Literature Review
Literature Review
I. Pendahuluan
Interaksi antar organ ginjal dan jantung mulai mendapat perhatian besar dalam
beberapa tahun terakhir.2 Pada saat ini berbagai negara mulai berhadapan dengan
epidemi kembar yaitu gagal jantung dan disfungsi ginjal.3 Tidaklah mengherankan
bahwa prevalensi epidemi kembar tersebut terus mengalami eskalasi mengingat
keduanya berbagi faktor-faktor risiko yang sama.3 Disamping itu dengan kemajuan yang
pesat dalam tatalaksananya, penderita gagal jantung mempunyai harapan hidup lebih
lama, sehingga lebih besar kemungkinannya mengalami efek jangka panjang dari
disfungsi jantung, terrmasuk disfungsi ginjal yang progresif.4 Kombinasi disfungsi jantung
dan ginjal dikenal sebagai sindrom kardiorenal.5
Perjalanan klinik sindrom kardiorenal secara tipikal berfluktuasi sesuai kondisi klinik
penderita dan terapi yang diberikan. Walaupun manifestasi kliniknya telah banyak
dikenal, patofisiologi yang mendasari belum sepenuhnya dipahami.5 Sindrom kardiorenal
tidak dapat diterangkan semata-mata akibat menurunnya cardiac output. Interaksi
antara jantung, ginjal, sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA), sistem saraf
simpatetik, disfungsi endotel, dan sistem imun terjadi melalui mekanisme umpan balik
yang rumit. Ketidakseimbangan pada sistem yang kompleks tersebut akan membentuk
lingkaran setan yang diduga menjadi penyebab kerusakan struktural dan fungsional
jantung dan ginjal lebih lanjut.4
Mengingat prosesnya yang kompleks, terapi pada sindrom kardiorenal menjadi sulit.6
Sampai saat ini tidak ada konsensus tatalaksana yang telah disepakati.5 Penderita
dengan sindrom ini biasanya resisten terhadap berbagai terapi standar.6 Morbiditas dan
mortalitasnya yang tinggi seringkali membuat para klinisi frustasi karena
ketidakmampuannya memperbaiki kondisi klinik penderita.5
II. Epidemiologi
Bukti-bukti epidemiologik interaksi antara ginjal dan jantung pada awalnya banyak
diperoleh dari populasi gagal ginjal terminal. Penyakit kardiovaskular sangat mudah
ditemukan pada populasi tersebut. Pada saat memulai dialisis, sebanyak 40% diketahui
menderita penyakit jantung koroner, sedangkan gangguan fungsi dan struktur ventrikel
kiri ditemukan pada 85%. Lebih dari 50% penderita dialisis meninggal karena penyakit
kardiovaskular. Mortalitas tersebut 10 30 kali lebih tinggi dibanding populasi umum.
Bahkan sebagian besar penderita penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease=CKD)
derajat 3 atau 4 meninggal karena penyakit kardiovaskular sebelum mencapai gagal
ginjal terminal.7
Hubungan antara gangguan fungsi ginjal dengan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular bahkan sudah terlihat pada disfungsi ginjal yang lebih ringan.7 Sebuah
penelitian epidemiologi berskala besar melibatkan lebih dari 1 juta orang yang diikuti
selama rata-rata hampir 3 tahun menemukan setiap gradasi penurunan estimasi laju
filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate=GFR) dibawah 60 ml/menit berhubungan
dengan peningkatan risiko kematian, kejadian kardiovaskular, dan perawatan di rumah
sakit.8
Penelitian pada hampir 15.000 penderita pasca infark miokard dengan median follow-up
lebih dari 2 tahun, menemukan setiap penurunan estimasi GFR sebesar 10 ml/menit
dibawah 81 berhubungan dengan peningkatan 10% risiko kematian atau komplikasi
kardiovaskular non-fatal.10
Disfungsi ginjal sering ditemukan pada penderita gagal jantung. Pada register lebih dari
100.000 kasus dekompensasi akut gagal jantung, CKD ditemukan pada 30% kasus dan
sebanyak 21% dengan kadar kreatinin > 2 mg/dl.11
Meta-analisis yang melibatkan 16 penelitian pada penderita gagal jantung menemukan
sebanyak 63% dengan berbagai derajat gangguan fungsi ginjal, dan 29% menderita
disfungsi ginjal derajat sedang sampai berat. Mortalitas dalam 1 tahun sebesar 38% pada
penderita dengan berbagai derajat gangguan fungsi ginjal, dan 51% pada penderita
dengan disfungsi ginjal derajat sedang sampai berat. Setiap kenaikan kadar kreatinin
