POPPY HARYANI
A14062411
RINGKASAN
lahan-lahan yang relatif datar, landai, dan curam. Hal ini menunjukkan bahwa
keadaan lereng yang curam bukan lagi merupakan faktor pembatas untuk
membangun permukiman.
Garis pantai Kabupaten Subang cenderung mengalami penambahan dan
penurunan luas. Garis pantai yang cenderung bertambah maju dari tahun 1972
hingga tahun 2008 adalah di bagian barat (Kecamatan Blanakan) dan di bagian
delta (Tanjung Cipunagara). Pada bagian Tanjung Pamanukan dan Tanjung
Pancerwetan cenderung bertambah mundur karena proses abrasi.
SUMMARY
POPPY HARYANI. Land Cover/Land Use Changes and Coastline Changes at The
Cipunagara Watershed and Surrounding, West Java. Under supervision of
KHURSATUL MUNIBAH and BOEDI TJAHJONO.
The coastline north coastal areas prone Subang addition and reduction.
The coastline which tends to grow forward from 1972 to 2008 is in the western
part (District Blanakan) and in the delta (Cape Cipunagara). On the Cape and the
Cape Pancerwetan Pamanukan tend to grow back because the process of abrasion.
Poppy Haryani
A14062411
Skripsi
sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
LEMBAR PENGESAHAN
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
viii
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi ini. Penelitian ini berjudul Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan di
DAS Cipunagara dan Sekitarnya dan Perubahan Garis Pantai, Jawa Barat.
Penelitian ini dilakukan di DAS Cipunagara dan pengolahan data dilakukan di
Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial Depertemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ...................................................................................................... ii
SUMMARY ....................................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan ..................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
2.1. Pengertian Lahan dan penggunaan Lahan.................................................. 3
2.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya....................................................................................... 3
2.2.1. Faktor Fisik Lahan dan Perubahan Penutupan Lahan .............................. 5
2.3. Pantai dan Perubahan Garis Pantai ............................................................ 6
2.4. Penginderaan Jauh .................................................................................... 7
2.4.1. Landsat ........................................................................................... 8
2.5. Interpretasi Visual...................................................................................... 10
2.6. Sistem Informasi Geografis ..................................................................... 12
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 13
3.1. Lokasi dan Waktu Penelititan ................................................................. 13
3.2. Bahan dan Alat ...................................................................................... 13
3.3. Metode Penelitian .................................................................................. 14
3.3.1. Tahap Persiapan ......................................................................... 14
3.3.2. Tahap Pengumpulan dan Pemrosesan Awal Data ........................ 14
3.3.3. Pengecekan Lapang .................................................................... 17
3.3.4. Tahap Analisis Data ................................................................... 18
xii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
2002). Di sisi lain butir-butir tanah yang terangkut oleh aliran permukaan akan
mengalir menuju ke sungai utama dan pada alur sungai yang kemiringan dasarnya
landai akan mengendap di dasar sungai dan akhirnya mengakibatkan sedimentasi.
Dua faktor utama dari faktor alam penyebab perubahan garis pantai adalah
faktor dari daratan dan laut. Faktor dari daratan berupa sedimentasi melalui sungai
dan adanya tumbuhan pantai. Faktor dari laut berupa arus dan gelombang laut,
pasang surut, sedimentasi dari laut dan morfologi dasar laut. Adapun arus dan
gelombang laut dipengaruhi oleh kekuatan angin yang akan berakibat
mempercepat proses erosi ataupun sedimentasi.
Data penginderaan jauh dapat berupa : (1) data analog, misalnya foto
udara cetak atau data video, dan (2) data digital, misalnya citra satelit (Jensen,
1996). Teknologi Penginderaan jauh berkembang pesat dewasa ini seiring
peranannya yang semakin diperlukan dalam proses pengambilan dan
pengumpulan informasi mengenai obyek yang diamati. Murai (1996)
mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang bisa diekstrak melalui data
penginderaan jauh menjadi 5 tipe (Tabel 1).
Tabel 1. Tipe-tipe informasi hasil ekstraksi dari data penginderaan jauh
Tipe Contoh
Klasifikasi Land Cover, Vegetasi
Deteksi Perubahan Perubahan Land Cover
Ekstraksi Kualitas Fisik Temperatur, Komponen Atmosfer, Elevasi
Ekstraksi Index Index Vegetasi, Index Kekeruhan
Identifikasi Feature Identifikasi Bencana Alam seperti Kebakaran Hutan,
Spesifik atau Banjir, Ekstraksi of Linearment, Deteksi Feature
Arkeologi.
