Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

PUASA RAMADHAN BAGI PENDERITA DIABETES MELLITUS

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RSUD DR. Adhyatma Tugurejo Semarang

Disusun oleh:
Tasia Deastuti 01.209.6031

Pembimbing:
dr. Zulfachmi Wahab, SpPD FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

Dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia terutama


masyarakat di perkotaan, terjadi perubahan pola kebiasaan makan masyarakat modern yang
berdampak negatif pada kesehatan. Masyarakat senang makanan modern cepat saji,
diawetkan, manis, berlemak, bersantan yang rendah serat. Akibatnya tingkat kejadian
berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus (DM), dan

stroke semakin meningkat. DM merupakan penyakit kronis yang disebabkan


berkurangnya produksi insulin atau tidak efektifnya insulin yang diproduksi. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya konsentrasi glukosa dalam darah yang dapat merusak berbagai
sistem tubuh terutama jaringan pembuluh darah dan saraf. Terdapat dua tipe DM yaitu tipe I
dikenal sebagai insulin-dependent dan tipe 2 disebut juga non-insulin-dependent. DM tipe
2 lebih sering terjadi dan mencakup sekitar 90% dari seluruh penderita DM (Yosephine

dkk, 2002). Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang diabetes
terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan
berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 juta
penyandang diabetes dengan tingkat prevalensi 14,7 % untuk daerah urban dan 7,2% di rural.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3
juta pada tahun 2030. Sedangkan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) pada tahun
2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus dari 7,0 juta tahun 2009
menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (PERSI, 2011). DM dapat menyerang warga segala
lapisan umur dan tingkat sosial ekonomi, tidak terkecuali kaum Muslim.
Kaum Muslim selama Ramadan harus berpuasa selama kurang lebih 13 jam
sehari selama sebulan. Kaum Muslim yang menderita DM tidak terkecuali harus menjalani
ibadah puasa selama bulan suci Ramadan untuk memperkaya kehidupan spiritualnya. Puasa
selama Ramadan merupakan pengendalian dari diet yang dilakukan penderita DM. Selama
puasa Ramadan, penderita DM praktis makan dua porsi besar yaitu saat sahur dan waktu
berbuka, dibandingkan makan tiga kali bila tidak puasa Ramadhan.
Studi EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and Ramadhan) yang meneliti 12.243
pasien diabetes dari 13 negara Islam mendapatkan 43% pasien diabetes melitus (DM) tipe 1

1
dan 79% pasien DM tipe 2 berpuasa selama Ramadhan. Diperkirakan terdapat 1,1 hingga 1,5
milyar penduduk muslim di seluruh dunia. Angka prevalensi diabetes di seluruh dunia sekitar
4,6% (Wild dkk, 2004) , dan bila diproyeksikan ke hasil studi EPIDIAR ini maka
diperkirakan 40 50 juta diabetesi di seluruh dunia menjalankan puasa Ramadhan setiap
tahunnya (Al-Arouj dkk, 2010). Puasa sejatinya tidak dimaksudkan untuk menyulitkan dan
mencelakakan individu muslim. Secara tegas, dalam kitab suci umat Islam Al-Quran
dijelaskan bahwa berpuasa tidak diwajibkan pada anak-anak, perempuan dalam masa
menstruasi, orang sakit, orang yang dalam perjalanan, perempuan hamil dan menyusui (Al-
Baqarah , 183).
Diabetesi yang berpuasa berisiko mengalami efek samping seperti hipoglikemia,
hiperglikemia dengan atau tanpa ketoasidosis dan dehidrasi. Risiko ini akan meningkat pada
periode berpuasa yang lama (Wild dkk, 2004). Namun, tidak sedikit yang tetap ingin
menjalani puasa Ramadhan dan meminta saran terkait kondisi medisnya. Masalah yang
dihadapi oleh para kaum Muslim adalah apakah kaum Muslim yang menderita DM dapat
diijinkan untuk melaksanakan ibadah puasa selama bulan suci Ramadan. Apakah puasa
selama bulan suci Ramadan mengganggu status klinik kaum Muslim yang menderita
DM? Dan apakah berpuasa ini membahayakan kesehatan penderita DM yang Muslim?
Hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa peranan dokter bukan sebagai penentu
atau pemberi fatwa apakah seorang pasien boleh berpuasa atau tidak. Dokter hanya berperan
memberi pandangan dan panduan mengenai dampak puasa terhadap kondisi medis pasien.
Keputusan akhir apakah berpuasa atau tidak, dikembalikan kepada pasien sendiri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. DIABETES MELLITUS
A. DEFINISI
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Gustaviani, 2006).

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi diabetes menurut etiologinya (PERKENI, 2011)

C. DIAGNOSIS
Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun
demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh,
vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan WHO.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di
bawah ini:

3
1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes
melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl,
kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi
glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200
mg/dl (Gustaviani, 2006).