sebesar 0,5 mg/dl terjadi peningkatan mortalitas sebesar 15%, dan setiap penurunan 10
ml/menit estimasi GFR terjadi peningkatan mortalitas sebesar 7%.12
Disfungsi ginjal merupakan faktor prognostik independen yang kuat pada gagal jantung,
baik pada penderita dengan disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Setiap penurunan 1
ml/menit klirens kreatinin akan meningkatkan mortalitas 1%.13 Nilai prognostik disfungsi
ginjal bahkan lebih kuat dibanding disfungsi ventrikel kiri atau penilaian kelas fungsional
New York Heart Association (NYHA), dan tidak terdapat hubungan bermakna antara
disfungsi ginjal dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri.14
Outcome yang lebih buruk juga tampak pada penderita gagal jantung yang mengalami
perburukan fungsi ginjal selama perawatan di rumah sakit. Sebuah penelitian retrospektif
yang mencakup lebih dari 1000 penderita gagal jantung mendapatkan sebanyak 27%
mengalami perburukan fungsi ginjal selama perawatan. Perburukan fungsi ginjal tersebut
berhubungan dengan peningkatan 7,5 kali risiko kematian selama perawatan, terjadinya
berbagai komplikasi, dan perawatan di rumah sakit yang lebih lama.15
III. Definisi
Sampai saat ini definisi sindrom kardiorenal belum sepenuhnya disepakati,3,4,6
diantaranya adalah:
Suatu kondisi patofisiologik yang merupakan kombinasi antara disfungsi ginjal dan
jantung yang mempercepat kegagalan masing-masing organ dan berakibat pada
peningkatan morbiditas dan mortalitas16
Suatu sindrom yang ditandai dengan kegagalan ginjal atau jantung dalam
mengkompensasi gangguan fungsi masing-masing organ tersebut, menyebabkan
lingkaran setan yang berakhir dengan kegagalan seluruh sistem sirkulasi3
IV. Klasifikasi
Ronco dkk18, membuat klasifikasi sindrom kardiorenal berdasarkan mekanisme
patofisiologik yang mendasari kegagalan fungsi jantung dan ginjal. Klasifikasi tersebut
menitikberatkan pada 2 aspek yaitu durasi (onset akut atau kronik), dan urutan kejadian
(didahului gagal ginjal atau didahului gagal jantung, atau terjadi simultan akibat penyakit
sistemik).
Klasifikasi yang mendasarkan pada proses yang bersifat akut yaitu sindrom kardiorenal
tipe I (gagal jantung akut menyebabkan jejas ginjal akut) dan tipe III (jejas ginjal akut
menyebabkan gagal jantung akut) sangat bermanfaat secara klinik, karena perbedaan
patogenesis pada kedua kondisi tersebut membutuhkan pendekatan klinik yang berbeda.
Akan tetapi perbedaan antara sindrom kardiorenal tipe II (gagal jantung kronik
menyebabkan progesifitas penyakit ginjal kronik) dan tipe IV (penyakit ginjal kronik
menyebabkan gagal jantung kronik dan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular)
secara klinik sulit dibedakan.19
Tidak semua penderita secara mudah dapat diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi
diatas, bahkan dalam keadaan tertentu tidak mungkin untuk membedakan sindrom
kardiorenal tipe II dan tipe IV, dan sangat mungkin terjadi perubahan tipe sindrom
kardiorenal dalam perjalanan penyakit penderita.20
V. Patofisiologi
Pada kondisi fisiologis GFR dipertahankan tetap konstan dalam rentang tekanan darah
yang lebar oleh mekanisme autoregulasi yang terutama berada dalam pembuluh afferent
dan efferent glumerulus. Bila terjadi penurunan cardiac output, tekanan darah dapat
turun dibawah rentang yang dapat dikompensasi oleh mekanisme autoregulasi tersebut.
Kondisi ini akan diikuti oleh hipoperfusi, hipofiltrasi dan kemudian iskemia ginjal.
Menurunnya perfusi ginjal akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)
dengan dilepaskannya renin yang akan meningkatkan perubahan angiotensin I oleh
angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang kemudian akan
menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan retensi natrium di ginjal, sehingga terjadi
peningkatan volume sirkulasi efektif.16
Pada gagal jantung, respons fisiologik tersebut tidak hanya mengaktivasi sistem RAA,
tetapi juga meyebabkan efek spiral negatif berupa aktivasi sistem saraf simpatetik,
disfungsi endotel, inflamasi, dan gangguan keseimbangan reactive oxygen/nitric oxide.
