I. PENDAHULUAN
II. EPIDEMOLOGI
1
III. ETIOLOGI
2
antibodi spesifik sehingga organisme ini dapat lebih mudah menghindari
reaksi imun. (1,4,5)
IV. PATOGENESIS
3
protein pada membran luar Treponema; Lokasinya yang intraseluler atau
menetapnya Treponema di suatu tempat yang imunoprotektif, misalnya di
susunan saraf pusat, mata, aorta, tulang, kelenjar limfe atau perilimfe telinga
tengah; Adanya subpopulasi Treponema yang resisten terhadap fagositosis
yaitu dengan adanya lapisan tipis mukopolisakarida di dinding selnya;
Penurunan dini dari respon imun lokal host.(1,5) Organisme ini berproliferasi
kembali dan penyakit menjadi generalisata dan sistemik (stadium sekunder)
dimana level antibodi meningkat sebagai respon terhadap organisme yang
berjumlah banyak tersebut. Pada saat ini timbul resistensi terhadap infeksi
baru. Hipersensitivitas tipe lambat terhadap Treponema pallidum pada saat
ini berkurang tanpa diketahui penyebabnya. Supresi imunitas cell-mediated
ini menyebabkan proliferasi organisme walaupun level antibodi meningkat,
dan membentuk kompleks imun. Peran komplemen di sini sangat penting
karena terdapat bukti bahwa komplemen memperkuat ikatan antibodi dan
komplemen dapat melisiskan membran luar Treponema dan membuka
protein antigenik yang tertutup.(4,7)
Pada stadium laten tidak terdapat gejala klinis tetapi deteksi antibodi
spesifik terhadap Treponema pallidum tetap positif, menunjukkan organisme
ini masih ada, khususnya di limpa dan kelenjar limfe.(5,7) Stadium tertier atau
lanjut yang terjadi kira-kira sepertiga kasus dianggap sebagai akibat
berkurangnya respon imun host. Treponema menyerang susunan saraf pusat,
sistem kardiovaskuler, mata, kulit, dan organ dalam lainnya, menimbulkan
kerusakan oleh karena sifat invasifnya serta inflamasi dan merangsang
respon hipersensitivitas tipe lambat dari host.(5,7) Gumma adalah suatu lesi
destruktif yang biasanya terjadi di kulit, tulang, atau viseral yang merupakan
hasil respon hipersentivitas tipe lambat terhadap antigen Treponema.
Biasanya hanya terdapat sedikit Treponema di lesi ini.(8,9) Patogenesis sifilis
kongenital masih kontroversi sampai sekarang. Seperti yang kita ketahui
infeksi pada janin dari ibunya yang sifilis tidak terjadi sebelum 4 bulan
kehamilan karena Treponema dari sirkulasi maternal tidak dapat melewati
4
lapisan sel Langhans pada plasenta. Namun mungkin juga Treponema dapat
lewat dari ibu ke janin sebelum bulan kelima kehamilan tetapi perubahan
patologis yang klasik tidak timbul sebelum bulan kelima kehamilan.