Kriteria diagnosis Diabetes Mellitus (PERKENI, 2011)

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk


menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa

4
darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis
diabetes melitus, TGT, dan GDPT :

D. PENATALAKSANAAN
Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia pendekatan yang
digunakan adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang
sesuai dengan konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI
tahun 2011. Adapun pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :

1. EDUKASI
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku, Tujuan dari perubahan
perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola hidup sehat.
Perilaku yang diharapkan adalah sebagai berikut :

Mengikuti pola makan sehat


Meningkatkan kegiatan jasmani
Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara
aman, teratur
Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Melakukan perawatan kaki secara berkala

5
Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan
tepat
Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak
keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes
Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
2. TERAPI GIZI MEDIS
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara
lain :
Menurunkan berat badan
Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
Menurunkan kadar glukosa darah
Memperbaiki profil lipid
Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin
Memperbaiki sistem koagulasi darah
Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan:
a) Kadar glukosa darah mendekati normal
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl
Kadar A1c < 7%
b) Tekanan darah < 130/80 mmhg
c) Profil lipid yang berkisar normal
Kolesterol LDL < 100 mg/dl
Kolesterol HDL > 40 mg/dl
Trigliserida < 150 mg/dl
d) Berat badan senormal mungkin
3. LATIHAN JASMANI

6
Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik
merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas malasan.
4. INTERVENSI FARMAKOLOGIS
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Dalam melakukan
pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai
dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia.
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan sebagai
berikut :
a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan glinid
Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
Glinid, merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati.
b) Penambah sensitivitas terhadap insulin : tiazolidindion

7
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan
dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
c) Penghambat glukoneogenesis : metformin
Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki
ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
d) Penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Cara Pemberian OHO :


OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir
maksimal
Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit sebelum makan
Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan pertama

8
Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
Obat Hipoglikemia Oral (OHO)

E. KOMPLIKASI
1. AKUT
Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan
metabolik yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan
hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan
membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD
biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan sampai menyebabkan syok. KAD
adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, dan hormon

9
pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat
dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia.
Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat ringannya
KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu :
1. Akibat hiperglikemia
2. Akibat ketosis
KAD ditegakkan dengan kriteria diagnosis sebagai berikut :
1. Kadar glukosa > 250 mg%
2. pH < 7,35
3. HCO3 rendah
4. Anion gap yang tinggi
5. Keton serum positif
Begitu masalah KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan
KAD tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan
terapi titerasi, sehingga sebaiknya dirawat diruang perawatan intensif. Prinsip-
prinsip pengelolaan KAD adalah :
Penggantian cairan dan garam yang hilang
Menekan lipolisis sel lemak dan glukoneogenesis sel hati dengan insulin
Mengatasi stres sebagi pencetus KAD
Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (KHHNK)
ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala
klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai
gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis
KHHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari
sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai
poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang
dari 10% kasus. KHHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang
mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan
makanan. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori : infeksi,

10
pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan
penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering. Faktor yang memulai
timbulnya KHHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan
kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal
berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun
demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada
sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan kadar
glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium
menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.
Penatalaksanaan KHHNK meliputi lima pendekatan :
Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis.
Penggantian elektrolit
Pemberian insulin intravena
Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
Pencegahan
Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60
mg/dL, bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus
selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan
waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama
pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut
merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal
atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran
pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang
lebih lama. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak
keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).

11
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.
Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang
mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu
dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian
glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. Untuk
penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan
penyebab menurunnya kesadaran.
2. KRONIK
Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentral terjadi
komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia akan menyebabkan komplikasi
baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika. Komplikasi
kronis ini berkaitan dengan gangguan vascular yaitu :
A. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.
Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala
berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang
dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam dua
kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif. Retinopati
non proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif ditandai dengan adanya
pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia
retina. Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula
darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat
diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih
buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.

Nefropati diabetika
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling
banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan
ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi
penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke
dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul

12
kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetik ditandai dengan
adanya proteinuri persisten (>0.5gr/24 jam), terdapat retinopati dan
hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah
kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah.

B. Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis pembuluh-pembuluh darah besar,
khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik
pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih
serius. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan
kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi
bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas
kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko
kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan
meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia
kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam
timbulnya komplikasi makrovaskular.
Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologi, diabetes merupakan suatu faktor
risiko koroner. Aterosklerosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita
diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau
angina pektoris (nyeri dada paroksismal serta tertindih benda berat
dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan
tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah
beristirahat atau mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius
adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan
tidak mereda dengan pemberian nitrat. Namun gejala-gejala ini dapat
tidak timbul pada pendenita diabetes sehingga perlu perhatian yang lebih
teliti.
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua
tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga
menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang
lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran arteri
karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat
iskemia berupa :

13
Pusing, sinkop
Hemiplegia : parsial atau total
Afasia sensorik dan motorik
Keadaan pseudo-dementia
Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya
aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila
terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan meningkatkan risiko
terjadi infark miokard dan pada akhirnya terjadi payah jantung. Kematian
dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes dibanding pada orang
normal. Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan
seperti dislipidemia, obesitas, hipertensi atau merokok. Penyakit
pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada
penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut).
Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat
didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor faktor neuropati,
makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan
faktor utama terjadinya proses gangren diabetik. Pada penderita dengan
gangren dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus
koma, ataupun kematian.
Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, komplikasi yang sering
terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM.
Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom.
Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi
serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang
tersering biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati
disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat
adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myonositol,
penurunan Na/K-ATP-ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur
syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal (PERKENI, 2011).

II. EFEK PUASA PADA INDIVIDU NORMAL


Banyak studi telah meneliti efek berpuasa Ramadhan yang dilakukan individu muslim
terhadap metabolisme tubuh, antara lain terhadap berat badan, metabolisme glukosa,

14
dan metabolisme lipid.
Efek terhadap Berat Badan
Beberapa studi mendapati bahwa individu sehat yang menjalani puasa Ramadhan
mengalami penurunan berat badan (Karamat dkk, 2010). Studi pada 81 orang
mahasiswa sehat di sebuah universitas Teheran mendapati penurunan berat badan
setelah berpuasa Ramadhan baik pada lelaki ataupun perempuan (Ziaee dkk, 2006).
Efek terhadap Metabolisme Glukosa
Pada individu normal, proses makan akan merangsang sekresi insulin dari sel beta
pankreas. Proses ini pada akhirnya menghasilkan glikogenesis dan penyimpanan
glukosa dalam bentuk glikogen di hati dan otot. Sebaliknya, pada kondisi puasa,
sekresi insulin akan berkurang sementara hormon kontra-regulator seperti
glukagon dan katekolamin akan meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis. Selama puasa berlangsung, simpanan glikogen
akan berkurang dan rendahnya kadar insulin plasma memicu pelepasan asam
lemak dari sel adiposit. Oksidasi asam lemak ini menghasilkan keton sebagai
bahan bakar metabolisme oleh otot rangka, otot jantung, hati, ginjal dan jaringan
adipose. Hal ini menghemat penggunaan glukosa yang memang terutama ditujukan
untuk otak dan eritrosit (lihat gambar 1) (Karamat dkk, 2010).

