
Edema : (+) / (+)

6
REFLEKS
Tidak ada kelainan

LABORATORIUM
Darah Lengkap (20/11/2015)

Pemeriksaan Hasil Normal


7,7 g/dl 12-16 g/dl
Hb
21 vol% 37-47 vol%
Ht

Leukosit 7.000/mm3 4800-10.800/mm3

Trombosit 244.000/ mm3 150.000-400.000/ mm3

LED 50 mm/jam 0-15 mm/jam

Basofil 0% 0-1 %

Eosinofil 0% 2-4%

Batang 0% 3-5%

Segmen 57% 50-70%

Limfosit 35% 25-40%

Monosit 8% 2-8%
Kimia Darah (20/11/2015)

Pemeriksaan Hasil Normal

SGOT 16 < 31 U/L

SGPT 8 < 31 U/L

Protein Total 4,8 6,4 8,3 g/dl

Albumin 1,2 3,5 5,2 g/dl

Ureum 174 mg/dl 13 - 43 mg/dl


0,6 - 1,0 mg/dl
Creatinin 16,50 mg dl

Kolesterol Total 230 128 222 mg/dl

7
HDL 18 37 83 mg/dl

LDL 148 71 164 mg/dl

Trigliserida 398 37 144 mg/dl

RO
Foto Thorax Kesan: Efusi pleura bilateral

RINGKASAN

Pasien Perempuan bernama Ny Y T, usia 23 tahun datang dengan keluhat perut


membesar sejak 1 bulan SMRS. Perutnya dirasakan semakin hari semakin
membesar dan bertambah tegang. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada
kedua kaki diikuti dengan perut yang membesar. Bengkak tidak disertai rasa nyeri.
Tidak ada mual dan muntah. Riwayat demam tidak ada sebelumnya. Buang air
kecil berwarna kuning pekat dan volume berkurang sejak + 2 minggu lalu. Urine
berwarna merah disangkal. Buang air besar pasien lancar dengan konsistensi cair
dengan warna kekuningan. Nafsu makan pasien baik dan pasien merasa sesak.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 100/80 mmHg, nadi 100
x/menit, pernafasan 24 x/menit. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi
cembung, palpasi tegang, perkusi redup, Shifting Dullness (+), Fluid Wave (+),
Hepar lien tidak teraba, bising usus normal.

Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 7,7 g/dl, Protein total 4,8 g/dl,
Albumin 1,2 g/dl, ureum 174 mg/dl, creatinine 16, 50 mg/dl , Kolesterol Total 230
mg/dl, LDL 148 mg/dl, Trigeliserida 398 mg/dl.

DIAGNOSIS
Sindroma Nefrotik + Edema anasarka

8
DIAGNOSIS BANDING
Nefritis
Gagal Ginjal Akut

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Biopsi Renal
Pemeriksaan Serologi, anti dsDNA
PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi

Tirah baring
Pasang Kateter
Diit dengan :
Energi cukup (35 kkal/KgBB/hari) ; 1400 kkal/hari

Protein sedang 1 gr/KgBB/hari ; 40 gram/hari

Lemak sedang 15 29 % dari kebutuhan energi total

Natrium dibatasi 1 3 gram/hari

Intake cairan dibatasi 600cc/hari

Farmakologi
Tranfusi PRC 600 cc
Infus NaCl VIII gtt/m
Injeksi Furosemide 2 Ampul / 12 Jam
Bicnat tablet 3x1
Asam Folat tablet 3x1
Amlodipin 10 mg tablet 1x1
Simvastatin 20mg tablet 1x1
Albumin 25%

