Anda di halaman 1dari 16

Literature Review

Interaksi Kardiorenal: Implikasi Terapi


Author : Syarief Hidayat
Kamis, 07 Januari 2010 10:51:07

Dep Cardiology & Vascular Medicine

... it is time ... to motivate cardiologists to think more renal


and nephrologists to think more cardiac

Eberhard Ritz and Andrew Remppis1

I. Pendahuluan
Interaksi antar organ ginjal dan jantung mulai mendapat perhatian besar dalam
beberapa tahun terakhir.2 Pada saat ini berbagai negara mulai berhadapan dengan
epidemi kembar yaitu gagal jantung dan disfungsi ginjal.3 Tidaklah mengherankan
bahwa prevalensi epidemi kembar tersebut terus mengalami eskalasi mengingat
keduanya berbagi faktor-faktor risiko yang sama.3 Disamping itu dengan kemajuan yang
pesat dalam tatalaksananya, penderita gagal jantung mempunyai harapan hidup lebih
lama, sehingga lebih besar kemungkinannya mengalami efek jangka panjang dari
disfungsi jantung, terrmasuk disfungsi ginjal yang progresif.4 Kombinasi disfungsi jantung
dan ginjal dikenal sebagai sindrom kardiorenal.5
Perjalanan klinik sindrom kardiorenal secara tipikal berfluktuasi sesuai kondisi klinik
penderita dan terapi yang diberikan. Walaupun manifestasi kliniknya telah banyak
dikenal, patofisiologi yang mendasari belum sepenuhnya dipahami.5 Sindrom kardiorenal
tidak dapat diterangkan semata-mata akibat menurunnya cardiac output. Interaksi
antara jantung, ginjal, sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA), sistem saraf
simpatetik, disfungsi endotel, dan sistem imun terjadi melalui mekanisme umpan balik
yang rumit. Ketidakseimbangan pada sistem yang kompleks tersebut akan membentuk
lingkaran setan yang diduga menjadi penyebab kerusakan struktural dan fungsional
jantung dan ginjal lebih lanjut.4
Mengingat prosesnya yang kompleks, terapi pada sindrom kardiorenal menjadi sulit.6
Sampai saat ini tidak ada konsensus tatalaksana yang telah disepakati.5 Penderita
dengan sindrom ini biasanya resisten terhadap berbagai terapi standar.6 Morbiditas dan
mortalitasnya yang tinggi seringkali membuat para klinisi frustasi karena
ketidakmampuannya memperbaiki kondisi klinik penderita.5

II. Epidemiologi
Bukti-bukti epidemiologik interaksi antara ginjal dan jantung pada awalnya banyak
diperoleh dari populasi gagal ginjal terminal. Penyakit kardiovaskular sangat mudah
ditemukan pada populasi tersebut. Pada saat memulai dialisis, sebanyak 40% diketahui
menderita penyakit jantung koroner, sedangkan gangguan fungsi dan struktur ventrikel
kiri ditemukan pada 85%. Lebih dari 50% penderita dialisis meninggal karena penyakit
kardiovaskular. Mortalitas tersebut 10 30 kali lebih tinggi dibanding populasi umum.
Bahkan sebagian besar penderita penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease=CKD)
derajat 3 atau 4 meninggal karena penyakit kardiovaskular sebelum mencapai gagal
ginjal terminal.7
Hubungan antara gangguan fungsi ginjal dengan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular bahkan sudah terlihat pada disfungsi ginjal yang lebih ringan.7 Sebuah
penelitian epidemiologi berskala besar melibatkan lebih dari 1 juta orang yang diikuti
selama rata-rata hampir 3 tahun menemukan setiap gradasi penurunan estimasi laju
filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate=GFR) dibawah 60 ml/menit berhubungan
dengan peningkatan risiko kematian, kejadian kardiovaskular, dan perawatan di rumah
sakit.8

Tabel 1. Derajat penyakit ginjak kronik (chronic kidney disease=CKD)


Deskripsi GFR
(ml/menit/1,73m2)
Derajat 1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat ≥ 90
Derajat 2 Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan GFR 60 89
Derajat 3 Penurunan sedang GFR 30 59
Derajat 4 Penurunan berat GFR 15 29
Derajat 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
CKD difenisikan sebagai:
1. Kerusakan ginjal &#8805; 3 bulan yang dibuktikan dengan biopsi ginjal atau marka
kerusakan ginjal,
disertai atau tanpa penurunan GFR,
atau
2. GFR < 60 ml/menit/1,73m2 yang terjadi &#8805; 3 bulan, disertai atau tanpa
kerusakan ginjal.
Dikutip dari Sarnak dkk.9

Penelitian pada hampir 15.000 penderita pasca infark miokard dengan median follow-up
lebih dari 2 tahun, menemukan setiap penurunan estimasi GFR sebesar 10 ml/menit
dibawah 81 berhubungan dengan peningkatan 10% risiko kematian atau komplikasi
kardiovaskular non-fatal.10
Disfungsi ginjal sering ditemukan pada penderita gagal jantung. Pada register lebih dari
100.000 kasus dekompensasi akut gagal jantung, CKD ditemukan pada 30% kasus dan
sebanyak 21% dengan kadar kreatinin > 2 mg/dl.11
Meta-analisis yang melibatkan 16 penelitian pada penderita gagal jantung menemukan
sebanyak 63% dengan berbagai derajat gangguan fungsi ginjal, dan 29% menderita
disfungsi ginjal derajat sedang sampai berat. Mortalitas dalam 1 tahun sebesar 38% pada
penderita dengan berbagai derajat gangguan fungsi ginjal, dan 51% pada penderita
dengan disfungsi ginjal derajat sedang sampai berat. Setiap kenaikan kadar kreatinin
sebesar 0,5 mg/dl terjadi peningkatan mortalitas sebesar 15%, dan setiap penurunan 10
ml/menit estimasi GFR terjadi peningkatan mortalitas sebesar 7%.12
Disfungsi ginjal merupakan faktor prognostik independen yang kuat pada gagal jantung,
baik pada penderita dengan disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Setiap penurunan 1
ml/menit klirens kreatinin akan meningkatkan mortalitas 1%.13 Nilai prognostik disfungsi
ginjal bahkan lebih kuat dibanding disfungsi ventrikel kiri atau penilaian kelas fungsional
New York Heart Association (NYHA), dan tidak terdapat hubungan bermakna antara
disfungsi ginjal dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri.14
Outcome yang lebih buruk juga tampak pada penderita gagal jantung yang mengalami
perburukan fungsi ginjal selama perawatan di rumah sakit. Sebuah penelitian retrospektif
yang mencakup lebih dari 1000 penderita gagal jantung mendapatkan sebanyak 27%
mengalami perburukan fungsi ginjal selama perawatan. Perburukan fungsi ginjal tersebut
berhubungan dengan peningkatan 7,5 kali risiko kematian selama perawatan, terjadinya
berbagai komplikasi, dan perawatan di rumah sakit yang lebih lama.15

III. Definisi
Sampai saat ini definisi sindrom kardiorenal belum sepenuhnya disepakati,3,4,6
diantaranya adalah:
Suatu kondisi patofisiologik yang merupakan kombinasi antara disfungsi ginjal dan
jantung yang mempercepat kegagalan masing-masing organ dan berakibat pada
peningkatan morbiditas dan mortalitas16
Suatu sindrom yang ditandai dengan kegagalan ginjal atau jantung dalam
mengkompensasi gangguan fungsi masing-masing organ tersebut, menyebabkan
lingkaran setan yang berakhir dengan kegagalan seluruh sistem sirkulasi3

Secara praktis Liang dkk17, mendefinisikan sindrom kardiorenal sebagai disregulasi


kardiorenal tahap lanjut yang ditandai oleh setidaknya salah satu dari tiga kondisi yaitu
gagal jantung yang disertai gangguan fungsi ginjal yang bermakna, perburukan fungsi
ginjal yang terjadi selama pengobatan dekompensasi akut gagal jantung, atau resistensi
diuretik. Dalam konteks gagal jantung kronik, sindrom kardiorenal seringkali merupakan
marka transisi menuju gagal jantung tahap lanjut (advanced heart failure).17

Tabel 2. Definisi klinik sindrom kardiorenal


Gagal jantung disertai gangguan fungsi ginjal
Ringan : Gagal jantung + eGFR 30-59 mL/mnt/1,73m2
Sedang : Gagal jantung + eGFR 15-29 mL/mnt/1,73m2
Berat : Gagal jantung + eGFR <15 mL/mnt/1,73m2
Perburukan fungsi ginjal selama pengobatan dekompensasi akut gagal jantung
Kenaikan kadar kreatinin > 0,3 mg/dL atau > 25% dari kadar semula
Resistensi diuretik
Kongesti persisten dengan terapi:
> 80 mg furosemide intravena dalam 6 jam
> 240 mg furosemide intravena/hari
Drip kontinyu furosemide intravena
Kombinasi diuretik
Dikutip dari Liang dkk.17

IV. Klasifikasi
Ronco dkk18, membuat klasifikasi sindrom kardiorenal berdasarkan mekanisme
patofisiologik yang mendasari kegagalan fungsi jantung dan ginjal. Klasifikasi tersebut
menitikberatkan pada 2 aspek yaitu durasi (onset akut atau kronik), dan urutan kejadian
(didahului gagal ginjal atau didahului gagal jantung, atau terjadi simultan akibat penyakit
sistemik).

