Anda di halaman 1dari 23

1.

SINTESIS DAN REGULASI ERITROPOIETIN

Eritropoietin atau EPO/hematopoietin/hemopoietin merupakan hormon


glikoprotein yang mengatur eritopoiesis atau produksi sel darah merah. Hormon
ini merupakan suatu sitokin (molekul protein pemberi sinyal) terhadap prekursor
eritrosit di dalam sumsum tulang. EPO manusia memiliki berat molekul 34 kDa.

Eritropoietin diproduksi oleh fibroblast interstisial ginjal yang berkaitan erat


dengan kapiler peritubular dan tubulus kontortus proksimal. Selain itu, EPO juga
di produksi di sel perisinusoidal hati.

Kadar eritropoietin di dalam darah cenderung rendah, sekitar 10 mU/ml. Pada


keadaan stres hipoksia, produksi EPO di dalam darah meningkat hingga 1000 kali
lipat, hingga 10.000 mU/ml. Pada dewasa, sintesis EPO terutama dibentuk oleh
sel interstisial pada kapiler peritubular korteks ginjal, dengan tambahan sintesis di
hati dan sel perisit di otak.

Regulasi EPO ini bergantung pada mekanisme umpan balik yang dipengaruhi
oksigenasi darah dan zat besi. Faktor transkripsi sintesis EPO ini atau faktor yang
bisa dipicu oleh hipoksia, mengalami hidroksilasi dan secara proteosomal dicerna
dengan adanya oksigen dan besi. Selama normoksia, GATA2 menghampat regio
promoter EPO. kadar GATA 2 menurun selama hipoksia dan memicu produksi
EPO.

2. SINTESIS DAN REGULASI GLUKAGON

Hormon glukagon disintesis dan disekresikan oleh sel alfa dari sel islet
langerhans, yang terletak di bagian endokrin pankreas. Produksinya di
tekan/diregulasi oleh insulin dari sel beta pankreas. Ketika glukosa turun,
produksi insulin akan menurun dan glukagon lebih banyak diproduksi. Glukagon
juga diproduksi oleh ssel alfa di dalam lambung.

Sekresi glukagon dipicu oleh keadaan hipoglikemia, epinefrin, arginine, alanine,


asetilkoline, kolesistokinin. Sekresi glukagon dihambat oleh somatostatin, insulin,
PPARy/retinoid X receptor heterodimer, peningkatan asam lemak bebas dan asam
keto, dan peningkatan produksi urea.
Glukagon berikatan dengan reseptornya, reseptor pasangan protein G yang
terletak di membran plasma. Perubahan pada aktivasi reseptor protein G, suatu
protein heterometrik dengan subunit alfa, beta dan gamma. Ketika protein G
berinteraksi dengan reseptor, mengalami perubahan konformasi yang
menghasilkan penggantian molekul GDP yang terikat pada subunit dengan
molekul GTP.Substitusi ini menghasilkanpelepasan subunit dari subunit dan
gamma. subunit alfa khusus mengaktifkan enzim berikutnya dalam kaskade,
adenilat siklase.

Adenilat siklase memproduksi siklik adenosin monofosfat (AMP siklik atau


cAMP), yang mengaktifkan protein kinase A (protein kinase cAMP-dependent).
Enzim ini, pada gilirannya, mengaktifkan fosforilase kinase, yang kemudian
memfosforilasi glikogen fosforilase b, mengubahnya menjadi bentuk aktif yang
disebut fosforilase a. Fosforilase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk
pelepasan glukosa-1-fosfat dari polimer glikogen.

Selain itu, kontrol terkoordinasi glikolisis dan glukoneogenesis di hati


disesuaikan dengan keadaan fosforilasi enzim yang mengkatalisis pembentukan
aktivator glikolisis yang disebut fruktosa-2,6-bisphosphate. Protein enzim kinase
A yang dirangsang oleh kaskade diprakarsai oleh glukagon juga akan
memfosforilasi residu serin tunggal rantai polipeptida bifungsional mengandung
enzim fruktosa-2,6-bisphosphatase dan fosfofruktokinase-2.

