Anda di halaman 1dari 20

Bab VIII

PEMBELAJARAN DAN PENGEMBANGAN


KURIKULUM

Setelah mempelajari isi menyelesaikan tugas-tugas dalam bab ini, diharapkan mampu :

1. Mengenal pengertian kurikulum dan landasan-landasan pengembangan kurikulum.


2. Mengkomunikasikan komponen-komponen kurikulum dan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum.
3. Mengenalkan berbagai model pengembangan kurikulum.
4. Mengenal keterhubungan pembelajaran dengan pengembangan kurikulum.

Kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh setiap guru, selalu bermula dari dan
bermuara pada komponen-komponen pembelajaran yang tersurat dalam kurikulum. Pernyataan
ini, didasarkan pada kenyataan bahwa kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru
merupakan bagian utama dari pendidikan formal yang syarat mutlaknya adalah adanya
kurikulum sebagai pedoman. Dengan demikian guru dalam merancang program pembelajaran
maupun melaksanakan proses pembelajaran akan selalu berpedoman pada kurikulum.

Guru dapat dikatakan sebagai pemegang peran penting dalam pengimplementasian


kurikulum, baik dalam rancangan maupun dalam tindakannya. Oleh karena itu, sudah
selayaknya seorang calon guru dikenalkan dengan kurikulum yang akan banyak digaulinya pada
saatnya nanti. Pengenalan terhadap kurikulum tersebut, tidak saja terbatas pada pengertian
kurikulum saja. Lebih dari itu yang penting adalah berkenaan dengan pengembangan
kurikulum.

A. Kurikulum dan Landasan Pengembangan Kurikulum

1. Pengertian Kurikulum
Apabila dianjurkan pertanyaan: Apa kurikulum itu ? Setiap orang yang ditanya akan
menjawab sama atau berbeda satu dengan yang lain. Adanya jawaban yang bervariasi terhadap
pertanyaan tersebut sesuai dengan pendapat para ahli yang juga bervariasi mengenai pengertian
kurikulum ini.
Kata kurikulum berasal dari satu kata bahasa Latin yang berarti jalur pacu, dan
secara tradisional, kurikulum sekolah disajikan seperti itu (ibarat jalan) bagi kebanyakan orang
(Zais, 1976:6). Lebih lanjut Zais (1976) mengemukakan berbagai pengertian kurikulum, yakni :
(i) kurikulum sebagai program pelajaran, (ii) kurikulum sebagai isi pelajaran, (iii) kurikulum
sebagai pengalaman belajar yang direncanakan, (iv) kurikulum sebagai pengalaman di bawah
tanggung jawab sekolah, dan (v) kurikulum sebagai suatu rencana (tertulis) untuk dilaksanakan.
Sedangkan Tanner dan Tanner (1980) mengungkapkan konsep-konsep: (i) kurikulum sebagai
pengetahuan yang diorganisasikan, (ii) kurikulum sebagai modus mengajar, (iii) kurikulum
sebagai arena pengalaman, (iv) kurikulum sebagai pengalaman, (v) kurikulum sebagai
pengalaman belajar terbimbing, (vi) kurikulum sebagai kehidupan terbimbing, (vii) kurikulum
sebagai suatu rencana pembelajaran, (viii) kurikulum sebagai sistem produksi secara teknologis,
dan (ix) kurikulum sebagai tujuan untuk memudahkan dan menyederhanakan pembahasan,
berikut merupakan penyimpulan dari konsep-konsep kurikulum yang terdiri dari: (i) kurikulum
sebagai jalan meraih ijazah, (ii) kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran, (iii) kurikulum sebagai
rencana kegiatan pembelajaran, (iv) kurikulum sebagai hasil belajar, dan (v) kurikulum sebagai
pengalaman belajar.

a. Kurikulum sebagai jalan meraih ijazah. Seperti kita ketahui bersama, kurikulum merupakan
syarat mutlak dalam pendidikan formal. Boleh dikata, tidak ada pendidikan formal tanpa ada
kurikulum. Pada pendidikan formal terdapat jenjang-jenjang pendidikanyang selalu berakhir
dengan ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Seseorang yang telah menyelesaikan
satu jenjang pendidikan, dalam kenyataannya telah melalui suatu jalur pacuan yang terdiri dan
berbagai mata pelajaran/bidang studi beserta isi pelajarannya dan berakhir pada ijazah. Para
pendidik profesionalbjuga memandang curriculumas the relatively standardized groud
covered by student in their race toward the finish line (a diploma) (Zais. 1976:6).
Berdasarkan uraian uraian sebelumnya dapat kirana disimpulkan bahwa kurikulum
merupakan jalan yang berisi sejumlah mata pelajaran/bidang studi isi pelajaran yang harus
dilalui untuk meraih ijazah.

b. Kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran. Kurikulum sebagai jalan meraih ijazah
mengisyaratkan adanya sejumlah mata pelajaran/bidang studi dan isi pelajaran yang harus
diselesaika oleh siswa. Selain itu, jika ada orang bertanya: Apa kurikulumnya? Seringkali
dijawab bahwa kurikulumnya adalah PMP, bahasa Indonesia, dan yang lain. Jawaban bahwa
kurikulum terdiri dari berbagai mata pelajaran sudah sejak lama ada, bahkan sampai sekarang
masih sering terbaca ataupun terdengar. Schubert (1986) mengemukakan bahwa penyebutan
kurikulum yang demikian sama halnya menyamakan kurikulum dengan mata pelajaran
(Sumantri, 1988:2). Lebih jauh, orang sering menyebut bahwa isi dari pelajaran tertentu dalam
program dikatakan sebagai kurikulum (Zais, 1976:7). Dengan demikian, tidaklah mengejutkan
apabila ada orang mengemukakan kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran.