Perubahan patologis pada sifilis kongenital sama dengan pada sifilis akuisita
kecuali tidak adanya stadium primer atau stadium chancre. Sifilis kongenital
ditandai dengan gejala yang meluas karena infeksi melibatkan plasenta dan
penyebaran secara hematogen pada janin.(4,8)
V. KLASIFIKASI
A. SIFILIS AKUISITA
1. Sifilis Primer
2. Sifilis Sekunder
3. Sifilis Laten
4. Sifilis Tertier :
- Sifilis Lanjut Benigna
- Sifilis Kardiovaskuler
- Neurosifilis
B. SIFILIS KONGENITAL
1. Sifilis Kongenital Dini
2. Siffilis Kongenital lanjut
3. Stigmata
5
dengan cepat mengalami erosi, umumnya kemudian menjadi ulkus
(ulkus durum) Sifat ulkus : bulat, soliter, dasar berupa jaringan
granulasi merah dan bersih, dinding tidak bergaung, indolen, teraba
indurasi, tidak ada tanda radang akut, dan hanya tampak serum
diatasnya.(4,10)
6
kepala, lakrimasi, sekret hidung.(1,4) Bentuk dermatologis adalah
eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak, warnanya
merah tembaga, bentuknya bulat atau lonjong. Lokalisasinya
generalisata dan simetrik. Gejalanya mirip dengan eksantema karena
timbulnya cepat dan menyeluruh.(1,4) Bentuk lesinya dapat juga berupa
papul. Papul tersebut dapat berskuama yang terdapat di pinggir
(koleret) dan disebut papulo-skuamosa.(1,4) Bentuk lain ialah
kondilomata lata, terdiri atas papul-papul lentikular, permukaannya
datar, sebagian berkonfluensi, terletak pada daerah lipatan kulit; akibat
gesekan antar-kulit permukaannya menjadi erosive, eksudatif, sangat
menular. Tempat predileksinya di lipatan paha, skrotum, vulva,
perianal, di bawah mamma, dan antar jari kaki.(1,5)
3. Sifilis Laten
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan tetapi infeksi
masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor
serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.
(5,7)
4. Sifilis Tertier
7
(Gambar Sifilis Tertier)
8
plasma. Endarteritis akan menyebabkan iskemia. Lapisan intima
dan media juga dirusak sehingga terjadi pelebaran aorta yang
menyebabkan aneurisma.(4,5) Aortitis yang tersering ialah yang
mengenai aorta asendens, katup mengalami kerusakan sehingga
darah mengalir kembali ke ventrikel kiri. Aortitis juga sering
mengenai arteri koronaria dan menyebabkan iskemia miokardium.
(11)
c. Neurosifilis
Neurosifilis lebih sering terjadi pada orang kulit putih daripada
orang kulit berwarna, juga lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita.(1,4) Infeksi terjadi pada stadium dini. Sebagian besar kasus
tidak memberi gejala. Pada sejumlah 20-37% kasus terdapat
kelainan likuor serebrospinalis, sebagian kecil di antaranya dengan
kelainan meningeal.(1,5) Gejalanya dapat berupa nyeri kepala,
konvulsi lokal atau umum, papil nervus optikus sembab, gangguan
mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan kelumpuh saraf-
saraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan hipotalamus, gangguan
pyramidal, gangguan miksi dan defekasi, stupor, atau koma.
Bentuk yang sering dijumpai ialah endarteritis sifilitika dengan
hemiparesis karena penyumbatan arteri otak.(12,13)
B. SIFILIS KONGENITAL
9
(Sifilis Kongenital)
Sifilis kongenital pada bayi terjadi jika ibunya terkena sifilis, terutama
sifilis dini sebab banyak Treponema pallidum beredar dalam darah.
Treponema masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah
dapat terjadi pada saat masa kehamilan 10 minggu.(1,4)
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini
(prekoks), sifilis kongenital (tarda), dan stigmata.(1,4)
a. Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah
bulla, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada
tempat lain di badan. Cairan bulla mengandung banyak Treponema
pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus
sifilitika.(4,5) Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur
10
beberapa minggu dan mirip erupsi, pada umumnya berbentuk papul
atau papulo-skuamosa yang simetris dan general. (5,7)
b. Sifilis kongenital lanjut
Manifestasi klinis timbul setelah bayi berumur 2 tahun tetapi
jarang timbul setelah berumur lebih 30 tahun. Tanda klinik yang
karakteristik berupa keratitis interstisial tetapi tanda klinis lain pada
umumnya tidak spesifik. Pada stadium ini sifilis bersifat tidak menular
dan tidak infeksius. (1,8)
c. Stigmata
Pada gigi timbul Mulberry atau Moons molars pada 65%
penderita, gigi molar selalu tidak utuh karena mudah timbul karies
dentis. Di daerah perioral dapat timbul jaringan parut linier disebut
ragades.(1,7) Pada lesi yang lanjut, pada kornea dapat timbul corneal
clouding (syphilitic nebulae) dan glaukoma. Di tulang terjadi penebalan
bagian tengah tulang tibia akibat periotitis disebut saber shins. Jika
timbul periostitis di bagian frontal dan parietal tulang dapat
menyebabkan penebalan di bagian dahi yang disebut frontal bosing of
Parrot. Karena adanya invasi Treponema pallidum di gigi
menyebabkan gangguan pertumbuhan berupa gigi incisivus kecil
berbentuk seperti obeng dan tepi ginggiva lebar, keadaan ini disebut
Hutchinsons teeth.(4,5)
11
Herpes simpleks : lesi berupa vesikel di atas kulit yang eritematosa
dan berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi, sering
berkonfluensi dan tidak terdapat indurasi.