Sumber: Murai, 1996
2.4.1 Landsat
Satelit Landsat merupakan satelit tak berawak pertama yang dirancang
untuk memperoleh data tentang sumberdaya bumi. Satelit Landsat pertama kali
diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 dengan nama ERTS-1, dan tepat sebelum
peluncuran ERTS-B pada tanggal 22 Januari 1975 NASA secara resmi mengganti
nama program ERTS menjadi program Landsat. Program Landsat telah
9
peta topografi yang dibuat merata pada seluruh citra dengan tujuan untuk
memperbaiki distorsi geometrik sehingga diperoleh citra dengan sistem proyeksi
dan koordinat seperti yang ada pada peta. Koreksi geometrik dapat dilakukan
dengan cara image to map-geo-correction atau koreksi citra yang belum
terkoreksi terhadap peta digital yang telah dikoreksi. Agar citra memiliki referensi
koordinat geografis yang sama, citra diubah menjadi proyeksi UTM WGS 84 zona
48 South.
Pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk mendapatkan batas daerah
penelitian, dengan maksud untuk dapat dilakukan pengolahan data yang lebih
rinci pada daerah tersebut. Pemotongan citra ini dilakukan dengan menggunakan
software ERDAS Imagine 9.1 yang didasarkan pada posisi koordinat yang
terdapat di peta digital Jawa Barat dengan proyeksi UTM.
Interpretasi citra merupakan proses mengkaji citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi obyek. Interpretasi citra dilakukan secara visual dengan
pendekatan kunci interpretasi. Kunci interpretasi yang digunakan yaitu bentuk,
ukuran, pola, bayangan, rona, tekstur, dan situs/lokasi. Hasil interpretasi
kemudian dibuat ke dalam sebuah peta penggunaan lahan sementara (tentatif)
yang siap untuk dicek di lapangan.
Tahap pemrosesan data berikutnya adalah pembuatan peta elevasi dan peta
curah hujan. Peta Elevasi dibuat dengan menggunakan proses DEM (Digital
Elevation Model). DEM adalah model kuantitatif dari elevasi pada sebagian
permukaan bumi dalam bentuk digital. DEM dilakukan berdasarkan peta kontur
dengan interval 12,5 meter. Pembuatan peta elevasi diawali dengan mengkonversi
peta kontur digital dalam bentuk tiga dimensi (TIN). Hasil konversi dari tahapan
ini kemudian dikonversi dalam bentuk grid. Setelah didapatkan dalam bentuk
grid, kemudian ditetapkan kelas elevasinya. Setelah itu dilakukan digitasi.
Terdapat enam kelas elevasi, yaitu kelas elevasi 1 (0-25 mdpl), kelas elevasi 2
(25-100 mdpl), kelas elevasi 3 (100-250 mdpl), kelas elevasi 4 (250-500 mdpl),
kelas elevasi 5 (500-1000 mdpl), dan kelas elevasi 6 (1000-2000 mdpl).
Peta Curah Hujan dibuat dengan menggunakan metode isohyet.
Extensions Spasial Analyst pada Arc View 3.3 memberikan dua pilihan metode
konturing/interpolasi yaitu metode Spline dan IDW (Inverse Distance Weighted).
17
Metode Spline adalah metode yang menghubungkan titik-titik yang sama nilainya
dengan mempertimbangkan titik-titik lain yang berbeda nilainya serta mampu
memperkirakan nilai suatu daerah berdasarkan jarak titik-titik tersebut. Metode
Spline mempunyai kemiripan dengan metode isohyet dalam proses analisisnya.
Metode ini dipakai untuk menentukan hujan rata-rata pada daerah dengan
penyebaran stasiun atau pos pengamatan hujan yang tidak merata, selain itu
metode ini dapat menaksir nilai garis isohyet berdasarkan jarak terhadap nilai
garis isohyet yang mewakili suatu titik. Berbeda dengan metode IDW, metode ini
mempertimbangkan varian kumpulan titik berdasarkan fungsi jarak dari setiap
titik yang diinterpolasi dimana metode ini mempunyai kemiripan dengan metode
polygon Thiessen. Dalam pembuatan peta ini digunakan delapan titik stasiun
hujan yang mewakili daerah penelitian, yaitu kecamatan Sukamandi,
Pusakanagara, Kalijati, Manyingsal, Anjatan, Buah dua, Sindanglaya, dan
Lembang.