c. Kurikulum sebagai rencana kegiatan pembelajaran. Winecoff (1988:1) mengemukakan The


curriculum is generally defined as a plan developed to facilitate the teaching/learning proses
under the guidance of a school, college or university and its staff members. Definisi
kurikulum seperti dikemukakan oleh Winecoff (1988) tersebut, secara jelas menunjukakan
kepada kita bahwa kurikulum didenifisikan sebagai satu rencana yang dikembangkan untuk
mendukung proses mengajar/belajar didalam arahan dan bimbingan sekolah, akademi atau
universitas dan para anggota stafnya. Alexander dan Saylor (1974 dalam Bondi dan Wiles,
1989:7) mengungkapkan pula bahwa kurikulum sebagai satu rancangan untuk menyediakan
seperangkat kesempatan belajar agar mencapai tujuan. Kurikulum sebagai rencana kegiatan
pembelajaran, namun demikian komponen komponen kegiatan pembelajaran yang
dirancang dalam kurikulum masih bersifat umum dan luwes untuk dikaji lanjut oleh guru.

d. Kurikulum sebagai hasil belajar. Popham dan Baker mendenifisikan kurikulum sebagai all
planned learning outcomes for which the school it responsible (Tanner & Tanner, 1980:24).
Secara jelas diutarakan oleh Popham dan Baker bahwa semua rencana hasil belajar (Learning
outcomes) yang merupakan tanggung jawab sekolah adalah kurikulum. Adanya definisi ini
mengubah pandangan kurikulum sebagai tujuan. Bahkan Tanner dan Tanner (1980:43)
memandang kurikulum sebagai rekonstruksi pengetahuan dan pengalaman, yang secara
sistematis dikembangkan dengan bantuan sekolah (atau universitas), agar memungkinkan
siswa menambah penguasaan pengetahuan dan pengalamanya. Dengan demikian, kurikulum
sebagai hasil belajar merupakan serangkaian hasil belajar yang diharapkan. Namun demikian
bukan berarti dalam kurikulum tidak diorganisasikan cara-cara sistematis untuk mewujudkan
hasil-hasil belajar yang diharapkan.

e. Kurikulum sebagai pengalaman belajar. Dari empat konsep kurikulum yang diuraikan
sebelumnya, dapatlah kita menandai bahwa setiap orang yang terlibat dalam
pengimplementasian kurikulum tersebut akan memperoleh pengalaman belajar. Foshay
mengamati bahwa sejak sebelum tahun 1930-an istilah kurikulum didefinisikan sebagai
semua pengalaman seorang siswa yang diberikan di bwah bimbingan sekolah (Tanner dan
Tanner, 1980:14). Sedangkan Krug (1956 dalam Zais 1976:8) menunjukkan kurikulum
sebagai all the means employed by the school to provide students with opportunities for
desirable learning experiences. Jelas definisi Kurg ini menunjukkan kepada kita bahwa
semua yang bermaksud dipakai oleh sekoalah untuk menyediakan kesempatan-kesempatan
bagi siswa memperoleh pengalaman-pengalaman belajar yang diperlukan sekali adalah
kurikulum. Berdasarkan definisi kurikulum, belajar tersebut diperoleh baik didalam sekolah
maupun diluar sekolah sepanjang direncanakan atau dibimbing pihak sekolah. Dengan
demikian, kurikulum sebagai pengalaman belajar mencakup pula tugas-tugas belajar yang
diberikan oleh guru untuk dikerjakan siswa di rumah.

Kelima konsep tentang kurikulum, yakni ; (i) kurikulum sebagai jalan meraih ijazah, (ii)
kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran, (iii) kurikulum sebagai rencana kegiatan pembelajaran,
(iv) kurikulum sebagai hasil belajar, dan (v) kurikulum sebagai pengalaman belajar, semua benar
tergantung dari cara memandangnya. Guru dapat memilih satu atau lebih konsep kurikulum yang
dijadikan acuannya. Dalam UU Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Pasal 1 (9)
menyebutkan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan
bahan serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar
(Depdikbud, 1989:3), sedangkan dalam Pasal 37 menyebutkan: Kurikulum disusun untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta
didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-
masingsatuan pendidikan (Depdikbud, 1989:15). Rumus penjabaran kurikulum seperti
termaktub dalam UUSistem Pendidikan Nasionalbila dikaji merupakan konsep kurikulum yang
cukup lengkap dan meyeluruh. Dalam rumusan tersebut tampak dengan jelas bahwa kurikulum
perlu dan harus dikembangkan

2. Landasan Pengembangan Kurikulum

Kurikulum merupakan wahana belajar mengajar yang dinamis sehingga perlu dinilai
dan dikembangkan secara terus-menerus dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan
yang ada dalam masyarakat (Depdikbud ,1986:1). Adapun yang dimaksud dengan
pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan bagaimana pem buatan
kurikulum akan berjalan. Hal tersebut meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut: Siapa
akan dilibatkan dalam pembuatan kurikulum, guru, administrator, orang tua, atau siswa?
Apa prosedur yang akan digunakan dalam pembuatan kurikulum, petunjuk administratif,
komisi fakultas (staf pengajar), atau konsultaso universiitas? Jika komisi yang digunakan,
bagaimana mereka akan diatur? (Zais, 1976:17). Sedangkan Bondi dan Wiles (1989:87)
mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum yang terbaik adalah proses yang
meliputi banyak hal yakni; (1) kemudahan-kemudahan suatu analisis tujuan, (2)
rancangan suatu program, (3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan
(4) peralatan dalam evaluasi proses ini. Secara singkat, pengembangan kurikulum adalah
suatu perbuatan kompleks yang mencakup berbagai jenis keputusan (Taba, 1962:6).