9
FOLLOW UP

Hari/Tanggal Keluhan Status Present Penatalaksanaan

10
KU : tampak sakit Diit dengan :
sedang Energi cukup (35
Kes : CM kkal/KgBB/hari) ;
1400 kkal/hari
Vital sign
Nadi : 145x Protein sedang 1
RR : 68x gr/KgBB/hari ; 40
T : 36,7c gram/hari
TD : 220/130 Lemak sedang 15
29 % dari kebutuhan
Pem.Fisik
energi total
Konjungtiva
Anemis -/- Natrium dibatasi 1
Abdomen: 3 gram/hari
cembung,tegang,
shifting dullness Intake cairan
(+) , Fluid Wave dibatasi
- Perut terasa (+), bising usus (+)
begah 600cc/hari
- Perut Hasil Lab:
15 Januari Tranfusi PRC 600
membesar Hb 7,7,8 g/dl
2017
- BAK sedikit Protein total 4,8 cc
-Sesak
g/dl, Infus NaCl VIII
-Kaki Bengkak
Albumin 1,2 g/dl,
ureum 174 mg/dl, gtt/m
creatinine 16, 50 Injeksi Furosemide
mg/dl,
2 Ampul / 12 Jam
Kolesterol Total
230 mg/dl, Bicnat tablet 3x1
LDL 148 mg/dl,
Asam Folat tablet
Trigeliserida 398
mg/dl, 3x1
Amlodipin 10 mg
tablet 1x1
Simvastatin 20mg
tablet 1x1

11
KU : Tampak sakit - Diet hari ke II
sedang - Injeksi Furosemide
Kes : CM
2 Ampul / 6 Jam
Vital sign Metil Prednisolone
TD :
130/70mmhg 8 mg 3x2
Nadi : 96x Omeprazole 20 mg
RR : 20x
T : 36,3c tablet 2x1 AC
- Perut Asam Folat tablet
Membesar Pem.Fisik
-BAK sedikit Konjungtiva 3x1
16 Januari Anemis -/-
-Kaki bengkak
2017 Abdomen: Micardis 80 mg
-Nafas sesak
cembung,tegang, tablet 0-0-1
shifting dullness
(+) , Fluid Wave Simvastatin 20mg
(+), bising usus (+) tablet 1x1
(+) ,bising usus
(+)

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM NEFROTIK

I. Anatomi dan Fisiologi Ginjal


Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilikus
dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada
bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang dewasa. Ginjal
mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus kontortus
proksimalis dan distalis dan dukturs koletivus, serta di lapisan dalam, medula yang
mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) Henie, vasa rekita
dan duktus koligens terminal.

Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang
keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri
renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada
daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk
arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yang terspesialisasi dalam dinding
arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus (mukula densa)
yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus jukstaglomeruler yang
mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman kapiler
glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen
glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar dari pada
arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke
tubulus dan medula.

Setiap ginjal mengandung sekitar satu juga neron (glomerulus dan tubulus terkait).
Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi maturasi
fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada nefron baru
yang dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif dapat
menyebabkan insufisiensi ginjal.

13
Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme
penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium yang mempunyai
sitoplasma sangat tipis yang berisi banyak lubang (fenestrasi). Membrana basalis
glomerulus (BMG) membentuk lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel
mesangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain. Membran
mempunyai 3 lapisan. (1) lamina densa yang sentralnya padat-elektron, (2) lamina
rara interna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel endotelian ; dan (3)
lamina rara eksterna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel. Sel
epitel viteviscera menutupi kapiler dan menonjolkan tonjolan kaki sitplasma,
yang melekat pada lamina rara eksternal. Di antara tonjolan kaki ada ruangan atau
celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan matriks) teletak di antara kapiler-
kapiler glomerulus pada sisi endotel membrana basalis dan menbentuk bagian
tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung
pada kepiler glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran
darah glomerulus, filtrasi dan pembangunan makromolekul (seperti kompleks
imun) dari glomerulius, melalui fagositosis intraseluler atau dengna pengakutan
melalui saluran interseluler ke daerah jukstagomerulus. Kapsula Bowman, yang
mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membrana basalis, yang merupakan
kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimalis, dan
(2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera.

