Anda di halaman 1dari 18

PERBEDAAN HUKUM ANAK KECIL

DAN ORANG DEWASA


X MIPA 1

NAMA ANGGOTA KELOMPOK :


AKUI RAMADHANIA
ANNISA SALSABILLA
RISKI AULIA SETIAWATI

Contoh :
Di era modern, memberikan hukuman kepada anak di bawah umur selalu
penuh dilema. Jika diberi hukuman berat maka akan dianggap tak beretika.
Namun jika tak dihukum si anak juga tidak bisa belajar. Hal ini berbeda di
masa lalu, asal salah, atau dianggap salah, atau dipaksa bersalah, anak
akan dihukum seberat-beratnya. Bahkan jika memang memungkinkan
hukuman mati, pengadilan akan tetap melakukannya.

Inilah tujuh anak yang dihukum mati di masa lalu. Di usianya yang masih
sangat belia, mereka dianggap melakukan kesalahan yang sangat fatal.
Hingga, mati adalah jalan satu-satunya yang bisa diambil untuk memberi
pelajaran. Monggo, kita bahas satu per satu.

1. George Stinney Jr (14) Dieksekusi dengan


Sengatan Listrik
Pada tahun 1944, seorang anak bernama George Stinney Jr yang
keturunan Afrika dipaksa haus mengakhiri hidupnya. Ia didakwa telah
membunuh dua orang gadis kecil . Atas aksinya ini George langsung
diciduk dan diadili tanpa ada pendampingan. Semua juri dalam
persidangan yang berkulit putih menyetujui untuk mengeksekusi mati
pemuda 14 tahun ini.
George Stinney Jr (14) Dieksekusi dengan Sengatan Listrik [image source]Pada tahun
2014 sebuah fakta baru mencuat. Sebenarnya George menolak untuk
dieksekusi dengan kursi listrik. Bahkan seluruh tuduhan yang diajukan
padanya diakui karena mendapatkan ancaman dari polisi. Well, benar atau
tidaknya George di masa lalu sudahlah telat, ia telah tiada sejak 70 tahun
yang lalu. Dan menghukum anak dengan sengatan listrik adalah tindakan
yang tak bermoral.

Memukul Hingga Memar Biru, Termasuk Penganiayaan Berat atau


Ringan?
Mau tanya, jika ada seseorang yang mengalami pemukulan dengan luka
biru apakah bisa dipidana penjara atau denda? Saya pernah mendengar
dari orang tua kalau polisi tidak akan menangani kasus ringan seperti
ini. Bagaimana jika korban hanya mengalami luka biru atau memar?
Sebenarnya luka memar dan luka biru itu berbeda kan ya? Dan
bagaimana jika tersangka masih di bawah 18 tahun? Terima kasih
sebelumnya.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Intisari:

Dalam praktiknya, luka memar biru itu digolongkan sebagai penganiayaan


yang diancam dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Perlu diketahui bahwa
pada praktiknya luka memar dengan luka yang mengakibatkan warna biru
pada kulit bukanlah dua luka yang berbeda. Mengenai penanganan kasus
penganiayaan, sudah merupakan tugas dan wewenang dari penyelidik
dalam hal ini kepolisian untuk menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana. Berat atau ringannya suatu
perkara pada dasarnya tidak dapat menjadi alasan bagi polisi untuk
menindaklanjuti perkara tersebut atau tidak.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:

Jika melihat dari definisi memar itu sendiri, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang kami akses dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia,memar adalah rusak atau
remuk di sebelah dalam, tetapi dari luar tidak tampak: mempelam itu
-- karena jatuh; karena pukulan itu, ia menderita luka --

Jika ada seseorang yang mengalami pemukulan dengan luka memar


biru akibat pemukulan, maka perbuatan pemukulan itu tergolong
sebagai penganiayaan. Tindak pidana penganiayaan itu sendiri diatur
dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua


tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan
bahwa menurut yurisprudensi, penganiayaan yaitu sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.
Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan
ialah sengaja merusak kesehatan orang.