Tabel 6. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di DAS Cipunagara Tahun 2008
informasi yang tidak dapat diperoleh dari citra seperti jenis tanaman dan jarak
tanam. Informasi tambahan dapat diperoleh dari masyarakat setempat yang
menunjukkan akan adanya perubahan penggunaan lahan, sehingga sumber tempat
tersebut harus di cek lagi untuk membuktikan kebenarannya. Pengecekan lapang
dilakukan pada titik sampel yang telah ditetapkan di peta yang mengikuti kondisi
di lapang. Selanjutnya dilakukan penentuan titik geografis dengan GPS (Global
Position System) di lapangan.
/ =
Dimana:
/ : peluang perubahan penggunaan lahan ke-i menjadi ke-r
Peta lereng yang dibuat dari proses DEM dikelaskan ke dalam interval 0-
8%, 8-15%, 15-25%, 25-40%, dan >40% (Gambar 4). Luas dari masing-masing
kemiringan lereng disajikan pada Tabel 8 dan penyebaran spasialnya disajikan
pada Gambar 5.
Luas
No. Kemiringan (%) Keterangan
(Ha) (%)
1 0-8 Datar 114868.60 66.15
2 8-15 Landai 15405.20 8.87
3 15-25 Agak curam 19926.46 11.48
4 25-40 Curam 10794.11 6.22
5 >40 Curam sekali 12651.64 7.29
Total 173646.01 100
Sumber: Hasil Analisis peta RBI, 1999 skala 1:25000, penerbit Bakosurtanal
Kelas lereng yang paling luas pada daerah penelitian adalah kelas
kemiringan 0-8%. Kelas lereng ini mencakup luasan 114868,60 ha atau 66,15%
dari total luas DAS. Kelas lereng agak curam (15-25%) merupakan kelas terluas
kedua dengan luasan 19926,46 ha atau 11,48%. Kemudian berturut-turut adalah
kelas lereng landai dengan luasan 15405,20 ha (8,87%), kelas lereng curam sekali
(7,29%), dan kelas lereng curam (6,22%).
23
4.3 Iklim
Daerah penelitian termasuk ke dalam iklim tropika yang dicirikan oleh
suhu dan kelembaban yang tinggi sepanjang tahun. Perhitungan curah hujan rata-
rata dilakukan dengan menggunakan metode isohyet yang diwakili oleh delapan
stasiun curah hujan. Peta penyebaran curah hujan dapat dilihat pada Gambar 6.
24
4.4 Tanah
Pola sebaran dan jenis tanah pada daerah penelitian disajikan pada tabel 9.
Secara umum terdapat enam jenis tanah yang ada pada daerah penelitian. Jenis
tanah yang paling luas adalah aluvial dengan luasan 58752,47 atau 33,83%. Jenis
tanah terluas kedua adalah latosol dengan luasan 57839,67 ha (33,31%).
Kemudian berturut-turut Grumusol seluas 20078,38 ha (11,56%), Podsolik seluas
18676,99 ha (10,76%), Andosol seluas 9446,96 ha (5,44%), dan jenis tanah
25
dengan luasan terkecil adalah regosol sebesar 8851,55 ha (5,10%). Peta jenis
tanah daerah penelitian disajikan pada Gambar 7.
Tabel 9. Jenis Tanah Daerah Penelitian dan Luasannya
Luas
No. Jenis Tanah
(Ha) (%)
1 Aluvial 58752.47 33.83
2 Andosol 9446.96 5.44
3 Grumusol 20078.38 11.56
4 Latosol 57839.67 33.31
5 Podsolik 18676.99 10.76
6 Regosol 8851.55 5.10
Total 173646.01 100
Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1966
4.5 Geologi
Daerah Penelitian didominasi oleh batu pasir tuffaan dan konglomerat
dengan luasan 31935,17 ha (18,39%) dan aluvial seluas 29304,13 ha (16,88%).
Formasi geologi yang paling kecil masing-masing adalah produk gunung api tua
seluas 228,46 ha (0,13%), breksi produk batuan gunung api tua seluas 230,69 Ha
(0,13%), dan unit lempung tufaan seluas 460,77 ha (0,27%). Adapun luas dari
masing-masing formasi geologi disajikan pada Tabel 10 dan penyebaran
spasialnya disajikan pada Gambar 8.