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan


ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini
dikotnrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus. Fungsi utama
ginjal mencakup, fungsi ekskresi yaitu mempertahankan osmolalitis plasma sekitar
258 m osmol dengan mengubah-ubah ekresi air, mempertahankan pH plasma
+
skitar 7,4 denganmengeluarkan kelebihan H dan membentuk kembali HCO3,
mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea,
asam urat dan kreatinin dan fungsi Non-ekskresi yaitu menghasilkan renin-
penting untuk pengaturan tekanan darah, menghasilkan eritropoietin-faktor
penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang, metabolisme
vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

14
Gambar 1. Anatomi Ginjal

II.Definisi
Sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala, yang bercirikan hilangnya protein
(albumin) melalui ginjal (urin) dalam jumlah cukup banyak, yang berhubungan
dengan disfungsi ginjal. Penyakit ini mudah dikenali dengan adanya berbagai
macam gejala klinis yang terdiri dari (1). proteinuria massif (>3,5 g/ 1,73 m 2/ 24
jam pada orang dewasa atau 40 mg/m/jam pada anak-anak), (2).
hipoalbuminemia (<3 g/dl), (3). edema (penumpukan cairan dalam jaringan di
seluruh badan), dan (4). hiperlipidemia (>250 mg/dl). Adakalanya diikuti dengan
gejala lain seperti lipiduria, hiperkoagubilitas, hematuri, hipertensi, atau
menurunnya fungsi ginjal.

III.Etiologi
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung
(connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik
seperti tercantum pada tabel dibawah.

Tabel Klasifikasi dan Penyebab Sindroma Nefrotik:

I. Glomerulonefritis primer:
- GN lesi minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal (GSF)

15
- GN membranosa (GNMN)
- Gn membranoproliferatif (GNMP)
- GN proliferative lain

II. Glomerulonefritis sekunder akibat:


Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra
Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma
Hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjal.

Penyakit jaringan penghubung


Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid,
MCTD (mixed connective tissue disease)

Efek obat dan toksin


Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas,
penisilamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin.

Lain-lain :
Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi
alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan
lebah

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab sindroma nefrotik


yang paling sering. Dalam kelompok glomerulonefritis primer, glomerulonefritis
lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS),
glomerulonefritis membranosa (GNMN), dan glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya
pada glomerulonefrotis pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B,
akibat obat misalnya obat anti inflamasi nonsteroid atau preparat emas organik,
dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan
diabetes mellitus.

16
IV. Patofisiologi
Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala
klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria
dinyatakan berat untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih
ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau
lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria
berat.

Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada
kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir
seluruhnya terdiri atas albimin dan disebut sebagai proteinuria selektif.
Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan
membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin
plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan
adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya
berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid. Namun karena
selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk
membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan
pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

Perubahan pada filter kapiler glomerulus


Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal
bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat
penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun
terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin.
Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan
negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan
pada kedua-duanya.

17
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina
rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya
molekul muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan
sulfat heparan dengan hepartinase mengakibatkan timbulnya albuminaria.
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada
tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di
daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan
tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul
140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam sialat
ditemukan terbanyak kelainan pada model eksperimenal nefrosisis
aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal
sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya
proteinuria.

Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal.
Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya
dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan
terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia.
Namun keadaan ini tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat
kembali normal atau hampri normal dengan atau tanpa perubahan pada laju
ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang
ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal.
Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah
normal, walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular
secara relatif, maka katabolisme pool fraksional yang menurun ini
sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal
dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju
katabolisme absolut yang normal albumin plasma yang rendah tampaknya
disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan
meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan

18
karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui
daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah
menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B
globulin dna figrinogen meningkat secara relatif atau absolut.
Meningkatnya - 2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein
berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang
normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat
meningkat dan IgG menurun.

Kelainan metabolisme lipid


Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak
lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik
antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih
bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia
ringan. Pada pasien dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul
hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya
disebabkan oleh penyakti ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi
lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotien densitas rendah
(LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein
densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak
dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap
rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan
oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti
menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi
lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan
sekudner terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun
meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang
normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -
glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum
kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala
ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena ofek yang

19
sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus pilivinilpirolidon tanpa
mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap
meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL
dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuensi yang menetap bahkan
selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik
lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di
dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester
kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila dilihat
dengan cahaya polarisal.

Edema
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi natrium dan edema pada
sindrom nefrotik

1. Hipotesis Underfill
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah
menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes
ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan
terbentuknya edema.

20
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.
Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi
timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul
sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap
normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi
cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan
mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial.
Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga
edema stabil.