Fosforilasi kovalen ini dimulai oleh glukagon yang mengaktivasi sebelumnya dan
menghambat selanjutnya. Hal ini mengatur reaksi katalis fruktosa-2,6-bifosfat
(aktivator fosfofruktokinase-1, enzim yang merupakan langkah regulasi utama
glikolisis dengan memperlambat laju pembentukannya, sehingga menghambat
fluks dari jalur glikolisis dan memungkinkan glukoneogenesis mendominasi.
Proses ini reversibel dalam ketiadaan glukagon (dan dengan demikian, kehadiran
insulin). Stimulasi glukagon dari PKA juga menginaktivasi enzim glikolitik
piruvat kinase
3. PROSES PEMBENTUKAN DAN SEKRESI INSULIN

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada
sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis,
regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang
disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin)


pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,
preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang
kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel
tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai
menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.

Mekanisme diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara


normal, karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi
glukosa yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan
komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam
memproduksi insulin. Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-
obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta.
Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi insulin
setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan belum
sepenuhnya dapat dipahami secara jelas.

Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya
rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati
membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan
senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang
terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa.
Fungsinya sebagai kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel
jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati
membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni
molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan
kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan
untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada
membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari
dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang
diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang
memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion
Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui
mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.( Gambar 1 )

Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K channel tidak hanya


disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel, tapi
juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain termasuk obat-obatan. Namun
senyawa obat-obatan tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja
pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang
disebut sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta

Exocytosis

secretory
.
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh
normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic.
Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi
setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau
minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah
agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara
sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal,
sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.

Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin
yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan
berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang
relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar
glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR
yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal
karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa
darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan
untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara
fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya
hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial
(postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk
hiperinsulinemia kompensatif.

Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained


phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan
dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas
pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi
insulin fase 2 yang berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya
(secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di
akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila
sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk
peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut
pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa
darah (postprandial) tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan
penyakit, fase 2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar
dibawah ini ( Gb. 2 ) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal,
Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes
Mellitus Tipe 2.

Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang
juga normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan
berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra )
sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat
mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang
memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat
memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai
dampak negatifnya.
IGT

Basal Second Type 2DM


Phase

First-Phase
051015202530(minute)
Intravenous glucose stimulation

Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada


Insulin Secretion
AKSI INSULIN

Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam


tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya
dalam proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada
otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan
sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran
sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam
sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel
otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu
jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas
GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong
penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah
yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya
mengalami metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa
normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal,
dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas
atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu
faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.

Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan
metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana
GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana
sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur
homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih
ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari
proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini
berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon
insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi
hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara
berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin,
semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.

1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi


glukosa meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi
membran, 6. kembali kesuasana semula.

Gambar. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di


jaringan perifer

4. PRODUKSI DAN SEKRESI HORMON KORTISOL


Kortisol adalah hormon steroid dari golongan glukokortikoid yang umumnya
diproduksi oleh sel di dalam zona fasikulata pada kelenjar adrenal sebagai respon
terhadap stimulasi hormon ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis.
Kadar normal hormon kortisol, yaitu
Dewasa : 5 - 23 mcg/dl pada waktu pagi dan 3 - 13 mcg/dl pada siang
hari.
Anak-anak : 3 - 21 mcg/dl pada waktu pagi dan 3 - 10 mcg/dl pada siang
hari.
Bayi : 1 - 24 mcg/dl
Hormon ini menyebar dalam plasma dengan tiga cara, yaitu berupa kortisol
bebas, kortisol terikat protein dan kortisol metabolit. Pemeriksaan hormon
kortisol menggunakan metode Immunochemiluminescence dengan pengambilan
darah vena pasien.

Kortisol diproduksi dalam tubuh manusia pada kelenjar adrenal di zona fasikulata
yang terdapat pada lapisan kedua dari korteks adrenal. Sekresi hormon kortisol
dikontrol oleh hipotalamus dengan sekresi corticotropin-releasing hormone
(CRH). Sekresi CRH akan merangsang hipofisis anterior untuk mensekresikan
adenocorticotrophin hormone (ACTH) ke aliran darah hingga merangsang
korteks adrenal untuk mensintesis hormon kortisol, glukokortikoid dan
mineralokortikoid.
Hormon ACTH mensekresi kortisol yang berfungsi dalam metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak. Jika tubuh kekurangan kortisol dalam darah maka
fungsi metabolisme tersebut akan terganggu. Proses glukoneogenesis yang
membantu mempertahankan kondisi seseorang dalam keadaan puasa tidak dapat
berlangsung. Akibatnya otak dan otot yang tidak mampu mendapatkan asupan
energi berupa glukosa sehingga berakibat lemas.
Insufisiensi kortisol menyebabkan berkurangnnya glukoneogenesis, penururnan
glikogen hati, dan peningkatan kepekaan jaringan perifer terhadap insulin.
Kombinasi dari berbagai perubahan dalam metabolisme karbohidrat ini dapat
menyebabkan tubuh tidak mampu mempertahankan kadar glukosa darah yang
normal sehingga terjadi hipoglikemia pada saat puasa. Karena rendahnya kadar
glikogen di hati maka pasien dengan insufisiensi adrenal tidak tahan dengan
kekurangan makanan yang lama.
5. TERAPI INSULIN PADA RAWAT JALAN

