LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
IDENTIFIKASI PASIEN
Agama : Islam
Pekerjaan :-
ANAMNESIS
1
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Perempuan, usia 23 tahun datang dengan keluhat perut membesar sejak 1
bulan SMRS. Perutnya dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah
tegang. Pada awalnya pasien mengalami bengkak pada kedua kaki diikuti dengan
perut yang membesar. Bengkak disertai rasa nyeri. Tidak ada mual dan muntah.
Riwayat demam tidak ada sebelumnya. Buang air kecil berwarna kuning pekat
dan volume berkurang sejak + 2 minggu lalu. Urine berwarna merah disangkal.
Buang air besar pasien lancar dengan konsistensi cair dengan warna kekuningan.
Nafsu makan pasien baik dan pasien meresa sesak.
Disangkal
Dari riwayat penyakit dalam keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki keluhan
yang sama seperti pasien.
Berat Badan
Riwayat Makanan
2
Nafsu makan : Menurun sejak sakit
Pendidikan
( ) SD ( V ) SLTP (x) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Kursus ( ) Tidak Sekolah
ASPEK KEJIWAAN
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses berpikir : Wajar
KULIT
Warna : Asianosis, sawo matang
Pertumbuhan rambut : warna hitam, tidak mudah rontok
Pembuluh darah : tidak terlihat
Suhu raba : afebris
Lembab/kering : kering
3
Turgor : baik
Ikterus : Tidak
Lapisan lemak : Cukup
Edema : Ekstremitas inferior
KEPALA
Ekspresi wajah : wajar
Permukaan wajah : normal
Simetri muka : simetris
Rambut : hitam
MATA
Exopthalmus :-
Enophtalmus :-
Kelopak : normal
Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-
TELINGA
Normal
MULUT
Gigi geligi dan gusi : tidak ada caries
Faring : tidak hiperemis
Lidah : tidak kotor
LEHER
4
Tekanan Vena Jungularis (JVP) : 5+2 cm H20 (Normal)
Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran
Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran
DADA
Bentuk : simetris
Pembuluh darah : normal
Buah dada : normal
PARU-PARU DEPAN
Inspeksi Simetris
Palpasi Fremitus taktil dan vokal kiri = kanan
Perkusi Kiri : Sonor
Kanan : Sonor
Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), Ronkhi (-)
Kanan : vesikuler ( + ), wheezing (-), Ronkhi (-)
BELAKANG
Inspeksi Simetris
Palpasi Fremitus Simetris
Perkusi Kiri : Sonor
Kanan : Sonor
Auskultasi Kiri : vesikuler (+), wheezing (-), Ronkhi (-)
Kanan : vesikuler ( + ), wheezing (-), Ronkhi (-)
JANTUNG
Inspeksi : ictus cordis terlihat di linea midclavicula sinistra ICS 5
Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS 5
Perkusi
Batas pinggang jantung : linea parasternal sinistra ICS 3
Batas kanan jantung : linea parasternal dextra ICS 5
5
Batas kiri jantung : linea midclavicula sinistra ICS 5
Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : cembung
Palpasi
Dinding perut : Tegang
Hati : Tidak Teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-), nyeri cva (-)
Perkusi : Redup, Shifting Dullnes (+), Fluid Wave (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal (7 kali/ menit)
ANGGOTA GERAK
Lengan Kanan Kiri
Otot tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Tonus : normal normal
Massa : tidak teraba tidak teraba
Sendi : normal, nyeri (-) normal, nyeri (-)
Gerakan : normal normal
6
REFLEKS
Tidak ada kelainan
LABORATORIUM
Darah Lengkap (20/11/2015)
Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 0% 2-4%
Batang 0% 3-5%
Monosit 8% 2-8%
Kimia Darah (20/11/2015)
7
HDL 18 37 83 mg/dl
RO
Foto Thorax Kesan: Efusi pleura bilateral
RINGKASAN
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
sedang, keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 100/80 mmHg, nadi 100
x/menit, pernafasan 24 x/menit. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi
cembung, palpasi tegang, perkusi redup, Shifting Dullness (+), Fluid Wave (+),
Hepar lien tidak teraba, bising usus normal.
Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 7,7 g/dl, Protein total 4,8 g/dl,
Albumin 1,2 g/dl, ureum 174 mg/dl, creatinine 16, 50 mg/dl , Kolesterol Total 230
mg/dl, LDL 148 mg/dl, Trigeliserida 398 mg/dl.
DIAGNOSIS
Sindroma Nefrotik + Edema anasarka
8
DIAGNOSIS BANDING
Nefritis
Gagal Ginjal Akut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Biopsi Renal
Pemeriksaan Serologi, anti dsDNA
PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
Tirah baring
Pasang Kateter
Diit dengan :
Energi cukup (35 kkal/KgBB/hari) ; 1400 kkal/hari
Farmakologi
Tranfusi PRC 600 cc
Infus NaCl VIII gtt/m
Injeksi Furosemide 2 Ampul / 12 Jam
Bicnat tablet 3x1
Asam Folat tablet 3x1
Amlodipin 10 mg tablet 1x1
Simvastatin 20mg tablet 1x1
Albumin 25%
9
FOLLOW UP
10
KU : tampak sakit Diit dengan :
sedang Energi cukup (35
Kes : CM kkal/KgBB/hari) ;
1400 kkal/hari
Vital sign
Nadi : 145x Protein sedang 1
RR : 68x gr/KgBB/hari ; 40
T : 36,7c gram/hari
TD : 220/130 Lemak sedang 15
29 % dari kebutuhan
Pem.Fisik
energi total
Konjungtiva
Anemis -/- Natrium dibatasi 1
Abdomen: 3 gram/hari
cembung,tegang,
shifting dullness Intake cairan
(+) , Fluid Wave dibatasi
- Perut terasa (+), bising usus (+)
begah 600cc/hari
- Perut Hasil Lab:
15 Januari Tranfusi PRC 600
membesar Hb 7,7,8 g/dl
2017
- BAK sedikit Protein total 4,8 cc
-Sesak
g/dl, Infus NaCl VIII
-Kaki Bengkak
Albumin 1,2 g/dl,
ureum 174 mg/dl, gtt/m
creatinine 16, 50 Injeksi Furosemide
mg/dl,
2 Ampul / 12 Jam
Kolesterol Total
230 mg/dl, Bicnat tablet 3x1
LDL 148 mg/dl,
Asam Folat tablet
Trigeliserida 398
mg/dl, 3x1
Amlodipin 10 mg
tablet 1x1
Simvastatin 20mg
tablet 1x1
11
KU : Tampak sakit - Diet hari ke II
sedang - Injeksi Furosemide
Kes : CM
2 Ampul / 6 Jam
Vital sign Metil Prednisolone
TD :
130/70mmhg 8 mg 3x2
Nadi : 96x Omeprazole 20 mg
RR : 20x
T : 36,3c tablet 2x1 AC
- Perut Asam Folat tablet
Membesar Pem.Fisik
-BAK sedikit Konjungtiva 3x1
16 Januari Anemis -/-
-Kaki bengkak
2017 Abdomen: Micardis 80 mg
-Nafas sesak
cembung,tegang, tablet 0-0-1
shifting dullness
(+) , Fluid Wave Simvastatin 20mg
(+), bising usus (+) tablet 1x1
(+) ,bising usus
(+)
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM NEFROTIK
Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang
keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri
renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada
daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk
arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yang terspesialisasi dalam dinding
arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus (mukula densa)
yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus jukstaglomeruler yang
mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman kapiler
glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen
glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar dari pada
arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke
tubulus dan medula.
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juga neron (glomerulus dan tubulus terkait).
Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi maturasi
fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada nefron baru
yang dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif dapat
menyebabkan insufisiensi ginjal.