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada
semua pasien dengan SN.

2. Hipotesis Overfill
Pada hipotesis ini mekanisme utamanya adalah defek pada tubulus primer di
ginjal (intrarenal). Di tubulus distal terjadi retensi natrium (primer) dengan
akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling
cairan ke jaringan interstitial. Pada hipotesis ini karena terjadi hipervolemia,
sistem RAA atau aldosteron akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar

21
ANP meningkat karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na
tetap berlangsung sehingga terjadi edema.

2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik.Kelompok


pertama (underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi
pada SN kelainan minimal (minimal change nephrotic syndrome = MCNS).
Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer
dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus
(LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah. Kelompok ke dua
(overfill) disebut tipe nefritis biasanya di jumpai pada SN bukan kelainan
minimal (BKM) atau glomerulonefritis kronik. SN bukan kelainan minimal
pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya
hipervolemia juga sering di jumpai hipertensi, kadar renin dan aldosteron
rendah atau normal dan ANP tinggi.

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan


mungkin saja kedua proses tersebut berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit gromerulus
mungkin satu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.

V. Manisfestasi klinis
a. Edema
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema
dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema
persisten dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah klinik
utama bagi mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang
edemanya tidak dapat segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua
kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang besar
sebelum kedokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan
kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertabah, baik lambat atau cepat
atau dapat menghilangkan dan timbul kembali. Selama periode ini edema
periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun
edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah
sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Edema

22
berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam posisi
berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit
secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah
mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan
skrotum atau labia, bahkan efusi plerura. Muka dan tungkai pada pasien
ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti
malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.

b. Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering
dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya
tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema
submukosa di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat,
atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh.
Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak
ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan
karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri
dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan
kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai
akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif
steroid dan persisten. Pada keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan
prolaps ani.

Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat
furosemid.

23
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit
berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.

VI. Diagnosis
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratoriumberupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl) karena protein vital ini dibuang melalui urin dan
pembentukannya terganggu, edema ( kadar natrium dalam urin rendah dan kadar
kalium dalam urun tinggi ), hiperlipidemi, lipiduri dan
hiperkoagulabilitas.Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal.

VII. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Pengobatan baku kortikosteroid adalah prednison atau prenisolon
dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB) setiap hari selama 4 minggu,
dilanjutkan denan 40 mg/m2/hari secara intermiten (3 hari dalam 1
minggu) atau dosis alternating (selang sehari) selama 4 minggu. Bila
terjadi kambuh setelah pengobatan dihentikan, maka pengobatan
diulang dengan cara buku yaitu dosis penuh tiap hari sampel terjadi
remisi dan dilanjutkan dengan 4 minggu dosis intermiten atau selang
sehari. Dengan memperpanjang pemberian prednison tersebut
diharapkan akan mengurangi terjadinya kambuh sering, tanpa
menambah risiko efek samping steroid.

2. Sitostatika

24
Penggunaan obat sitostatika telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dan
dapat memperpanjang remisi, bahkan pada beberapa penderita
menimbulkan remisi permanen. Siklosfosfamid dan klorambusil
merupakan obat yang banyak dipakai dengan efek yang hampir sama.
a. Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB selama 8
minggu dilaporkan efektif dalam mengurangi jumlah kambuh pada
SNP-KS. Sekitar 60% kasus yang diberi siklofosfamid tetap remisi
selama 2 tahun setelah obat dihendikan dan 40% kasus tetap remisi
selama 5 tahun.
b. Klorambusil
Klorombusil mempunyai efek sama dengan siklofosfamid dalam
memperpanjang masa remisi SNP-KS dan SNP-DS. Studi
kolaboratif Jerman mendaptkan remisi 87% kasus selama 30 bulan
pada penderita kambuh sering.
3. Siklosporin A
Siklosporin A (Si A) adalah suatu imunosupresan yang banyak
digunakan pada transplantasi ginjal, merupakan obat alternatif lain di
samping steroid. SiA besifat menghambatr generasi dan aktival sel T
sitotoksik. Akhir-akhir ini SiA dicoba pada SNP-KS dan resisten
steroid. Pada kasus SNP-KS dan SNP-DS. Tejani dkk melaporkan 11
dari 13 kasus mengalami remisi dengan pemberian SiA selam 8
minggu. Niaudet dkk memberikan SiA 2-8 bulan, 80% dilaporkan
mengalami remisi. Namun bila obat dihentikan akan terjadi
kekambuhan kembali, sehingga dikatakan obat ini menimbulkan efek
dependen SiA. Pada kasus SNP-RS pemberian SiA tidak memberiakn
hasil memuaskan. Dosis yang dipakai adalah 5 mg/kgBB/hari,
disesuaikan dengan kadar SiA darah 200-400 /ml. Obat ini dapat
menimbulkan nefritis interstisialis sehingga pada pemberian jangka
panjang perlu dilakukan pemantauan denan biopsi ginjal. karena obat
ini mahal harganya dan hasilnya kurang memuaskan, pemakaian obat
ini pada kasus SN belum dapat diterima sebagai pengobatan alternatif.