Gambar 1 Patofisiologi Puasa pada Individu Normal


(Diadaptasi dari: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management
and guidelines during Ramadan. J R Soc Med. 2010:103:139-47)

15
Efek terhadap Metabolisme Lipid
Efek puasa Ramadhan terhadap profil lipid bervariasi dalam banyak studi, mungkin
disebabkan perubahan menu diet dan berkurangnya aktivitas. Ziaee dkk tidak
mendapatkan adanya perbedaan kadar trigliserida (TG) yang signifikan sebelum
dan sesudah Ramadhan meski kadar TG meningkat selama Ramadhan. Kondisi ini
diperkirakan akibat konsumsi diet tinggi karbohidrat terutama konsumsi gula
(Ziaee dkk, 2006). Penyebab lain adalah perubahan pola konsumsi sumber
karbohidrat dari karbohidrat kompleks (seperti sereal, buah, sayuran) menjadi
karbohidrat sederhana seperti minuman manis atau dengan pemanis buatan selama
Ramadhan (Sadiya dkk, 2011).

III. PERUBAHAN PADA DIABETESI SAAT BERPUASA


Banyak penelitian umumnya tidak mendapatkan masalah besar pada pasien
diabetes, baik DM tipe 2 maupun tipe 1 yang menjalani puasa (Salti dkk, 2004). Asupan
kalori umumnya berkurang meski ada juga yang tidak berubah, dan didapatkan
penurunan berat badan selama puasa. Selain itu, tidak ditemukan perubahan berarti
kadar glukosa puasa dan HbA1c (Azizi dan Siahkolah , 2003).

Efek Puasa terhadap Metabolisme Pasien Diabetes


Pada pasien DM tipe 1 dan kondisi defisiensi insulin berat akan terjadi proses
glikogenolisis, glukoneogenesis dan ketogenesis yang berlebihan. Kondisi ini pada
akhirnya menyebabkan hiperglikemia dan ketoasidosis yang dapat mengancam
nyawa (Gambar 2). Selain itu, pasien-pasien diabetes memiliki neuropati otonom
yang dapat menyebabkan respons tidak adekuat terhadap kondisi hipoglikemia.

16
Gambar 2 Patofisiologi Puasa pada Individu dengan Diabetes
(Diadaptasi dari: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management
and guidelines during Ramadan. J R Soc Med. 2010:103:139-47)

Efek terhadap Berat Badan


Studi EPIDIAR menunjukkan bahwa secara umum tidak terdapat perubahan berat
badan bermakna pada pasien diabetes yang berpuasa (Salti dkk, 2004). Namun, ada
laporan yang menyebutkan peningkatan atau penurunan berat badan setelah
berpuasa Ramadhan. Tidak adanya asupan makanan atau minuman antara waktu
sahur dan waktu berbuka; seringnya pasien tidak membatasi jumlah atau jenis
asupan makanan saat malam; juga akibat pembatasan aktivitas harian selama
berpuasa karena kekawatiran hipoglikemia, tampaknya mungkin menjadi penyebab
tidak hanya menurunnya berat badan tetapi juga peningkatan berat badan (Azizi
dan Siahkolah, 2003).
Efek terhadap Kadar Glukosa
Beberapa studi menunjukkan tidak ada perubahan signifikan terhadap kendali
kadar glukosa. Variasi kadar glukosa mungkin disebabkan dari jumlah atau jenis
makanan yang dikonsumsi, keteraturan mengonsumsi obat, pola makan yang tidak
terkendali saat berbuka, atau menurunnya aktivitas fisik. Meski begitu, pasien
diabetes yang berpuasa tetap berisiko mengalami hipoglikemia, hiperglikemia
ataupun ketoasidosis (Azizi dan Siahkolah , 2003). Studi EPIDIAR menunjukkan
peningkatan risiko hipoglikemia berat yang membutuhkan perawatan sekitar 4,7
kali lipat pada pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada DM tipe 2. Di sisi lain,

17
risiko hiperglikemia berat meningkat sekitar 5 kali lipat pada pasien DM tipe 2 dan
3 kali lipat pada tipe 1 (Salti dkk, 2004).
Efek terhadap Profil Lipid
Beberapa studi menunjukkan tidak ada perubahan signifikan profil lipid.
Dilaporkan terdapat penurunan ringan kadar kolestrol total dan trigliserida dan
peningkatan kadar HDL, yang menunjukkan penurunan risiko kejadian
kardiovaskular (Karamat dkk, 2010).

