Anda di halaman 1dari 31

APPENDICITIS

STASE BEDAH RUMAH SAKIT ISLAM CEMPAKA PUTIH

Pembimbing :

dr. andoko Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix

merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan

bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi

kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang

berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah.

Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan.

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak

sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan Appendicitis acuta mengalami perforasi

setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan

dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia

prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan. Diagnosis Appendicitis

acuta pada anak kadang-kadang sulit. Hanya 50-70% kasus yang bisa didiagnosis dengan

tepat pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pasien anak berkisar 10-

50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling

penting dalam mendiagnosis Appendicitis.

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari Appendix yang

terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan

tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena

peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan

bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di

seluruh dunia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum

dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat

pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix

berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat

dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi.

Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan

Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.

Appendix berbentuk seperti tabung, panjang rata-rata adalah 9 cm, diameter 3-8 mm, dan

lumen 1-3 mm (Brunicardi, 2010).

Struktur appendix mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,

submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.

Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk

jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe, antara mukosa dan submukosa terdapat

lymphonodes.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika

superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X.

Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula disekitar umbilikus.

Appendix menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri ileocolica. Arteri

initerletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke mesoapendiks dekat dari basis

appendix.Percabangan arteri kecil terbentuk pada titik tersebut dan meneruskan diri

sebagai arteri caecal. Perdarahan appendix berasal dari arteri appendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral.Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis

pada infeksi, appendix akan mengalamigangren.

Kompleks neuroendokrin dari appendix yang terdiri dari sel ganglion, sel

Schwann, seratneural, dan sel-sel neurosekretorik terletak tepat dibawah dari kripta-kripta

pada appendix. Serotonin merupakan produk sekretorik utama dan dihubungkan dengan

nyeri yang muncul pada appendix non-inflamasi. Kompleks ini diduga sebagai sumber

dari tumor-tumor karsinoid, dan oleh karenanya appendix dikenal sebagai tempat asal

utama tumor-tumor karsinoid.

Gambar 1. Appendix vermicularis

B. FISIOLOGI
Selama bertahun-tahun, appendix dipandang sebagai organ sisa tanpa fungsi yang

tidak diketahui. Sekarang telah diakui bahwa appendix merupakan organ imunologi yang

secara aktif berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, terutama imunoglobulin A.

Appendix menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara appendix tampaknya

berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh

GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna

termasuk appendix, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung

terhadap infeksi. Jaringan limfoid pertama muncul pada appendix sekitar 2 minggu

setelah kelahiran. Jumlah kenaikan jaringan limfoid seluruhnya pada usia pubertas, dan
tetap stabil untuk dekade berikutnya, kemudian mulai menurun dengan bertambahnya

usia. Setelah usia 60 tahun, hampir tidak ada jaringan limfoid masih dalam usus buntu,

dan penghapusan lengkap dari lumen appendix.

Gambar 2. Variasi lokasi Appendix vermicularis

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,

Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan

Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan

komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya

tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau

penyakit imunodefisiensi lainnya.

C. DEFINISI

Appendisitis akut adalah penyakit radang pada appendiks vermiformis yang

terjadi secara akut. Apendiks atau umbai cacing hingga saat ini fungsinya belum

diketahui dengan pasti, namun sering menimbulkan keluhan yang mengganggu.

Apendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6 9 cm), menghasilkan lendir

1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya

dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka dapat
mempermudah timbulnya apendisitis (radang pada apendiks). Di dalam apendiks juga

terdapat imunoglobulin, zat pelindung terhadap infeksi dan yang banyak terdapat di

dalamnya adalah Ig A. Selain itu pada apendiks terdapat arteria apendikularis yang

merupakan end-artery

D. EPIDEMIOLOGI

Acute appendisitis adalah salah satu penyakit bedah terbanyak. Insiden paling

sering terjadi pada usia dekade kedua dan ketiga. Insiden puncaknya pada awal

dewasa (pubertas) dan insiden juga banyak terjadi pada orangtua. Frekuensi angka

kejadian tertinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Rasio wanita : laki-

laki sekitar 2:1 bertahap bergeser setelah usia 25 tahun menuju rasio 1:1.

Appendektomi adalah prosedur bedah yang paling sering dilakukan. Risiko Lifetime

appendektomi adalah antara 7% dan 12%.

E. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

1. Obstruksi

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith

merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak

dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.

Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa

Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian,

gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik,

baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,

Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,

Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis

juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,

chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada


pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar

yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor

carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200

tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam

terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis

adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.

Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.

Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65%

pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus

Appendicitis acuta gangrenosa dengan perforasi.

Gambar 3. Appendicitis (dengan fecalith)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi

normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada

Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan

meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH 2O. Distensi merangsang

akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-

samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium.