R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa


yang dimaksud dengan perasaan tidak enak, rasa sakit, luka,
dan merusak kesehatan:
1. perasaan tidak enak misalnya mendorong orang terjun ke kali
sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan
sebagainya.
2. rasa sakit misalnya menyubit, mendupak, memukul,
menempeleng, dan sebagainya.
3. luka misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan
lain-lain.
4. merusak kesehatan misalnya orang sedang tidur, dan
berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

Jika luka memar di dalam pertanyaan Anda tidak menjadi halangan


baginya untuk melakukan pekerjaannya, maka perbuatan tersebut
digolongkan sebagai penganiayaan ringan yang diatur dalamPasal 352
ayat (1) KUHP:

Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan
ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan
itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

Dalam praktiknya, luka memar biru itu digolongkan sebagai


penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Perlu
diketahui bahwa luka memar dengan luka yang mengakibatkan warna
biru pada kulit bukanlah dua luka yang berbeda. Sebagai contoh kasus
dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor
33/PID.B/2013/PN-BNA. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa
terdakwa memukul kedua lengan saksi dengan menggunakan gagang
sapu. Akibat dari perbuatan terdakwa, korban mengalami rasa sakit
kedua lengannya dan terdapat memar kebiru merahan pada kedua
lengan saksi. Akibat perbuatannya ini, terdakwa dihukum berdasarkan
Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dengan hukuman
pidana penjara selama 2 (dua) bulan.

Sebagai contoh lain juga dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Bangka Belitung Nomor 25/PID/2011/PT BABEL.Dalam pemeriksaan di
pengadilan berdasarkan visum diketahui bahwa terdapatluka memar
berwarna biru di kepala, tampak luka memar berwarna biru kemerahan
di kepala bagian belakang, dan tampak luka memar di lengan belakang
sebelah kanan berwarna biru. Luka ini disebabkan karena terdakwa
memukul ke arah kepala saksi berkali-kali dengan menggunakan
tangannya yang mengepal. Akhirnya, hakim menghukum terdakwa atas
dasar tindak pidana penganiayaan dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP
dengan pidana penjara selama tiga bulan.

Soal apakah perkara penganiayaan yang mengakibatkan luka memar


biru ini ditindaklanjuti atau tidak atau soal ringan tidaknya suatu
perkara, menurut hemat kami, hal ini sudah menjadi kewajiban
kepolisian untuk menindaklanjuti laporan atau aduan yang disampaikan
kepadanya. Tugas dan wewenang dari penyelidik salah satunya adalah
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana sesuai dengan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Penyelidik dalam hal ini polisi sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporan/pengaduan tersebut
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Prosedur Bila Polisi


Tidak Menindaklanjuti Laporan Perkara, apabila Anda tidak juga memperoleh
informasi terkait proses penyidikan terhadap laporan polisi yang telah
dibuat, maka Anda sebagai Pelapor dapat mengajukan permohonan
agar dapat diberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil
Penyidikan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel
tersebut.

Selanjutnya bagaimana jika pelakunya merupakan seseorang di bawah


usia 18 tahun? Dalam hal ini, pelaku masih dikategorikan sebagai anak
sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35
tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014):

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,


termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Perlu Anda ketahui, ancaman pidana dalam pasal penganiayaan di


KUHP tersebut berlaku bagi mereka yang sudah dewasa, sedangkan
ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana
adalah setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
yang sudah dewasa sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 81 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU SPPA):

Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2
(satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa.

Oleh karena itu, jika ancaman pidana penjara bagi pelaku penganiayaan
yang mengakibatkan luka memar pada Pasal 351 ayat (1) KUHP adalah
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, maka ancaman
pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana
penganiayaan adalah paling lama satu tahun empat bulan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.

Putusan:
1. Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 33/PID.B/2013/PN-BNA;
2. Putusan Pengadilan Negeri Bangka Belitung Nomor 25/PID/2011/PT BABEL
Pertanyaan :
Perbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan
Berapakah usia cakap hukum? Mengingat usia dewasa dalam berbagai UU di
Indonesia berbeda-beda? Di BW usia dewasa 21 tahun, UU Perlindungan Anak,
usia 18 tidak dikatakan anak-anak lagi, dan berbagai macam UU lainnya.
Jawaban :
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang
sama,dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama
kali dipublikasikan padaSelasa, 27 Desember 2011.

Intisari:

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan memang


masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian
memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas)
tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.

Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.

Ulasan:

Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai
peraturan perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan
pertanyaan mengenai batasan yang mana yang seharusnya digunakan. Berikut
di bawah ini beberapa pengaturan batasan usia anak dan dewasa menurut
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yang juga kami sarikan
dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan
Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP.

Tabel 1: Umur Anak/belum dewasa

Dasar Hukum Pasal

Kitab Undang- Pasal 45


Undang Hukum
Pidana
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang
belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan
sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat
menentukan:.... dstnya

Namun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61)
menjelaskan bahwa yang dimaksudkan belum
dewasa ialah mereka yang belum berumur 21
tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan
bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang
dengan dewasa.

Undang-Undang No. Pasal 47


1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah
yang belum mencapai 18 tahun.