Tabel 3. Klasifikasi sindrom kardiorenal


Tipe I Sindrom kardiorenal akut
Perburukan akut fungsi jantung (seperti pada syok kardiogenik akut atau gagal jantung
dekompensasi akut) yang menyebabkan jejas ginjal akut.
Tipe II Sindrom kardiorenal kronik
Abnormalitas kronik fungsi jantung (seperti pada gagal jantung kronik) yang secara
progresif memperburuk fungsi ginjal dan potensial untuk menyebabkan penyakit ginjal
kronik permanen.
Tipe III Sindrom renokardiak akut
Perburukan akut fungsi ginjal (seperti pada iskemik ginjal akut atau glomerulonefritis)
yang menyebabkan gangguan jantung akut (misalnya gagal jantung, aritmia, iskemia)
Tipe IV Sindrom renokardiak kronik
Penyakit ginjal kronik (seperti pada penyakit glomerular kronik atau penyakit interstisial
kronik) yang berperan pada penurunan fungsi jantung, hipertrofi jantung, dan/atau
meningkatnya risiko terjadinya kejadian kardiovaskular.
Tipe V Sindrom kardiorenal sekunder
Kondisi-kondisi sistemik (seperti pada diabetes mellitus, sepsis) yang secara simultan
menyebabkan disfungsi jantung dan ginjal.
Dikutip dari Ronco dkk18

Klasifikasi yang mendasarkan pada proses yang bersifat akut yaitu sindrom kardiorenal
tipe I (gagal jantung akut menyebabkan jejas ginjal akut) dan tipe III (jejas ginjal akut
menyebabkan gagal jantung akut) sangat bermanfaat secara klinik, karena perbedaan
patogenesis pada kedua kondisi tersebut membutuhkan pendekatan klinik yang berbeda.
Akan tetapi perbedaan antara sindrom kardiorenal tipe II (gagal jantung kronik
menyebabkan progesifitas penyakit ginjal kronik) dan tipe IV (penyakit ginjal kronik
menyebabkan gagal jantung kronik dan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular)
secara klinik sulit dibedakan.19
Tidak semua penderita secara mudah dapat diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi
diatas, bahkan dalam keadaan tertentu tidak mungkin untuk membedakan sindrom
kardiorenal tipe II dan tipe IV, dan sangat mungkin terjadi perubahan tipe sindrom
kardiorenal dalam perjalanan penyakit penderita.20
V. Patofisiologi
Pada kondisi fisiologis GFR dipertahankan tetap konstan dalam rentang tekanan darah
yang lebar oleh mekanisme autoregulasi yang terutama berada dalam pembuluh afferent
dan efferent glumerulus. Bila terjadi penurunan cardiac output, tekanan darah dapat
turun dibawah rentang yang dapat dikompensasi oleh mekanisme autoregulasi tersebut.
Kondisi ini akan diikuti oleh hipoperfusi, hipofiltrasi dan kemudian iskemia ginjal.
Menurunnya perfusi ginjal akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)
dengan dilepaskannya renin yang akan meningkatkan perubahan angiotensin I oleh
angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang kemudian akan
menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan retensi natrium di ginjal, sehingga terjadi
peningkatan volume sirkulasi efektif.16
Pada gagal jantung, respons fisiologik tersebut tidak hanya mengaktivasi sistem RAA,
tetapi juga meyebabkan efek spiral negatif berupa aktivasi sistem saraf simpatetik,
disfungsi endotel, inflamasi, dan gangguan keseimbangan reactive oxygen/nitric oxide.
Berbagai sistem yang teraktivasi tersebut akan berinteraksi membentuk lingkaran setan
yang akan mempercepat penurunan fungsi ginjal dan fungsi jantung lebih lanjut.16
Mekanisme disfungsi ginjal pada penderita gagal jantung sangat kompleks dan sangat
mungkin beberapa faktor bekerja pada penderita yang sama. Mengenal faktor-faktor
yang terlibat pada masing-masing penderita dan mengeliminasinya bila mungkin
merupakan komponen yang penting dalam tatalaksana sindrom kardiorenal.3

Gambar 1. Dasar patofisiologik sindrom kardiorenal


Dikutip dari Bongartz dkk.16

Sindom Kardiorenal Akut (Tipe I)


Sindrom kardiorenal tipe I ditandai oleh perburukan akut fungsi jantung yang
menyebabkan jejas ginjal akut (acute kidney injury=AKI).18 Sindrom kardiorenal tipe I
sering terjadi. Sebagian besar penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit
akibat gagal jantung akut de novo atau dekompensasi akut gagal jantung kronik
seringkali mempunyai kondisi pre-morbid disfungsi ginjal yang menjadi predisposisi
terjadinya AKI.11
Mekanisme yang berperan bersifat multipel dan kompleks (gambar 2).18
Kepentingan klinik dari masing-masing mekanisme tampaknya berbeda untuk masing-
masing penderita (misalnya pada penderita syok kardiogenik dan edema paru akut), dan
berbeda pula untuk masing-masing keadaan (misalnya pada gagal jantung akut akibat
regurgitasi mitral akut dan dekompensasi akut akibat ketidakpatuhan berobat).18
Jejas ginjal akut yang terjadi pada gagal jantung akut tampak lebih berat pada penderita
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu, dan penurunan fungsi ginjal tersebut
secara konsisten menjadi faktor risiko independen mortalitas penderita gagal jantung
akut.10 Pengaruh independen tersebut menunjukkan bahwa penurunan akut fungsi ginjal
pada gagal jantung akut bukan semata-mata marka dari beratnya penyakit tetapi juga
berhubungan dengan percepatan jejas kardiovaskular melalui aktivasi jaras-jaras
neurohormonal, imunologis, dan inflamasi.21

Gambar 2. Sindrom kardiorenal tipe I


Dikutip dari Ronco dkk.18

Pada sindrom kardiorenal tipe I terjadinya AKI berhubungan dengan penurunan perfusi
ginjal. Disamping itu terjadi pula penurunan respons terhadap diuretik akibat fenomena
fisiologik yang disebut diuretic braking (semakin menghilangnya efek diuretik yang
terjadi sekunder akibat retensi natrium pasca pemberian diuretik).18
Diagnosis dini AKI pada sindrom kardiorenal tipe I maupun tipe III sangatlah penting.
Pada kedua kondisi tersebut penanda klasik seperti peningkatan kadar kreatinin sudah
menunjukkan kondisi yang terlambat, dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk
mencegah dan melindungi ginjal dari kerusakan lebih lanjut. Penemuan berbagai
biomarker jejas ginjal akut untuk diagnosis dini sindrom kardiorenal masih terus
dikembangkan.18

Sindrom Kardiorenal Kronik (Tipe II)