IV. RISIKO TERKAIT PUASA PADA DIABETESI


Studi EPIDIAR menemukan peningkatan komplikasi saat berpuasa (Al-Arouj dkk,
2010). Beberapa risiko yang sering timbul pada diabetesi saat puasa antara lain
hipoglikemia, hiperglikemia, ketoasidosis diabetikum, dan dehidrasi serta trombosis.
Hipoglikemia
Menurut studi EPIDIAR dikatakan bahwa risiko hipoglikemia berat meningkat
sebesar 4,7 kali lipat pada pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada pasien DM tipe
2. Hipoglikemia terjadi lebih sering pada pasien dengan perubahan dosis
antidiabetik oral dan insulin, dan pada pasien yang melakukan perubahan gaya
hidup signifikan selama puasa (Al-Arouj dkk, 2010).
Hiperglikemia
Kondisi hiperglikemia sangat erat kaitannya denganberagamkomplikasibaik
mikrovaskular maupun makrovaskular. Banyak penelitian menemukan bahwa pada
pasien diabetes yang menjalani puasa, pengendalian kadar glukosa darah dapat
memburuk, membaik atau tidak berubah. Studi EPIDIAR menunjukkan
peningkatan lima kali lipat risiko hiperglikemia berat pada pasien DM tipe 2 dan
tiga kali lipat pada pasien DM tipe 1 yang menjalani puasa Ramadhan.
Diperkirakan kondisi hiperglikemi ini terjadi akibat pengurangan dosis pengobatan
yang berlebihan, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah hipoglikemia.
Juga pada pasien diabetes yang meningkatkan pola konsumsi selama bulan puasa
(Salti dkk, 2004).
Ketoasidosis diabetikum
Pasien diabetes tipe 1, yang menjalankan puasa Ramadhan, mengalami
peningkatan risiko komplikasi ini, khususnya mereka dengan pengendalian glukosa
yang buruk sebelum Ramadhan. Risiko ini makin meningkat dengan pengurangan

18
dosis pengobatan yang berlebihan (Salti dkk, 2004).
Dehidrasi dan Trombosis
Saat puasa, terjadi pengurangan asupan cairan jangka panjang (11 16 jam) yang
berisiko menimbulkan dehidrasi. Kondisi dehidrasi ini dapat diperberat dengan
perspirasi (pengeluaran keringat) berlebihan dikaitkan dengan kondisi cuaca terik
dan aktivitas fisik yang berat (Salti dkk, 2004).Selain itu, hiperglikemia dapat
mencetuskan terjadinya diuresis osmosis yang dapat menyebabkan deplesi cairan
dan elektrolit. Hipotensi ortostatik dapat terjadi, khususnya pada mereka dengan
neuropati otonom sehingga risiko sinkop, jatuh atau fraktur tulang penting
diperhatikan. Adanya kontraksi ruang intravaskular dapat memicu kondisi
hiperkoagulabel. Peningkatan viskositas darah akibat dehidrasi ini meningkatkan
risiko trombosis dan stroke. Tetapi Temizhan dkk melaporkan bahwa insiden
perawatan rumah sakit akibat penyakit koroner atau stroke tidak meningkat selama
Ramadhan (Salti dkk, 2004).

V. TATA LAKSANA PASIEN DIABETES YANG BERPUASA


Mengingat banyaknya risiko pada pasien diabetes saat menjalankan puasa, sangat
diperlukan pengetahuan pengelolaan yang baik. American Diabetes Association (ADA)
mengeluarkan rekomendasi tata laksana puasa pada pasien diabetes pada tahun 2005
yang telah diperbaharui pada tahun 2010.

Penilaian Sebelum Ramadhan


Semua pasien diabetes yang hendak berpuasa Ramadhan, hendaknya menjalani
penilaian medis 1 2 bulan sebelumnya. Pasien diabetes sering tetap ingin berpuasa
meskipun secara medis tidak memungkinkan. Peranan dokter, sekali lagi, bukan
sebagai pemberi fatwa apakah seseorang pasien boleh berpuasa atau tidak. Dokter
hanya berperan memberikan pandangan dan panduan mengenai dampak puasa terhadap
kondisi medis pasien dan bagaimana mengurangi risiko komplikasi. Untuk itu,
pengenalan risiko berpuasa bagi pasien penting dilakukan (tabel 1 dan tabel 2).

Tabel 1 Kategori Risiko Pasien Diabetes tipe 1 atau 2 yang Berpuasa Ramadhan
Risiko Sangat Tinggi
Hipoglikemia berat dalam 3 bulan sebelum ramadhan
Riwayat hipoglikemia berulang

19
Hipoglikemia yang tidak disadari
Buruknya kendali gula darah yang menetap
Riwayat ketoasidosis dalam 3 bulan sebelum ramadhan
Diabetes tipe 1
Penyakit kritis
Riwayat koma hiperglikemik hyperosmolar dalam 3 bulan sebelum ramadhan
Kehamilan
Dialysis kronik
Risiko Tinggi
Hiperglikemia moderat(rerata kadar glukosa 150-300 mg/dL atau kadar A1c 7,5-
9,0%)
Insufisiensi renal
Komplikasi mikrovaskular
Pasien dengan terapi insulin atau sulfonylurea yang tinggal sendirian
Usia lanjut dengan komorbid
Dalam pengobatan yang mempengaruhi tingkat kesadaran
Risiko Menengah
Pasien diabetes yang terkendali baik dengan insulin kerja pendek
Risiko Rendah
Pasien diabetes yang terkendali baik dengan gaya hidup sehat, metformin, akarbose,
thiazolidineodione, dan atau terapi berbasis inkretin

Sumber: Al-Arouj M, Bouguerra R, Buse J, et al. American Diabetes Association


recommendations for management of diabetes during Ramadan: update 2010. Diabetes
Care. 2010;33:1895-1902