13
Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme
penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium yang mempunyai
sitoplasma sangat tipis yang berisi banyak lubang (fenestrasi). Membrana basalis
glomerulus (BMG) membentuk lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel
mesangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain. Membran
mempunyai 3 lapisan. (1) lamina densa yang sentralnya padat-elektron, (2) lamina
rara interna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel endotelian ; dan (3)
lamina rara eksterna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel. Sel
epitel viteviscera menutupi kapiler dan menonjolkan tonjolan kaki sitplasma,
yang melekat pada lamina rara eksternal. Di antara tonjolan kaki ada ruangan atau
celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan matriks) teletak di antara kapiler-
kapiler glomerulus pada sisi endotel membrana basalis dan menbentuk bagian
tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung
pada kepiler glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran
darah glomerulus, filtrasi dan pembangunan makromolekul (seperti kompleks
imun) dari glomerulius, melalui fagositosis intraseluler atau dengna pengakutan
melalui saluran interseluler ke daerah jukstagomerulus. Kapsula Bowman, yang
mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membrana basalis, yang merupakan
kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimalis, dan
(2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera.
14
Gambar 1. Anatomi Ginjal
II.Definisi
Sindrom nefrotik adalah sekumpulan gejala, yang bercirikan hilangnya protein
(albumin) melalui ginjal (urin) dalam jumlah cukup banyak, yang berhubungan
dengan disfungsi ginjal. Penyakit ini mudah dikenali dengan adanya berbagai
macam gejala klinis yang terdiri dari (1). proteinuria massif (>3,5 g/ 1,73 m 2/ 24
jam pada orang dewasa atau 40 mg/m/jam pada anak-anak), (2).
hipoalbuminemia (<3 g/dl), (3). edema (penumpukan cairan dalam jaringan di
seluruh badan), dan (4). hiperlipidemia (>250 mg/dl). Adakalanya diikuti dengan
gejala lain seperti lipiduria, hiperkoagubilitas, hematuri, hipertensi, atau
menurunnya fungsi ginjal.
III.Etiologi
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung
(connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik
seperti tercantum pada tabel dibawah.
I. Glomerulonefritis primer:
- GN lesi minimal (GNLM)
- Glomerulosklerosis fokal (GSF)
15
- GN membranosa (GNMN)
- Gn membranoproliferatif (GNMP)
- GN proliferative lain
Lain-lain :
Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi
alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan
lebah
16
IV. Patofisiologi
Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala
klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria
dinyatakan berat untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih
ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau
lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria
berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada
kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir
seluruhnya terdiri atas albimin dan disebut sebagai proteinuria selektif.
Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan
membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin
plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan
adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya
berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid. Namun karena
selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk
membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan
pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
17
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina
rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya
molekul muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan
sulfat heparan dengan hepartinase mengakibatkan timbulnya albuminaria.
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada
tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di
daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan
tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul
140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam sialat
ditemukan terbanyak kelainan pada model eksperimenal nefrosisis
aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal
sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya
proteinuria.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal.
Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya
dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan
terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia.
Namun keadaan ini tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat
kembali normal atau hampri normal dengan atau tanpa perubahan pada laju
ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan seimbang
ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal.
Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah
normal, walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular
secara relatif, maka katabolisme pool fraksional yang menurun ini
sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal
dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju
katabolisme absolut yang normal albumin plasma yang rendah tampaknya
disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan
meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan
18
karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui
daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah
menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B
globulin dna figrinogen meningkat secara relatif atau absolut.
Meningkatnya - 2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein
berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang
normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat
meningkat dan IgG menurun.
19
sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus pilivinilpirolidon tanpa
mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap
meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL
dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuensi yang menetap bahkan
selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik
lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di
dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester
kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila dilihat
dengan cahaya polarisal.