Tabel 10. Geologi Daerah Penelitian dan Luasannya
Luas
No. Kode Keterangan
(Ha) (%)
1 Qa Aluvial 29304.13 16.88
2 Msc Anggota Batu lempung 12813.61 7.38
3 Mss Anggota Batu pasir 813.31 0.47
4 Qav2 Batu pasir Tuffaan dan Konglomerat 31935.17 18.39
5 Qvb2 Breksi Produk Batuan Gunung api Tua 259.18 0.15
6 Qaf Endapan Dataran Banjir 17121.10 9.86
7 Qad Endapan Delta 4079.40 2.35
8 Qac Endapan Pantai 12777.17 7.36
9 Pt Formasi Cilanang 1809.38 1.04
10 Pk Formasi Kaliwangu 8006.27 4.61
11 Qc Koluvial 22063.46 12.71
12 Qyl Lava 7441.11 4.29
13 Qyu Produk Gunung api Muda 7413.36 4.27
14 Qob Produk gunung api tua 230.69 0.13
15 Qvu Produk Gunung api tua tak teruara 11777.72 6.78
16 Qyd Tufa pasiran 1325.04 0.76
17 Qyt Tuff berbatu apung 4015.15 2.31
18 Qol Unit lempung tufaan 460.77 0.27
Total 173646.01 100
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
27
4.6 Kependudukan
Daerah penelitian mencakup Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang,
dan Kabupaten Indramayu. Jumlah desa yang tercakup dalam DAS Cipunagara
adalah 205 desa, yang terdiri dari 128 desa berada di Kabupaten Subang, 56 desa
di Kabupaten Sumedang, dan 21 desa di Kabupaten Indramayu. Berdasarkan data
potensi desa tahun 2008, jumlah penduduk di daerah penelitian sebanyak
1.085.285 jiwa, dengan 539.061 jiwa penduduk laki-laki dan 546. 224 jiwa
penduduk perempuan.
28
4.8 Pendidikan
Jumlah SLTP umum dari 132 sekolah tahun 2008 turun menjadi 126
sekolah tahun 2008 di Kabupaten Subang (Subang Dalam Angka, 2008).
Sedangkan dari sisi jumlah siswa tahun 2009 mengalami kenaikan dari tahun
sebelumnya, yaitu dari 58.077 menjadi 59.606 siswa. Di Kabupaten Indramayu
pada tahun ajaran 2008/2009 untuk tingkat SD jumlah sekolah sebanyak 880,
SLTP sebanyak 148, SLTA sebanyak 52. Selain itu, juga banyak penduduk yang
bersekolah di sekolah madrasah seperti RA, MI, MTS, dan MA. Sebagian besar
penduduk Kabupaten Sumedang baru dapat menyelesaikan pendidikan sampai
tingkat SD (49,60 %). Sedangkan menyelasaikan pendidikan tingkat SLTP
sebesar 17,27 % dan tingkat SLTA sebesar 13,68 %.
29
ba
2 Hutan
htn
30
3 Kebun
campuran
kc
4 Kebun
coklat
cklt
5 Kebun jati
jati
6 Kebun
karet
krt
31
7 Kebun
tebu
tbu
8 Kebun teh
teh
a. Kebun teh
10 Ladang/te
galan
ldg
32
11 Mangrove
diantara
mgv
galengan
tambak
mgv
tmk
12 Tambak
tmk
13 Sawah
swh
14 Semak
smk
33
15 Permuki-
man
pmk
Badan air. Badan air dalam hal ini meliputi sungai, danau/situ, dan laut.
Kenampakan tubuh air (danau dan laut) pada citra Landsat berwarna biru tua
dengan tekstur halus. Kedalaman air mempengaruhi kegelapan warna. Semakin
tinggi kedalaman air maka warnanya semakin gelap (biru tua). Di dalam citra
Landsat, badan air (sungai) mempunyai bentuk yang berkelok-kelok (meander).
Hutan adalah lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan lebat sehingga
membentuk suatu komunitas kehidupan biologi alami atau ekologi tersendiri.
Hutan pada citra berwarna hijau tua hingga hijau kehitaman, sesuai dengan
kandungan klorofil pada pohon-pohon di hutan. Tekstur hutan tampak kasar
karena vegetasi pada hutan mempunyai ukuran yang bervariasi dengan pola yang
tidak teratur, ada bayangan igir-igir puncak gunung yang menunjukkan sebaran
hingga daerah yang curam, identik dengan letak di sekitar puncak gunung.