Tabel 2 Kelompok Pasien DM yang Boleh dan Tidak Boleh (Tidak Dianjurkan)
Berpuasa
Kelompok I
Pasien DM yang kadar gula darahnya terkontrol dengan baik dapat berpuasa tanpa
masalah dengan tetap perencanaan makanan dan olah raga saja.memperhatikan
pengaturan makan dan aktivitas fisik
Kelompok II
Pasien DM yang selain melaksanakan perencanaan makan dan olah raga juga
memerlukan obat hipoglikemik oral (OHO) untuk mengontrol kadar gula darahnya.
IIa
Membutuhkan dosis tunggal dan kecil, misalnyaBoleh berpuasa dengan

20
menggeser obat pagi ke sore glibenklamid 1 x 1 tablet sehari, pagisaat berbuka
puasa.
IIb
Membutuhkan OHO dengan dosis lebih tinggi danDapat berpuasa dengan
menggeser obat pagi ke saat terbagi, misalnya glibenklamid pagi 2 tablet
danberbuka dan obat sore ke saat makan sahur dengan sore 1 tablet.dosis
setengahnya. Jika minum obat 3 kali sehariBerpuasa dengan obat pagi dan
siang diminum pada saat berbuka, dan obat sore digeser ke saat makan sahur
dengan dosis setengahnya.
Kelompok III
Pasien DM yang selain perencanaan makan dan olahraga juga membutuhkan /
tergantung insulin atau kombinasi dengan OHO.
IIIa
Membutuhkan insulin satu kali sehari.Dapat berpuasa dengan motiviasi yang
kuat dan harus misalnya NPH 20U 1 x seharidengan pengawasan yang ekstra
ketat. Suntikan insulin digeser ke saat berbuka.
IIIb
Membutuhkan insulin dua kali sehari atau lebih. Tidak dianjurkan berpuasa
karena dianggap kadar glukosa darah tidak stabil. Misalnya RI 3 x 12 U sehari
IIIc
Membutuhkan kombinasi OHO dengan insulin.Boleh berpuasa dengan
pengaturan OHO seperti satu kali sehari dan suntik insulin saat berbuka
IIId
Membutuhkan kombinasi OHO dengan insulin dua Tidak dianjurkan berpuasa
karena dianggap kadar kali sehari atau lebih,glukosa darah tidak stabil.

Subekti I. Berpuasa bagi pasien diabetes. Dalam: Syam AF, Setiati S, Subekti I. Tips
berpuasa Ramadhan pada berbagai penyakit kronis. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 27-37.
Pada prinsipnya,penilaian sebelum Ramadhan meliputi:
1) kondisi fisik;
2) parameter metabolik;
3) penyesuaian terhadap perubahan pola asupan selama Ramadhan;
4) penyesuaian regmen dan dosis obat;
5) penyesuaian aktivitas fisik; dan
6) pengenalan tanda dehidrasi, hipoglikemia atau hiperglikemia.

Ada lima hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pasien diabetes yang
menjalankan puasa, yakni
(1) Tata laksana bersifat individual;
(2) Pemantauan teratur kadar glukosa darah;
(3) Nutrisi tidak boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian;

21
(4) Olahraga tidak boleh berlebihan. Sholat tarawih (sholat dengan jumlah rakaat yang
cukup banyak) yang dilakukan setiap malam di bulan Ramadhan, dapat
dipertimbangkan sebagai bagian dari bentuk olahraga yang dianjurkan.
(5) Membatalkan puasa. Pasien harus selalu diajarkan agar segera membatalkan puasa
jika terdapat gejala hipoglikemia (kadar glukosa darah < 60 mg/dL) atau bila dalam
kondisi hiperglikemia.4 Pasien hendaknya lebih sering memeriksa kadar glukosa
darah, misalnya dalam 2 jam sesudah makan sahur. Puasa sebaiknya dibatalkan jika
kadar glukosa darah < 70 mg/dL dalam 1-2 jam awal puasa, terutama bagi pasien
yang menggunakan insulin, sulfonilurea pada saat sahur (Al-Arouj dkk, 2010).

Beberapa petunjuk umum yang perlu diperhatikan bagi pasien diabetes yang berpuasa
adalah (Subekti, 2006) :
(1) Perencanaan makan, jumlah asupan kalori sehari selama bulan puasa kira-kira sama
dengan jumlah asupan sehari-hari yang dianjurkan sebelum puasa. Adapun
pembagian makan yang baik bagi diabetesi selama puasa, para diabetesi sebaiknya
mengkonsumsi makanan dengan menu seimbang. Komposisi menu seimbang terdiri
dari karbohidrat (50-60%), protein (15-20%), lemak (20-25%), ditambah sayur dan
buah untuk sumber vitamin dan mineral. Untuk memperlancar buang air besar ,
cukup mengkonsumsi tinggi serat. Sedangkan komposisi dan waktunya terdiri dari
30 persen saat berbuka puasa, 20 persen sesudah tarawih dan 10% lainnya sebelum
tidur dengan ditambah makanan ringan (snack). Sisanya 30 persen untuk sahur dan
10 persen lagi sebelum imsak, dengan menambahkan snack serta vitamin. Yang
paling penting adalah cukup banyak minum 8 gelas perhari. Lima gelas waktu buka
dan tiga gelas waktu sahur.
(2) Makan sahur sebaiknya dilambatkan.
(3) Lakukan aktivitas fisik sehari-hari dengan wajar seperti biasa. Beberapa penelitian
menunjukkan latihan ringan dan sedang selama Ramadhan tidak berbahaya bagi
penderita NIDDM. Penelitian menunjukkan bahwa berpuasa tidak mengganggu
toleransi terhadap latihan fisik. Harus ditekankan pada penderita diabetes bahwa
sangat penting untuk melanjutkan aktivitas fisik rutin mereka, terutama selama masa
tidak berpuasa.Aktivitas yang ringan seperti jalan kecil dan peregangan otot. Sholat
tarawih (sholat dengan jumlah rakaat yang cukup banyak) yang dilakukan setiap
malam di bulan Ramadhan, dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari bentuk
olahraga yang dianjurkan.Dianjurkan beristirahat setelah sholat dzuhur (siang hari).