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari

pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan


organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan

kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya

menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi

segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini,

mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap

kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan

arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami

kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan

vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark

di batas antemesenterik. 1,2,6,7)

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan

gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan

BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis

Appendicitis, khususnya pada anak-anak.

Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang

dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri

tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual

dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah

timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.

Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi

perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,

terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal

tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,

peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi


Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark,

dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti

demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena

iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix

berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi

dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc

Burneys. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului

nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di

pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai

peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.

Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau

pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau

pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri

pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran

infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti

terjadi retensi urine.

Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau

peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah

perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut.

Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,

leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat

tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48

jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi

tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang

melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak
yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess

tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat

pemeriksaan fisik.

Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering

dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat

iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya

abscess pelvis.6

2. Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.

Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri

jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix

yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi

mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan

iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada

perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis

perforata.

Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus

didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang

mengalami perforasi. Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada

Colon normal. Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali

Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri

yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis

perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi

dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta


Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob
Batang Gram (-) Batang Gram (-)

Eschericia coli Bacteroides fragilis

Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.

Klebsiella sp. Fusobacterium sp.

Coccus Gr (+) Batang Gram (-)

Streptococcus anginosus Clostridium sp.

Streptococcus sp. Coccus Gram (+)

Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata

dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai,

seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan

kemampuan laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat

bervariasi. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan

imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang

mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48

jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik

diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam

dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan

transperitoneal masih kontroversi.

3. Peranan lingkungan: diet dan higiene

Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan

kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan

dengan kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel,

carcinoma Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih
jarang diantara orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih

tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan

motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan

untuk timbul fecalith.

F. DIAGNOSIS

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri

samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.

Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada

umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke

kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas

letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan

adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa

memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah

terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah

sekitar 37,5 - 38,5 derajat celcius.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat

dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.

Berikut gejala yang timbul tersebut :

a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas

dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut

kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,

bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya

kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.


b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan

timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik

meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang (diare).

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,

dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya

dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit

dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya,

sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan

dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

1. Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak

tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi

muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan

gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-

90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.

2. Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh

penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya

serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi,

menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil

dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan

muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia

ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke

kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih

ke regio lumbal kanan.

Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal

swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi

perut.

b. Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.

Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan

bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut

kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda

Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah

dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut

tanda Blumberg (Blumberg Sign).

c. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,

untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika

saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan

apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini

merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.


d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan

untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan

dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau

fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila

appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan

tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan

gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila

apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang

merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan

nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein

reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit

antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan

pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

b. Radiologi : foto polos jarang bermanfaat kecuali terlihatnya fekalith

opaque (5% pasien) didapatkan pada kuadran kanan bawah (terutama pada

anak-anak). Sehingga, X-ray abdominal tidak rutin dilakukan kecuali

terdapat keadaan lain seperti kemungkinan adanya obstruksi usus atau

adanya batu ureter. Diagnosis mungkin dapat ditegakkan dengan gambaran

USG dengan adanya appendix yang membesar atau berdinding tebal. USG

juga terbaik untuk menyingkirkan diagnosis adanya kista ovarium,

kehamilan ektopik, dan abses tuboovarium. Beberapa penelitian telah

membuktikan manfaat dari CT-Scan dengan atau tanpa kontras untuk


menegakkan diagnosis appendicitis akut. Penemuan pada CT dapat berupa

appendix menebal dengan adanya periappendical stranding dan biasanya

dengan keberadaan fecalith (Gambar 1 dan 2). Nilai presisi dari CT-Scan

adalah 95-97% an dengan akurasi hingga 90-98%. Sebagai tambahan tidak

nampaknya appendix pada gambaran CT-Scan berkaitan dengan penemuan

appendix normal pada 98% kasus. Udara bebas peritoneum jarang terlihat,

bahkan pada appendicitis dengan perforasi

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya

ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan

pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2

kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.11)

Tabel 3. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.

Gejala Klinik Value


Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan

bedah sebaiknya dilakukan

G. DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari

akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu penyakit
tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi pada dasarnya

gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut di dalam atau di

sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama seperti Appendicitis

acuta.

Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada

umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh Appendicitis

sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan menjadi lebih buruk

dengan pembedahan. 2,6)

Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi

dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi,

serta umur dan jenis kelamin pasien.