Sindrom kardiorenal tipe II ditandai oleh abnormalitas kronik fungsi jantung (misalnya
pada gagal jantung kronik) yang menyebabkan penyakit ginjal kronik progresif (gambar
3).18 Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung kronik berhubungan dengan
outcome yang buruk dan bertambahnya lama perawatan di rumah sakit.22
Mekanisme yang mendasari perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung kronik berbeda
dibanding pada gagal jantung akut. Pada gagal jantung kronik telah terjadi penurunan
perfusi ginjal dalam jangka panjang, dan seringkali disertai predisposisi penyakit
mikrovaskular dan makrovaskular. Walaupun sebagian besar penderita dengan GFR yang
rendah juga berada pada kelas fungsional NYHA yang rendah, tidak terdapat bukti
konsisten yang menghubungkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan GFR. Estimasi GFR
pada penderita gagal jantung kronik dengan fungsi ventrikel kiri yang baik dapat tidak
berbeda dibanding penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu.23
Patofisiologi disfungsi ginjal pada gagal jantung kronik belum sepenuhnya dipahami.
Kondisi tersebut tidak dapat diterangkan semata-mata akibat hipoperfusi. Sebuah
penelitian hemodinamik invasif pada gagal jantung kronik tidak menemukan hubungan
antara berbagai variabel hemodinamik pada pemeriksaan kateter arteri pulmonal
dengan kadar kreatinin serum. Satu-satunya variabel yang berhubungan adalah
peningkatan tekanan atrium kanan, menunjukkan kemungkinan peran kongesti ginjal
dalam perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung kronik.24
Pada sindrom kardiorenal kronik terdapat abnormalitas neurohormonal dengan produksi
berlebih mediator-mediator vasokonstriktif (epinefrin, angiotensin, endotelin) dan
perubahan sensitivitas dan/atau pelepasan faktor-faktor vasodilator endogen (peptida
natriuretik, nitric oxide).17 Farmakoterapi yang digunakan dalam pengelolaan gagal
jantung dapat turut memperburuk fungsi ginjal.18

Gambar 3. Sindrom kardiorenal tipe II


Dikutip dari Ronco dkk.18

Peran patogenik defisiensi absolut atau relatif eritropoietin terhadap terjadinya anemia
pada penderita gagal jantung tahap lanjut mungkin bukan semata-mata disebabkan oleh
gagal ginjal. Terdapat bukti bahwa aktivasi reseptor eritropoietin di jantung dapat
mencegah terjadinya apoptosis, fibrosis, dan inflamasi.25

Sindrom Renokardiak Akut (Tipe III)


Sindrom renokardiak akut ditandai oleh perburukan fungsi ginjal akut (AKI, iskemia, atau
glomerulonefritis) yang menyebabkan disfungsi jantung akut (gagal jantung, aritmia,
iskemia). Sindrom kardiorenal tipe III lebih jarang ditemukan dibanding tipe I, mungkin
disebabkan belum diteliti secara lebih sistematik.18

Gambar 4. Sindrom kardiorenal tipe III


Dikutip dari Ronco dkk.18

Jejas ginjal akut dapat mempengaruhi jantung melalui beberapa jaras (gambar 4).18
Kelebihan cairan berperan dalam terjadinya edema paru. Hiperkalemia dapat
menyebabkan aritmia dan henti jantung. Uremia dapat mempengaruhi kontraktilitas
miokard melalui akumulasi faktor-faktor depresan miokard dan perikarditis. Kondisi
asidemia mempunyai efek inotropik negatif dan bersama imbalans elektrolit
meningkatkan risiko aritmia. Iskemia ginjal sendiri dapat mempresipitasi aktivasi
inflamasi dan apoptosis pada tingkat jantung.21
Kondisi khusus yang berkaitan dengan sindrom renokardiak akut adalah stenosis arteri
renalis bilateral. Penderita dengan kondisi ini rentan mengalami gagal jantung akut atau
dekompensasi akut disebabkan oleh disfungsi diastolik yang berhubungan dengan
kenaikan tekanan darah akibat aktivasi berlebih aksis RAA, disfungsi ginjal dengan
retensi garam dan air, dan iskemia miokard akut disebabkan oleh peningkatan kebutuhan
oksigen miokard akibat vasokonstriksi perifer yang terus menerus. Blokade angiotensin
yang dibutuhkan dalam pengelolaan hipertensi dan gagal jantung pada penderita-
penderita tersebut akan menyebabkan penurunan GFR dan perburukan fungsi ginjal.18

Sindrom Renokardiak Kronik (Tipe IV)


Sindrom kardiorenal tipe 4 ditandai oleh kondisi CKD primer (penyakit glomerulus kronik)
yang berperan dalam menurunnya fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, disfungsi diastolik,
dan/atau ppeningkatan risiko kejadian kardiovaskular (gambar 5).18
Pada penderita CKD terdapat peningkatan kadar plasma biomarker spesifik seperti
troponin, dimetilarginin asimetrik, inhibitor aktivator plasminogen tipe 1, homosistein,
peptida natriuretik, protein reaktif C, protein serum amiloid A, dan ischemia-modified
albumin. Hal ini menggambarkan hubungan mekanistik antara inflamasi kronik, infeksi
subklinik, percepatan aterosklerosis, interaksi jantung-ginjal, dan outcome kardiovaskular
dan ginjal.18
Secara patofisiologik interaksi kardiorenal kronik dipengaruhi oleh denominator yang
sama yaitu inflamasi, keseimbangan antara nitric oxide/reactive oxygen species, sistem
saraf simpatetik, dan sistem RAA. Konektor-konektor kardiorenal tersebut bersama-sama
dengan interaksi hemodinamik antara jantung dan ginjal bertanggung-jawab terhadap
progresifitas penyakit melalui mekanisme umpan-balik,16 sehingga urutan kejadian pada
kondisi sindrom kardiorenal kronik (tipe II dan tipe IV) menjadi tidak penting.19

Gambar 5. Sindrom kardiorenal tipe IV


Dikutip dari Ronco dkk.18

Disamping terapi spesifik untuk gagal jantung kronik dan gagal ginjal kronik, tatalaksana
sindrom kardiorenal tipe II dan tipe IV pada prinsipnya tidak berbeda, yaitu dengan
seoptimal mungkin menghambat interaksi konektor-konektor kardiorenal tersebut.19

Sindrom Kardiorenal Sekunder (Tipe V)


Sindrom kardiorenal tipe V ditandai oleh kombinasi disfungsi jantung dan ginjal yang
disebabkan penyakit sistemik kronik atau akut (gambar 6).18
Informasi sistematik tentang sindrom kardiorenal tipe V masih terbatas. Pemahaman
tentang bagaimana kombinasi gagal jantung dan gagal ginjal dapat memberi pengaruh
yang berbeda dibanding kombinasi kegagalan pada organ lain juga masih terbatas.
Walaupun demikian telah diketahui bahwa beberapa penyakit kronik dan akut seperti
sepsis, diabetes, amiloidosis, lupus eritematosus sistemik, dan sarkoidosis dapat
mempengaruhi organ jantung dan ginjal secara simultan, dan penyakit yang mengenai
salah satu organ dapat berdampak pada organ lainnya, demikian pula sebaliknya.
Beberapa kondisi seperti diabetes dan hipertensi dapat berperan pula pada sindrom
kardiorenal tipe II dan tipe IV.18
Pada kondisi akut seperti pada sepsis berat dapat terjadi jejas ginjal akut dan juga
depresi miokard. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan-perubahan
tersebut masih belum dipahami sepenuhya tetapi diduga berkaitan dengan pengaruh
tumor necrosis factor (TNF) dan mediator-mediator lain pada kedua organ. Depresi fungsi
miokard dan keadaan curah jantung yang inadekuat dapat menurunkan fungsi ginjal
seperti yang terjadi pada sindrom kardiorenal tipe I, dan terjadinya AKI dapat
mempengaruhi fungsi jantung seperti yang terjadi pada sindrom kardiorenal tipe III.
Iskemia ginjal yang terjadi kemudian dapat menginduksi jejas miokardial lebih lanjut
membentuk lingkaran setan yang akan mencederai kedua organ.18
Gambar 6. Sindrom kardiorenal tipe V
Dikutip dari Ronco dkk.18

VI. Implikasi Terapi


Penderita dengan gangguan fungsi ginjal tidak secara adekuat terwakili dalam penelitian-
penelitian klinik acak berskala besar pada gagal jantung, sehingga sebagian besar
rekomendasi terapi lebih bersifat empirik.4,5,26
Pengelolaan penderita gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal dapat menjadi sulit
disebabkan fungsi kedua organ tersebut sangat bergantung pada volume sirkulasi.
Secara garis besar sasaran pengobatan adalah mencapai status volume yang normal
tanpa memperberat disfungsi ginjal, dan menerapkan seoptimal mungkin terapi yang
secara evidence-based bermanfaat pada gagal jantung maupun disfungsi ginjal.3
Sampai saat ini tidak ada strategi yang secara konsisten efektif. Langkah-langkah berikut
dapat digunakan dalam pendekatan pengelolaan penderita.17

Tabel 4. Pendekatan pengelolaan sindrom kardiorenal


1. Identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal
2. Optimalisasi terapi gagal jantung
3. Evaluasi struktur ginjal
4. Optimalisasi terapi diuretik
5. Terapi lain
Dikutip dari Liang dkk.17

1. Identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal


Gangguan fungsi ginjal yang ditandai oleh penurunan GFR kurang dari 60 mL/menit
merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya outcome yang buruk pada penderita
gagal jantung,13,14 bahkan nilai prognosis tersebut relatif lebih kuat dibanding
penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri.13
Penurunan GFR tidak selalu disertai peningkatan kadar kreatinin serum, bahkan sebagian
besar penderita dengan gangguan fungsi ginjal mempunyai kadar kreatinin serum dalam
rentang relatif normal.6,11 Penilaian fungsi ginjal yang didasarkan pada pemeriksaan
kadar kreatinin serum menyebabkan sebagian besar gangguan fungsi ginjal pada
penderita gagal jantung tidak terdeteksi secara klinis.6,11,27 Mengingat perannya yang
penting, penilaian GFR sebaiknya secara rutin dilakukan sebagai bagian dalam evaluasi
dan tatalaksana penderita gagal jantung.4,6,27
Secara akurat GFR dapat ditentukan dengan pemeriksaan klirens inulin atau marka
radionuklida, tetapi mengingat pemeriksaan tersebut tidak praktis, nilai GFR dapat
diperkirakan dengan menggunakan formula Cockfoft-Gault atau Modified Diet in Renal
Disease (MDRD).9

Tabel 5. Penilaian laju filtrasi glomerus


Formula Cockcroft-Gault
Klirens Kreatinin (mL/menit) =

Pada perempuan x 0,85


Formula MDRD
Estimasi GFR (mL/m/1,73m2) = 186 x [kadar kreatinin (mg/dl)] 1,154 x [umur (tahun)]
0,203
Pada perempuan x 0,742
Dikutip dari Sarnak dkk.9

Berlainan dengan penilaian disfungsi ginjal yang lebih akurat ditentukan dengan
pemeriksaan GFR, terjadinya perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung yang
dirawat di rumah sakit ditandai oleh peningkatan kadar kreatinin serum lebih dari 0,3
mg/dl (26,5 &#61549;mol/l) atau lebih dari 25% kadar awal.15,17,24,27-30 Walaupun
setiap peningkatan kadar kreatinin serum berhubungan dengan outcome yang lebih
buruk, tetapi perbedaan tersebut baru bermakna pada peningkatan lebih dari 0,3
mg/dl.27
Faktor-faktor risiko yang secara konsisten mempengaruhi terjadinya perburukan fungsi
ginjal pada penderita gagal jantung adalah usia lanjut, hipertensi, diabetes dan terdapat
gangguan fungsi ginjal sebelumnya.15,24,29,30 Faktor-faktor lain yang potensial adalah
penggunaan dosis besar diuretik loop,29 dan penggunaan diuretik thiazide.24
Perburukan fungsi ginjal tidak berhubungan bermakna dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri,15,29 cardiac index,24 resistensi vaskular sistemik,24 dan kondisi low-output
(hipotensi).15 Perburukan fungsi ginjal lebih sering ditemukan pada penderita-penderita
dengan presentasi klinik retensi cairan (edema paru, peningkatan tekanan vena
jugular).24,30
Dalam menghadapi penderita dengan disfungsi kardiorenal adalah penting untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang potensial reversibel seperti hipotensi, dehidrasi,
penggunaan inhibitor ACE atau penyekat reseptor angiotensin (angiotensin receptor
blocker=ARB), penggunaan non-steroid anti inflammatory drugs (NSAID), dan stenosis
arteri renalis.26 Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah penilaian status volume,
cardiac output dan kemungkinan terdapatnya penyakit ginjal intrinsik. Kondisi
hipovolemia harus diatasi sebelum terjadi kerusakan ginjal lebih lanjut. Perfusi ginjal
harus dijaga dengan mempertahankan tekanan darah sistolik > 80 mmHg dan tekanan
arterial rata-rata > 50 mmHg. Fungsi ginjal akan membaik sejalan dengan perbaikan
cardiac output dan perfusi ginjal. Bila disfungsi ginjal menetap walaupun telah dilakukan
perbaikan status volume, cardiac output dan resistensi vaskular sistemik, perlu
dipertimbangkan adanya penyakit ginjal intrinsik yang mendasari.3
Terapi yang dipandu dengan pemantauan tekanan baji kapiler pulmonal tidak terbukti
lebih unggul dibanding pemantauan secara klinis dalam memperbaiki outcome penderita
gagal jantung tahap lanjut.24 Walaupun demikian, penggunaan kateter arteri pulmonal
mungkin diperlukan pada penderita sindrom kardiorenal yang berat untuk
mengoptimalkan hemodinamik, memandu terapi gagal jantung lebih agresif,
memfasilitasi keputusan untuk memulai terapi ginjal pengganti, atau dalam membuat
keputusan untuk memulai terapi paliatif gagal jantung kronik.17
Penelitian-penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perburukan fungsi ginjal pada
penderita gagal jantung lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi hipervolemik dibanding
hipoperfusi ginjal akibat penurunan cardiac output atau penurunan volume intravaskuler
akibat penggunaan diuretik berlebih.31,32 Kongesti vena yang ditandai oleh peningkatan
tekanan vena sentral merupakan determinan yang paling kuat untuk terjadinya
perburukan fungsi ginjal. Sebaliknya cardiac index saat masuk maupun perbaikan cardiac
index dengan terapi medik intensif selama perawatan hanya sedikit berpengaruh
terhadap fungsi ginjal.31,32 Perburukan fungsi ginjal jarang terjadi pada penderita
dengan tekanan vena sentral < 8 mmHg31 6 mmHg.32
Sampai saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa terapi yang secara spesifik
bertujuan menurunkan tekanan vena sentral akan memperbaiki disfungsi ginjal dan
outcome penderita gagal jantung, walaupun demikian hal tersebut perlu
dipertimbangkan dalam strategi tatalaksana gagal jantung.33

2. Optimalisasi terapi gagal jantung


Inhibisi pada sistem renin-angiotensin-aldosteron telah diketahui merupakan bagian
penting dalam tatalaksana gagal jantung. Berbagai penelitian acak terkontrol berskala
besar menunjukkan bahwa obat-obat tersebut secara bermakna meningkatkan harapan
hidup penderita. Akan tetapi evidence-based manfaatnya pada penderita gagal jantung
dengan gangguan fungsi ginjal sangat terbatas.26
Penggunaan inhibitor ACE atau ARB biasanya berhubungan dengan penurunan ringan
fungsi ginjal yang ditandai oleh peningkatan kadar kreatinin dan penurunan GFR.
Penurunan fungsi ginjal tersebut semakin nyata pada penderita disfungsi ginjal.26
Kekhawatiran akan semakin memburuknya fungsi ginjal disertai risiko hipotensi dan
hiperkalemia menyebabkan banyak klinisi menghindari atau menghentikan penggunaan
inhibitor ACE atau ARB pada penderita disfungsi ginjal.34 Akan tetapi sebuah meta-
analisis tentang penggunaan inhibitor ACE dalam hubungannya dengan peningkatan
kadar kreatinin menunjukkan bahwa penderita yang mengalami peningkatan kadar
kreatinin setelah pemberian inhibitor ACE adalah kelompok penderita yang justru
mendapat manfaat paling besar dari penggunaan obat tersebut.35
Untuk mengurangi risiko perburukan fungsi ginjal, penggunaan inhibitor ACE sebaiknya
dimulai dengan dosis rendah. Bila terjadi perburukan fungsi ginjal perlu dinilai
kemungkinan penyebab lain seperti diuresis yang berlebihan, hipotensi persisten, atau
penggunaan obat lain yang nefrotoksik termasuk NSAID.26 Bila kadar kreatinin
meningkat tajam dan penderita menunjukkan intoleransi ekstrim terhadap inhibitor ACE,
perlu dipertimbangkan kemungkinan stenosis arteri renalis bilateral.5 Pada kondisi ini
penggunaan inhibitor ACE atau ARB harus dihentikan.26
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan inhibitor ACE pada penderita disfungsi
ginjal dapat menghambat perburukan fungsi ginjal dan memperbaiki outcome
kardiovaskular.13,36,37 Oleh karena itu obat ini sebaiknya tetap diberikan walaupun
terjadi peningkatan kadar kreatinin, asalkan fungsi ginjal tidak terus memburuk dan tidak
terjadi hiperkalemia.5 Peningkatan kadar kreatinin sampai dengan 30% yang stabil
dalam 2 bulan berhubungan dengan efek renoprotektif jangka panjang.35
Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung yang terjadi selama perawatan di
rumah sakit sebagian besar tidak disebabkan oleh inhibitor ACE.29 Pada penderita yang
mengalami vasodilatasi berlebih, mungkin diperlukan penurunan dosis atau penghentian
sementara penggunaannya, tetapi mengingat efek jangka panjang yang menguntungkan
baik pada gagal jantung maupun disfungsi ginjal, penggunaan inhibitor ACE atau ARB
sebaiknya tidak dihentikan atau segera diberikan kembali.3
Algoritma dibawah ini dapat digunakan untuk evaluasi penggunaan inhibitor ACE pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal.35

