Regulasi EPO ini bergantung pada mekanisme umpan balik yang dipengaruhi
oksigenasi darah dan zat besi. Faktor transkripsi sintesis EPO ini atau faktor yang
bisa dipicu oleh hipoksia, mengalami hidroksilasi dan secara proteosomal dicerna
dengan adanya oksigen dan besi. Selama normoksia, GATA2 menghampat regio
promoter EPO. kadar GATA 2 menurun selama hipoksia dan memicu produksi
EPO.
Hormon glukagon disintesis dan disekresikan oleh sel alfa dari sel islet
langerhans, yang terletak di bagian endokrin pankreas. Produksinya di
tekan/diregulasi oleh insulin dari sel beta pankreas. Ketika glukosa turun,
produksi insulin akan menurun dan glukagon lebih banyak diproduksi. Glukagon
juga diproduksi oleh ssel alfa di dalam lambung.
Fosforilasi kovalen ini dimulai oleh glukagon yang mengaktivasi sebelumnya dan
menghambat selanjutnya. Hal ini mengatur reaksi katalis fruktosa-2,6-bifosfat
(aktivator fosfofruktokinase-1, enzim yang merupakan langkah regulasi utama
glikolisis dengan memperlambat laju pembentukannya, sehingga menghambat
fluks dari jalur glikolisis dan memungkinkan glukoneogenesis mendominasi.
Proses ini reversibel dalam ketiadaan glukagon (dan dengan demikian, kehadiran
insulin). Stimulasi glukagon dari PKA juga menginaktivasi enzim glikolitik
piruvat kinase
3. PROSES PEMBENTUKAN DAN SEKRESI INSULIN
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada
sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis,
regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormone glukagon yang
disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas.
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya
rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati
membrane sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan
senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang
terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa.
Fungsinya sebagai kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar kedalam sel
jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati
membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni
molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan
kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan
untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada
membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari
dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang
diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang
memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion
Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui
mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan.( Gambar 1 )
Exocytosis
secretory
.
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh
normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic.
Seperti dikemukakan, sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi
setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang berasal dari makanan atau
minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah
agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung secara
sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas normal,
sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi insulin
yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan
berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang
relatif tinggi, karena hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar
glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR
yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal
karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa
darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan
untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara
fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya
hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah postprandial
(postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya termasuk
hiperinsulinemia kompensatif.
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang
juga normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan
berlangsung normal. Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra )
sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas normal untuk dapat
mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang
memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang dapat
memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai
dampak negatifnya.
IGT
First-Phase
051015202530(minute)
Intravenous glucose stimulation
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan
sejenis reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran
sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam
sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel
otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum begitu
jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan kuantitas
GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong
penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah
yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya
mengalami metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa
normal, selain diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal,
dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas
atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu
faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan
metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana
GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana
sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur
homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih
ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari
proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini
berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon
insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi
hormon tersebut terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara
berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin,
semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.
Kortisol diproduksi dalam tubuh manusia pada kelenjar adrenal di zona fasikulata
yang terdapat pada lapisan kedua dari korteks adrenal. Sekresi hormon kortisol
dikontrol oleh hipotalamus dengan sekresi corticotropin-releasing hormone
(CRH). Sekresi CRH akan merangsang hipofisis anterior untuk mensekresikan
adenocorticotrophin hormone (ACTH) ke aliran darah hingga merangsang
korteks adrenal untuk mensintesis hormon kortisol, glukokortikoid dan
mineralokortikoid.
Hormon ACTH mensekresi kortisol yang berfungsi dalam metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak. Jika tubuh kekurangan kortisol dalam darah maka
fungsi metabolisme tersebut akan terganggu. Proses glukoneogenesis yang
membantu mempertahankan kondisi seseorang dalam keadaan puasa tidak dapat
berlangsung. Akibatnya otak dan otot yang tidak mampu mendapatkan asupan
energi berupa glukosa sehingga berakibat lemas.
Insufisiensi kortisol menyebabkan berkurangnnya glukoneogenesis, penururnan
glikogen hati, dan peningkatan kepekaan jaringan perifer terhadap insulin.
Kombinasi dari berbagai perubahan dalam metabolisme karbohidrat ini dapat
menyebabkan tubuh tidak mampu mempertahankan kadar glukosa darah yang
normal sehingga terjadi hipoglikemia pada saat puasa. Karena rendahnya kadar
glikogen di hati maka pasien dengan insufisiensi adrenal tidak tahan dengan
kekurangan makanan yang lama.
5. TERAPI INSULIN PADA RAWAT JALAN
Sebagai regimen awal dapat digunakan insulin basal dengan dosis 0,1-0,2 unit/kg BB, yang
waktu pemberiannya disesuaikan dengan rutinitas pasien dan jenis insulin yang digunakan.
Jika sasaran kendali glikemik belum tercapai dengan kombinasi AHO dan insulin basal
sederhana, dapat diberikan regimen insulin yang lebih kompleks, yaitu basal bolus atau
premixed
6. TERAPI INSULIN PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN
HIPERGLIKEMIA
Sesuai indikasi
Secara teknis memungkinkan: prasarana tersedia (syringe pump, mikrodrip, alat
pemeriksaan glukosa darah mandiri/glukometer), tenaga kesehatan yang terampil,
memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan glukosa darah yang intensif (yang pada
awalnya perlu dilakukan setiap jam)
Kadar kalium > 3mEq/L
Jenis insulin yang digunakan: kerja pendek
Upayakan konsentrasi insulin 1 U/mL
Regimen SK dosis koreksional
Jika kadar glukosa puasa tidak mencapai target, perlu dilakukan penyesuaian
Pemantauan glukosa darah
Pemantauan glukosa darah pada pasien rawat inap hendaknya selalu berpegang pada prinsip
kehati-hatian terhadap kejadian hipoglikemia. Semakin agresif pemberian insulin,
pemantauan glukosa darah dilakukan semakin ketat. Hal ini disesuaikan tidak hanya atas
indikasi klinis tetapi juga berdasarkan kemampuan operasional sarana dan prasarana yang
ada. Misalnya, meskipun harus dilakukan pemantauan ketat, tetapi jika tenaga kesehatan
jumlahnya terbatas, maka agresivitas pemberian insulin hendaknya disesuaikan.
Pasien yang mendapatkan terapi insulin IV kontinyu biasanya akan membutuhkan transisi ke
insulin subkutan jika mereka memulai memakan makanan biasa atau akan pindah ke ruang
rawat biasa. Biasanya, dosis insulin subkutan diberikan antara 75-80% dari dosis harian total
insulin IV kontinyu, yang kemudian dibagi secara proporsional menjadi komponen basal dan
prandial. Perlu dicatat, bahwa insulin SK harus diberikan 2 jam sebelum infus insulin IV
dihentikan untuk mencegah hiperglikemia.
< 200 : -
200-<250 : insulin 5 unit
250-<300 : insulin 10 unit
300-<350 : insulin 15 unit
>350 : insulin 20 unit
Iodide Trapping
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah transpor iodida dari darah ke
sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal tiroid mempunyai kemampuan untuk
memompa iodida secara aktif ke interior sel. Hal ini dinamakan iodide trapping. Kadar
iodida trapping oleh tiroid ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan yang paling
penting adalah kadar TSH.