Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah
dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan
juga muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh
berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling
tolong menolong diantara mereka. Karena itulah sangat perlu sekali kita
mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari,
diantaranya yang bersifat interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya
berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang
lainnya.1
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya di
zaman modern ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda
atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya. Dalam hal jual beli
sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan
salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai
boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.
Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut
senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa
mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu, kami akan mencoba
sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya serta membahas tentang
praktik gadai dalam masyarakat.2

1.2 Rumusan Masalah

1 Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006,


hlm. 3.

2 Ibid.

1
Adapun beberapa rumusan masalah dalam penelitian kami,
yaitu:
1. Bagaimana landasan-landasan teori tentang pegadaian
dalam Islam?
2. Bagaimana sistem pegadaian yang ada dalam masyarakat?
3. Bagaimana nash menjawab persoalan pegadaian dalam
masyarakat?
4. Bagaimana solusi dan hukum praktik pegadaian dalam
masyarakat dalam perspektif Islam?

1.3 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui landasan hukum tentang pegadaian
dalam Islam.
Untuk mengetahui praktik pegadaian dalam masyarakat.
Untuk mengetahui hukum praktik pegadaian dalam
masyarakat.
Untuk memberikan pandangan serta solusi yang dapat
ditawarkan kepada pembaca.

1.4 Metode Penelitian


Metode yang kami gunakan dalam penelitian ini, antara
lain:
a. Metode Observasi
Peneliti mengobservasi secara langsung bagaimana
objek melakukan praktik pegadaian dalam masyarakat.
b. Metode Wawancara
Peneliti tidak hanya mewawancara subjek, tetapi juga
mewawancara pegawai pegadaian untuk mengetahui
sistematika pegadaian secara lebih jelas.
Selain metode observasi dan wawancara, peneliti
juga mengambil beberapa teori tentang pegadaian dalam
Islam dari litertur-literatur mengenai hukum pegadaian.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Gadai (Rahn)


Gadai atau al-rahn ( )secara bahasa dapat diartikan
sebagai (al-tsubut wal habs) yaitu penetapan dan
penahanan.3 Sedangkan secara terminologi beberapa ulama
berbeda pendapat, antara lain:4
Menurut ulama Syafiiyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat
dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang.
Menurut ulama Hanabilah:
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga
(nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu
membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman.
Menurut Sayyid Sabiq:
Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara sebagai
jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan
uang itu atau mengambil sebagian benda itu.

2.2 Dasar Hukum Rahn


Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan
jaminan (borg) adalah firman Allah Swt.





3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Mujaddalad al-Tsalis, Kairo: Dar al-


Fath lil Ilam al-Arabi, 1990, hlm. 123.

4 Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006,


hlm. 159-160.

3
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian.
dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Baqarah: 283).5
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah
dari Anas r.a berkata:
:






Artinya: Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau
kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau
menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk
keluarga itu untuk keluarga beliau. (HR. Ahmad, Bukhari,
Nasai, dan Ibnu Majah).6
Jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik
dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah
disebutkan dalam hadist di atas.7

2.3 Rukun dan Syarat Rahn


5 Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu, 1974,
hlm. 49.

6 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001,
hlm. 139.

7 Ibid.

4
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa
rukun, antara lain yaitu:8
1. Aqad dan Ijab Kabul.
2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasarruf, yaitu mampu
membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafiiyah Ahliyah adalah
orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumayyiz, tetapi
tidak disyaratkan harus baligh.
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan
jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus
dibayar. Rasulullah Saw bersabda: Setiap barang yang boleh diperjual
belikan boleh dijadikan barang gadai.
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.

Adapun syarat dari gadai (rahn) adalah sebagai berikut:9


1. Rahin dan Murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan
keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan
sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan
syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
2. Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam
rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan
sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai
syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
3. Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut
disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata lain
utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-
tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab

8 Ibid., hlm. 162.

9 Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari, Jakarta: PT. Gramedia, 2002, hlm.


92.

5
seandainya utang tersebut merupakan utang yang
berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan
perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan
perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at
Islam.

2.4 Ketentuan Pelakasanaan Rahn dalam Islam


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
ar-rahn antara lain:10
a. Kedudukan Barang Gadai.
Selama ada di tangan pemegang gadai, maka
kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat
yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
b. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil
manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima
gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya
sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi
penerimanya. Apabila mendapat izin dari masing-masing
pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh
dimanfaatkan. Oleh karena itu, agar di dalam perjanjian
gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau
penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan
barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari harta
benda tidak berfungsi atau mubazir.
c. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai.
Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang
gadai yang di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin.
Ulama madzhab Syafii dan Hambali berpendapat bahwa
murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko

10 Muhammad Solikhul Hadi, Pegadaian Syariah, Jakarta: Salemba


Diniyah, 2003, hlm. 54.

6
sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di
mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada
murtahin sampai hari rusak atau hilang.
d. Pemeliharaan Barang Gadai.
Para ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi
tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang
tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan
miliknya. Sedangkan para ulama Hanafiyah berpendapat
lain, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan
memelihara keselamatan barang gadai menjadi
tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai
orang yang menerima amanat.
e. Kategori Barang Gadai.
Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan
adalah semua barang bergerak dan tak bergerak yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Benda bernilai menurut hukum syara.
b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi.
c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin.
f. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai.
Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan,
rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka
rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang
gadaiannya dan kemudian digunakan untuk melunasi
hutangnya.
g. Prosedur Pelelangan Gadai.
h. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa orang yang
menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan
barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan
menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh
tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi
kewajibanya.

2.5 Pandangan Ulama Mengenai Rahn

7
Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu
Aqid, Maqud Alaih (yang diakadkan), Shighat (akad gadai).
Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan secara detil
mengenai rukun gadai beserta pendapat para imam
madzhab.11 Ia mengatakan rukun gadai terdiri dari tiga
bagian:12
Pertama: Orang yang menggadaikan.
Tidak ada perselisihan bahwa di antara sifat-sifat orang
yang menggadaikan adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai
biasa melunasi hutang. Washi (orang yang dipesan untuk
mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan
orang yang berada dalam kekuasaanya manakala tindakan
tersebut untuk melunasi hutang dan memang diperlukan,
pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.
Menurut Syafii, washi dibolehkan menggadaikan karena
ada kepentingan yang jelas. Menurut Malik, budak mukatab
(budak yang berupaya memerdekakan dirinya dengan cara
mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan.
Menurut Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena
harta yang dihutangkan maka hal itu tidak boleh, maka
dalam hal ini Syafii juga mengemukakan pendapat yang
sama.
Malik dan Syafii sependapat bahwa orang bangkruttidak
boleh menggadaikan, namun Abu Hanifah membolehkan
bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang tegas dari
Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena
hutang, apakah ia boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah
perbuatannya itu mengikat atau tidak? Menurut pendapat

11 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid, Beirut:


Dar al-Jiil, 1990, hlm. 204.

12 Ibid., hlm. 204-206.

8
Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni
sebelum ia menjadi bangkrut.
Kedua: Akad gadai
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu
bisa sah dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, harus
berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua,
kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti
mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi
penerima gadai dilarang membacanya. Perselisihan dalam hal
ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang digadaikan
bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh
tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak
boleh dijual, itu boleh, seperti tanaman tani dan buah-buahan
yang belum layak dipetik. Jika sudah layak dipetik, maka
menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang
sudah jatuh tempo. Tentang penggadaian buah yang belum
layak dipanen, dari Syafii ada dua pendapat, boleh
menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo,
maka buah tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik.
Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling benar adalah
yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang
belum jelas nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah
dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafii, kepemilikan penggadai atas
barang yang digadaikan tidak menjadi syarat gadai. Bahkan
keduanya membolehkan barang gadaian itu berstatus
pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai
adalah ikrar penggadaian bahwa barang gadaian harus
berada di tangan penerima gadaian. Kemudian mereka
berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima
barang tersebut dengan cara merampas, kemudian orang

9
yang dirampas barangnya itu menyatakan barang tersebut
sebagai barang gadaian yang ada di tangannya. Dalam hal ini
imam Malik membolehkan pemindahan barang yang
dirampas itu dari tanggungan ghashab menjadi tanggungan
gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap
barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan
perampas, sebelum ia menerima barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafii, tidak boleh,
bahkan barang itu tetap berada dalam tanggungan ghashab,
kecuali jika orang yang dirampas menerima kembali
barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih
pendapat tentang penggadaian bagian barang dari milik
bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh, tetapi menurut
Malik dan Syafii boleh.
Ketiga: Barang yang digadaikan
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat
dilakukan untuk semua barang yang berharga dan dapat
diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu harus tunai.
Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu
pula modal salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan
dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai
hanya berlaku pada barang pesanan. Demikian itu karena
ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi
utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu
transaksi pesanan.
Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada
salam hutang, ghashab harga barang-barang konsumsi,
denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak
penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya,
seperti al-Mamumah dan al-Jaifah.

10
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh
tanggungan dan tidak dibolehkan pada barang pinjaman
yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di bolehkan
pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa
sesudah bekerja, bukan sebelumnya. Demikian pula gadai
bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh pada hudud,
qishash atau proses kemerdekaan budak.
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafiiyah,
barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama,
berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat
digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak
dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai
dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi
Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan
tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi,
baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat
ini mirip dengan madzab Maliki.

BAB III

IDENTITAS SUBJEK

1. Subjek Utama
Nama : Siamah
Tempat, tanggal lahir : Mojokerto, 19 Agustus 1975

11
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat tinggal : Dusun Kedunggede RT 001 RW 01
Desa Kedunggede, Kec. Dlanggu, Kab.
Mojokerto
Pendidikan terakhir : SMA

2. Pegawai Pegadaian
Nama : Ahmad Ridho
Tempat, tanggal lahir : Mojokerto, 9 Maret 1983
Pekerjaan : Pegawai Pegadaian
Alamat tinggal : Dusun Segaran RT 002 RW 02
Desa Dlanggu, Kec. Dlanggu, Kab.
Mojokerto
Pendidikan terakhir : S1

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah melakukan penelitian dan beberapa observasi


serta diperkuat dengan adanya wawancara ke beberapa
narasumber untuk menggali lebih dalam praktik dan sistem
pegadaian yang ada dalam masyarakat. Bahwasanya praktik
yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan pegadaian
yaitu akad yang disepakati pada awal adalah pada saat barang
yang digadaikan diterima oleh murtahin, rahin menyepakati
bahwa diperbolehkan untuk mengambil manfaat dari barang

12
gadaiannya itu. Murtahin pun juga sepakat dengan itu. Tetapi,
ada tambahan akad yang menyatakan bahwa apabila rahin harus
membayar bunga dan hal itu pun sudah disepakati antara rahin
dan murtahin.

Dalam segi konteks Islam, bahwa sistem pegadaian pada


masyarakat dapat dipandang sah apabila menurut rukun dan
syaratnya. Tetapi dalam hal ini, yang menjadi masalah utamanya
adalah pengambilan manfaat dan adanya bunga yang padahal
tidak ada batas waktu jatuh tempo. Pengambilan manfaat pada
benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga
untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-
barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang
gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian
itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang
barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang di bolehkan disini
adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian
yang ada pada dirinya.

Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh


mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut,
sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada
utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila
dimanfaatkan termasuk riba.

Rasulullah Saw bersabda:

Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba.


(Riwayat Harits bin Abi Usamah).

Jadi, jelas bahwa masalah menarik bunga karena gadai


termasuk hukumnya riba menurut hadits Nabi Saw karena
termasuk mengambil manfaat dari barang gadaian dan rahin.

13
Karena dalam hal ini, ada salah satu dari pihak yang dirugikan
meskipun dalam kesepakatan atau akad yang awalnya telah
disepakati oleh kedua belah pihak yakni rahin dan murtahin.

BAB V

PENUTUP

14
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa:
Landasan teori dan hukum rahn telah banyak dibahas
oleh ulama-ulama mengenai rukun, syarat, serta
pengambilan manfaat dari rahn yang dapat dijadikan
sumber dan patokan dalam mengambil suatu
permasalahan hukum dalam praktik rahn di masyarakat.
Praktik yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan
pegadaian yaitu akad yang disepakati pada awal adalah
pada saat barang yang digadaikan diterima oleh
murtahin, rahin menyepakati bahwa diperbolehkan untuk
mengambil manfaat dari barang gadaiannya itu. Murtahin
pun juga sepakat dengan itu. Tetapi, ada tambahan akad
yang menyatakan bahwa apabila rahin harus membayar
bunga dan hal itu pun sudah disepakati antara rahin dan
murtahin.
Nash menjawabnya lewat ayat-ayat al-Quran yang dalam
hal ini rahn dibahas dalam QS. Al-Baqarah ayat 283 dan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari,
Nasai, dan Ibnu Majah. Sedangkan Jumhur (kebanyakan
ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan
berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah di Madinah.
Masalah menarik bunga karena gadai termasuk hukumnya
riba menurut hadits Nabi Saw karena termasuk
mengambil manfaat dari barang gadaian dan rahin.
Karena dalam hal ini, ada salah satu dari pihak yang
dirugikan meskipun dalam kesepakatan atau akad yang
awalnya telah disepakati oleh kedua belah pihak yakni
rahin dan murtahin.

15
5.2 Saran
Sebagai umat Islam, sebaiknya kita selalu memegang
teguh apa saja hukum yang telah di nash dalam al-Quran
dan al-Hadits agar kegiatan ubudiyah serta muamalah dapat
berjalan sesuai dengan hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Depag RI. 1974. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Bumi Restu.

Hadi, Muhammad Solikhul. 2003. Pegadaian Syariah. Jakarta:


Salemba Diniyah.

16
Ibnu Rusyd. 1990. Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid.
Beirut: Dar al- Jiil.

Rachmat, Syafei. 2006. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka


Setia.

Sabiq, Sayyid. 1990. Fiqh al-Sunnah al-Mujaddalad al-Tsalis.


Kairo: Dar al-Fath lil Ilam al-Arabi.

Sabiq, Sayyid. 2001. Fikih Sunnah. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Sarwat, Ahmad. 2002. Fikih Sehari-hari. Jakarta: PT. Gramedia.

17

Anda mungkin juga menyukai