22
Program latihan yang dianjurkan bagi penderita DM untuk meningkatkan kesegaran
jasmani adalah CRIPE, karena program ini dianggap memenuhi kebutuhan.CRIPE
adalah kepanjangan dari:
a. Continuous, artinya latihan jasmani terus menerus tidak berhenti dapat
menurunkan intensitas, kemudian aktif lagi dan seterusnya intensitas
dikurangi lagi. Aktif lagi dan seterusnya, melakukan aktivitas latihan
terus-menerus selama 100-150 menit perminggu.
b. Rhytmical, artinya latihan harus dilakukan berirama, melakukan latihan
otot kontraksi dan relaksasi. Jadi gerakan berirama tersebut diatur dan
terus menerus.
c. Interval, artinya latihan dilaksanakan terselang-seling, kadang-kadang
cepat, kadang-kadang lambat tetapi kontinyu selama periode latihan.
d. Progresive, artinya latihan harus dilakukan peningkatan secara bertahap
dan beban latihan juga ditingkatkan secara perlahan-lahan.
e. Endurance, artinya latihan untuk meningkatkan kesegaran dan ketahanan
system kardiovaskuler dan kebutuhan tubuh penderita DM.

Tata Laksana Puasa Pasien DM Tipe 1


Pasien DM tipe 1 memiliki risiko sangat tinggi saat berpuasa Ramadhan.
Risiko ini makin meningkat pada pasien dengan kadar glukosa buruk, atau mereka yang
terbatas aksesnya ke pelayanan kesehatan, adanya hipoglikemia yang tidak disadari, atau
riwayat perawatan di rumah sakit yang berulang. Saran tepat bagi mereka dengan
diabetes tipe 1 adalah anjuran untuk tidak berpuasa, namun diperkirakan sekitar 43%
pasien DM tipe 1 tetap berpuasa Ramadhan (Al-Arouj dkk, 2010). Jika pasien
memutuskan untuk berpuasa Ramadhan, sebaiknya mereka menggunakan terapi insulin
dalam rejimen basal bolus dan rutin memeriksa kadar glukosa darah. Laporan 15 orang
pasien diabetes tipe 1 yang menjalani puasa menyebutkan penggunaan insulin glargin
hanya menyebabkan sedikit kasus hipoglikemia (Mucha, 2004). Perbaikan kendali kadar
glukosa dan penurunan risiko hipoglikemia lebih banyak dijumpai pada penggunaan
insulin lispro bila dibandingkan dengan regular human insulin (Ziaee dkk, 2006).

Tata Laksana Puasa pada Pasien DM Tipe 2


Pasien Terkendali dengan Diet

23
Kelompok pasien ini merupakan kelompok risiko rendah yang diharapkan dapat
menjalani puasa Ramadhan tanpa masalah. Asupan kalori dalam beberapa porsi kecil
daripada hanya satu porsi besar akan membantu mengurangi hiperglikemia post-
prandial. Kebutuhan cairan hendaknya dicukupi untuk mencegah risiko dehidrasi
dan risiko trombosis (Ziaee dkk, 2006).
Pasien dalam Terapi Obat Hipoglikemik Oral
Metformin
Pasien dengan terapi metformin diharapkan dapat menjalani puasa mengingat risiko
hipoglikemianya kecil. Namun, pasien dianjurkan mengubah waktu mengonsumsi
obat dengan saran sepertiga dosis diberikan saat sahur dan dua pertiga dosis saat
berbuka (Ziaee dkk, 2006).

Tiazolidinedion
Penggunaan kelompok obat ini diketahui tidak menyebabkan kejadian hipoglikemia
meski dapat memperkuat efek hipoglikemik golongan sulfonilurea, glinid, dan
insulin. Tidak diperlukan penyesuaian dosis selama berpuasa Ramadhan (Al-Arouj
dkk, 2010).
Sulfonilurea
Kelompok obat ini diketahui sering berkaitan dengan kejadian hipoglikemia
sehingga perlu hati-hati digunakan selama puasa Ramadhan. Penggunaan
glibenklamid dikaitkan dengan risiko hipoglikemia yang lebih besar dibandingkan
sulfonilurea generasi kedua lain seperti gliklazid, glimepirid dan glipizid.4 Belkhadir
dkk mendapati penggunaan glibenklamid aman pada 591 pasien diabetes yang
berpuasa. Laporan lain menyebutkan penggunaan glimepirid pada 332 pasien
diabetes yang berpuasa Ramadhan hanya menyebabkan kejadian hipoglikemia
sebesar 3% pada pasien yang baru terdiagnosis dan 3,7% pada pasien yang telah
diterapi (GLIRA, 2005). Penyesuaian dosis bersifat individual dengan menimbang
besar kecilnya risiko hipoglikemia. Misalnya, pasien dengan sulfonilurea kerja
panjang misalnya glimepirid sekali sehari, selama puasa Ramadhan dianjurkan
mengubah waktu minum obatnya menjadi saat berbuka puasa. Dosis disesuaikan
dengan penilaian terhadap kadar glukosa darah pasien dan risiko hipoglikemia (Al-
Arouj dkk, 2010). Pada penggunaan sulfonilurea dua kali sehari, disarankan
setengah dosis diberikan pada saat sahur, dan dosis biasa pada saat berbuka.

24
Glinid
Kelompok obat ini diketahui memiliki risiko hipoglikemia rendah karena sifat
kerjanya yang pendek. Dapat digunakan dua kali sehari yakni pada saat sahur dan
saat berbuka puasa.