1. Adenitis Mesenterica Acuta

Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendicitis acuta pada

anak-anak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi sekarang

ini telah menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih difus dan rasa sakit tidak

dapat ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada Appendicitis. Observasi selama

beberapa jam bila ada kemungkinan diagnosis Adenitis mesenterica, karena Adenitis

mesenterica adalah penyakit yang self limited. Namun jika meragukan, satu-satunya

jalan adalah operasi segera.

2. Gastroenteritis akut

Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan

dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut

self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan

muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil

pemeriksaan laboratorium biasanya normal.


3. Penyakit urogenital pada laki-laki.

Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai diagnosis

banding Appendicitis, termasuk diantaranya torsio testis, epididimitis akut, karena

nyeri epigastrik dapat muncul sebagai gejala lokal pada awal penyakit ini, Vesikulitis

seminalis dapat juga menyerupai Appendicitis namun dapat dibedakan dengan adanya

pembesaran dan nyeri Vesikula seminalis pada waktu pemeriksaan Rectal toucher.

4. Diverticulitis Meckel

Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis

acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena

Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis

dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.

5. Intususseption

Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk

membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda.

Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun,

sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun.

Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk

sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada

tanda-tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian barium

enema pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.

6. Chrons enteritis

Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri RLQ, perih, dan

leukositosis sering dikelirukan sebagai Appendicitis. Selain itu, terdapat diare dan

anorexia. Mual dan muntah yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis kepada

enteritis namun tidak menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.


7. Perforasi ulkus peptikum

Gejala perforasi ulkus peptikum menyerupai Appendicitis jika cairan

gastroduodenal mengalir ke bawah di daerah caecal. Jika perforasi secara spontan

menutup, gejala nyeri abdomen bagian atas menjadi minimal.

8. Epiploic appendagitis

Epiploic appendagitis mungkin disebabkan oleh infark Colon sekunder dari

torsi Colon. Gejala dapat minimal atau terjadi gejala abdomen yang dapat berlangsung

hingga beberapa hari. Pasien tidak tampak sakit, jarang terjadi mual dan muntah, dan

nafsu makan tidak berubah. Terdapat nyeri tekan pada daerah yang terkena. Pada 25%

kasus, nyeri berlangsung terus menerus hingga epiploic appendage yang mengalami

infark dioperasi.

9. Infeksi saluran kencing

Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai

Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan

terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

10. Batu Urethra

Bila calculus tersangkut dekat Appendix dapat dikelirukan dengan

Appendicitis retrocaecal. Nyeri alih ke daerah labia, scrotum atau penis, hematuria,

dan atau tanpa demam atau leukositosis mendukung adanya batu. Pyelografi dapat

memperkuat diagnosis.

11. Peritonitis Primer

Peritonitis primer jarang menyerupai Appendicitis acuta simplex namun dapat

ditemukan gambaran yang sangat mirip dengan peritonitis difus sekunder yang

disebabkan oleh ruptur Appendix. Diagnosis ditegakkan dengan aspirasi peritoneal.

Bila ditemukan bakteri coccus pada pewarnaan Gram, peritonitis tersebut adalah
peritonitis primer dan terapinya adalah obatobatan. Bila ditemukan bermacam

macam bakteri, peritonitis tersebut adalah peritonitis sekunder.

12. Purpura HenochSchonlein

Sindrom ini biasanya terjadi 2-3 minggu setelah infeksi Streptococcus. Nyeri

abdomen merupakan gejala yang paling menonjol, namun nyeri sendi, purpura dan

nephritis juga hampir selalu ditemukan.

13. Yersiniosis

Infeksi Yersinia menyebabkan berbagai macam gejala klinik, termasuk

adenitis mesenterica, ileitis, colitis dan Appendicitis acuta. Umumnya infeksinya

ringan dan self limited, namun pada beberapa dapat terjadi sepsis sistemik yang

umumnnya sangat fatal bila tidak diobati. Kecurigaan pada diagnosis preoperatif tidak

boleh menunda operasi, karena secara klinis Appendicitis yang disebabkan oleh

Yersinia tidak dapat dibedakan dengan Appendicitis oleh sebab lainnya. Sekitar 5%

dari kasus Appendicitis acuta disebabkan oleh infeksi Yersinia.

14. Kelainankelainan ginekologi

Umumnya kesalahan diagnosis Appendicitis acuta tertinggi pada wanita dewasa

muda disebabkan oleh kelainankelainan ginekologi. Angka rata-rata Appendectomy

yang dilakukan pada Appendix normal yang pernah dilaporkan adalah 32%45% pada

wanita usia 1545 tahun. Penyakitpenyakit organ reproduksi pada wanita sering

dikelirukan sebagai Appendicitis, dengan urutan yang tersering adalah PID, ruptur

folikel de Graaf, kista atau tumor ovarium, endometriosis dan ruptur kehamilan

ektopik. Laparoskopi mempunyai peranan penting dalam menentukan diagnosis.