Kenampakan hutan di lapang didominasi oleh pohon besar dengan kanopi yang
rapat. Pohon yang terdapat dalam hutan beraneka ragam, namun didominasi oleh
pohon pinus karena dikelola oleh Perum Perhutani. Di Desa Cimanggu,
Kecamatan Cisalak, Subang terdapat Hutan Kota Rangga Wulung yang
didominasi oleh pohon mahoni, nangka, dan pinus.
Kebun campuran adalah kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara
tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman
semusim. Dibandingkan dengan hutan, kenampakan kebun campuran pada citra
Landsat lebih berwarna terang (hijau terang) dengan tekstur relatif kasar. Lokasi
kebun campuran umumnya lebih dekat dengan permukiman jika dibandingkan
dengan lokasi perkebunan (seperti jati, karet, tebu, dan teh). Di lapang,
34
Kebun jati. Kenampakan kebun jati berwarna merah cerah pada citra Landsat. Di
lapang, pohon jati mempunyai penutupan kanopi yang tidak rapat. Tinggi pohon
jati yang ada dalam wilayah penelitian berkisar antara 10-15 meter.
Kebun karet. Kenampakan kebun karet pada citra terlihat mempunyai tekstur
yang kasar. Warna yang tampak pada citra lebih gelap daripada kebun coklat
karena karet mempunyai daun yang rimbun. Kenampakan penutupan daun di
perkebunan karet sangat lebat. Lokasi kebun karet di daerah penelitian terletak di
Kecamatan Cibogo dan Cipunagara. Kebun karet yang ada di wilayah penelitian
selain dikelola oleh masyarakat juga dikelola oleh PTPN VIII.
Kebun tebu. Perkebunan tebu pada citra tampak berwarna hijau muda dan
teksturnya lebih kasar dibandingkan dengan kenampakan kebun lainnya. Kebun
tebu mempunyai luasan yang lebih besar dibandingkan dengan kebun karet. Di
daerah penelitian, kebun tebu terdapat di Kecamatan Cibogo, Haurgeulis,
Pagaden, Cipunagara, dan Compreng.
Kebun teh. Kenampakan kebun teh pada citra Landsat berwarna hijau dan kuning
terang dengan tekstur yang halus, mempunyai pola yang teratur (berpetak-petak)
yang dikelola oleh PTPN VIII. Perkebunan teh ini terletak di jalan cagak, Desa
Tambakan, Kecamatan Cisalak dan Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang.
Namun demikian, di lapang ditemukan wilayah perkebunan teh yang telah
dikonversi menjadi kelapa sawit karena teh yang dihasilkan kurang baik
kualitasnya. Konversi ini dimulai pada tahun 2008.
Ladang. Kenampakan ladang atau tegalan pada citra Landsat berwarna hijau
hingga ungu gelap, teksturnya halus, berada dekat dengan permukiman, atau
35
berada di daerah sekitar sungai, terdapat di lereng bawah sampai dengan daerah
yang berbukit-bukit dengan pola menyebar. Di lapang penggunaan lahan ladang
tampak menempati areal kosong bekas sawah, lahan kosong dekat sungai, areal
sekitar permukiman, dan di sela-sela kebun campuran. Ladang umumnya diisi
oleh tanaman jagung dan singkong.
Sawah. Kenampakan sawah pada Landsat berwarna hijau muda dengan tekstur
halus, dan berada dekat dengan ladang atau permukiman atau berada tidak jauh
dari aliran sungai. Sawah yang digunakan secara intensif yaitu tiga kali panen
dalam setahun merupakan sawah irigasi dengan lereng yang relatif datar (0-8%).
Sawah di Subang bagian selatan umumnya merupakan sawah terasering karena
berada di daerah pegunungan dengan elevasi yang cukup tinggi (500-1000 mdpl).
90000.0
46.5
80000.0 44.6
70000.0
36.1
60000.0
Luas (Ha)
50000.0
23.0
40000.0
1972
30000.0 %
15.1
13.5
11.0 1990
20000.0 10.5
9.5 10.1
7.5 7.0
8.2 %
5.6 4.6
10000.0 3.4 3.7 4.2 4.3 2008
3.2 2.9 2.6 2.3 1.9 2.1 2.1 2.3
0.2 0.2 0.2 0.2 0.5 0.5 0.8 0.7 1.2 0.7 0.9 0.8 0.8 1.2 0.7 0.3 0.0
0.5 0.5 0.5 0.8 %
0.0
Bdn
htn Kc Cklt Jti Krt Tbu Teh Ldg Mgv Pmk Swh Smk Sgi Tmk Laut
Air
1972 367.2 16255 39206 825.7 25727 293.8 1399. 1245. 5830. 4387. 1372. 61561 7296. 1454. 1996. 1126.