Gambar 7 Algoritma evaluasi penggunaan inhibitor ACE pada penderita dengan


gangguan fungsi ginjal
Dikutip dari Bakris dkk.35

Tidak ada patokan kadar kretinin yang mutlak untuk menghentikan penggunaan inhibitor
ACE atau ARB, tetapi pada kadar kreatinin diatas 2,5 mg/dl penggunaannya harus
dengan pemantauan ketat. Pada penderita dengan kadar kreatinin diatas 5 mg/dl
mungkin dibutuhkan hemofiltrasi atau dialisis untuk mengontrol retensi cairan dan
mengatasi uremia.26
Proporsi penderita disfungsi ginjal yang mendapat terapi modifikasi risiko kardiovaskular
yang memadai jauh lebih rendah dibanding populasi umum. Kurang dari 50% penderita
disfungsi ginjal mendapat kombinasi aspirin, penyekat beta, inhibitor ACE, dan statin
setelah suatu serangan infark miokard.38
Sebuah penelitian kohort prospektif menunjukkan penggunaan inhibitor ACE dan
penyekat beta pada penderita gagal jantung yang disertai disfungsi ginjal berhubungan
dengan penurunan mortalitas yang sebanding dengan penderita tanpa gangguan fungsi
ginjal.13
Penggunaan antagonis aldosteron pada penderita gagal jantung dengan disfungsi ginjal
harus dilakukan dengan hati-hati. Bila indikasinya telah terpenuhi, yaitu pada penderita
gagal jantung simptomatik berat dengan fraksi ejeksi yang rendah, penambahan
antagonis aldosteron pada regimen inhibitor ACE/ARB dan penyekat beta berhubungan
dengan peningkatan kesintasan penderita gagal jantung. Untuk menghindari kejadian
hiperkalemia yang mengancam jiwa, obat ini sebaiknya tidak diberikan bila kadar
kreatinin > 2,5 mg/dl atau kadar kalium > 5,0 mmol/l.26
Walaupun sampai saat ini tidak ada panduan dengan evidence-based yang kuat untuk
terapi gagal jantung pada penderita disfungsi ginjal,26 tampaknya penderita dalam
populasi tersebut akan memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan panduan
tatalaksana gagal jantung untuk populasi umum, walaupun diperlukan pemantauan yang
lebih ketat.17

3. Evaluasi struktur ginjal


Pemeriksaan ultrasonografi ginjal dapat digunakan untuk mengevaluasi ukuran ginjal,
adanya obstruksi atau penyakit ginjal struktural. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
mengidentifikasi penyebab anatomik gangguan fungsi ginjal yang potensial reversibel.
Pencitraan Doppler digunakan bila terdapat kecurigaan stenosis arteri renalis.39
Bila diperlukan pemeriksaan angiografi atau pencitraan resonansi magnetik yang
menggunakan kontras, rasio risikomanfaatnya harus dipertimbangkan dengan seksama
mengingat kemungkinan perburukan fungsi ginjal.17

4. Optimalisasi terapi diuretik


Diuretik memegang peran penting dalam tatalaksana gagal jantung yang disertai
disfungsi ginjal. Manfaatnya dalam memperbaiki simptom telah disepakati secara luas,
walaupun tidak pernah dievaluasi melalui penelitian-penelitian acak klinik berskala
besar.26
Pada kondisi gagal jantung dan disfungsi ginjal kurva respons-dosis diuretik akan
terpengaruh. Selain diperlukan penambahan dosis untuk menghasilkan respons diuresis
yang memadai, juga akan terjadi penurunan respons maksimum yang dapat dicapai,
menciptakan keadaan resistensi diuretik relatif3 yang dikenal sebagai braking
phenomenon, yaitu kondisi toleransi jangka pendek terhadap pemberian diuretik.6
Peningkatan dosis dan penurunan respons diuretik akan bertambah sejalan dengan
progresifitas gagal jantung. Sesuai beratnya penyakit, dosis maksimum diuretik untuk
masing-masing penderita berbeda, dan penambahan dosis diatas dosis maksimum tidak
akan menambah respons diuresis lebih lanjut.3
Penggunaan diuretik memerlukan kecermatan. Dosis yang digunakan harus memadai
untuk mengatasi kelebihan cairan dan memperbaiki simptom tanpa menyebabkan efek
yang kurang menguntungkan.3 Penggunaan diuretik, terutama dosis besar diuretik loop
diketahui berhubungan dengan perburukan fungsi ginjal, meningkatkan risiko perawatan
di rumah sakit dan mortalitas penderita gagal jantung.29,40 Hal ini diantaranya
disebabkan efek diuretik dalam menstimulasi sistem RAA.3,5,6 Stimulasi sistem RAA
tersebut merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya resistensi diuretik.41
Resistensi diuretik merupakan salah satu ciri sindrom kardiorenal,17 dan menjadi
indikator prognosis yang buruk penderita gagal jantung kronik.4 Kombinasi antara
perburukan fungsi ginjal, volume overload, dan resistensi diuretik, menyebabkan
tatalaksana sindrom kardiorenal menjadi sulit, dan sampai saat ini terapi yang efektif
sangat terbatas.5
Definisi resistensi diuretik telah disebutkan sebelumnya (tabel 2). Banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya resistensi diuretik diantaranya adalah dosis yang tidak
adekuat, asupan garam berlebih, gangguan absorbsi intestinal, menurunnya ekskresi
diuretik dalam urine, peningkatan reabsorbsi natrium pada nefron yang tidak sensitif
terhadap diuretik, dan penggunaan NSAID.4
Kurva respons-dosis diuretik tidak linier, sehingga natriuresis tidak akan terjadi sampai
ambang ekskresi obat tercapai. Dengan demikian bila respons diuresis tidak terjadi
dengan pemberian furosemide 20 mg, menaikkan dosisnya menjadi 40 mg akan lebih
efektif dibanding meningkatkan frekuensinya.4
Diuretik thiazide akan menghambat reabsorbsi natrium di tubulus distal, sehingga bila
dikombinasi dengan diuretik loop diharapkan akan memberi respons diuresis lebih baik.
Kombinasi ini perlu pemantauan ketat karena dapat menyebabkan hiponatremia dan
hipokalemia berat.4 Diuretik thiazide tidak efektif bila klirens kreatinin < 30 ml/menit.26
Pada penderita gagal jantung yang berat sering terjadi gangguan perfusi intestinal,
penurunan motilitas intestinal, dan edema mukosa yang akan menyebabkan absorbsi
obat terganggu.4 Absorbsi furosemide oral pada keadaan edem hanya sekitar 50%.
Untuk menghasilkan respons diuresis yang adekuat mungkin diperlukan penambahan
dosis atau menggantinya dengan obat yang diabsorbsi lebih baik yaitu bumetanide atau
torsemide.4,26 Untuk memperbaiki respons diuresis dapat pula diberikan diuretik
intravena dalam jangka pendek. Respons inadekuat dengan pemberian diuretik oral
seringkali reversibel setelah kelebihan cairan diatasi.4
Pemberian diuretik loop dengan infus intravena kontinyu dapat mempertahankan
kecepatan penghantaran obat ke tubulus renal dan mencegah reabsorbsi natrium lebih
konsisten. Pemberian diuretik loop dengan infus kontinyu pada penderita gagal jantung
menghasilkan respons diuresis lebih adekuat dengan efek samping yang lebih rendah
dibanding pemberian bolus intravena.4,17
Apabila berbagai upaya tersebut tidak berhasil mengatasi resistensi diuretik, perlu
dipertimbangkan untuk melakukan ultrafiltrasi.3

5. Terapi lain
Terdapat berbagai terapi lain untuk mengatasi sindrom kardiorenal, beberapa
diantaranya telah ditinggalkan dan beberapa masih dalam penelitian.