Berbagai sistem yang teraktivasi tersebut akan berinteraksi membentuk lingkaran setan
yang akan mempercepat penurunan fungsi ginjal dan fungsi jantung lebih lanjut.16
Mekanisme disfungsi ginjal pada penderita gagal jantung sangat kompleks dan sangat
mungkin beberapa faktor bekerja pada penderita yang sama. Mengenal faktor-faktor
yang terlibat pada masing-masing penderita dan mengeliminasinya bila mungkin
merupakan komponen yang penting dalam tatalaksana sindrom kardiorenal.3
Pada sindrom kardiorenal tipe I terjadinya AKI berhubungan dengan penurunan perfusi
ginjal. Disamping itu terjadi pula penurunan respons terhadap diuretik akibat fenomena
fisiologik yang disebut diuretic braking (semakin menghilangnya efek diuretik yang
terjadi sekunder akibat retensi natrium pasca pemberian diuretik).18
Diagnosis dini AKI pada sindrom kardiorenal tipe I maupun tipe III sangatlah penting.
Pada kedua kondisi tersebut penanda klasik seperti peningkatan kadar kreatinin sudah
menunjukkan kondisi yang terlambat, dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk
mencegah dan melindungi ginjal dari kerusakan lebih lanjut. Penemuan berbagai
biomarker jejas ginjal akut untuk diagnosis dini sindrom kardiorenal masih terus
dikembangkan.18
Peran patogenik defisiensi absolut atau relatif eritropoietin terhadap terjadinya anemia
pada penderita gagal jantung tahap lanjut mungkin bukan semata-mata disebabkan oleh
gagal ginjal. Terdapat bukti bahwa aktivasi reseptor eritropoietin di jantung dapat
mencegah terjadinya apoptosis, fibrosis, dan inflamasi.25
Jejas ginjal akut dapat mempengaruhi jantung melalui beberapa jaras (gambar 4).18
Kelebihan cairan berperan dalam terjadinya edema paru. Hiperkalemia dapat
menyebabkan aritmia dan henti jantung. Uremia dapat mempengaruhi kontraktilitas
miokard melalui akumulasi faktor-faktor depresan miokard dan perikarditis. Kondisi
asidemia mempunyai efek inotropik negatif dan bersama imbalans elektrolit
meningkatkan risiko aritmia. Iskemia ginjal sendiri dapat mempresipitasi aktivasi
inflamasi dan apoptosis pada tingkat jantung.21
Kondisi khusus yang berkaitan dengan sindrom renokardiak akut adalah stenosis arteri
renalis bilateral. Penderita dengan kondisi ini rentan mengalami gagal jantung akut atau
dekompensasi akut disebabkan oleh disfungsi diastolik yang berhubungan dengan
kenaikan tekanan darah akibat aktivasi berlebih aksis RAA, disfungsi ginjal dengan
retensi garam dan air, dan iskemia miokard akut disebabkan oleh peningkatan kebutuhan
oksigen miokard akibat vasokonstriksi perifer yang terus menerus. Blokade angiotensin
yang dibutuhkan dalam pengelolaan hipertensi dan gagal jantung pada penderita-
penderita tersebut akan menyebabkan penurunan GFR dan perburukan fungsi ginjal.18
Disamping terapi spesifik untuk gagal jantung kronik dan gagal ginjal kronik, tatalaksana
sindrom kardiorenal tipe II dan tipe IV pada prinsipnya tidak berbeda, yaitu dengan
seoptimal mungkin menghambat interaksi konektor-konektor kardiorenal tersebut.19
Berlainan dengan penilaian disfungsi ginjal yang lebih akurat ditentukan dengan
pemeriksaan GFR, terjadinya perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung yang
dirawat di rumah sakit ditandai oleh peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3
mg/dl (26,5 mol/l) atau lebih dari 25% kadar awal.15,17,24,27-30 Walaupun
setiap peningkatan kadar kreatinin serum berhubungan dengan outcome yang lebih
buruk, tetapi perbedaan tersebut baru bermakna pada peningkatan lebih dari 0,3
mg/dl.27
Faktor-faktor risiko yang secara konsisten mempengaruhi terjadinya perburukan fungsi
ginjal pada penderita gagal jantung adalah usia lanjut, hipertensi, diabetes dan terdapat
gangguan fungsi ginjal sebelumnya.15,24,29,30 Faktor-faktor lain yang potensial adalah
penggunaan dosis besar diuretik loop,29 dan penggunaan diuretik thiazide.24
Perburukan fungsi ginjal tidak berhubungan bermakna dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri,15,29 cardiac index,24 resistensi vaskular sistemik,24 dan kondisi low-output
(hipotensi).15 Perburukan fungsi ginjal lebih sering ditemukan pada penderita-penderita
dengan presentasi klinik retensi cairan (edema paru, peningkatan tekanan vena
jugular).24,30
Dalam menghadapi penderita dengan disfungsi kardiorenal adalah penting untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang potensial reversibel seperti hipotensi, dehidrasi,