25
Jika SiA akan dipakai sebaiknya untuk kasus yang sudah tidak mempan
dengan obat sitostatika lainnya.

4. Levamisol
Levamisol adalah suatu anti hemintik yang ternyata mempunyai efek
imunologis menstimuloasi sel T. sesuai dengan teori Shalhoub pada
sindrom nefrotik ditemukan adanya gangguan fungsi sel T. akhir-akhir
perhatian pada levamisol muncul kembali dengan waktu pemberian
yang lebih lama. Perhimpunan Nefrologi Pediatri Inggris melakukan uji
klinis dengan kontrol pada kasus SNP-DS dan melaporkan bahwa
levamisol dapat memperpanjang masa remisi. Efek samping yang
dilaporkan hanya sedikit dan sebagaian besar penderita adalah SNP-
KM. Dosis yang dipakai adalah 2-3 hari (+ 4 bulan) pada 61 kasus
SNP-DS. Pada kasus yang diberi levamisol, 14 orang anak tetap dalam
remisi sedangkan pada yang tidak diberi levamisol hanya 4 orang anak
yang tetap remisi. Efek samping yang dapat ditemukan adalah gejala
gastrointestinal, mual dan muntah, serta agranulositosis yang bersifat
reversibel apabila obat dihentikan.

VIII. Komplikasi
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan
tubuh yaitu gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG,
abnormalitas komplemen, penurunan konsentrasi transferin dan seng,
serta pungsi lekosit yang berkurang. Infeksi yang serign terjadi berupa
pertonitis primer, selulitas infeksi saluran kemih, bronkpneumonia dan
infeksi virus.

2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi


Pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan
tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan
ini disebabkan oleh faktor-faktor :

26
perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan fakto
V.X.VII. Fibrinogen dan fakto von Willebrand.
perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia
perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid
Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII
dan memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi
besar kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah
agregasi trombost.
Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan
angka hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi
fibrinogen akan meningkat.

3. Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein


Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL
seta apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapt normal atau
turun khususnya HDL 2. Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak
terkontrol dapat mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah
koroner. Aorta dan arteria renalis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
penyakti jantung eskemik ataupun trombosis arteri Renalis.
Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme
karbohidrat belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang
mensintesis protein lebih besar akan meningkatkan ptikogenolisis,
selain itu didapatkan penignkatan ambang vespin terhadap insulin dan
glukosa. Hal ini dapat terjadi hipoalbuminemia pada keadaan malnutrisi
kronik. Sejumlah protein plasma yang penting pada transport besi,
hormon dan obat-obatan, karena molekulnya kacil, dengan mudah
keluar melalui urin, kehilangan zat-zat tersebut akan mengakibatkan
hal-hal sebagai berikut :
Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia
Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya

27
Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan
hipogensia dan penurunan sel-sel imunitas.
Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi
metabolisme kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper
paratiroid.
Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay
dosis lebih besar terhadap kortikosteroid.
Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita
jatuh dalam keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi
protein diberikan 2-3 5 gram/kg/24 jam untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen. Diet rendha protein, meski dapat mengurangi
proteinuria dalam jangka penek mempunyai risiko kesimbangan negatif
di masa mendatang.

4. Gagal Ginjal Akut (GGA)


Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan
pada penderita SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal.
diperkirakan akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat
dari GG pada penderita SN cukup serius. 18% meninggal. 20% dapt
bertahan tapi tidak ada perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan dialisis.

IX. PROGNOSIS
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain
umur, jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan
histopatologi ginjal. prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur
lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat
penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal
mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih baik dibandingkan
dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada glomerulonefritis
proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan dengan
gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya
pneumonia).

28
29
BAB III
ANALISIS KASUS

Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Dalam kasus ini pasien didiagnosis mengalami sindroma
nefrotik berdasarkan hasil anamnesis dimana pasien mengeluh urine sedikit,
badan bengkak terutama di kedua tungkai kaki dan perut semakin hari semakin
membesar. Dilihat dari gejala klinis yang timbul, yaitu pasien merasa lemas dan
perut terasa penuh selama 1 bulan yang semakin membesar , penurunan nafsu
makan, sulit BAK dan BAK sedikit. Lalu dari pemeriksaan fisik didapatkan
penurunan tekanan darah, edema palpebra, nyeri tekan epigastrium, perut
cembung dan tegang dan penimbunan cairan yaitu adanya edema palpebra, perut
cembung dan tegang. Sementara pada pemeriksaan penunjang didapatk albumin
rendah lalu terdapat peningkatan bermaka pada ureum dan kreatinin, sulit BAK
dan BAK sedikit menunjukkan adanya gangguan ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

30
1. Purnawan Junadi, Atiek. S. Soemasto, Gusna Amelz. Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi Kedua, Penerbit Media Aescullapius, FKUI, 1982.
2. Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc, KPTI, Ilmu Penyakit Dalam,
Diagnosis dan Terapi. p : 19 - 23
3. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP RSHS.

4. Rani,azis A, Soegondo,sidartawan, Uyainah Z,Anna. Panduan Pelayanan

Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.edisi 3. Jakarta :


Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Persatuan Ahli Ilmu Penyakit Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
IV, Balai Penerbit FKUI, Salemba, 2006

31
32

Anda mungkin juga menyukai

  • BST DR HENDRA G
    BST DR HENDRA G
    Dokumen24 halaman
    BST DR HENDRA G
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • USG (Ultrasonography)
    USG (Ultrasonography)
    Dokumen4 halaman
    USG (Ultrasonography)
    miaer
    Belum ada peringkat
  • Keterangan Tambahan
    Keterangan Tambahan
    Dokumen3 halaman
    Keterangan Tambahan
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Jurnal
    Kata Pengantar Jurnal
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar Jurnal
    Hanif Latif
    Belum ada peringkat
  • Infertilitas - COVER
    Infertilitas - COVER
    Dokumen4 halaman
    Infertilitas - COVER
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii PDF
    Bab Ii PDF
    Dokumen32 halaman
    Bab Ii PDF
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Algoritma Penanganan Infertilitas WHO 2004
    Algoritma Penanganan Infertilitas WHO 2004
    Dokumen3 halaman
    Algoritma Penanganan Infertilitas WHO 2004
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    100% (1)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen24 halaman
    Bab I
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Case Report
    Case Report
    Dokumen20 halaman
    Case Report
    Hera Julia Garamina
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Peb
    Peb
    Dokumen33 halaman
    Peb
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus
    Laporan Kasus
    Dokumen36 halaman
    Laporan Kasus
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis
    Hepatitis
    Dokumen33 halaman
    Hepatitis
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Pratiwi Wulandari
    Pratiwi Wulandari
    Dokumen54 halaman
    Pratiwi Wulandari
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Referat Vertigo
    Referat Vertigo
    Dokumen36 halaman
    Referat Vertigo
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    100% (1)
  • Pengantar Farmakologi
    Pengantar Farmakologi
    Dokumen1 halaman
    Pengantar Farmakologi
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Referat TB Paru BAB II
    Referat TB Paru BAB II
    Dokumen40 halaman
    Referat TB Paru BAB II
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat
  • Referat DOTS
    Referat DOTS
    Dokumen21 halaman
    Referat DOTS
    Asoly 'axel Satu Gtu'
    Belum ada peringkat