Pelvic Inflammatory Disease (PID)


Infeksi ini biasanya bilateral tapi bila yang terkena adalah tuba sebelah kanan

dapat menyerupai Appendicitis. Mual dan muntah hampir selalu terjadi pada

pasien Appendicitis. Pada pasien PID hanya sekitar separuhnya.

Ruptur Folikel de Graaf

Ovulasi sering mengakibatkan keluarnya darah dan cairan folikuler serta nyeri

yang ringan pada abdomen bagian bawah. Bila cairan sangat banyak dan berasal

dari ovarium kanan, dapat dikelirukan dengan Appendicitis. Nyeri dan nyeri tekan

agak difus. Leucositosis dan demam minimal atau tidak ada. Karena nyeri ini

terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, sering disebut mittelschmerz.


H. PENATALAKSANAAN

Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling

tepat adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua

cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui

setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus

dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik

ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala

membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala

berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan

drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila

ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta

pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah

dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan

bedah.

Pendekatan yang berbeda dilakukan jika massa dapat terpalpasi pada 3-5 hari

dari onset gejala. Penemuan ini biasanya menandakan adanya phlegmon atau abses

dan komplikasi dari exisi bedah sering terjadi. Pasien seperti ini diatasi dengan

antibiotik spektrum luas, drainase abses >3cm, cairan parenteral, dan istirahat usus

(bowel rest) biasanya memberikan remisi dalam 1 minggu. Appendectomy biasanya

dilakukan secara aman pada 6-12 minggu kemudian. Penelitian klinis acak telah

menunjukkan bahwa pemakaian antibiotic dapat efektif untuk menangani appendicitis

akut dan tidak terperforasi pada 86% pasien pria. Namun pemberian antibiotik saja

terkait dengan jumlah rekurensi yang tinggi dibandingkan dengan intervensi bedah.

Jika massa membesar dan pasien terlihat menjadi lebih toksik, abses sebaiknya

didrainase. Perforasi berkaitan dengan peritonitis umum dan komplikasinya, termasuk


abses subphrenic, pelvis, atau abses lainnya dan dapat dihindari dengan diagnosis

dini. Angka mortalitas untuk appendicitis tidak terperforasi 0,1%, lebih kecil

dibandingkan resiko anastesia total; untuk appendicitis perforasi, mortalitas biasanya

3% (dan dapat mencapai 15% pada orang lanjut usia).

Teknik operasi Appendectomy

a. Open Appendectomy

1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.

2. Dibuat sayatan kulit:

Horizontal Oblique

3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:

a. Pararectal/ Paramedian

Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke

medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena

fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu penjahitan. Bila yang terjahit

hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi hernia cicatricalis.


sayatan
M.rectus abd. M.rectus abd.

ditarik ke medial
2 lapis

b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting

Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.

1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas ke

medial bawah.

Keterangan gambar:

Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua

mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis

externus.

2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral bawah.


Keterangan gambar:

Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah

dengan seratnya ke arah lateral.

3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.

Keterangan gambar:

Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tak terjadi

trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N. iliohipogastricus dan

pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di antara M.

obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras akan merobek

pembuluh dan membahayakan saraf.

4. Peritoneum dibuka.
Keterangan gambar:

Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar. Peritoneum

sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di bawahnya. Secuil

peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah pinset jaringan De

Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama pada sisi di sebelah dokter

bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang lagi sampai dia yakin bahwa

hanya peritoneum yang diangkat.

5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untuk mencari

Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan klem Babcock

dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke jaringan sekitarnya).

Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:

Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya, diklem,

kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

Keterangan gambar:
Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem Babcock

melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium seperti pada

gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas mesenterium di bawah

ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak

menyebarkan kontaminasi.

6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih kuat

karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum). Klem

dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat dengan benang

yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk

pus akan masuk ke dalam Caecum).

7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.


8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:

a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan ke dalam

Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z.

b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko kontaminasi

dan adhesi.

c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung rapuh, dapat

dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.

9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru dilepaskan dan

mesenteriolumnya (retrograde).

10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

I. PROGNOSIS

Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000

pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang

menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana

diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah
dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat

sebelum terjadi perforasi


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Obstruksi lumen merupakan

penyebab utama apendisitis. Apendiktomi merupakan terapi yang utama untuk

penanganan apendisitis.
DAFTAR PUSTAKA

Halim-Mubin, A. 2001. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

Isselbacter, dkk. 2000. Harrison Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume 2.

8th edition.Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,

Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34

R. Putz & R. Pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Ed. 22 Jilid 2. Jakarta : EGC

Repository.usu.ac.id/apendisitis.

Sjamsuhidayat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah ed. 3. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai