Anda di halaman 1dari 25

PEMBAHASAN

1. DIABETES MELLITUS

A. DEFINISI
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya.

B. KLASIFIKASI
Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada
tabel di bawah ini :

Klasifikasi diabetes menurut etiologinya (PERKENI, 2011)

C. DIAGNOSIS
Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa
darah. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian sesuai
dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan WHO.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini:
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk
kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes
melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu 200
mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.

Kriteria diagnosis Diabetes Mellitus (PERKENI, 2011)

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk


menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa
darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis
diabetes melitus, TGT, dan GDPT :

D. PENATALAKSANAAN
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe II, yang
umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya
resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes
secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi
keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau
baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas,
baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya
peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes mellitus.

Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya


kualitas hidup penyandang diabetes.

Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu :

1. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan


rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan
mortalitas diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan
perubahan tingkah laku.

Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan


pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi
medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih
atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum
tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis.
Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan
macam macam penyebab terjadinya hiperglikemia seperti yang tertera pada gambar
di bawah ini :
Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia pendekatan yang digunakan
adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai dengan
konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2011. Adapun
pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :

1. EDUKASI
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku, Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang
diabetes dapat menjalani pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah sebagai
berikut :
Mengikuti pola makan sehat
Meningkatkan kegiatan jasmani
Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman,
teratur
Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Melakukan perawatan kaki secara berkala
Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat
Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang diabetes
Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
2. TERAPI GIZI MEDIS
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari
terapi gizi medis ini antara lain :

Menurunkan berat badan


Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
Menurunkan kadar glukosa darah
Memperbaiki profil lipid
Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin
Memperbaiki sistem koagulasi darah
Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan :

a) Kadar glukosa darah mendekati normal


Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl
Kadar A1c < 7%
b) Tekanan darah < 130/80 mmhg
c) Profil lipid yang berkisar normal
Kolesterol LDL < 100 mg/dl
Kolesterol HDL > 40 mg/dl
Trigliserida < 150 mg/dl
d) Berat badan senormal mungkin

Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat,


protein dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat. Adapun
komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut konsensus
penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2011 adalah
sebagai berikut :

Karbohidrat sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari
55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari 70%
jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat
kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10 - 15%dari
total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan
suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4
kilokalori/gram. Rekomendasi pemberian protein sebagai berikut :
a) Kebutuhan protein 15-25 % dari total kebutuhan energi per hari
b) Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi kadar gula darah
c) Pada keadaan kadar gula darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-
1 mg/kgbb/hari
d) Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85
gram/kgbb/hari dan tidak kurang dari 40 gram
e) Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan daripada hewani.
Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan
makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak
seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak
dibedakan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak
jenuh dan kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki
profil lipid yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak
jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah
satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid.
Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan trigliserida, kolesterol
total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL. Sedangkan asam
lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid = PUFA) dapat
melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi
trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan
sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim lipoprotein lipase
yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL. Rekomendasi pemberian lemak adalah
sebagai berikut :
a) Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal
10 % dari total kebutuhan kalori per hari
b) Jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kebutuhan kalori per hari
c) Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL 100
mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari
d) Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang.
e) Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan
kalori per hari.
Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan
bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25
g/1000 kkal/hari.
Kebutuhan kalori, ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Diantaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan.

3. LATIHAN JASMANI
Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merupakan salah
satu dari keempat pilar tersebut. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas malasan.

4. INTERVENSI FARMAKOLOGIS
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Dalam melakukan pemilihan
intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-
macam penyebab terjadinya hiperglikemia.

Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan sebagai berikut :

a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid


Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
Glinid, merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin : tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
c) Penghambat glukoneogenesis : metformin
Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
> 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan.
d) Penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Cara Pemberian OHO :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir
maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
Obat Hipoglikemia Oral (OHO)

E. KOMPLIKASI
1. AKUT
Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang
ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi
akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat.
Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan sampai
menyebabkan syok. KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
dan hormon pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati
meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat
ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian yaitu :

1. Akibat hiperglikemia
2. Akibat ketosis
KAD ditegakkan dengan kriteria diagnosis sebagai berikut :
1. Kadar glukosa > 250 mg%
2. pH < 7,35
3. HCO3 rendah
4. Anion gap yang tinggi
5. Keton serum positif
Begitu masalah KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan KAD
tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan terapi
titerasi, sehingga sebaiknya dirawat diruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip
pengelolaan KAD adalah :

Penggantian cairan dan garam yang hilang


Menekan lipolisis sel lemak dan glukoneogenesis sel hati dengan insulin
Mengatasi stres sebagi pencetus KAD
Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan
serta penyesuaian pengobatan.
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (KHHNK) ditandai oleh
hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis
dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis KHHNK biasanya berlangsung
dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala
khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan.
Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. KHHNK biasanya terjadi pada orang
tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan
menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori :
infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan
penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering. Faktor yang memulai
timbulnya KHHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan
pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang semakin memperberat
derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa
di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau
penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular,
menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding
natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.

Penatalaksanaan KHHNK meliputi lima pendekatan :

Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis.


Penggantian elektrolit
Pemberian insulin intravena
Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
Pencegahan
Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL, bila
terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat
berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu
kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal
kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada
pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala
adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-
glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan


makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula
berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien
dengan hipoglikemia berat. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara
dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat,
sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

2. KRONIK
Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentral terjadi
komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia akan menyebabkan komplikasi
baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika. Komplikasi kronis
ini berkaitan dengan gangguan vascular yaitu :
A. Komplikasi mikrovaskular
B. Komplikasi makrovaskular
C. Komplikasi neurologis

A. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.
Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.
Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya
ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada
kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam dua kelompok, yaitu Retinopati non
proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan stadium awal
dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif ditandai
dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya
hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol
gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat
diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk
apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.
Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling banyak,
sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik
pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-
molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria).
Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif.
Nefropati diabetik ditandai dengan adanya proteinuri persisten (>0.5gr/24 jam),
terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada
nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah.

B. Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri
akibat timbunan plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada diabetes, namun
pada DM timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Komplikasi
makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah
yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia
merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar
insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa
> 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.
Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting
dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.

Penyakit Jantung Koroner


Berdasarkan studi epidemiologi, diabetes merupakan suatu faktor risiko
koroner. Aterosklerosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes.
Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris
(nyeri dada paroksismal serta tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang
bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifitas
atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan
lebih hebat dan tidak mereda dengan pemberian nitrat. Namun gejala-gejala ini
dapat tidak timbul pada pendenita diabetes sehingga perlu perhatian yang lebih
teliti.
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada
penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes.
Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk
penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran arteri karotis interna dan arteri
vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia berupa :
Pusing, sinkop
Hemiplegia : parsial atau total
Afasia sensorik dan motorik
Keadaan pseudo-dementia
Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang
dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah
koronaria, maka akan meningkatkan risiko terjadi infark miokard dan pada
akhirnya terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada
diabetes dibanding pada orang normal. Risiko ini akan meningkat lagi apabila
terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obesitas, hipertensi atau merokok.
Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada
penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada
diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu
bila sudah mencapai fase IV. Faktor faktor neuropati, makroangiopati dan
mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan faktor utama terjadinya proses
gangren diabetik. Pada penderita dengan gangren dapat mengalami amputasi,
sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun kematian.
Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, komplikasi yang sering terjadi
pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. Manifestasi klinis
dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati
biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-
gejala nyeri atau bahkan baal. Yang tersering biasanya adalah serabut saraf
tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada
struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan
myonositol, penurunan Na/K-ATP-ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur
syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.

2. KAKI DIABETIK
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin,
atau keduanya. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan
semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat
mikrovaskular (retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati)
maupun makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease).
Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya
terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat
berkembang menjadi ulkus/gangren diabetik.
Kaki diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang disebabkan
oleh diabetes mellitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik
merupakan kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi vaskuler, serta
infeksi. Penderita kaki diabetik yang masuk rumah sakit umumnya disebabkan oleh trauma
kecil yang tidak dirasakan oleh penderita

Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara umum faktor-
faktor tersebut dapat dibagi menjadi: 2
Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti kelainan
makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan neuropati otonom.

Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati motorik,


neuropati sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi DM yang lain (seperti mata
kabur).

Faktor presipitasi
Perlukaan di kulit (jamur).
Trauma.
Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
Derajat luka.
Perawatan luka.
Pengendalian kadar gula darah.
KLASIFIKASI

A Klasifikasi Edmonds (Kings College Hospital, London, 2004-2005) 1


Stage 1: Normal Foot

Stage 2: High Risk Foot

Stage 3: Ulcerated Foot

Stage 4: Infected Foot

Stage 5: Necrotic Foot

Stage 6: Unsalvable Foot.

B Klasifikasi Liverpool 1
Klasifikasi primer:
Vaskular
Neuropati
Neuroiskemik
Klasifikasi sekunder:
Tukak sederhana, tanpa komplikasi
Tukak dengan komplikasi.
C Klasifikasi Wagner 1
Wagner 0: Kulit intak/utuh
Wagner 1: Tukak superfisial
Wagner 2: Tukak dalam (sampai tendo, tulang)
Wagner 3: Tukak dalam dengan infeksi
Wagner 4: Tukak dengan gangren terlokalisasi
Wagner 5: Tukak dengan gangren luas seluruh kaki.

D Klasifikasi Texas 1
Tingkat
Stadium
0 1 2 3
Luka
Tanpa tukak
superfisial, Luka sampai
atau pasca Luka sampai
A tidak sampai tendon atau
tukak, kulit tulang/sendi
tendon atau kapsul sendi
intak/utuh
kapsul sendi

B ----------------------------Dengan Infeksi----------------------------

C ---------------------------Dengan Iskemia---------------------------

D --------------------Dengan Infeksi dan Iskemia--------------------

E Klasifikasi PEDIS (International Working Group of Diabetic Foot, 2003) 1


Impaired Perfusion 1 None
2 PAD + but not critical
3 Critical limb ischemia
2
Size/Extent in mm
Tissue Loss/Depth 1 Superficial full thickness, not deeper than dermis
2 Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous
structures, fascia, muscle, or tendon
3 All subsequent layers of the foot involved including bone
and or joint
Infection 1 No symptoms or signs of infection
2 Infection of skin and subcutaneous tissue only
3 Erythema > 2 cm or infection involving subcutaneous
structure(s).
No systemic sign(s) of inflammatory response
4 Infection with systemic manifestation:
Fever, leucocytosis, shift to the left
Metabolic instability
Hypotension, azotemia
Impaired 1 Absent
Sensation 2 Present
PENATALAKSANAAN

A Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya ulkus,
bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit. Pencegahan primer ini juga
merupakan suatu upaya edukasi kepada para penyandang DM baik yang belum terkena kaki
diabetik, maupun penderita kaki diabetik untuk mencegah timbulnya luka lain pada kulit.
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkna risiko terjadinya dan risiko
besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik berdasarkan risiko
terjadinya masalah (Frykberg) yaitu: 1
1 Sensasi normal tanpa deformitas
2 Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3 Insensitivitas tanpa deformitas
4 Iskemia tanpa deformitas
5 Kombinasi/complicated
a Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas
b Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,
disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai dengan
tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait
terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah. 1
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk kaki yang
insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang insensitif tersebut.
Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai alas kaki yang dipakai, untuk
meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan permasalahan vaskular,
latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus
yang complicated, akan dibahas lebih lanjut pada upaya pencegahan sekunder. 1
B Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat diperlukan.
Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang
maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama.

1 Mechanical control (pressure control)


Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearing area pada plantar
pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut akan rentan terhadap
timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-bearing dapat dilakukan
antara lain dengan removable cast walker, total contant casting, temporary shoes, felt
padding, crutches, wheelchair, electric carts, maupun cradled insoles. 1

Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka,
seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi bedah (misalnya
operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, dan
partial calcanectomy). 1

2 Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus
dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin.
Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Debridement yang
baik dan adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus
dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat mengurangi produksi cairan/pus dari
ulkus/gangren. 1

Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka,
seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer, senyawa perak sebagai bagian
dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara debridement non surgikal dapat dimanfaatkan
untuk mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim. 1

Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak
pada proses selanjutnya, yaitu proses granulasi dan epitelisasi. Untuk menjaga suasana
kondusif bagi kesembuhan luka, dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Cara
tersebut saat ini umum dipakai di berbagai tempat perawatan kaki diabetik. 1

3 Microbiological control (infection control)


Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang
berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan
resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran Gram
positif dan Gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu
untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik spektrum luas, mencakup
kuman Gram positif dan negatif (misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan
obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol). 1

4 Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka. Berbagai
langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien. Umumnya
kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti
warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea,
dan arteri femoralis, serta pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga tersedia
berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara
noninvasif maupun invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle
pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler serta arteriografi. 1
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan untuk
kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu berupa:

Modifikasi Faktor Risiko 1

Stop merokok
Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia)
Terapi Farmakologis

Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat
aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya
yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki
penyandang DM; tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk
menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada penyakit
pembuluh darah kaki penyandang DM. 1

Revaskularisasi

Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio intermiten yang
hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan revaskularisasi,
diperlukan pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih
jelas. 1

Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi
yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovaskular (PTCA). Pada keadaan sumbatan
akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi. 1

Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki,
sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik, sehingga kesembuhan luka tinggal
bergantung pada berbagai faktor lain yang turut berperan. 1

Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki


vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetik sebagai terapi adjuvant.
Walaupun demikian, masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin
pada pengelolaan umum kaki diabetik. 1

5 Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa darah
diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait
hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin
untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki.
Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga harus
diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi
jaringan serta fungsi ginjal. 1

6 Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik. Dengan
penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya
diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal.

3. HIPERTENSI
1. Definisi : Peningkatan tekanan darah sistolik > 120 atau diastolik > 80
tanpa didahului penyakit lain sebagai penyebabnya
2. Klasifikasi

3. Komplikasi
A. Hipertrofi Ventrikel Kiri
B. Angina/Infark Miokardium
C. Gagal Jantung
D. Transient Ischemic Attack
E. Penyakit Ginjal Kronis
F. Penyakit Arteri Perifer
G. Retinopati
4. Faktor Risiko
A. Diet tinggi garam
B. Stress
C. Obesitas
D. Merokok
E. Genetik
F. Kurangnya aktivitas fisik
G. Dislipidemia
H. Diabetus mellitus
5. Etiologi
A. Faktor risiko yang dapat meningkatkan tekanan darah
B. Gangguan saraf simpatis : tonus simpatis, variasi diural
C. Gangguan keseimbangan modulater vasodilatasi dan vasokonstriksi
D. Pengaruh sistem otokrin yang berperan pada sistem renin, angiotensin, dan
aldosteron
6. Penatalaksanaan
A. Diagnosis
1. Tanda vital
2. Tes darah rutin (Hb dan Ht)
3. Glukosa darah puasa
4. Kolesterol total serum
5. Kolesterol LDL dan HDL
6. Trigliserid serum puasa
7. Asam urat serum
8. Kreatinin serum
9. Kalium serum
10. Urinalisis
11. USG karotis
12. Funduskopi
13. Foto rontgen thorax
14. EKG
B. Terapi
1. Infus RL 20 tpm
2. PO Amlodipin tab 2,5 mg 1x1 tab/hari
3. PO HCT tab 12,5 mg 1x1 tab/hari
4. PO Losartan tab 25 mg 3x1 tab/hari
C. Monitoring
1. Keadaan Umum
2. Tanda Vital
D. Edukasi
1. Edukasi cara meminum obat
2. Edukasi jenis makan yang sebaiknya dikonsumsi dan dihindari
3. Edukasi menghidari merokok dan alkohol
4. Edukasi olahraga
5. Edukasi mengecek tekanan darah 1 bulan 1x

4. INFARK MIOKARD AKUT

II.1 Definisi
Infark Miokard Akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot
jantung yang terganggu.Hal ini bisa disebabkan trombus arteri koroner oleh
ruptur plak yang dipermudah terjadinya oleh faktor-faktor seperti
hipertensi,merokok dan hiperkolesterolemia.
II.2 Etiologi
Terjadinya Infark Miokard Akut biasanya dikarenakan aterosklerosis
pembuluh darah koroner.Nekrosis miokard akut terjadi akibat penyumbatan
total arteri koronaria oleh trombus yang terbentuk pada plak aterosklerosis
yang tidak stabil.Juga sering mengikuti ruptur plak pada arteri koroner
dengan stenosis ringan.Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya IMA
antara lain:merokok,hipertensi,obesitas,hiperkolesterolemia,Diabetes
Mellitus,kepribadian yang neurotik.
II.3 Patofisiologi
Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai
endokardium sampai epikardium,disebut infark transmural.namun bisa juga
hanya mengenai daerah subendokardial,disebut infark
subendokardial.Setelah 20 menit terjadinya sumbatan,infark sudah dapat
terjadi pada subendokardium,dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam
telah terjadi infark transmural.Kerusakan miokard ini dari endokardium ke
epikardium menjadi komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam.Meskipun
nekrosis miokard sudah komplit,proses remodeling miokard yang
mengalami injury terus berlanjut sampai beberapa minggu atau bulan karena
daerah infark meluas dan daerah non infark mengalami dilatasi.
II.4 Gejala Klinis
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah
sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau kanan,ke rahang,ke bahu kiri dan
kanan dan pada lengan.Penderita melukiskan seperti tertekan,terhimpit,
diremas-remas atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada.
Walau sifatnya dapat ringan ,tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih
dari setengah jam.Jarang ada hubungannya dengan aktifitas serta tidak
hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat.Pada sejumlah penderita dapat
timbul berbagai penyulit:aritmia,renjatan kardiogenik,gagal jantung.
II.5 Diagnosis
A.Anamnesis
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit di daerah
prekordial,retrosternal dan menjalar ke lengan kiri,lengan kanan dan ke
belakang interskapuler.Rasa nyeri seperti dicekam,diremas-remas,tertindih
benda padat,tertusuk pisau atau seperti terbakar.Kadang-kadang rasa nyeri
tidak ada dan penderita hanya mengeluh lemah,banyak
keringat,pusing,palpitasi,dan perasaan akan mati.
B.Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit,muka pucat,kulit basah dan dingin.Tekanan
darah bisa tinggi,normal atau rendah.Dapat ditemui bunyi jantung kedua
yang pecah paradoksal,irama gallop.Kadang-kadang ditemukan pulsasi
diskinetik yang tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.
C.EKG
Pada EKG terdapat gambaran gelombang Q yang patologis serta
perubahan segmen ST-T dimana terdapat ST elevasi,ST depresi,dan T
terbalik.(Lihat gambar)
D.Pemeriksaan laboratorium
Adanya peningkatan enzim SGOT,CPK,LDH.(Lihat gambar)
Apabila terdapat 3 dari 4 gejala tersebut di atas maka diagnose dari IMA
dapat ditegakkan.
II.6 Diagnose Banding
1.Angina Pektoris tidak stabil/insufisiensi koroner akut.