Strategi praktis terapi insulin

Sebagai regimen awal dapat digunakan insulin basal dengan dosis 0,1-0,2 unit/kg BB, yang
waktu pemberiannya disesuaikan dengan rutinitas pasien dan jenis insulin yang digunakan.
Jika sasaran kendali glikemik belum tercapai dengan kombinasi AHO dan insulin basal
sederhana, dapat diberikan regimen insulin yang lebih kompleks, yaitu basal bolus atau
premixed
6. TERAPI INSULIN PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN
HIPERGLIKEMIA

Protokol terapi insulin

Terapi insulin IV kontinyu


Persyaratan memulai insulin IV kontinyu

Sesuai indikasi
Secara teknis memungkinkan: prasarana tersedia (syringe pump, mikrodrip, alat
pemeriksaan glukosa darah mandiri/glukometer), tenaga kesehatan yang terampil,
memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan glukosa darah yang intensif (yang pada
awalnya perlu dilakukan setiap jam)
Kadar kalium > 3mEq/L
Jenis insulin yang digunakan: kerja pendek
Upayakan konsentrasi insulin 1 U/mL
Regimen SK dosis koreksional

Jika kadar glukosa puasa tidak mencapai target, perlu dilakukan penyesuaian
Pemantauan glukosa darah

Pemantauan glukosa darah pada pasien rawat inap hendaknya selalu berpegang pada prinsip
kehati-hatian terhadap kejadian hipoglikemia. Semakin agresif pemberian insulin,
pemantauan glukosa darah dilakukan semakin ketat. Hal ini disesuaikan tidak hanya atas
indikasi klinis tetapi juga berdasarkan kemampuan operasional sarana dan prasarana yang
ada. Misalnya, meskipun harus dilakukan pemantauan ketat, tetapi jika tenaga kesehatan
jumlahnya terbatas, maka agresivitas pemberian insulin hendaknya disesuaikan.

Transisi dari intravena ke subkutan

Pasien yang mendapatkan terapi insulin IV kontinyu biasanya akan membutuhkan transisi ke
insulin subkutan jika mereka memulai memakan makanan biasa atau akan pindah ke ruang
rawat biasa. Biasanya, dosis insulin subkutan diberikan antara 75-80% dari dosis harian total
insulin IV kontinyu, yang kemudian dibagi secara proporsional menjadi komponen basal dan
prandial. Perlu dicatat, bahwa insulin SK harus diberikan 2 jam sebelum infus insulin IV
dihentikan untuk mencegah hiperglikemia.

Sliding scale pemberian insulin SK

Gula darah random :

< 200 : -
200-<250 : insulin 5 unit
250-<300 : insulin 10 unit
300-<350 : insulin 15 unit
>350 : insulin 20 unit

TERAPI INSULIN PADA KRISIS HIPERGLIKEMIA


7. SINTESIS DAN PRODUKSI HORMON TIROID

Iodin untuk pembentukan hormon tiroid

Untuk membentuk jumlah tiroksin yang normal, dibutuhkan 50 miligram iodin


yang dikonsumsi dalam bentuk iodida tiap tahunnya, atau sekitar 1 mg/minggu. Untuk
mencegah defisiensi iodium, garam tablet diioidisasi.

Iodida yang dikonsumsi secara oral diabsrobsi dari traktus gastrointestinal ke


dalam darah. Normalnya, iodida secara cepat diekskresikan melalui ginjal, namun
hanya seperlima yang ditranspor secara selektif dari sirkulasi darah oleh sel kelenjar
tiroid dan digunakan untuk sintesis hormon tiroid.