% 0.2 9.5 23.0 0.5 15.1 0.2 0.8 0.7 3.4 2.6 0.8 36.1 4.3 0.9 1.2 0.7
1990 271.8 23212 9671. 802.3 18942 851.6 1282. 5452. 6377. 3875. 3642. 79818 12006 1454. 3542. 525.6
% 0.2 13.5 5.6 0.5 11.0 0.5 0.7 3.2 3.7 2.3 2.1 46.5 7.0 0.8 2.1 0.3
2008 271.8 17379 7900. 943.8 17971 787.4 2031. 5014. 7253. 3256. 12822 76521 14076 1454. 3970. 75.3
% 0.2 10.1 4.6 0.5 10.5 0.5 1.2 2.9 4.2 1.9 7.5 44.6 8.2 0.8 2.3 0.0
Penggunaan Lahan
Gambar 9. Grafik Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 1972, 1990, dan 2008
38
15.0
10.3
10.0
4.0
5.0 2.4 2.7
0.3 0.3 1.3 0.9
% Perubahan
0.0
-0.1 0.0 -0.1 -0.3 0.0 -0.4
-5.0 -4.1
2.0 1.2
1.0 0.4 0.5
0.0 0.1 0.0 0.2
0.0
0.0 -0.3 -0.3
-0.6 -0.4
-1.0
-1.0
-2.0
-1.9
-3.0
-4.0 -3.4
Penggunaan Lahan
Badan Air 244,1 0,0 21,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 17,1 0,0 0,0 84,3 0,0 0,0 0,0 0,0 367,2
Hutan 0,0 8264,8 748,7 0,0 964,7 0,0 0,0 235,8 565,8 0,0 89,3 1873,4 3513,2 0,0 0,0 0,0 16255,7
Kebun Campuran 14,4 6775,1 5687,3 161,2 3739,8 424,7 16,8 3010,6 2643,3 0,0 865,5 11589,0 4278,9 0,0 0,0 0,0 39206,6
Kebun Coklat 0,0 0,0 4,9 322,3 315,4 0,0 0,0 0,0 23,1 0,0 18,8 141,2 0,0 0,0 0,0 0,0 825,7
Kebun Jati 0,0 6202,9 158,7 193,5 10082,7 61,1 0,0 332,4 940,0 0,0 73,8 5186,2 2495,9 0,0 0,0 0,0 25727,2
Kebun Karet 0,0 0,0 0,0 0,0 103,1 92,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 98,4 0,0 0,0 0,0 0,0 293,8
Kebun Tebu 10,0 0,0 284,4 0,0 0,0 0,0 556.4 0,0 38,9 0,0 41,9 1024,5 0,0 0,0 0,0 0,0 1399,6
Kebun Teh 0,0 284,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 758,5 0,0 0,0 0,0 202,6 0,0 0,0 0,0 0,0 1245,6
Ladang 0,0 44,9 771,6 0,0 0,0 52,3 72,7 517,1 1276,9 23,2 210,3 2126,8 375,7 0,0 330,5 0,0 5830,0
Mangrove 0,0 0,0 40,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 94,3 2730,2 0,0 0,0 0,0 0,0 1380,1 143,4 4387,9
Permukiman 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1372,3 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1372,3
Sawah 3,3 67,2 1217,7 114,0 1086,8 187,6 606,2 0,0 436,8 29,9 1079,7 55660,9 812,4 0,0 190,5 37,6 61561,1
Semak 0,0 1491,9 472,2 0,0 2555,7 0,0 0,0 598,4 103,4 0,0 50,7 1491,2 552,0 0,0 0,0 0,0 7316,8
Sungai 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1454,1 0,0 0,0 1454,1
Tambak 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 976,6 0,0 0,0 0,0 0,0 760,7 239,5 1976,8
Laut 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 110,9 0,0 117,4 0,0 0,0 897,8 0,0 1126,1
Jumlah 271,8 23131,4 9427,1 791,1 18848,2 818,0 695,7 5452,6 6139,4 3870,7 3802,3 79635,9 12028,0 1454,1 3559,6 420,5 170346,6
46
0-25 mdpl dengan nilai penaksiran -0,8, kelas elevasi 100-250 mdpl dengan nilai
penaksiran 0,89, dan kelas elevasi 500-1000 mdpl dengan nilai penaksiran 0,60.