Edema
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi natrium dan edema pada
sindrom nefrotik
1. Hipotesis Underfill
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah
menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes
ke ruang interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan
terbentuknya edema.
20
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.
Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi
timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul
sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap
normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi
cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan
mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial.
Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga
edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada
semua pasien dengan SN.
2. Hipotesis Overfill
Pada hipotesis ini mekanisme utamanya adalah defek pada tubulus primer di
ginjal (intrarenal). Di tubulus distal terjadi retensi natrium (primer) dengan
akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling
cairan ke jaringan interstitial. Pada hipotesis ini karena terjadi hipervolemia,
sistem RAA atau aldosteron akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar
21
ANP meningkat karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na
tetap berlangsung sehingga terjadi edema.
V. Manisfestasi klinis
a. Edema
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema
dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema
persisten dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah klinik
utama bagi mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang
edemanya tidak dapat segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua
kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang besar
sebelum kedokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan
kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertabah, baik lambat atau cepat
atau dapat menghilangkan dan timbul kembali. Selama periode ini edema
periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun
edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah
sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Edema
22
berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam posisi
berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit
secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah
mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan
skrotum atau labia, bahkan efusi plerura. Muka dan tungkai pada pasien
ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti
malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.
b. Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering
dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya
tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema
submukosa di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat,
atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang
kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh.
Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak
ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan
karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri
dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan
kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai
akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif
steroid dan persisten. Pada keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan
prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat
furosemid.
23
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit
berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.
VI. Diagnosis
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratoriumberupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl) karena protein vital ini dibuang melalui urin dan
pembentukannya terganggu, edema ( kadar natrium dalam urin rendah dan kadar
kalium dalam urun tinggi ), hiperlipidemi, lipiduri dan
hiperkoagulabilitas.Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal.
VII. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Pengobatan baku kortikosteroid adalah prednison atau prenisolon
dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB) setiap hari selama 4 minggu,
dilanjutkan denan 40 mg/m2/hari secara intermiten (3 hari dalam 1
minggu) atau dosis alternating (selang sehari) selama 4 minggu. Bila
terjadi kambuh setelah pengobatan dihentikan, maka pengobatan
diulang dengan cara buku yaitu dosis penuh tiap hari sampel terjadi
remisi dan dilanjutkan dengan 4 minggu dosis intermiten atau selang
sehari. Dengan memperpanjang pemberian prednison tersebut
diharapkan akan mengurangi terjadinya kambuh sering, tanpa
menambah risiko efek samping steroid.
2. Sitostatika
24
Penggunaan obat sitostatika telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dan
dapat memperpanjang remisi, bahkan pada beberapa penderita
menimbulkan remisi permanen. Siklosfosfamid dan klorambusil
merupakan obat yang banyak dipakai dengan efek yang hampir sama.
a. Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB selama 8
minggu dilaporkan efektif dalam mengurangi jumlah kambuh pada
SNP-KS. Sekitar 60% kasus yang diberi siklofosfamid tetap remisi
selama 2 tahun setelah obat dihendikan dan 40% kasus tetap remisi
selama 5 tahun.
b. Klorambusil
Klorombusil mempunyai efek sama dengan siklofosfamid dalam
memperpanjang masa remisi SNP-KS dan SNP-DS. Studi
kolaboratif Jerman mendaptkan remisi 87% kasus selama 30 bulan
pada penderita kambuh sering.