Iodide Trapping

Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah transpor iodida dari darah ke
sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal tiroid mempunyai kemampuan untuk
memompa iodida secara aktif ke interior sel. Hal ini dinamakan iodide trapping. Kadar
iodida trapping oleh tiroid ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan yang paling
penting adalah kadar TSH.

Tiroglobulin, dan Pembentukan T4 dan T3

Sel tiroid merupakan sel glandular yang mensekresikan protein. Retikulum


endoplasma dan aparatus Golgi mensintesis dan mesekresikan molekul glikoprotein
besar yang bernama tiroglobulin ke dalam folikel. Setiap molekul tiroglobulin
mengandung 70 asam amino tirosin, dan merupakan komponen utama yang bergabung
dengan iodida membentuk hormon tiroid. Lalu, hormon tiroid terbentuk di dalam
molekul tiroglobulin.

Langkah esensial pertama pembentukan hormon tiroid adalah konversi ion


iodida menjadi bentuk iodida yang teroksidasi yang bisa dikombinasikan secara
langsung dengan asam amino tirosin. Oksidasi iodin ini dijalankan oleh enzim
peroksidase dan hidrogen peroksidase. Ikatan iodin dengan molekul tiroglobulin
dinamakan organifikasi tiroglobulin. Pada sel tiroid, iodin teroksidasi berhubungan
dengan enzim iodiinase. Kemudian, ketika molekul tiroglobulin dilepaskan dari
aparatus Golgi dan disekresikan melewati membran apikal ke dalam folikel, iodin
berikatan dengan asam amino tirosin di dalam molekul tiroglobulin.
Tirosin diiodisasi menjadi bentuk monoiodotirosin dan diiodotirosin. Lalu,
beberapa menit, jam, atau bahkan hari ke depan, residu iodotirosin di coupled satu
dengan yang lainnya. Produk hormonal utama dari reaksi coupling ini adalah tiroksin
yang masih merupakan bagian dari molekul tiroglobulin.

Kelenjar tiroid merupakan kelenjar endokrin yang unik karena kemampuan


menyimpan jumlah hormon yang banyak. Setelah sintesis hormon tiroid, masing-
masing tiroglobulin terdiri dari 30 molekul tiroksin dan beberapa molekul T3. Dalam
bentuk ini, hormon tiroid disimpan di dalam folikel dalam jumlah yang cukup untuk
menyuplai kebutuhan tubuh selama 2 3 bulan. Oleh karena itu, ketika sintesis hormon
tiroid terganggu atau berhenti, efek defisiensinya tidak terlihat dalam beberapa bulan.

Pelepasan T4 dan T3 dari Kelenjar Tiroid

Tiroglobulin sendiri tidak dilepaskan ke sirkulasi dalam jumlah yang bisa


diukur; tiroksin dan T3 pertama kali harus cleaved dari molekul tiroglobulin, lalu
kemudian proses pelepasan hormon ini berjalan. Permukaan apikal sel tiroid
mengeluarkan ekstensi pseudopod untuk membentuk vesikel pinositik yang masuk ke
apex sel tiroid. Lalu, lisosom di dalam sitoplasma sel berfusi dengan vesikel ini untuk
membentuk vesikel digestif yang mengandung enzim digestif dari lisosom yang
bergabung dengan koloid. Protease multipel pada enzim tersebut mencerna molekul
tiroglobulin dan melepaskan tiroksin dan T3 dalam bentuk bebas. Lalu, hormon ini
berdifusi melewati basis sel tiroid menuju kapiler. Kemudian, hormon tiroid dilepaskan
ke dalam darah.

Sebanyak 75% tirosin yang teriodinasi di dalam tiroglobulin tidak pernah


menjadi hormon tiroid namun tetap dalam bentuk monoiodotirosin dan diiodotirosin.
Selama digesti molekul tiroglobulin yang melepaskan tiroksin dan T3, tirosin
teriodinase ini juga bebas dari molekul tiroglobulin. Namun, mereka tidak disekresikan
ke dalam darah. Malah, iodin di cleaved dari mereka oleh enzim deiodinase yang
membuat iodin tersedia lagi untuk digunakan ulang oleh kelenjar tiroid untuk
membentuk hormon tiroid baru. Pada kelainan kongenital berupa ketiadaan enzim
deiodinase ini, timbul defisiensi iodin karena kegagalan proses daur ulang ini.

Anda mungkin juga menyukai