Dengan demikian, semakin luas area dengan tingkat elevasi dengan nilai
penaksiran positif, maka probabilitas perubahan lahan pertanian menjadi
permukiman semakin meningkat. Pembangunan permukiman pada kelas elevasi
500-1000 mdpl menunjukkan bahwa kelas elevasi yang tinggi bukan lagi
merupakan faktor pembatas untuk membangun permukiman. Pembangunan
permukiman pada kelas elevasi yang tinggi biasanya diikuti oleh pembangunan
sarana aksesibilitas sehingga menjadi penarik untuk menuju ke lokasi
permukiman tersebut. Geologi dan jenis tanah tanah sebenarnya tidak
berhubungan dengan permukiman, tetapi lebih berhubungan dengan bentuklahan
dimana permukiman lebih banyak ditemukan pada bentuklahan yang relatif datar.
Berdasarkan hasil perhitungan goodness of fit yang disajikan pada Tabel
18 diperoleh nilai scaled deviance sebesar 0,92 dan pearson chi 1,01 yang
menunjukkan bahwa hasil penaksiran terhadap peluang perubahan ini sama
dengan kondisi di lapangan.
Tabel 18. Perhitungan goodness of fit peluang perubahan penggunaan lahan
pertanian menjadi permukiman
Stat. Df Stat. Stat/Df
Deviance 4549 4214.8 0.92653
Scaled Deviance 4549 4214.8 0.92653
2
Pearson Chi 4549 4595.6 1.01024
2
Scaled P. Chi 4549 4595.6 1.01024
Loglikelihood -2107.4
Berdasarkan hasil interpretasi dari citra Landsat tahun 2008, pada bagian
Tanjung delta cipunagara (15c), terdapat lahan timbul akibat proses sedimentasi
dari Sungai Cipunagara. Jika proses sedimentasi ini terus-menerus terjadi di ujung
Tanjung Cipunagara dan mengarah ke barat, maka selama beberapa tahun ke
depan dapat terbentuk laguna.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang menerima air
hujan untuk kemudian mengalirkannya kembali melalui satu sungai utama menuju
ke hilir. DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS
karena selain fungsinya yang sangat penting yaitu sebagai daerah tangkapan air
(Water Catchment Area) juga adanya keterkaitan biofisik dengan daerah tengah
56
dan hilir. Segala bentuk kerusakan yang terjadi di daerah hulu pada akhirnya tidak
hanya akan membawa dampak bagi daerah hulu saja namun akhirnya juga
berdampak pada daerah tengah, dan terutama daerah hilir.
DAS Cipunagara bagian hulu merupakan daerah tangkapan air yang saat
ini telah mengalami banyak perubahan penutupan/penggunaan lahan dari hutan
dan lahan pertanian menjadi permukiman dan perkebunan. Pada tahun 2008,
penggunaan lahan hutan di DAS Cipunagara sebesar 17379,0 ha atau 10,1% dan
kebun jati sebesar 17971,5 ha atau 10,5%. Hal ini tidak sesuai dengan UU No.41
Tahun 1999 pasal 18 ayat 2 yang menyatakan bahwa luas kawasan hutan yang
harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran
sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Besarnya luas kawasan
hutan dan kebun jati yang tidak mencapai 30% ini akan berdampak pada besarnya
tingkat erosi di daerah hulu. Faktor lain yang juga cenderung meningkatkan erosi
di daerah hulu adalah akibat praktek bercocok tanam yang tidak mengikuti
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air serta aktivitas pembalakan hutan (logging)
atau deforestasi (pengurangan areal tegakan hutan).
Pengendapan akhir atau sedimentasi terjadi pada kaki bukit yang relatif
datar, sungai, dan waduk (Sarief, 1985). Demikian juga dengan erosi yang terjadi
di hulu DAS Cipunagara, dimana material hasil erosi di daerah hulu diendapkan di
Bendung Salamdarma yang membendung Sungai Cipunagara. Bendung
Salamdarma berada di lereng bagian hilir Gunung Tangkuban Perahu yang
berfungsi sebagai sarana irigasi untuk mengairi sawah di sekitarnya. Berdasarkan
fenomena di atas, nampak bahwa Dengan demikian material hasil erosi di daerah
hulu kurang berpengaruh terhadap sedimentasi yang terjadi di daerah pantai.