penggunaan inhibitor ACE atau penyekat reseptor angiotensin (angiotensin receptor
blocker=ARB), penggunaan non-steroid anti inflammatory drugs (NSAID), dan stenosis
arteri renalis.26 Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah penilaian status volume,
cardiac output dan kemungkinan terdapatnya penyakit ginjal intrinsik. Kondisi
hipovolemia harus diatasi sebelum terjadi kerusakan ginjal lebih lanjut. Perfusi ginjal
harus dijaga dengan mempertahankan tekanan darah sistolik > 80 mmHg dan tekanan
arterial rata-rata > 50 mmHg. Fungsi ginjal akan membaik sejalan dengan perbaikan
cardiac output dan perfusi ginjal. Bila disfungsi ginjal menetap walaupun telah dilakukan
perbaikan status volume, cardiac output dan resistensi vaskular sistemik, perlu
dipertimbangkan adanya penyakit ginjal intrinsik yang mendasari.3
Terapi yang dipandu dengan pemantauan tekanan baji kapiler pulmonal tidak terbukti
lebih unggul dibanding pemantauan secara klinis dalam memperbaiki outcome penderita
gagal jantung tahap lanjut.24 Walaupun demikian, penggunaan kateter arteri pulmonal
mungkin diperlukan pada penderita sindrom kardiorenal yang berat untuk
mengoptimalkan hemodinamik, memandu terapi gagal jantung lebih agresif,
memfasilitasi keputusan untuk memulai terapi ginjal pengganti, atau dalam membuat
keputusan untuk memulai terapi paliatif gagal jantung kronik.17
Penelitian-penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perburukan fungsi ginjal pada
penderita gagal jantung lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi hipervolemik dibanding
hipoperfusi ginjal akibat penurunan cardiac output atau penurunan volume intravaskuler
akibat penggunaan diuretik berlebih.31,32 Kongesti vena yang ditandai oleh peningkatan
tekanan vena sentral merupakan determinan yang paling kuat untuk terjadinya
perburukan fungsi ginjal. Sebaliknya cardiac index saat masuk maupun perbaikan cardiac
index dengan terapi medik intensif selama perawatan hanya sedikit berpengaruh
terhadap fungsi ginjal.31,32 Perburukan fungsi ginjal jarang terjadi pada penderita
dengan tekanan vena sentral < 8 mmHg31 6 mmHg.32
Sampai saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa terapi yang secara spesifik
bertujuan menurunkan tekanan vena sentral akan memperbaiki disfungsi ginjal dan
outcome penderita gagal jantung, walaupun demikian hal tersebut perlu
dipertimbangkan dalam strategi tatalaksana gagal jantung.33
Tidak ada patokan kadar kretinin yang mutlak untuk menghentikan penggunaan inhibitor
ACE atau ARB, tetapi pada kadar kreatinin diatas 2,5 mg/dl penggunaannya harus
dengan pemantauan ketat. Pada penderita dengan kadar kreatinin diatas 5 mg/dl
mungkin dibutuhkan hemofiltrasi atau dialisis untuk mengontrol retensi cairan dan
mengatasi uremia.26
Proporsi penderita disfungsi ginjal yang mendapat terapi modifikasi risiko kardiovaskular
yang memadai jauh lebih rendah dibanding populasi umum. Kurang dari 50% penderita
disfungsi ginjal mendapat kombinasi aspirin, penyekat beta, inhibitor ACE, dan statin
setelah suatu serangan infark miokard.38
Sebuah penelitian kohort prospektif menunjukkan penggunaan inhibitor ACE dan
penyekat beta pada penderita gagal jantung yang disertai disfungsi ginjal berhubungan
dengan penurunan mortalitas yang sebanding dengan penderita tanpa gangguan fungsi
ginjal.13
Penggunaan antagonis aldosteron pada penderita gagal jantung dengan disfungsi ginjal
harus dilakukan dengan hati-hati. Bila indikasinya telah terpenuhi, yaitu pada penderita
gagal jantung simptomatik berat dengan fraksi ejeksi yang rendah, penambahan
antagonis aldosteron pada regimen inhibitor ACE/ARB dan penyekat beta berhubungan
dengan peningkatan kesintasan penderita gagal jantung. Untuk menghindari kejadian
hiperkalemia yang mengancam jiwa, obat ini sebaiknya tidak diberikan bila kadar
kreatinin > 2,5 mg/dl atau kadar kalium > 5,0 mmol/l.26
Walaupun sampai saat ini tidak ada panduan dengan evidence-based yang kuat untuk
terapi gagal jantung pada penderita disfungsi ginjal,26 tampaknya penderita dalam
populasi tersebut akan memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan panduan
tatalaksana gagal jantung untuk populasi umum, walaupun diperlukan pemantauan yang
lebih ketat.17
5. Terapi lain
Terdapat berbagai terapi lain untuk mengatasi sindrom kardiorenal, beberapa
diantaranya telah ditinggalkan dan beberapa masih dalam penelitian.