12
(Gambar Limfogranuloma venerum)
Ulkus mole: ulkus lebih dari satu, disertai tanda-tanda radang akut,
terdapat pus, dan dindingnya bergaung. Ulkus chancroid dalam, tepi
tidak rata (ireguler), ukuran bervariasi (1-2 mm smp bbrp cm), bentuk bulat
(1,4,5)
atau oval, irreguler, dasar ulkus purulen.
13
.
(Gambar Morbili)
14
(Gambar Ptiriasis Rosea)
(Kondiloma Akiumatum)
15
Kelainan kulit yang utama pada sifilis tertier ialah gumma. Gumma
juga terdapat pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis
profunda. Perlu ditanyakan pada anamnesis, apakah penderita tersangka
menderita sifilis primer atau sekunder. Pemeriksaan hispatologi sangat
membantu diagnosis sifilis tertier.(1,5)
a) Pemeriksaan T.Pallidum
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi
kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop
lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut jika
hasil pemeriksaan I dan II negatif. Sementara itu lesi dikompres
dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti
diagnosisnya bukan sifilis, mungkin kumannya terlalu sedikit.
Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap.
Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan
melintasi lapangan pandangan, jadi tidak bergerak cepat seperti
Borrelia vincentii penyebab stomatitis.(1,5)
b) Tes VDRL
Pada tes VDRL (Veneral Disease Research Laboratory)
merupakan salah satu tes nonTreponemal yang bertujuan untuk
mendeteksi antibodi IgM dan IgG pada serum penderita.(4) Pada tes ini
digunakan antigen non spesifik yaitu kombinasi kardiolipin, lesitin,
dan kolesterol.(1) Antigen ini bersatu dengan antibodi di serum
16
penderita yang dicurigai terinfeksi T. pallidum dan membentuk
gumpalan yang dapat dilihat di mikroskop flokulasi antigen-antibodi.
(4)
Titer antibodi ini berhubungan dengan keadaan penyakit yang
diderita. Titer yang tinggi ( 1:32) menunjukkan sifilis yang aktif.(1,5)
c) Tes TPHA
Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)
merupakan tes untuk mengukur antibodi dalam serum penderita yang
spesifik dengan protein permukaan Treponema pallidum. Protein
tersebut dilekatkan pada eritrosit kelinci sebagai karier antigen. Jika
terjadi kompleks antigen-antibodi menandakan bahwa penderita
mempunyai sifilis yang aktif.(5)
IX. PENATALAKSANAAN
17
sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai dua belas jam pada suntikan
penisilin yang pertama.(1,4) Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala
umum bisanya hanya ringan berupa sedikt demam. Selain itu dapat pula
berat: demam yang tinggi nyeri kepala, atralgia, malasie, berkeringat dan
kemerahan pada muka. Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak
karena edema dan infiltrasi sel dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan
menghilang 10 sampai 12 jam.(1,4,7)
X. ERIDIKASI
Sebaiknya menghindari seks diluar nikah dan berganti-ganti pasangan.serta
saling setia anatara suami istri. (1,4,5)
XI. PROGNOSIS
Prognosis untuk penderita sifilis primer danj sekunder adalah sangat
baik karena Treponema pallidum masih berespon terhadap penicillin.
Namun pada penderita sifilis tertier, masih meragukan walaupun banyak
yang sembuh dengan terapi antibiotik.(9)
Setelah pengobatan untuk sifilis laten dini, gumma sembuh secara
perlahan-lahan dalam beberapa bulan, tergantung dari luasnya jaringan yang
rusak. Gumma pada daerah otak dan medulla spinalis harus dieksisi.(1)
Pada 414 wanita hamil yang menderita sifilis primer yang mendapat
pengobatan penisilin, hanya 5% dari kelahiran bayi mereka yang menderita
sifilis kongenital.(1)
18
XII. DAFTAR PUSTAKA
1. Sanchez MR. Syphilis. In: Wolff K, Goldsmith LA, et al. Editors.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc.
Graw Hill, 2008: 1955-77.
2. Dugdale DC, Vyas JM Syphilis: Medlineplus-U.S National Library of
Medicine. [online]. [cited 2011 November 27]: [3 screens]. Available
from: URL: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ syphilis.html.
3. Anonym. Sexually Transmitted Disease (STDs): Syphilis-CDC Fact
Sheet. [online]. [cited 2011 November 27]: [5 screens]. Available from:
URL: http://www.cdc.gov/std/syphilis/stdfact-syphilis.htm.
4. Morton RS, Kinghorn GR, Vegas FK. The Treponematoses. In: Burns,
Tony, Stephen B, et al Editors. Rooks Textbook of Dermatology 7th ed.
Massachusetts: Blakwell Publishing Inc, 2004: 1371-96.
5. Callen PJ, Horn TD. Syphilis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP
Editors. Dermatology 2nd Volume 1. Philadelphia: Elsevier Inc, 2008;
12(81): 2134-56.
6. Su JR, Berman SM, Weinstock HS. Congenital Syphilis United States,
2003-2008. Morbidity and Mortality Weekly Report. CDC 2010: 54(14);
413-17.
7. Habif, TP. Syphilis. In: Habif, Thomas P Editors. Clinical Dermatology
A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4 th ed. Edinburgh: Mosby
Inc, 2004: 315-24.
8. Grekin RC, Neuhaus IM. Syphilis, Yaws, Bejel, and Pinta. In: James
WD, Berger TG, Elston DM Editors. Andrews Disease of the Skin
Clinical Dermatology 10th. Philadelphia: Elsevier Inc, 2006: 353-64.
9. Diaz, Maria M, Richard H Sinert. Syphilis eMedicine Emergency
Medicine. [online]. [cited 2011 November 27]: [22 screens]. Available
from: URL: http://emedicine.medscape.com.
10. Ramoni, Stefano, et al. Syphilitic Chancre of the Mouth: Three Cases.
Acta Derm Venereol 2009; 89: 648-9.
11. Saraiva, Roberto S, et al. Syphilitic Aortitis: diagnosis and treatment -
Case Report. Rev Bras Cir Cardiovasc 2010; 25(3): 415-18
12. Milger K, Fleig V, Kohleberg A. Discher T, Lohmeyer J. Neurosyphilis
manifesting with unilateral visual loss and hyponatremia: case report.
BMC Infectious 2011, 11:17.
13. Vaitkus A, Krasauskaite E, Urbonaviciute I. Meningovascular
neurosyphilis: a report of stroke in a young adult. Lithuania: Medicina
(Kaunas) 2010; 46(4): 282-5
14. Radolf JD, Bolan G, Park IU. Discordant Result from Reverse Sequence
Syphilis Screening Five Laboratories, United State, 2006-2010. CDC
2011; 60(05):133-7.
15. Aires FT, Romulo PS, Wanderley MB. Efficacy of Azitromycin on the
Treatment of Syphilis. Assoc Med Bras 2010; 56(5): 496
19