Anda di halaman 1dari 2

METODE-METODE IJTIHAD DARI PARA IMAM MADZHAB

1. Imam Abu Hanifah


a. Berpegang pada dalalatul Qur'an
Menolak mafhum mukhalafah
Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum ditakshiskan
Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b. Berpegang pada hadis Nabi
Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali
diriwayatkan oleh ahli fiqh))
Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d. Berpegang pada Qiyas
Mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e. Berpegang pada istihsan
2. Imam Malik bin Anas
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
zhahir Nash
menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah
daripada hadis ahad)
d. Qaulus shahabi
e. Qiyas
f. Istihsan
g. Mashalih al-Mursalah
3. Imam Syafi'i
a. Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah secara
sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah
satu alasan yang membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya,
menurut Syafi'i, hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-
Qur'an dalam kasus tertentu)
b. Ijma'
c. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan ijma' daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad
daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah
sebagai dasar ijtihadnya
4. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang
tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur'an)
menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam
Syafi'i)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu
Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijma'
d. Qiyas
Berikut adalah enam penyebab penting perbedaan pendapat ulama dalam mengambil hukum
syariah:

1. Perbedaan Dalam Memaknai lafadz-lafadz Arabiah.


Perbedaan dalam memberikan makna ini disebabkan oleh bentuk lafadz yang global
(mujmal), mempunyai banyak makna (musytarak), mempunyai makna yang tidak bisa
dipastikan khusus atau umumnya, haqiqah dan majaz-nya, haqiqah dan 'uruf-nya, atau
disebabkan mutlaq atau muqayyad-nya, atau perbedaan Irab. Contoh simpel dari penyebab
ini adalah pemaknaan lafadz al-Quru, apakah dimaknai suci atau haid. Juga seperti
lafaz amr (perintah), apakah menunjukkan wajib atau sunat. Dan masih banyak contoh yang
lain.

2. Perbedaan Riwayat
Perbedaan riwayat hadits yang menjadi rujukan hukum diakibatkan oleh beberapa hal.
Pertama adalah adanya hadits yang hanya sampai kepada satu mujtahid dan tidak sampai
pada mujtahid yang lain. Kedua adalah sampainya satu hadits kepada seorang mujtahid
dengan sanad yang dlaif, sementara hadits tersebut sampai kepada mujtahid yang lain
dengan sanad yang shahih. Ketiga: Seorang mujtahid berpendapat bahwa terdapatnya
perawi dhaif dalam riwayat sabuah hadits membuat hadits tidak dapat diterima, sedangkan
mujtahid yang lain tidak demikian.

3. Adanya Perbedaan Dasar hukum


Perbedaan dasar hukum yang dimaksud ialah dasar hukum selain al-Quran, hadits dan ijma,
seperti Istihsan, mashalih mursalah, qaul shahabi, istishab dan sadd al-dzariah

4. Perbedaan dalam Kaidah-kaidah usul


Perbedaan ini seperti perbedaan pendapat tentang digunakannya kaidah al-am al-makhsush
laisa bihujjah/lafadz yang bermakna khusus yang dikhususkan tidak dapat dijadikan hujjah,
Al-mafmun laisa bihujjah/kepahaman konteks tidak bisa dijadikan hujjah dan lain-lain.

5. Ijtihad Menggunakan Qiyas.


Ini adalah penyebab yang paling luas, dimana ia mempuyai dasar, syarat dan illat. Illat pun
juga mempunyai syarat dan tata cara dalam mengaplikasikannya. Semua ini menjadi potensi
bagi timbulnya perbedaan.

6. Pertentangan Dasar Hukum berikut Tarjihnya


Masalah ini sangat luas yang menjadi perbedaan pandangan dan menimbulkann banyak
perdebatan. Masalah ini membutuhkan tawil, talil, kompromi (jamu), taufiq, naskh dan
lain-lain.

Dengan penjelasan ini dapat diketahui bahwa hasil ijtihad para imam madzhab tidak mungkin
untuk diikuti semua, meskipun boleh dan wajib mengamalkan salah satunya. Semua
perbedaan adalah masalah ijthadiyah, dan pendapat-pendapat yang bersifat dzanni (dugaan),
yang harus dihormati dan dianggap sama. Amatlah salah jika perbedaan tersebut menjadi
pintu timbulnya fanatisme, permusuhan dan perpecahan diantara kaum muslimin yang telah
disifati dalam al-Quran sebagai umat yang bersaudara dan diperintah untuk berpegang teguh
kepada tali Allah. Wallahul Mustaan

Anda mungkin juga menyukai