3. Siklosporin A
Siklosporin A (Si A) adalah suatu imunosupresan yang banyak
digunakan pada transplantasi ginjal, merupakan obat alternatif lain di
samping steroid. SiA besifat menghambatr generasi dan aktival sel T
sitotoksik. Akhir-akhir ini SiA dicoba pada SNP-KS dan resisten
steroid. Pada kasus SNP-KS dan SNP-DS. Tejani dkk melaporkan 11
dari 13 kasus mengalami remisi dengan pemberian SiA selam 8
minggu. Niaudet dkk memberikan SiA 2-8 bulan, 80% dilaporkan
mengalami remisi. Namun bila obat dihentikan akan terjadi
kekambuhan kembali, sehingga dikatakan obat ini menimbulkan efek
dependen SiA. Pada kasus SNP-RS pemberian SiA tidak memberiakn
hasil memuaskan. Dosis yang dipakai adalah 5 mg/kgBB/hari,
disesuaikan dengan kadar SiA darah 200-400 /ml. Obat ini dapat
menimbulkan nefritis interstisialis sehingga pada pemberian jangka
panjang perlu dilakukan pemantauan denan biopsi ginjal. karena obat
ini mahal harganya dan hasilnya kurang memuaskan, pemakaian obat
ini pada kasus SN belum dapat diterima sebagai pengobatan alternatif.
25
Jika SiA akan dipakai sebaiknya untuk kasus yang sudah tidak mempan
dengan obat sitostatika lainnya.
4. Levamisol
Levamisol adalah suatu anti hemintik yang ternyata mempunyai efek
imunologis menstimuloasi sel T. sesuai dengan teori Shalhoub pada
sindrom nefrotik ditemukan adanya gangguan fungsi sel T. akhir-akhir
perhatian pada levamisol muncul kembali dengan waktu pemberian
yang lebih lama. Perhimpunan Nefrologi Pediatri Inggris melakukan uji
klinis dengan kontrol pada kasus SNP-DS dan melaporkan bahwa
levamisol dapat memperpanjang masa remisi. Efek samping yang
dilaporkan hanya sedikit dan sebagaian besar penderita adalah SNP-
KM. Dosis yang dipakai adalah 2-3 hari (+ 4 bulan) pada 61 kasus
SNP-DS. Pada kasus yang diberi levamisol, 14 orang anak tetap dalam
remisi sedangkan pada yang tidak diberi levamisol hanya 4 orang anak
yang tetap remisi. Efek samping yang dapat ditemukan adalah gejala
gastrointestinal, mual dan muntah, serta agranulositosis yang bersifat
reversibel apabila obat dihentikan.
VIII. Komplikasi
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan
tubuh yaitu gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG,
abnormalitas komplemen, penurunan konsentrasi transferin dan seng,
serta pungsi lekosit yang berkurang. Infeksi yang serign terjadi berupa
pertonitis primer, selulitas infeksi saluran kemih, bronkpneumonia dan
infeksi virus.
26
perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan fakto
V.X.VII. Fibrinogen dan fakto von Willebrand.
perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia
perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid
Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII
dan memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi
besar kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah
agregasi trombost.
Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan
angka hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi
fibrinogen akan meningkat.
27
Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan
hipogensia dan penurunan sel-sel imunitas.
Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi
metabolisme kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper
paratiroid.
Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay
dosis lebih besar terhadap kortikosteroid.
Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita
jatuh dalam keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi
protein diberikan 2-3 5 gram/kg/24 jam untuk mempertahankan
keseimbangan nitrogen. Diet rendha protein, meski dapat mengurangi
proteinuria dalam jangka penek mempunyai risiko kesimbangan negatif
di masa mendatang.
IX. PROGNOSIS
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain
umur, jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan
histopatologi ginjal. prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur
lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat
penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal
mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih baik dibandingkan
dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada glomerulonefritis
proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan dengan
gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya
pneumonia).
28
29
BAB III
ANALISIS KASUS
DAFTAR PUSTAKA
30
1. Purnawan Junadi, Atiek. S. Soemasto, Gusna Amelz. Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi Kedua, Penerbit Media Aescullapius, FKUI, 1982.
2. Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc, KPTI, Ilmu Penyakit Dalam,
Diagnosis dan Terapi. p : 19 - 23
3. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP RSHS.
5. Persatuan Ahli Ilmu Penyakit Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
IV, Balai Penerbit FKUI, Salemba, 2006
31
32