Nesiritide
Nesiritide adalah rekombinan peptida natriuretik tipe B manusia. Mekanisme kerjanya
terutama sebagai vasodilator sistemik dan pulmonal yang kuat. Obat ini dengan cepat
dan konsisten menurunkan tekanan pengisian jantung dan mengurangi tekanan baji
kapiler pulmonal. Disamping itu obat ini mempunyai efek natriuresis dan diuresis, serta
menghambat norepinefrin, endotelin-1, dan aldosteron.4,17
Sebuah meta-analisis dari 5 penelitian acak terkontrol berskala besar menunjukkan
penggunaan nesiritide pada dekompensasi akut gagal jantung secara signifikan
meningkatkan risiko perburukan fungsi ginjal.50
Terjadinya perburukan fungsi ginjal mungkin berkaitan dengan dosis yang digunakan.
Sebuah penelitian klinik acak tersamar ganda pada penderita dekompensasi akut gagal
jantung yang disertai disfungsi ginjal menemukan bahwa dengan dosis 0,01
g/kg/menit (tanpa didahului bolus 2 g/kg/menit), nesiritide tidak
mempengaruhi fungsi ginjal.51
Walaupun nesiritide mempunyai efek jangka pendek yang menguntungkan, diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk menentukan efek jangka panjang dan dosis yang memadai
pada dekompensasi akut gagal jantung.17
Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi (UF) telah menjadi salah satu modalitas terapi pada gagal jantung tahap
lanjut untuk mengendalikan kelebihan cairan yang tidak dapat diatasai dengan terapi
medik.52 UF merupakan metode yang efektif, cepat dan relatif aman dalam memperbaiki
simptom kongesti. Disamping itu UF tidak mempengaruhi aktivitas neurohormonal
seperti yang terjadi pada pemberian diuretik.53
Sebuah penelitian prospektif yang membandingkan UF dengan pemberian diuretik pada
200 penderita dekompensasi akut gagal jantung menunjukkan bahwa UF menghasilkan
penurunan berat badan dan mengurangi kelebihan cairan lebih besar. UF juga
berhubungan dengan 50% reduksi insiden perawatan kembali di rumah sakit. Tidak ada
perbedaan dalam perbaikan simptom, kualitas hidup, kelas fungsional NYHA, kadar
kreatinin, kadar BNP, atau mortalitas pada kedua kelompok.54
Penggunakan UF lebih dini (sebelum pemberian diuretik) untuk mengatasi resistensi
diuretik pada penderita gagal jantung berhubungan dengan lama perawatan dan angka
perawatan kembali di rumah sakit yang lebih rendah.55
Dampak jangka panjang, dampak ekonomi, ketersediaan sarana, dan kompleksitas
pemakaiannya telah membatasi penggunaan UF sebagai terapi lini pertama pada
penderita gagal jantung tahap lanjut yang disertai resistensi diuretik.17
Antagonis vasopresin
Arginine vasopresin atau hormon antidiuretik, diproduksi oleh hipotalamus dan
disekresikan melalui lobus posterior kelenjar pituitari sebagai respons terhadap kondisi
hiperosmolar, deplesi volume intravaskular, angiotensin II, dan perangsangan
simpatetik.17
Vasopresin mempunyai sedikitnya 3 subtipe reseptor yaitu V1a, V2, dan V3. Reseptor
V1a ditemukan di sel-sel otot polos vaskular dan di ginjal, memediasi terjadinya
vasokonstriksi dan produksi prostaglandin pada konsentrasi vasopresin yang tinggi.17
Reseptor V2 ditemukan di tubulus kolekting ginjal, memediasi terjadinya resorpsi air di
ginjal melalui insersi kanal-kanal aquaporin-2 ke membran luminal, dan juga melepaskan
faktor von Willebrand dan faktor VIII dari endotel vaskular.17
Reseptor V3 ditemukan di kelenjar pituitari, bertanggung jawab dalam menstimulasi