Agar pengembangan kurikulum dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka
dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan pengembangan
kurikulum. Seperti yang tercantum dalam kurikulum SD, dalam landasan program and
pengembangan dikemukakan bahwa pengembangan kurikulum mengacu pada tiga unsur,
yaitu: (1) niali dasar yang merupakan falsafah dala pendidikan manusia seutuhnya, (2)
fakta empiric yang tercemin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan penilaian
kurikulum, studi, maupun survei lainnya, dan (3) landasan teoriyang menjadi arahan
pengembangan dan kerangka penyorotnya (Depdikbud, 1986:1). Hal yang dikemukakan
dalam Landasan Program dan Pengembangan Kurikulum merupakan contoh adanya
landasan-landasan pengembangan kurikulum, yang acapkali disebut sebagai determinan
(factor-faktor penentu) pengembangan kurikulum.

a. Landasan Filosofis. Pendidikan ada dan berada dalam kehidupan masyarakat sehingga
apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk dilestarkan diselenggarakan melalui
pendidikan (dalam arti seluas-luasnya) (Raka Joni,1983:6). Segala kehendak yang
dimiliki oleh masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah pada
pendidikan. Dengan demikian pandangan dan wawasan yang ada dalam masyarakat
merupakan pandangan dan wawasan dalam pendidikan, atau dapat dikatakan bahwa
filsafat yang hidup dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan
pendidikan. Filsafat boleh jadi didefinisikan sebagai suatu studi tentang: hakikat realitas,
hakikat ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan,
dan hakikat pikiran (Winecoff,1988:13). Oleh karena itu, landasan filosofis
pengembangan kurikulum adalah hakikat realitas, ilmu pengetahuan, sistem nilai, nilai
kebaikan, keindahan dan hakikat pikiran yang ada dalam masyarakat. Secara logis dan
realistis, landasan filosofis pengembangan kurikulum dari satu sistem pendidikan berbeda
dengan sistem pendidikan yang lain. Juga landasan filosofis pengembangan kurikulum
dari suatu lembaga berbeda dengan lembaga yang lain. Perbedaan tersebut sangat terasa
dalam masyarakat yang majemuk. Untuk landasan filosofis pengembangan kurikulum di
Indonesia secara cepat dan tepat kita pastikan, yakni nilai dasar yang merupakan falsafah
dalam pendidikan manusia seutuhnya yakni Pancasila.

b. Landasan Sosial-Budaya-Agama. Realitas social-budaya-agama yang ada dalam


masyarakat merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk digunakan sebagai
landasan pengembangan kurikulum. Masyarakat adalah suatu kelompok individu-
individu yang diorganisasikan mereka sendiri dalam kelompok-kelompok berbeda (Zais,
1976:157; Raka Joni, 1983:5). Masyarakat sebagai kelompok individu-individu
mempunyai pengaruh terhadap individu-individu sebaliknya, individu-individu itu pada
taraf-taraf tertentu juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat (Raka Joni, 1983:5).
Kebersamaan individu-individu dalam mayarakat diikat dan terikat oleh nilai-nilai
individu yang menjadi pegangan hidup dalam interaksi di antara mereka. Nilai-nilai yang
perlu dipertahankan dan dihormati oleh individu-individu dalam masyarakat tersebut,
mencakup nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai social budaya. Nilai-nilai keagamaan
berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat terhadap ajaran dan nilai-nilai agama
yang mereka anut. Oleh karena nilai keagamaan berhubungan dengan kepercayaan, maka
pada umumnya bersifat langgeng sampai masyarakat pemeluk melepaskan
kepercayaannya (Raka Joni, 1983:5). Nilai social-budaya masyarakat bersumber pada
hasil karya akal budi manusia, sehingga dalam menerima, menyebarluaskan,
melestarikan,dan/atau melepaskannya manusia menggunakan akalnya. Dengan demikian,
apabila terdapat nilai-nilai social-budaya lebih bersifat sementara bila disbanding nnilai-
nilai keagamaan. Untuk melaksanakan penerimaan, penyebarluaskan, pelestarian, atau
penolakan dan pelepasan nilai-nilai social-budaya-agama, maka masyarakat
memanfaatkan pendidikan yang dirancang melalui kurikulum. Jelas kiranya bagi kita,
mengapa salah satu landasan pengembangan kurikulum adalah nilai-nilai social-budaya-
agama.
c. Landasan Ilmu pengetahuan Teknologi dan Seni. Pendidikan merupakan usaha penyiapan
subjek didik (siswa) menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang
semakin pesat (Raka Joni, 1983:25). Perubahan masyarakat mencakup nilai yang
disepakati oleh masyarakat tersebut. Sedangkan seluruh nilai yang telah disepakati oleh
masyarakat dapat pula disebut sebagai kebudayaan. Oleh karena itu, kebudayaan dapat
dikatakan sebagai suatu konsep yang memiliki kompleksitas tinggi (Zais, 1976:157).
Namun demikian, menurut Daoed Joesoef (1982 dalam Raka Joni, 1983:40) bahwa
sumber ratusan ribu nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui
proses pendidikan ada tiga yaitu : pikiran (logika), perasaan (estetika), kemauan (etika).
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah nilai-nilai yang bersumber pada pikiran atau
logika, sedangkan seni bersumber pada perasaan atau estetika. Mengingat pendidikan
merupakan upaya penyiapan siswa menghadapi perubahan yang semakin pesat, termasuk
didalamnya perubahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, maka pengembangan
kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Nana
Sy. Sukmadinata (1988:82) mengemukakanbahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan. Sedangkan secara tidak
langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan
kemampuan pemecahan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah
pendidikan.

d. Landasan Kebutuhan Masyarakat. Adanya falsafah hidup, perubahan social budaya


agama, perubahan ipteks dalam suatu masyarakat akan merubah pula kebutuhan
masyarakat. Selain itu, kebutuhan masyarakat akan dipengaruhi oleh kondisi dari
masyarakat itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Raka Joni (1988:7) bahwa
masyarakat modern dan masyarakat tradisional berbeda, juga masyarakat kota berbeda
dengan masyarakat perdesaan. Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainsebagai besar disebabkan oleh kualitas individu-individu yang menjadi
anggota masyarakat tersebut. Di sisi yang lain, kebutuhan masyarakat pada umumnya
juga berpengaruh terhadap individu-individu anggota masyarakat. Oleh karena itu,
pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak
akan dapat memenuhi kebutuhanmasyarakat modern yang bersifat teknologis.
Pengembangan kurikulum juga harus ditekankan pada pengembangan individu yang
mencakup keterkaitannya dengan lingkungan social setempat (Sumantri, 1988:77). Dari
uraian-uraian sebelumnya, jelaslah disini bahwa salah satu landasan pengembangan
kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang
dikembangkan.

e. Landasan Perkembangan Masyarakat. Salah satu ciri dari masyarakat adalah selalu
berkembang. Mungkin pada masyarakat tertentu perkembangannya sangat lambat, tetapi
masyarakat lainnya cepat bahkan sangat cepat (Nana Sy. Sukmadinata, 1988:66).
Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, ipteks dan
kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Falsafah hidup akan mengarah perkembangan
masyarakat, nilai-nilai social budaya agama akan merupakan penyaringan nilai-nilai lain
yang menghambat perkembangan masyarakat. Ipteks mendukung perkembangan
masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan membantu menetapkan perkembangan yang
dilaksanakan. Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses pendidikan
yang sesuai. Untuk menciptakan proses pendidikan yang sesuai perkembangan
masyarakat maka diperlukan rancangannya berupa kurikulum yang landasan
perkembangannya berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.

B. Komponen dan Prinsip-Prinsip Perkembangan Kurikulum

1. Komponen Kurikulum

Sebelum melaksanakan kegiatan perkembangan kurikulum, seorang pengembangterlebih


dahulu mengenal komponen atau elemen atau unsur kurikulum. Seperti yang dikemukakan
Tyler (1950 dalam Taba, 1962:422) bahwa It is important as a part of a comprehensive
theory or organization to indicate just what kinds of elements will serve statisfactorily as
organizing elements. And in a given curriculum it is important to identify the particular
elements that shall be used. Dari pernyataan Tyler tersebut, tampak pentingnya mengenal
komponen atau elemen atau unsur kurikulum. Herrick (1950 dalam Taba, 1962:425)
mengemukakan 4 elemen, yakni : tujuan, mata pelajaran, metode dan organisasi dan
evaluasi. Sedangkan ahli lain yang mengemukakan bahwa kurikulum terdiri dari 4
komponen dasar: (1) aims, goals and objective, (2) content, (3) learning activities, dan (4)
evaluations (Zais, 1976:295). Nana Sy. Sukmadinata (1988 :110) mengemukakan empat
komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses
atau sistem penyampaian, serta evaluasi. Berdasarkan uraian tentang komponen-komponen
kurikulum sebelumnya dalam uraian berikut ini akan dibahas mengenai komponen-
komponen kurikulum sebelumnya, yakni komponen kurikulum yang terdiri dari:
tujuan,materi/pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi.

a. Tujuan. Tujuan sebagai sebuah komponen kurikulum merupakan kekuatan-kekuatan


fundamental yang peka sekali, karena hasil kulikuler yang diinginkan tidak hanya sangat
mempengaruhu bentuk kurikulum, tetapi memberikan arah dan focus untuk seluruh
program pendidikan (Zais, 1976:297). Apa yang diuraikan oleh Zais mengenai
pentingnya tujuan adalah benar adanya, karena tidak ada satu pun aspek-aspek
pendidikan yang lain bertentangan dengan tujuan. Dalam kenyataannya, aspek-aspek
pendidikan selalu mempertanyakan tentang tujuan. Lebih lanjut Zais (1976:307)
mengklarifikasikan tujuan menjadi tiga yakni: aims, goals dan objective, yang
ketiganyamerupakan suatu hierarki vertical. Adanya klasifikasi tujuan kurikulum seperti
diutarakan oleh Zais juga tersurat dalam tujuan kurikulum di Indonesia. Hierarki vertical
tujuan kurikulum di Indonesia, paling tinggi adalah tujuan pendidikan nasional,
kemudian tujuan kelembagaan, diikuti tujuan kurikuler, dan tujuan pengajaran. Tujuan
pendidikan nasional merupakan tujuan kurikulum tertinggi yang bersumber pada
falsafah bangsa (Pancasila) dan kebutuhan masyarakat bertuang dalam GBHN dan UU-
SPN. Tujuan kelembagaan (tujuan institusional) merupakan tujuan yang menjabarkan
tujuan pendidikan nasional, bersumber pada tujuan tiap jenjang pendidikan dalam UU
SPN, karakteristik lembaga, dan kebutuhan masyarakat. Tujuan kurikuler atau tujuan
mata perlajaran/bidang studi dijabarkan dari tujuan kelembagaan, bersumber pada
karakteristik mata pelajaran/bidang studi, karakteristik lembaga, dan kebutuhan
masyarakat. Tujuan yang terbawah dari hierarki tujuan kurikulum di Indonesia adalah
tujuan pengajar, yakni suatu tujuan yang menjabarkan tujuan kurikuler dan bersumber
pada karakteristik mata pelajaran/bidang studi dan karakteristik siswa.

Tujuan pengajaran terbagi menjadi 2 macam, yakni Tujuan Umum Pengajaran (TUP)
dan Tujuan Khusus Pengajaran (TKP). Apabila dikaji lebih lanjut akan kita temukan
bahwa dalam perumusannya, tujuan tersusun hierarki vertical dari yang tinggi ke yang
rendah dan sebaliknya, untuk pencapaiannya secara hierarki vertical dari tujuan rendah
ke tujuan lebih tinggi.

Hierarki tujuan kurikulum secara vertical di Indonesia seperti terurai sebelumnya,


tersurat sampai dengan Kurikulum Yang Disempurnakan (KYD) SD/SLTP/SLTA tahun
1984/1985 atau 1985/1986. Hierarki tujaun kurikulum secara vertical tersebut dapat saja
berkembang atau dikebangkan sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan zaman.

Perkembangan hierarki kurikulum secara vertical di Indonesia tertampak dalam draft


kurikulum tahun 1994/1995. Hierarki tujuan kurikulum vertical yang tersurat dalam
draft kurikulum 1994/1995 tersebut diawali dari tujuan pendidikan nasional, kemudian
tujuan kelembagaan, tujuan kurikuler, tujuan bidang studi, tujuan kelas, dan tujuan catur
wulan, serta tujuan pengajaran. Secara garis besar hierarki tujuan kurikulum dalam draft
kurikulum 1994/1995 tersebut, ditujukan untuk lebih mempertajam hierarki tujuan
kurikulum. Adanya hierarki tujuan kurikulum yang lebih tajam diharapkan dapat
memudahkan guru menjabarkannya.
b. Materi/pengalaman belajar. Hal yang merupakan fungsi khusus dari kurikulum
pendidikan formal adalah memilih dan menyusun isi (komponen kedua dari kurikulum)
supaya keinginan tujuan kurikulum dapat dicapai dengan cara paling efektif dan supaya
pengetahuan paling penting yang diinginkan pada jalurnya dapat disajikan secara efektif
(Zais, 1976:322). Selain itu untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah ditentukan
diperlukan bahan ajaran (Nana Sy. Sukmadinata, 1988:114). Namun demikian
sebenarnya tidak cukup hanya isi/bahan ajaran saja yang dipikirkan dalam kegiatan
pengembangan kurikulum, lebih dari itu adalah pengalaman belajar yang mampu
mendukung pencapaian tujuan secara lebih efektif. Hal ini berarti kita memandang
kurikulum sebagai suatu rencana untuk belajar dan tujuan menentukan belajar apa yang
penting, maka kurikulum secara pasti mencakup seleksi dan organisasi isi/materi dan
pengalaman belajar (Taba, 1962:266). Isi atau materi kurikulum adalh semua
pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan sikap yang terorganisasi dalam mata
pelajaran/bidang studi. Sedangkan pengalaman belajar dapat diartikan sebagai kegiatan
belajar tentang atau belajar bagaimana disiplin berfikir dari suatu disiplin ilmu. Dengan
demikian jelaslah bahwa baik materi/isi kurikulum dan pengalaman belajar harus
dipikirkan dan dikaji serta diorganisasikan dalam pengembangan kurikulum. Pentingnya
materi/isi kurikulum dan pengalaman belajar dapat kita lihat pada pernyataan Taba
(1962:263) berikut ini :Selecting the content, with accompanying learning experiences,
is one of the two central decision in curriculum making, and therefore rational method
of going about it is a matter of great concent.

c. Organisasi. Perbedaan antara belajar di sekolah dan belajar dalam kehidupan adalah
dalam hal penorganisasian secara formal di sekolah. Jika kurikulum merupakan suatu
rencana untuk belajar maka isi dan pengalaman belajar membutuhkan pengorganisasian
sedemikian rupa sehingga berguna bagi tujuan-tujuan pendidikan (Taba, 1962:290).
Berdasarkan pendapat Taba tersebut, jelas bahwa materi dan pengalaman belajar dalam
kurikulum diorganisasikan untuk mengefektifkan pencapaian tujuan. Namun demikian,
perlu kita sadari bahwa pengorganisasian kurikulum merupakan kegiatan yang sulit dan
kompleks. Sukar dan kompleksnya pengorganisasian kurikulum dikarenakan kegiatan
tersebut bertalian dengan aplikasi semua pengetahuan yang ada tentang pertumbuhan
dan perkembangan peserta didik, dan ,masalah proses pembelajaran (Sumantri,
1988:23). Masalah-masalah utama organisasi kurikulum berkisar pada ruang lingkup
(scope), sekuensi, kontinuitas, dan integrasi.

d. Evaluasi. Evaluasi merupakan komponen keempat kurikulum, mungkin merupakan


aspek kegiatan pendidikan yang dipandang paling kecil (Zais, 1976:369). Evaluasi
ditujukan untuk melakukan evaluasi terhadap belajar siswa (hasil dan proses) maupun
keefektifan kurikulum dan pembelajaran. Lebih lanjut Zais (1976:378) mengemukakan
evaluasi kurikulum secara luas merupakan suatu usaha sangat besar yang kompleks yang
mencoba menantang untuk mengkodifikasi proses salah satu dari istilah sekuensi atau
komponen-komponen. Evaluasi kurikulum secara luas tidak hanya menilai dokumen
tertulis, tetapi yang lebih penting adalah kurikulum yang diterapkan sebagai bahan-
bahan fungsional dan kejadian-kejadian yang meliputi interaksi siswa, guru, material
dan lingkungan. Adapun peran evaluasi dalam kurikulum secara keseluruhan, baik
evaluasi belajar siswa maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran, dapat
digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Dari uraian tentang evaluasi ini,
jelaslah bahwa evaluasi bukanlah komponen atau kegiatan pendidikan yang kecil.
Sebagai komponen kurikulum, evaluasi merupakan bagian integral dari kurikulum.
Kegiatan evaluasi akan memberikan informasi dan data tentang perkembangan belajar
siswa maupun keefektifan kurikulum dan pembelajaran, sehingga dapat dibuat
keputusan-keputusan pembelajaran dan pendidikan secara tepat.

Demikian uraian tentang empat komponen kurikulum yang saling terkait satu dengan
yang lain, guru terlibat dan berperan dalam menyelaraskan empat komponen tersebut.
Keselarasan antara empat komponen kurikulum tersebut akan dapat dihasilkan melalui
perkembangan kurikulum yang memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum.

2. Prinsip-Prinsip PEngembangan Kurikulum

Ada berbagai prinsip pengembangan kurikulum yang merupakan


kaidah yang menjiwa kurikulum tersebut. Pengembangan kurikulum dapat
menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang di dalam kehidupan
sehari-hari atau menciptakan prinsip-prinsip baru. Sebab itu, selalu
mungkihn terjadi suatu kurikulum lain (Depdikbud,1982 : 27). Berbagai
prinsip pengembangan kurikulum tersebut di antaranya: prinsip berorientasi
pada tujuan, prinsip relevansi, prinsip efisiensi, prinsip efektivitas, prinsip
fleksibilitas, prinsip intergritas, prinsip kontinuitas, prinsip sinkronisasi,
prinsip objektifitas, prinsip demokrsasi, dan prinsip praktis (Depdikbud,
1982 : 27-28; Nana Sy.Sukmadinata, 1988 : 167-168). Dari berbagai prinsip
pengembangan kurikulum tersebut, tigas diantaranya yakni prinsip relevansi,
prinsip kontinuitas, dan prinsip fleksibilitas akan diuraikan berikut ini.

a. Prinsip relevansi. Apabila pengembangan kurikulum melasanakan


pengembangan kurikulum dengan memilih jabaran komponen-
komponen kurikulum agar sesuai (relevan) dengan berbagai tutntutan,
maka pada saat itu ia sedang menerapkan prinsip relevansi
pengembangan kuyrikulum. Relevansi berarti sesuai antara komponen
tujuan, Isi/pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi kurikulum, dan
juga sesuai dengan kebutukan masyarakat baikim dalam pemenuhan
tenaga kerja maupun warga masyarakat yang diidealkan . Nana Sy.
Sukmadinata (1988 : 167-168) membedakan relevansi menjadi dua
macam, yakni relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses
belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan
tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Sedangkan
relevansi ke dalam yaitu terjalin t=relevansi di antara komponen-
komponen kurikulum, tujuan, isi, proses penyampaian, dan evaluasi.
b. Prinsip kontinuitas. Komponen kurikulum yakni tut=juan,
isi/pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi dikembangkan secara
berkesinambung. Prinsip kontinuaitas atau berkesinambungan
menghendaki pengembangan kurikulum yang berkesinambungan
secara vertical dan berkesinambungan secara horizontal.
Berkesinambungan secara vertical (bertahap/berjenjang) dlam artian
antara jejang pendidikan yang satu dengan jenjang pendidikan yang
lebih tinggi dikembangkan kurikulumnya secara berkesinambungan,
demikian pula komponen yang lain. Berkesinambungan secara vertical
menuntut adanya kerja sama antara pengembangan kurikulum jenjang
pendidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, dan jenjang
pendidikan tinggi (Nana Sy. Sukmadinata,1988 : 168). Sedangkan
berkesinambungan horizontal (berkelanjutan) dapat diartikan
pengembangan kurikulum jejang pendidikan dan tikat/kelas yang sama
tidak terputus-putus dan merupakan pengembangan yang terpadu.
c. Prinsip fleksibilitas. Para pengembang kurikulum harus menyadari
bahwa kurikulum harus mampu disesuaikan dengan situasi dan kondisi
setempat dan waktu yang selalu berkembang tanpa merombak tujuan
pendidikan yang harus dicapai (Depdikbud, 1982 : 27). Selain itu, perlu
disadari juga bahwa kurikulum di maksudkan untuk mempersiapkan
anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang, di sini dan
tempat lain, bagi anak yang prinsip fleksibilitas menuntut adanya
keluesan dalam mengembangkan kurikulum tanpa mengorbankan
tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian, keluesan jangan
diartikan bahwa kurikulum dapat diubah kapan saja. Kelulesan dapat
diterjemahkan sebagai kelenturan melakukan penyesuaian-
penyesuaian komponen kurikulum dengan setiap situasi dan kondisi
yang selalu berubah.

Apabila kita mengkaji komponen-komponen kurikulum dan


prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, keduanya saling terkait satu
dengan yang lain. Pengembangan kurikulum dengan sendirinya selalu
berkenan dengan komponen-komponen kurikulum dan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum sekaligus. Penguasaan tentang komponen-
komponen kurikulum dan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
dipersyaratkan bagi setiap pengembangan kurikulum.

Tugas

Selesaikan tugas-tugas bverikut secara kelompok (3-4 orang) dan


laporkan secara tertulis kepada dosen Pembina yang akan membicarakannya
dalam diskusi kelas.

1. Carilah dan tulis tujuan pendidikan nasional, tujuan kelembagaan


SD/SLTP/SMA, tujuan kurikulum salah satu mata pelajaran/ bidang
studi, dan tujuan umum pengajaran dari mara pelajaran/bidang studi
yang ditulis tujuan kurukulumnya. Identifikasilah kontinuitas di antara
jenjang-jenjang tujuan tersebut! Berikan komentar terhadap temuan
anda!
2. Menurut anda, apakah prinsip relevansi juga berlaku untuk
pengembangan komponen-komponen kurikulum sekolah dasar?
Jelaskan jawaban anda!
3. Kajilah tigas prinsip pengembangan kurikulum (relevasi,kontinuitas,
dan fleksibilitas). Dari sudut pandang apa sajakah prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum bersumber!
4. Dalam salah satu pereangkat kurikulum, yakni pada landasan program
dan pengembangan, prinsip-prinsip pengembangan kurikulum apa
sajakah yang tercantum di dalamnya? Sebutkan dan berikan komentar
Anda terhadap penerapannya di sekolah?

C. Model-Model Pengembangan Kurikulum

Untuk melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model


pengembangan kurikulum yag dapat dijadikan acuan atau diterapkan
sepenuhnya. Model-model pengembangan kurikulum tersebut sering kali
dinamakan dengan nama asli yang melontarkan gagasan tentang model
pengembangan kurikulum tersebut. Berikut ini akan diuraikan tentang
beberapa model pengembangan kurikulum.

1. Model Administrasi (Line-Staff)


Model administrative atau garis-komando (Line-staff)
merupakan pola pengembangan kurikulum yang paling awal dan
mungkin yang paling dikenal (Zais, 1976 : 447; Nana
Sy.Sukmadinata, 1988 :179). Model pengembangan kurikulum ini
berdasarkan pada cara kerja atasan-bawahan (top-down) yang
dipandang efektif dalam pelaksanaan perubahan, termasuk
perubahan kurikulum.
Model administrasi/garis-komando memiliki langkah-
langkah berikut ini :
1. Administrator pendidikan/top administrative officers
(pemimpin) membentuk komisi pengarah.
2. Komisi pengarah (steering comittee) bertugas
merumuskan rencana umum, mengembangkan prisip-
prinsip sebagai pedoman,. Dan menyiapkan suatu
pernyataan filosofi dan tujuan-tujuan untuk seluruh
wilayah sekolah.
3. Membentuk komisi kerja pengembangan kurikulum yang
bertugas mengembangkan kurikulum secara
operasional mencakup keseluruhan komponen
kurikulum dengan mempertimbangkan landasan dan
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum.
4. Komisi pengerah memeriksa hasil kerja dari komisi kerja
dan menyempurnakan bagian-bagian tertentu bbila
dianggap perlu. Karena pengembangan kurikulum
model administrative ini berdasarkan konsep, inisiatif,
dan arahan dari atas ke bawah, maka akan memerlukan
waktu bertahun-tahun agar dapat berjalan dengan baik.
Hal ini disebabkan adanya tuntutan untuk
mempersiapkan para pelaksana kurikulum tersebut.

Dari uraian mengenai model pengembangan


kurikulum administrative, kita dapat menandai
adanya dua kegiatan di dalamnya: (a) menyiapkan
seperangkat dokumen kurikulum baru, dan (b)
menyiapakan instalasi atau implementasi dokumen.
Dengan kata lain, model administrasi/garis-komando
membutuhkan kegiatan penyiapan para pelaksana
kurikulum melalui berbagai bentuk pelatihan agar
dapat melaksanakan kurikulum dengan baik.
2. Model Grass-Roots

Model pengembangan kurikulum ini merupakan ini


merupakan kebalikan dari model administrative dilihat dari
sumber inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum. Bila model
administrative semu inisiatif dan upaya pengembangan
kurikulum dari atas, maka model rakyat biasa (grass-roots)
semua inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum di bawah.
Bias dikata, model administrative bersifat top-down (atas-
bawahan) sedangkan model grass-roots adalah bottom-up (dari
bwah ke atas). Lebih lanjut juga bias diketahui bahwa model
administrative merupakan sentralisasi penuh, sedangkan model
grass-roots cenderung berlaku dalam system pendidikan yang
kurikulumnya bersifat desentralisasi atau memberikan peluang
terjadinya desentralisasi sebagai. Model pengembangan
kurikulum grass-roots dapat mengupayakan pengembangan
sebagai komponen-komponen kurikulum dapat keseluruhan,
dapat pula sebagian dari keseluruhan komponen kurikulum atau
keseluruhan dari seluruh komponen kurikulum. Dapat
pengembangan kurikulum model grass-roots perlu diingat 4
(empat) prinsip berikut yang dikemukakan oleh Smith, Stanley,
dan Shores (1957 dalam Zais, 1976 : 449) , yakni :