Pada kondisi ini angina dapat berlangsung lama tetapi EKG hanya
memperlihatkan depresi segmen ST tanpa disertai gelombang Q yang
patologis dan tanpa disertai peningkatan enzim.
2.Diseksi aorta.
Nyeri dada disini umumnya amat hebat dapat menjalar ke perut dan
punggung.nadi perifer dapat asimetris dan dapat ditemukan bising diastolik
dini di parasternal kiri.Pada foto rontgen dada tampak pelebaran
mediastinum.
3.Kelainan saluran cerna bagian atas(Hernia diafragmatika,esofagitis
refluks).
Nyeri berkaitan dengan makanan dan cenderrung timbul pada waktu
tidur.Kadang-kadang ditemukan EKG non spesifik.
4.Kelainan lokal dinding dada.
Nyeri umumnya setempat,bertambah dengan tekanan atau perubahan
posisi tubuh.
5.Kompresi saraf (terutama C-8).
Nyeri terdapat pada distribusi saraf tersebut.
6.Kelainan intra abdominal.
Kelainan akut atau pankreatitis tanpa menyerupai IMA.
II.7 Penatalaksanaan
Pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin memperbaiki kemballi
aliran pembuluh koroner sehingga reperfusi dapat mencegah kerusakan
miokard lebih lanjut serta mencegah kematian mendadak dengan memantau
dan mengobati aritmia maligna.Adanya obat-obat trombolisis yang dapat
diberikan sebelum dibawa ke rumah sakit,dapat menurunkan angka kematian
sebesar 40%.Obat yang dipakai ialah streptokinase dengan cara pemberian:
1,5 juta unit streptokinase dilartkan dalam 100 ml dekstrosa,diberikan
intravena selama 1 jam.
Perawatan IMA antara lain:
1.Perawatan intensif dan mobilisasi.
Penderita beristirahat dan diberikan diet makanan lunak serta jangan
terlalu panas atau dingin.Bila perlu diberikan obat-obat penenang.
2.Mengatasi nyeri.
Obat pilihan untuk nyeri pada IMA adalah morphine dosis 5 mg i.v.,bila
tidak ada dapat diganti meperidine dengan dosis 75 mg i.m.Preparat nitrat
sub-lingual atau oral.
3.Pemberian O2.
Untuk sedikit menambah oksigenasi miokard.
II.8 Prognosis
Pada 25% episode IMA kematian terjadi mendadak dalam beberapa
menit setelah serangan,karena itu banyak yang tidak sampai ke rumah
sakit.Mortalitas keseluruhan 15-30%.risiko kematian tergantung pada faktor:
usia penderita,riwayat penyakit jantung koroner,adanya penyakit lain-lain
dan luasnya infark.Mortalitas serangan akut naik dengan meningkatnya
umur.Kematian kira-kira 10-20% pada usia dibawah 50 tahun dan 20% pada
usia lanjut.
II.9 Komplikasi
1.Trombo-embolisme
2.Perikarditis
3.Aneurisma ventrikel
4.Renjatan kardiogenik
5.Bradikardia sinus
6.Fibrilasi atrium
7.Gagal jantung
DAFTAR PUSTAKA

1. Ketut Suwitra.. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2010.
2. Perkumpulan endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI : Jakarta

3. Ganong, William, F,MD. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta :
EGC.
4. Ismahun, P. Peran Angiotensin II Reseptor Antagonis pada Penyakit Jantung
Hipertensi : Cermin Dunia Kedokteran No.135. 2009. Dalam http://www.google.com.
5. Slamet, Suyono. 2007. Diabetes Mellitus di Indonesia Dalam buku Sudoyo, W, Aru,
Bambang, S, idrus, A, Marcellus, S,K, Siti, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV. Jakarta : FKUI.
6. PERKENI. 2011. Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta : PERKENI.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.
8.

Anda mungkin juga menyukai