Dopamin dosis rendah


Dopamin dosis rendah pernah digunakan secara luas di seluruh dunia untuk mencegah
atau mengobati AKI dan dipakai untuk meningkatkan produksi urine pada penderita
gagal jantung yang refrakter terhadap diuretik loop. Dopamin dengan dosis 0,53
&#61549;g/kg/menit terutama akan menstimulasi reseptor-reseptor dopaminergik yang
menyebabkan vasodilatasi renal dan peningkatan aliran darah ginjal. Dopamin juga
menyebabkan natriuresis melalui efek langsungnya pada fungsi sel tubular ginjal.42
Terdapat 2 meta-analisis, 1 tinjauan sistematik dan 1 penelitian klinik acak yang
mengevaluasi peran dopamin dosis rendah dalam mencegah perburukan fungsi ginjal.
Semua penelitian tersebut sampai pada kesimpulan yang sama yaitu dopamin dosis
rendah tidak mencegah terjadinya AKI, kebutuhan untuk dialisis, atau kematian.43 Efek
protektif dopamin pada ginjal tidak terbukti, bahkan dapat menginduksi AKI pada
penderita normo dan hipovolemik. Dopamin juga dapat menurunkan aliran darah mukosa
gaster, menekan sekresi dan fungsi hormon-hormon pituitari anterior termasuk
menginduksi hipotiroid, dan dapat menumpulkan ventilatory drive.42
Dengan berbagai bukti yang kuat tersebut, penggunaan dopamin dosis rendah untuk
proteksi ginjal pada berbagai keadaan termasuk pada gagal jantung tidak lagi
dianjurkan.17,42,43

Kombinasi furosemide manitol


Manitol bila diberikan secara intravena akan segera difiltrasi oleh glomerulus kedalam
cairan tubulus menyebabkan efek diuresis osmotik. Manitol dapat meningkatkan aliran
darah intrarenal melalui efeknya terhadap produksi prostaglandin dan bertindak sebagai
penangkap radikal bebas selama reperfusi ginjal.43
Sebuah penelitian terhadap 100 penderita AKI pasca operasi jantung menunjukkan
pemberian larutan mengandung 500 cc manitol 20% dan 1000 mg furosemide yang
diberikan dalam waktu 30 60 menit, dengan disertai pemberian dopamin dosis rendah
(2 3 &#61549;g/kg/menit) dapat mendorong terjadinya diuresis pada AKI fase oligurik
atau anurik pasca operasi. Bila diberikan dini yaitu dalam 6 jam setelah onset AKI,
kombinasi ini dapat memperbaiki fungsi ginjal dan menurunkan kebutuhan dialisis.44
Beberapa penelitian berskala kecil yang mengevaluasi pemberian manitol untuk
mencegah atau mengatasi AKI menunjukkan hasil yang bertentangan.43 Dapat terjadi
efek samping berupa gangguan elektrolit, hipovolemia, dan perburukan fungsi ginjal.45
Sampai saat ini tidak ada bukti kuat tentang manfaat manitol dalam tatalaksana AKI
sehingga penggunaannya harus dibatasi.43,46

Kombinasi furosemide albumin


Penderita dengan kadar albumin yang rendah dapat resisten terhadap pemberian
diuretik. Pemberian kombinasi albumin dan furosemide pada kondisi tersebut diharapkan
dapat meningkatkan konsentrasi diuretik yang mencapai nefron proksimal dan
memperbaiki diuresis.4
Penelitian pada penderita sindrom nefrotik maupun pada sirosis hepatis menunjukkan
pemberian kombinasi albumin dan furosemide tidak memperbaiki respons diuresis,
sehingga penggunaannya untuk tujuan memperbaiki resistensi diuretik pada kondisi
hipoalbuminemik tidak dianjurkan.47

Kombinasi furosemide natrium hipertonik


Pemberian infus larutan natrium hipertonik (hypertonic saline solution=HSS) akan
menyebabkan kenaikan konsentrasi NaCl ekstraseluler dengan cepat sehingga terjadi
kenaikan tekanan osmotik, ekspansi volume plasma, mobilisasi cairan ekstravaskular ke
intravaskular, dan bertambahnya aliran darah ginjal. Pemberian secara simultan
furosemide dosis tinggi akan mengoptimalkan efek diuresis dan mengatasi resistensi
diuretik.48
Penelitian acak tersamar ganda pada 94 penderita gagal jantung tahap lanjut
mendapatkan bahwa pemberian dua kali per hari infus furosemide 5001000 mg yang
dilarutkan dalam 150 cc NaCl hipertonik (1,4% 4,6%) dan diberikan dalam 30 menit
selama 4 6 hari, disertai diet normosodium (2,8 gr natrium/hari), secara signifikan
berhubungan dengan pencapaian berat kering yang lebih cepat, penurunan konsentrasi
plasma B-type natriuretic peptide (BNP) lebih cepat, perawatan di rumah sakit yang lebih
singkat, dan menurunkan insiden perawatan kembali dalam 30 hari.48
Pada follow-up selama hampir 3 tahun, insiden perawatan kembali penderita yang
mendapat HSS sebesar 47% (25 dari 53 penderita), sedangkan penderita yang mendapat
perawatan biasa sebesar 80% (43 dari 54 penderita). Mortalitas penderita yang
mendapat HSS juga lebih rendah.49
Efek langsung intratubuler pemberian natrium hipertonik akan melampaui pengaruh
retensi natrium pasca diuretik sehingga akan mengurangi braking phenomenon.
Disamping itu peningkatan volume intravaskular dan kadar natrium yang lebih tinggi
pada tubulus distal akan menghambat sistem RAA.49
Walaupun tampaknya memberi harapan, pemberian natrium hipertonik atau asupan
garam yang lebih bebas pada penderita gagal jantung masih memerlukan penelitian
lebih lanjut. Terapi ini dapat dipertimbangkan pada penderita sindrom kardiorenal yang
tidak berhasil diatasi dengan terapi lain.49

Nesiritide
Nesiritide adalah rekombinan peptida natriuretik tipe B manusia. Mekanisme kerjanya
terutama sebagai vasodilator sistemik dan pulmonal yang kuat. Obat ini dengan cepat
dan konsisten menurunkan tekanan pengisian jantung dan mengurangi tekanan baji
kapiler pulmonal. Disamping itu obat ini mempunyai efek natriuresis dan diuresis, serta
menghambat norepinefrin, endotelin-1, dan aldosteron.4,17
Sebuah meta-analisis dari 5 penelitian acak terkontrol berskala besar menunjukkan
penggunaan nesiritide pada dekompensasi akut gagal jantung secara signifikan
meningkatkan risiko perburukan fungsi ginjal.50
Terjadinya perburukan fungsi ginjal mungkin berkaitan dengan dosis yang digunakan.
Sebuah penelitian klinik acak tersamar ganda pada penderita dekompensasi akut gagal
jantung yang disertai disfungsi ginjal menemukan bahwa dengan dosis 0,01
&#61549;g/kg/menit (tanpa didahului bolus 2 &#61549;g/kg/menit), nesiritide tidak
mempengaruhi fungsi ginjal.51
Walaupun nesiritide mempunyai efek jangka pendek yang menguntungkan, diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk menentukan efek jangka panjang dan dosis yang memadai
pada dekompensasi akut gagal jantung.17

Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi (UF) telah menjadi salah satu modalitas terapi pada gagal jantung tahap
lanjut untuk mengendalikan kelebihan cairan yang tidak dapat diatasai dengan terapi
medik.52 UF merupakan metode yang efektif, cepat dan relatif aman dalam memperbaiki
simptom kongesti. Disamping itu UF tidak mempengaruhi aktivitas neurohormonal
seperti yang terjadi pada pemberian diuretik.53
Sebuah penelitian prospektif yang membandingkan UF dengan pemberian diuretik pada
200 penderita dekompensasi akut gagal jantung menunjukkan bahwa UF menghasilkan
penurunan berat badan dan mengurangi kelebihan cairan lebih besar. UF juga
berhubungan dengan 50% reduksi insiden perawatan kembali di rumah sakit. Tidak ada
perbedaan dalam perbaikan simptom, kualitas hidup, kelas fungsional NYHA, kadar
kreatinin, kadar BNP, atau mortalitas pada kedua kelompok.54
Penggunakan UF lebih dini (sebelum pemberian diuretik) untuk mengatasi resistensi
diuretik pada penderita gagal jantung berhubungan dengan lama perawatan dan angka
perawatan kembali di rumah sakit yang lebih rendah.55
Dampak jangka panjang, dampak ekonomi, ketersediaan sarana, dan kompleksitas
pemakaiannya telah membatasi penggunaan UF sebagai terapi lini pertama pada
penderita gagal jantung tahap lanjut yang disertai resistensi diuretik.17

Antagonis vasopresin
Arginine vasopresin atau hormon antidiuretik, diproduksi oleh hipotalamus dan
disekresikan melalui lobus posterior kelenjar pituitari sebagai respons terhadap kondisi
hiperosmolar, deplesi volume intravaskular, angiotensin II, dan perangsangan
simpatetik.17
Vasopresin mempunyai sedikitnya 3 subtipe reseptor yaitu V1a, V2, dan V3. Reseptor
V1a ditemukan di sel-sel otot polos vaskular dan di ginjal, memediasi terjadinya
vasokonstriksi dan produksi prostaglandin pada konsentrasi vasopresin yang tinggi.17
Reseptor V2 ditemukan di tubulus kolekting ginjal, memediasi terjadinya resorpsi air di
ginjal melalui insersi kanal-kanal aquaporin-2 ke membran luminal, dan juga melepaskan
faktor von Willebrand dan faktor VIII dari endotel vaskular.17
Reseptor V3 ditemukan di kelenjar pituitari, bertanggung jawab dalam menstimulasi
sekresi hormon adrenokortikotropin.17
Pada gagal jantung terjadi penurunan volume darah arterial efektif akibat cardiac output
yang rendah. Hal ini akan menyebabkan baroreseptor sinus karotis mengirimkan sinyal
ke hipotalamus sehingga terjadi peningkatan kadar vasopresin.17
Penghambatan reseptor vasopresin V1a akan meningkatkan cardiac output, menurunkan
resistensi vaskular perifer, menurunkan tekanan darah arterial rata-rata, dan
menghambat hipertrofi kardiomiosit. Sedangkan penghambatan reseptor V2 akan
menyebabkan aquaresis sehingga terjadi peningkatan konsentrasi natrium dan
menurunkan preload jantung.17
Terdapat 2 antagonis vasopresin yang sedang dalam penelitian intensif yaitu antagonis
reseptor V1a/V2 conivaptan, dan antagonis reseptor V2 spesifik tolvaptan.17
Pada penelitian acak tersamar ganda, pemberian conivaptan intravena pada penderita
gagal jantung tahap lanjut secara bermakna menurunkan preload, meningkatkan
produksi urine, dan meningkatkan kadar natrium.17
Penelitian pada 254 penderita gagal jantung kelas fungsional I III NYHA menunjukkan
kombinasi tolvaptan oral dengan furosemide dapat meningkatkan volume urine,
menurunkan osmolalitas urine, meningkatkan natrium serum, dan memperbaiki
edema.17
Manfaat antagonis vasopresin dalam pengobatan gagal jantung tahap lanjut dan sindrom
kardiorenal masih dalam penelitian.17

Antagonis adenosin
Kadar adenosin plasma meningkat sejalan dengan progresifitas gagal jantung. Antagonis
reseptor adenosin A1 berpotensi memperbaiki fungsi ginjal dan mengatasi resistensi
diuretik pada penderita gagal jantung melalui mekanisme penghambatan pada jaras
umpan balik tubuloglomerular.17
Penelitian pada penderita gagal jantung menunjukkan pemberian antagonis reseptor
adenosin A1 dapat mempertahankan fungsi ginjal, dan secara simultan meningkatkan
respons terhadap diuretik loop.17
Manfaat antagonis reseptor adenosin A1 dalam mencegah perburukan fungsi ginjal dan
mengatasi resistensi diuretik masih memerlukan penelitian lebih lanjut.17

VII. Kesimpulan
1. Berbagai derajat gangguan fungsi ginjal diketahui berhubungan dengan berbagai
gangguan fungsi jantung, demikian pula sebaliknya. Interaksi tersebut, atau dikenal
sebagai disfungsi kardiorenal, akan saling memperburuk fungsi masing-masing organ
dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
2. Prevalensi sindrom kardiorenal belum dapat ditentukan mengingat keberagaman
definisi yang digunakan. Berdasarkan berbagai penelitian dapat dikatakan bahwa
prevalensinya cukup besar.
3. Patofisiologi sindrom kardiorenal belum sepenuhnya dipahami, Faktor-faktor
hemodinamik, neurohormonal, inflamasi, stres oksidatif, disfungsi endotel, dan
kemungkinan faktor-faktor lain, diduga turut berperan dalam terjadinya perburukan
fungsi ginjal dan jantung.
4. Sampai saat ini tidak ada panduan tatalaksana gagal jantung pada penderita dengan
disfungsi ginjal yang berdasarkan bukti-bukti kuat (evidence-based). Walaupun demikian
penderita tampaknya akan memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan
panduan tatalaksana gagal jantung untuk populasi umum, asalkan dengan pemantauan
lebih ketat.
5. Tatalaksana sindrom kardiorenal menjadi sulit disebabkan terbatasnya pengetahuan
tentang mekanisme yang mendasarinya, dan terbatasnya pilihan terapi yang tersedia.
Sampai saat ini tidak ada terapi efektif yang telah disepakati.

VII. Daftar Pustaka


1. Ritz E, Remppis A. What have nephrologists and cardiologists learnt from each other?
Nature 2009;5:1.
2. Breidthardt T, Mebazaa A, Mueller CE. Predicting progression in nondiabetic kidney
disease: the importance of cardiorenal interactions. Kidney Int 2009;75:253-5.
3. Fonarow GC, Heywood JT. The confounding issue of comorbid renal insufficiency. Am J
Med 2006;119(Suppl 12A):S17-25.
4. Geisberg C, Butler J. Addressing the challenges of cardiorenal syndrome. Cleve Clin J
Med 2006;73:485-91.
5. Shlipak MG, Massie BM. The clinical challenge of cardiorenal syndrome. Circulation
2004;110:1514-7.
6. Francis G. Acute decompensated heart failure: the cardiorenal syndrome. Cleve Clin J
Med 2006;73(Suppl 2):S8-13.
7. Schiffrin EL, Lipman ML, Mann JFE. Chronic kidney disease: effects on the
cardiovascular system. Circulation 2007;116:85-97.
8. Go AS, Chertow GM, Fan D, McCullock CE, Hsu CY. Chronic kidney disease and the risks
of death, cardiovascular events, and hospitalization. N Engl J Med 2004;351:1296-305.
9. Sarnak MJ, Levey AS, Schoolwerth AC, Coresh J, Culleton B, Hamm LL, et al. Kidney
disease as a risk factor for development of cardiovascular disease a statement from the
American Heart Association councils on kidney in cardiovascular disease, high blood
pressure research, clinical cardiology, and epidemiology and prevention. Circulation
2003;108:2154-69.
10. Anavaker NS, McMurray JJV, Velazquez EJ, Solomon SD, Kober L, Rouleau JL, et al.
Relation between renal dysfunction and cardiovascular outcomes after myocardial
infarction. N Engl J Med 2004; 351:1285-95.
11. Adam KF Jr, Fonarow GC, Emerman CL, LeJemtel TH, Costanzo MR, Abraham WT, et al.
Characteristics and outcomes of patients hospitalized for heart failure in the United
States: rationale, design, and preliminary observations from the first 100,000 cases in
the acute decompensated heart failure national registry (ADHERE). Am Heart J
2005;149:209-16.
12. Smith GL, Lichtman JH, Bracken MB, Shlipak MG, Phillips CO, DiCapua P, et al. Renal
impairment and outcomes in heart failure systematic review and meta-analysis. J Am
Coll Cardiol 2006;47:1987-96.
13. McAlister FA, Ezekowitz J, Tonelli M, Armstrong PW. Renal insufficiency and heart
failure prognostic and therapeutic implications from a prospective cohort study.
Circulation 2004; 109:1004-9.
14. Hillege HL, Girbes ARJ, de Kam PJ, Boomsma F, de Zeeuw D, Charlesworth A, et al.
Renal function, neurohormonal activation, and survival in patients with chronic heart
failure. Circulation 2000;102:203-10.
15. Forman DE, Butler J, Wang Y, Abraham WT, OConnor CM, Gottlieb SS, et al.
Incidence, predictors at admission, and impact of worsening renal function among
patients hospitalized with heart failure. J Am Coll Cardiol 2004;43:61-7.
16. Bongartz LG, Cramer MJ, Doevendans PA, Joles JA, Braam B. The severe cardiorenal
syndrome: Guyton revisited. Eur Heart J 2005;26:1115-40.
17. Liang KV, Williams AW, Greene EL, Redfield MM. Acute decompensated heart failure
and the cardiorenal syndrome. Crit Care Med 2008;36(Suppl 1):S75-88.
18. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. Cardiorenal syndrome. J Am
Coll Cardiol 2008;52:1527-39.
19. van der Putten K, Bongartz LG, Braam B, Gaillard CAJM. The cardiorenal syndrome a
classification into 4 groups? J Am Coll Cardiol 2009;53:1340.
20. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. The cardiorenal syndrome a
classification into 4 groups? Reply. J Am Coll Cardiol 2009;53:1340.
21. Berl T, Henrich W. Kidney-heart interactions: epidemiology, pathogenesis, and
treatment. Clin J Am Soc Nephrol 2006;1:8-18.
22. Hillege HL, Nitsch D, Pfeffer MA, Swedberg K, McMurray JJV, Yusuf S, et al. Renal
function as a predictor of outcome in a broad spectrum of patients with heart failure.
Circulation 2006;113:671-8.
23. Bhatia RS, Tu JV, Lee DS, Austin PC, Fang J, Haozi A, et al. Outcome of heart failure
with preserved ejection fraction in a population-based study. N Engl J Med 2006;113:260-
9.
24. Nohria A, Hasselblad V, Stebbins A, Pauly DF, Fonarow GC, Shah M, et al. Cardiorenal
interactions insights from the ESCAPE trial. J Am Coll Cardiol 2008;51:1268-74.
25. Tang YD, Katz SD. Anemia in chronic heart failure: prevalence, etiology, clinical
correlates, and treatment options. Circulation 2006;113:2454-61.
26. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Pole-Wilson PA,
et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2008 of the European Society of Cardiology. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J 2008:1-55.
27. Gottlieb SS, Abraham W, Butler J, Forman DE, Loh E, Massie BM, et al. The prognostic
importance of different definitions of worsening renal function in congestive heart failure
[abstract]. J Card Fail 2002;8:136-41.
28. Amsalem Y, Garty M, Schwartz R, Sandach A, Behar S, Caspi A, et al. Prevalence and
significance of unrecognized renal insufficiency in patients with heart failure. Eur Heart J
2008;29:1029-36.
29. Butler J, Forman DE, Abraham WT, Gottlieb SS, Loh E, Massie BM, et al. Relationship
between heart failure treatment and development of worsening renal function among
hospitalized patients. Am Heart J 2004;147:331-8.
30. Cowie MR, Komajda M, Murray-Thomas T, Underwood J, Ticho B. Prevalence and
impact of worsening renal function in patients hospitalized with decompensated heart
failure: results of the prospective outcomes study in heart failure (POSH). Eur Heart J
2006;27:1216-22.
31. Mullens W, Abrahams Z, Francis GS, Sokos G, Taylor DO, Starling RC, et al. Importance
of venous congestion for worsening of renal function in advanced decompensated heart
failure. J Am Coll Cardiol 2009;53:589-96.
32. Damman K, van Deursen VM, Navis G, Voors AA, van Veldhuisen DJ, Hillege HL.
Increased central venous pressure is associated with impaired renal function and
mortality in broad spectrum of patients with cardiovascular disease. J Am Coll Cardiol
2009;53:582-8.
33. Jessup M, Costanza MR. The cardiorenal syndrome: do we need a change of strategy
or a change af tactics? J Am Coll Cardiol 2009;53:597-9.
34. Weinrauch LA, Lin J, Solomon AD. Mapping directions for the cardiorenal conundrum
where you end up depends upon where you started, so where do we go from here? J Am
Coll Cardiol 2008;51:1275-6.
35. Bakris GL, Weir MR. Angiotensin-converting enzyme inhibitorassociated elevations in
serum creatinine is this cause for concern? Arch Intern Med 2000;160:685-93.
36. Solomon SD, Rice MM, Jablonski KA, Jose P, Domanski M, Sabatine M, et al. Renal
function and effectiveness of angiotensin-converting enzyme inhibitor therapy in patients
with chronic stable coronary disease in the prevention of events with ACE inhibition
(PEACE) trial. Circulation 2006;114:26-31.
37. Hou FF, Zhang X, Zhang GH, Xie D, Chen PY, Zhang WR, et al. Efficacy and safety of
benazepril for advanced chronic renal insufficiency. N Engl J Med 2006;354:131-40.
38. Berger AK, Duval S, Krumholz HM. Aspirin, beta-blocker, and angiotensin-converting
enzyme inhibitor therapy in patients with end-stage renal disease and an acute
myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2003;42:201-8.
39. Roesli RMA, Gondodiputro RS, Bandiara R. Sindroma kardiorenal. In: Roesli RMA,
editor. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Bandung: Pusat Penerbitan
Ilmiah; 2008. p.156-67.
40. Domanski M, Norman J, Pitt B, Haigney M, Hanlon S, Peyster E. Diuretic use,
progressive heart failure, and death in patients in the studies of left ventricular
dysfunction (SOLVD). J Am Coll Cardiol 2003;42:705-8.
41. Schrier RW. Role of diminished renal function in cardiovascular mortality marker or
pathogenic factor? J Am Coll Cardiol 2006;47:1-8.
42. Debaveye YA, van den Berghe GH. Is there still a place for dopamine in the modern
intensive care unit? Anesth Analg 2004;98:461-8.
43. Venkataraman R, Kellum JA. Prevention of acute renal failure. Chest 2007;131:300-8
44. Sirivella S, Gielchinsky I, Parsonnet V. Mannitol, furosemide, and dopamine infusion in
postoperative renal failure complicating cardiac surgery. Ann Thorac Surg 2000;69:501-6.
45. Carcoana OV, Mathew JP, Davis E, Byrne DW, Hayslett JP, Hines RL, et al. Mannitol
and dopamine in patients undergoing cardiopulmonary bypass: a randomized clinical
trial. Anesth Analg 2003;97:1222-9.
46. Noor S, Usmani A. Postoperative renal failure. Clin Geriatr Med 2008;24:721-9.
47. Chalasani N, Gorski JC, Horlander JC, Craven R, Hoen H, Maya J, et al. Effects of
albumin/furosemide mixtures on responses to furosemide in hypoalbuminemic patients. J
Am Soc Nephrol 2001;12:1010-6.
48. Paterna S, Di Pasquale P, Parrinello G, Fornaciari E, Di Gaudio F, Fasullo S, et al.
Changes in brain natriuretic peptide levels and bioelectrical impedance measurements
after treatment with high-dose furosemide and hypertonic saline solution versus high-
dose furosemide alone in refractory congestive heart failure a double-blind study. J Am
Coll Cardiol 2005;45:1997-2003.
49. Stevenson LW, Nohria A, Mielniczuk L. Torrent or torment from the tubules?
chalenge of the cardiorenal connections. J Am Coll Cardiol 2005;45:2004-7.
50. Sackner-Bernstein JD, Skopicki HA, Aaronson KD. Risk of worsening renal function with
nesiritide in patients with acutely decompensated heart failure. Circulation
2005;111:1487-91.
51. Witteles RM, Kao D, Christopherson D, Matsuda K, Vagelos RH, Schreiber D, et al.
Impact of nesiritide on renal function in patients with acute decompensated heart failure
and pre-existing renal dysfunction a randomized, double-blind, placebo-controlled
clinical trial. J Am Coll Cardiol 2007;50:1835-40.
52. Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM, Francis GS, Ganiats TG, et al. ACC/AHA
2005 guideline update for the diagnosis and management of chronic heart failure in the
adult. Circulation 2005;112:e154-e235.
53. Bourge RC, Tallaj JA. Ultrafiltration a new approach toward mechanical diuresis in
heart failure. J Am Coll Cardiol 2005;11:2052-3.
54. Costanzo MR, Guglin ME, Saltzberg MT, Jessup ML, Bart BA, Teerlink JR, et al.
Ultrafiltration versus intravenous diuretics for patients hospitalized for acute
decompensated heart failure. J Am Coll Cardiol 2007;49:675-83.
55. Costanzo MR, Saltzberg M, OSullivan J, Sobotka P. Early ultrafiltration in patients with
decompensated heart failure and diuretic resistance. J Am Coll Cardiol 2005;46:2047-51.

Anda mungkin juga menyukai