Sedimentasi yang terjadi di pantai utara Subang lebih dipengaruhi oleh
erosi yang terjadi di tebing-tebing sungai, terutama di Sungai Cipunagara bagian
hilir (di bawah Bendungan Salamdarma) dan sungai-sungai kecil. Erosi ini terjadi
karena adanya gerusan air sungai dan adanya longsoran tanah pada tebing sungai.
Erosi tebing sungai tersebut memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
sedimentasi di tepi pantai, seperti nampak pada bagian barat (Kecamatan
Blanakan), Tanjung Pamanukan, Tanjung Pancerwetan, dan Tanjung Cipunagara.
57
Jika proses sedimentasi ini terus berlangsung maka akan timbul daratan baru di
bagian hilir dan akan merubah bentuk garis pantai di kawasan pesisir DAS.
Penggunaan lahan yang terdapat pada bagian hilir dari DAS relatif tetap,
yaitu sawah dengan kemiringan lereng yang datar. Sawah merupakan vegetasi
penutup tanah yang relatif rapat, sehingga dapat memperkecil besarnya aliran
permukaan yang berdampak pada erosi yang terjadi. Selain itu, lereng yang datar
juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan aliran
permukaan yang membawa material-material erosi yang akan diendapkan di
muara sungai. Hal ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap erosi yang
berdampak pada sedimentasi yang terjadi di pantai.
58
KESIMPULAN
SARAN
Untuk mengetahui pola perubahan secara baik harus dilakukan penelitian
lanjutan agar pola perubahan garis pantai secara multi temporal dapat diketahui.
Selain itu juga untuk melihat secara langsung pengaruh penggunaan lahan
terhadap perubahan garis pantai.
59
DAFTAR PUSTAKA
Rahim, Supli Effendi. 2009. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Rosnila. 2004. Perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap
keberadaan situ (studi kasus kota Depok). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sarief, Saifuddin. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana. Bandung
Soenarmo, Sri Hartati. 2003. Penginderaan Jarak Jauh Dan Pengenalan Sistem
Informasi Geografi Untuk Bidang Ilmu Kebumian. Catatan Kuliah. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press.
Bulaksumur, Yogyakarta.
Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh Jilid II. Gadjah Mada University Press.
Bulaksumur, Yogyakarta.
Tarigan, M. Salam. 2007. Perubahan Garis Pantai Di Wilayah Pesisir Perairan
Cisadane, Provinsi Banten. Makara Sains.
Witanto, Beni Iriawan. 2004. Penerapan Penginderaan Jauh Untuk Mendeteksi
Sedimentasi Pantai (Studi Kasus Pantai Utara Subang Jawa Barat). Skripsi.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
61
LAMPIRAN
62
Lampiran 1. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1972 (Kombinasi Band 421)
63
Lampiran 2. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 1990 (Kombinasi Band 542)
64
Lampiran 3. Citra Landsat DAS Cipunagara Tahun 2008 (Kombinasi Band 542)
65
Dimana ;
R1, R2, .. Rn : Curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1, A2, ... An
66
13. Qyu (Produk gunung api muda), merupakan hasil ekstrusif intermediate
dan bahan piroklastik.
14. Qob (Produk gunung api tua), material penyusunnya adalah breksi, lahar,
dan pasir tufa berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil.
15. Qvu (Produk gunung api tua tak teruara), merupakan hasil ekstrusif
intermediate dan bahan piroklastik. Proses sedimentasinya adalah
vulkanisme subaerial.
16. Qyd (Tufa pasiran), merupakan tufa pasir coklat yang mengandung kristal-
kristal hornblende yang kasar, lapisan lapilli, breksi, dan lahar lapuk
kemerah-merahan.
17. Qyt (Tuff berbatu apung), merupakan pasir tufaan, lapilli, bom-bom, lava
berongga dan kepingan andesit-basal yang bersudut dengan banyak
bongkahan dan pecahan batu apung yang berasal dari Gunung api
Tangkuban Perahu.
18. Qol (Unit lempung tufaan), material penyusunnya adalah sedimen klastik
berukuran halus dan batu liatl. Proses sedimentasinya adalah sedimen
terestrial-fluvial.