Penghambat alfa glukosidase


Kelompok obat ini tidak dikaitkan dengan kejadian hipoglikemia sehingga aman
digunakan selama puasa Ramadhan yakni pada saat sahur dan pada saat berbuka
puasa (Al-Arouj dkk, 2010).

Terapi berbasis inkretin


Kelompok obat ini misalnya penghambat enzim DPP-4 (dipeptidyl peptidase-4) dan
analog GLP-1 (glucagon-like peptide-1) tidak dikaitkan dengan kejadian
hipoglikemia sehingga aman digunakan selama puasa Ramadhan. Tidak dibutuhkan
penyesuaian dosis namun risiko hipoglikemia akan tinggi bila dikombinasikan
dengan sulfonilurea (Karamat dkk, 2010).

Pasien dalam Terapi Insulin


Saran umum bagi pasien pengguna insulin kerja panjang (misalnya, glargin dan
detemir) adalah mengurangi dosis sebesar 20% untuk mengurangi risiko
hipoglikemia. Kelompok insulin kerja panjang ini disarankan diberikan saat makan
besar saat berbuka puasa. Insulin kerja cepat preprandial tetap dapat diberikan
selama berpuasa, tanpa dosis siang hari. Untuk insulin kerja campuran (premix),
dosis pagi hari diberikan pada saat berbuka dan setengah dosis malam hari diberikan
pada saat sahur (Karamat dkk, 2010).

Tabel 3 Rekomendasi Regimen Terapi Pasien Diabetes Tipe 2 yang Menjalankan


Puasa

25
Sumber: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and
guidelines during Ramadan. J R Soc Med. 2010:103:139-47

Tabel 3 meringkas panduan tata laksana pasien diabetes selama berpuasa Ramadhan.
Hal penting yang harus diperhatikan, bahwa pengelolaan pasien diabetes bersifat
individual sehingga penilaian yang didasarkan dari kendali kadar glukosa darah dan
risiko hipoglikemia tetap memegang peranan penting.
VI. PEDOMAN PUASA UNTUK PENDERITA DM TIPE 2
( Berdasarkan Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia Thn. 2011)
1. Pasien yang terkendali dengan pengaturan makan saja, tidak mengalami kesulitan
kalau berpuasa. Selama berpuasa Ramadhan, perlu dicermati adanya perubahan
jadwal, jumlah dan komposisi asupan makanan.
2. Pasien diabetes usia lanjut mempunyai kecenderungan dehidrasi bila berpuasa,
oleh karena itu dianjurkan minum yang cukup.
3. Perlu peningkatan kewaspadaan pasien diabetes terhadap gejala-gejal
hipoglikemia. Dianjurkan untuk jadwal makan sahur mendekati waktu
imsak/subuh, kurangi aktivitas fisik disiang hari dan bila berolahraga dianjurkan
pada sore hari.

26
4. Pasien yang cukup terkendali dengan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dosis
tunggal juga tidak mengalami kesulitan untuk berpuasa. OHO diberikan pada saat
berbuka puasa. Hati-hati terhadap terjadinya hipoglikemia pada pasien yang
mendapat OHO dengan dosis maksimal.
5. Untuk pasien yang terkendali dengan OHO dosis terbagi, pengaturan dosis obat
diberikan sedemikian sehingga dosis sebelum berbuka lebih besar daripada dosis
sahur.
6. Untuk pasien diabetes Tipe 2 yang menggunakan insulin, dipakai insulin kerja
menengah yang diberikan saat berbuka puasa.
7. Diperlukan kewaspadaan yang lebih tinggi terhadap hipoglikemia pada pasien
pengguna insulin. Perlu pemantauan yang lebih ketat disertai penyesuaian dosis
dan jadwal suntikan insulin. Bila terjadi hipoglikemia, puasa dihentikan.
8. Untuk pasien yang harus menggunakan insulin dosis multipel, dianjurkan untuk
tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.
9. Sebaiknya momentum puasa Ramadhan ini digunakan untuk lebih meningkatkan
pengetahuan pengetahuan dan ketaatan berobat pasien DM. Dengan berpuasa
Ramadhan diharapkan adanya perubahan psikologis yang menciptakan rasa lebih
sehat bagi pasien diabetes.

VII. PENELITIAN TERDAHULU MENGENAI EFEK PUASA RAMADHAN


TERHADAP PENYAKIT DIABETES MELLITUS
Yosephine dkk. ( 2002) menyatakan bahwa Puasa selama Ramadan ternyata
tidak berpengaruh terhadap status klinik penderita DM tipe 2. Kadar gula darah
sewaktu dan gejala-gejala hipoglikemia sebelum dan selama puasa tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna. Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan di
Turki dan Nigeria, yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan gejala-gejala
hipoglikemia penderita DM tipe 2 yang bermakna antara sebelum dan selama puasa
Ramadan (Katibi dkk, 2001). Penelitian ini menunjukkan semakin lama penderita DM
tipe 2 berpuasa ternyata kadar gula darah sewaktu puasa Ramadan semakin baik.
Mereka yang berpuasa selama 30 hari ternyata kadar gula darah sewaktunya termasuk
klasifikasi terkontrol baik. Kegiatan berolahraga yang dilakukan oleh penderita selama
puasa Ramadan menurun secara bermakna dibandingkan sebelum berpuasa. Namun