sekresi hormon adrenokortikotropin.17
Pada gagal jantung terjadi penurunan volume darah arterial efektif akibat cardiac output
yang rendah. Hal ini akan menyebabkan baroreseptor sinus karotis mengirimkan sinyal
ke hipotalamus sehingga terjadi peningkatan kadar vasopresin.17
Penghambatan reseptor vasopresin V1a akan meningkatkan cardiac output, menurunkan
resistensi vaskular perifer, menurunkan tekanan darah arterial rata-rata, dan
menghambat hipertrofi kardiomiosit. Sedangkan penghambatan reseptor V2 akan
menyebabkan aquaresis sehingga terjadi peningkatan konsentrasi natrium dan
menurunkan preload jantung.17
Terdapat 2 antagonis vasopresin yang sedang dalam penelitian intensif yaitu antagonis
reseptor V1a/V2 conivaptan, dan antagonis reseptor V2 spesifik tolvaptan.17
Pada penelitian acak tersamar ganda, pemberian conivaptan intravena pada penderita
gagal jantung tahap lanjut secara bermakna menurunkan preload, meningkatkan
produksi urine, dan meningkatkan kadar natrium.17
Penelitian pada 254 penderita gagal jantung kelas fungsional I III NYHA menunjukkan
kombinasi tolvaptan oral dengan furosemide dapat meningkatkan volume urine,
menurunkan osmolalitas urine, meningkatkan natrium serum, dan memperbaiki
edema.17
Manfaat antagonis vasopresin dalam pengobatan gagal jantung tahap lanjut dan sindrom
kardiorenal masih dalam penelitian.17
Antagonis adenosin
Kadar adenosin plasma meningkat sejalan dengan progresifitas gagal jantung. Antagonis
reseptor adenosin A1 berpotensi memperbaiki fungsi ginjal dan mengatasi resistensi
diuretik pada penderita gagal jantung melalui mekanisme penghambatan pada jaras
umpan balik tubuloglomerular.17
Penelitian pada penderita gagal jantung menunjukkan pemberian antagonis reseptor
adenosin A1 dapat mempertahankan fungsi ginjal, dan secara simultan meningkatkan
respons terhadap diuretik loop.17
Manfaat antagonis reseptor adenosin A1 dalam mencegah perburukan fungsi ginjal dan
mengatasi resistensi diuretik masih memerlukan penelitian lebih lanjut.17
VII. Kesimpulan
1. Berbagai derajat gangguan fungsi ginjal diketahui berhubungan dengan berbagai
gangguan fungsi jantung, demikian pula sebaliknya. Interaksi tersebut, atau dikenal
sebagai disfungsi kardiorenal, akan saling memperburuk fungsi masing-masing organ
dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
2. Prevalensi sindrom kardiorenal belum dapat ditentukan mengingat keberagaman
definisi yang digunakan. Berdasarkan berbagai penelitian dapat dikatakan bahwa
prevalensinya cukup besar.
3. Patofisiologi sindrom kardiorenal belum sepenuhnya dipahami, Faktor-faktor
hemodinamik, neurohormonal, inflamasi, stres oksidatif, disfungsi endotel, dan
kemungkinan faktor-faktor lain, diduga turut berperan dalam terjadinya perburukan
fungsi ginjal dan jantung.
4. Sampai saat ini tidak ada panduan tatalaksana gagal jantung pada penderita dengan
disfungsi ginjal yang berdasarkan bukti-bukti kuat (evidence-based). Walaupun demikian
penderita tampaknya akan memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan
panduan tatalaksana gagal jantung untuk populasi umum, asalkan dengan pemantauan
lebih ketat.
5. Tatalaksana sindrom kardiorenal menjadi sulit disebabkan terbatasnya pengetahuan
tentang mekanisme yang mendasarinya, dan terbatasnya pilihan terapi yang tersedia.
Sampai saat ini tidak ada terapi efektif yang telah disepakati.