Undang-Undang No. Pasal 1 angka 26


13 Tahun 2003
tentang
Ketenagakerjaan Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah
18 (delapan belas) tahun

Undang-Undang No. Pasal 1 angka 8


12 Tahun 1995
tentang
Pemasyarakatan Anak didik pemasyarakatan adalah:
a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan
putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan
putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk
dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan
orang tua atau walinya memperoleh penetapan
pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Undang-Undang No. Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5


11 Tahun 2012
tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.

Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana


adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahunyang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana


adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahunyang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri.

Undang-Undang No. Pasal 1 angka 5


39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi
Manusia Anak adalah setiap manusia yang berumur di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.

Undang-Undang No. Pasal 1 angka 1


23 Tahun 2002
tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berumur 18
Anaksebagaimana (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
terakhir diubah dalam kandungan.
dengan Undang-
Undang No. 35
Tahun 2014

Undang-Undang No. Pasal 1 angka 4


44 Tahun 2008
tentang Pornografi
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun.
Undang-Undang No. Pasal 4 huruf h
12 Tahun 2006
tentang
Kewarganegaraan Warga Negara Indonesia adalah anak yang lahir di
Republik Indonesia luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga
Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan
itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18
(delapan belas) tahun atau belum kawin.

Undang-Undang No. Pasal 1 angka 5


21 Tahun 2007
tentang
Pemberantasan Anak adalah seseorang yang belum berumur 18
Tindak Pidana (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
Perdagangan Orang dalam kandungan.

Tabel 2: Umur Dewasa/Belum Dewasa

Dasar Hukum Pasal

Kitab Undang-Undang Pasal 330


Hukum
Perdata(Burgerlijk
Wetboek) Yang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu
tahundan tidak kawin sebelumnya.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1)

Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri


atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

SK Mendagri Dirjen Mengenai soal dewasa dapat diadakan


Agraria Direktorat pembedaan dalam:
Pendaftaran Tanah
a. dewasa politik, misalnya adalah batas
(Kadaster) No. umur17 tahun untuk dapat ikut Pemilu;
Dpt.7/539/7-77,
b. dewasa seksuil, misalnya adalah batas
tertanggal 13-7-1977
umur18 tahun untuk dapat melangsungkan
(SK Mendagri 1977)
pernikahan menurut Undang-Undang
Perkawinan yang baru;
c. dewasa hukum. Dewasa hukum
dimaksudkan adalah batas umur
tertentu menurut hukum yang dapat dianggap
cakap bertindak dalam hukum.

SK Mendagri 1977 ini dipergunakan sebagai


rujukan pertimbangan hakim dalam Penetapan
Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor :
891/Pdt.P/2013/PN Kpj.

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan


tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia
dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua puluh satu) tahun,
sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17 (tujuh belas) tahun.
Ketidakseragaman ini juga kita temui dalam berbagai putusan hakim yang
contohnya kami kutip dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur
(Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP
berikut ini:

Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg


tanggal 24 Juli 1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di
Palembang No. 41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975 (hal. 143),
dalam amarnya majelis hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk
memberi nafkah kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai
anaknya berumur 21 tahun. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa
seseorang yang belum berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau
belum dewasa sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai
anak tersebut berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah
dewasa, dan karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi
cakap untuk berbuat dalam hukum.

Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/ Sip./1976


tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan pengadilan
tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis hakim memutuskan
bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah kepada anak hasil
perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur 18 tahun. Majelis
hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di bawah kekuasaan
orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun. Dengan demikian,
dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap untuk
berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1
Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang
tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18 tahun.

Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1


15/Pdt.P/2009/PN. Jaktim Tanggal 17 Maret 2009 (hal. 145). Hakim
menggunakan pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang untuk
cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1)
dan (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim
berpendapat batasan umur yang digunakan sebagai parameter untuk
menentukan kecakapan untuk berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18
tahun.

Bahkan di antara para hakim pun belum ada keseragaman dalam menerapkan
batasan usia dewasa. Beberapa artikel berikut yang menunjukkan
ketidakseragaman batasan usia dewasa dalam peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia dapat Anda simak juga:
1. Meski Sudah Menikah, Usia 18 Tahun Diperlakukan Sebagai Anak.
2. Ekonomi Syariah Hanya Buat yang Dewasa.
3. Anak yang Belum Dewasa Tidak Memiliki Legal Standing.
4. Perlu Harmonisasi Peraturan Batas Usia Anak.
5. Masalah Hukum Pembatasan Usia Dalam Undang-Undang.
6. Awal Kemandirian Seorang Wanita.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847
No. 23);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
5. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014;
7. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
8. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia;
9. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang;
10. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
11. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
12. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991);
13. SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No.
Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977.

Anda mungkin juga menyukai