27
kadar gula darah sewaktu selama puasa Ramadan tidak menunjukkan perbedaanyang
bermakna dengan kadar gula darah sewaktu sebelum puasa Ramadan. Penggunaan
obat-obat oral anti diabetik selama puasa Ramadan tidak mengganggu keadaan klinik
penderita DM tipe 2, dan ternyata aman dan efektif untuk tetap diminum selama puasa
Ramadan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Belkhadir dkk.(1993)
yang mendapatkan penggunaan glibenklamide sangat efektif dan aman bagi penderita
DM tipe 2 yang melaksanakan ibadah puasa selama Ramadan (Belkhadir dkk, 1993).
Penyuluhan bagi penderita DM tipe 2 yang melaksanakan ibadah puasa selama
Ramadan tentang masalah yang dapat terjadi harus dilakukan dan perubahan
penggunaan obat oral anti diabetic bila diperlukan. Bila menggunakan obat oral anti
diabetik golongan sulfonilurea (glibenklamide, glikasid, glipisid) dianjurkan untuk
makan obat pada saat berbuka puasa di malam hari dan bukan pada saat sahur (Omar
dan Motala, 1997). Jika digunakan obat hipoglikemik oral (OHO) dosis terbagi,
pengaturan dosis obat sebelum berbuka lebih besar daripada sahur. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya gejala gejala hipoglikemia selama berpuasa. Keamanan
penderita DM tipe 2 dengan terapi OHO selama berpuasa di bulan Ramadan ternyata
berhasil dibuktikan walaupun masih diperlukan penyesuaian dosis obat oral anti
diabetik yang digunakan (Yosephine dkk, 2002).

BAB III
KESIMPULAN

Kebudayaan dan agama memberikan dampak terhadap tata laksana penyakit kronik
seperti diabetes. Puasa Ramadhan merupakan salah satu pilar (rukun) Islam bagi umat
muslim di seluruh dunia. Banyak pasien DM tetap ingin menjalankan ibadahnya meski secara
medis tidak dianjurkan, misalnya mereka dengan kadar glukosa belum terkendali, perempuan
diabetes hamil, mereka dengan riwayat ketoasidosis atau koma hiperosmolar, dan pasien
dengan komplikasi serius seperti penyakit jantung koroner, gagal ginjal kronik, pasien
diabetes usia lanjut, dan pasien dengan riwayat berulang hipoglikemia atau hiperglikemia
sebelum dan selama puasa Ramadhan.
Peranan dokter adalah bersikap bijak memberikan panduan,menentukan stratifikasi
risiko pasien, mengatur regimen yang sesuai yang tetap bertujuan mengurangi risiko

28
komplikasi. Lima hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pasien diabetes
yang menjalankan puasa yakni (1) tata laksana bersifat individual; (2) pemantauan kadar
teratur glukosa darah; (3) nutrisi tidak boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian; (4)
olahraga tidak boleh berlebihan dan (5) pasien harus tahu kapan membatalkan puasa.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Arouj M, Bouguerra R, Buse J, Hafez S, Hassanein M, Ibrahim MA, et al. 2010.American


Diabetes Association recommendations for management of diabetes during Ramadan: update
2010. Diabetes Care;33: 1895-902

Al-Quran surah 2, ayat 183-5.

Azizi F, Siahkolah B . 2003.Ramadan fasting and diabetes mellitus. Arch Iranian Med; 6 (4):
237 42.

Belkhadir J, el Ghomari H, Klocker N, Mikou A, Nasciri M, Sabti M. 1993.Muslims with


non-insulin dependent diabetes fasting during Ramadan: treatment with gilbenclamide. BMJ;
307: 292-5.

29
Gustaviani Reno, 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Ed. IV Jilid III Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Karamat MA, Syed A, Hanif W. 2010.Review of diabetes management and guidelines during
Ramadan. J R Soc Med: 103: 13947.

Katibi IA, Akande AA, Bojuwoye BJ, Okesima AB. 2001.Blood sugar control among fasting
Muslim type 2 diabetes mellitus in Ilorin. Niger J Med; 10: 132-4.

Mucha GT, Merkel S, Thomas W, Bantle JP. 2004. Fasting and insulin glargine in individuals
with type 1 diabetes. Diabetes Care;27:1209-10.

Perkumpulan endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan


Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI : Jakarta

RI Rangking Keempat Jumlah Penderita Diabetes Terbanyak Dunia. Available from


URL :http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?mid=5&nid=618&catid=23

Sadiya A, Ahmed S, Siddieq HH, Babas J, Carlsson M. 2011.Eff ect of Ramadan fasting on
metabolic markers, body composition, and dietary intake in Emiratis of Ajman (UAE) with
metabolic syndrome. Diabetes Metab Syndr Obes;4:409-1.

Salti I, Benard E, Detournay B, Bianchi-Biscay M, Le Brigand C, Voinet C, et al.


2004.EPIDIAR study group. A population based study of diabetes and its characteristics
during the fasting month of Ramadan in 13 countries: Results of the epidemiology of diabetes
and Ramadan 1422/2001 (EPIDIAR) study. Diabetes Care;27:230611.

Syam AF, Setiati S, Subekti I. 2006.Berpuasa bagi pasien diabetes dalam Tips berpuasa
Ramadhan pada berbagai penyakit kronis. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; p. 27-37.

Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H, 2004.Global prevalence of diabetes, estimates


for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care; 27:104753.

Yosephine, Rajaselvam, Artati, Inestia, Nailahj, Adi Hidayat, 2002.Pengaruh Puasa


selama Ramadan terhadap Status Klinik Penderita Diabetes Melitus tipe 2. J Kedokteran
Trisakti. Mei-Agustus 2002, Vol 21 No. 2

Ziaee V, Razaei M, Ahmadinejad Z, Shaikh H, Yousefi R,Yarmohammadi L, et al. The


changes of metabolic profi le and weight during Ramadan fasting. Singapore Med J.
2006;47:40914.

30
31

Anda mungkin juga menyukai