(i) Kurikulum akan bertambah baik hanya kalau kompetensi


professional guru bertambah baik,
(ii) Kompetensi guru akan menjadi bertambah baik hanya
kalau guru-guru menjadi personil-personil yang dilibatkan
dalam masalah-masalah perbaikan (revisi) kurikulum,
(iii) Jika para guru bersama menanggung bentuk-bentuk yang
menjadi tujuan yang dicapai, dalam memilih,
mendefinisikan, dan memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi, serta dalam memutuskan dan menilai hasil
keterlibatan mereka akan dapat lebih terjamin, dan
(iv) Sebagai orang yang bertemu dalam kelompok-kelompok
tatap muka, mereka akan mampu mengerti satu dengan
yang lain dengan lebih baik dan membantu adanya
consensus dalam prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan, dan
perencanaan.

Dalam uraian sebelumnya jelaslah bahwa untuk dapat


menjadi pengembang kurikulum yang andal, guru dituntut untuk
memiliki sejumlah kemampuan. Dalam rangka memberikan
dan/atau membentuk kompetensi guru maka guru haruslah
diberikan kesempatan untuk terlibat scra langsung menghadapi
dan memecahkan masalah-masalah kurikulum.

3. Model Beauchamp

Pengembangan kurikulum dengan menggunakan model


Beauchamp memiliki lima bagai pembuatan keputusan. Lima
tahap pembuatan keputusan tersebut adalah :

1. Memutuskan arena pengembangan kurikulum, satu keputusan


yang menjabarkan ruang lingkup upaya pengembangan.
2. Memilih dan melibatkan personalia pengembangan kurikulum,
suatu keputusan yang menetapkan personalia upaya
pengembangan kurikulum. Ada 4 (empat) kategori personalia
yang dilibatkan, yakni : (a) personalia ahli, misal ahli
kurikulum atau ahli bidang studi (disiplin ilmu); (b) kelompok
terpilih yang terdiri dari ahli pendidikan dan guru-guru
terpilih; (c) semua personil professional dalam system
persekolahan; dan (d) personil profesonal dan tokoh-tokoh
masyarakat yang terpilih.
3. Pengorganisasian dan prosedur pengembangan kurikulum,
dengan kegiatan sebagai berikut: (a) membentuk tim
pengembangan kurikulum; (b) menilai kurikulum yang sedang
berlaku; (c) studi awal tentang isi kurikulum baru dan
alternatifnya; (d) merumuskan kriteria untuk memutuskan
hal-hal yang dapat masuk dalam kurikulum baru; dan (e) tim
pengembangan menyusun dan menulis kurikulum.
4. Implementasi kurikulum, yakni kegiatan untuk menerapkan
kurikulum seperti yang sudah diputuskan dalam ruang lingkup
pengembang kurikulum.
5. Evaluasi kurikulum, yakni kegiatan yang memiliki 4 (empat)
dimensi yang terdiri dari (a) evaluasi guru-guru yang
menggunakan kurikulum; (b) evaluasi rancangan kurikulum;
(c) evaluasi hasil belajar pembelajar; dan (d) evaluasi system
pengembangan kurikulum. Data yang berhasil dikulmpulkan
melalui kegiatan evaluasi akan digunakan untuk memperbaiki
proses pengembangan kurikulum dan untuk kontinuitas
kurikulum.
(Zais, 1976 : 453 Nana Sy. Sukmadinata, 1988 : 181-182).
4. Model Arah Terbaik Taba (Tabas Inverted Model)

Sesuai dengan namanya, model pengembangan kurikulum ini


terbaik dari yang lazim dilaksanakan, yakni dari biasanya
dilakukan secara dedukatif dibalik menjadi induktif. Menurut
model Taba, pengembangan kurikulum dilaksanakan dalam lima
langkah:

1. Membuat unit-unit percobaan (producing pilot units), yakni


suatu kegiatan membuat eksperimen unit-unit percobaan
melalui kelompok guru yang dijadikan contoh melalui
penyajian dalam tingkat/kelas tentu dan pokok bahasan
tertentu dengan pengamatan yang saksama. Langkah awal ini
merupakan jalinan awal antara teori dan praktek.
2. Menguji unit-unit eksperimen (testing experimental units),
yakni kegiatan untuk menguji ulang unit-unit yang telah
digunakan oleh guru yang membuatnya di kelas guru itu
sendiri, di kelas lain atau kelas yang berbeda. Uji-ulang ini
perlu dilakukan dalam kondisi yang bervariasi. Uji-ulang ini
akan memberikan saran-saran untuk modifikasi, alternative
pilihan isi, dan pengalaman belajar serta bahan yang
digunakan untuk diakomodasi oleh pembelajar yang
berlainan.
3. Merevisi dan mengkonsolidasi, yakni kegiatan lanjutan uji-
coba. Merevisi berarti mengadakan perbaikan dan
penyempurnaan pada unit yang dicobakan sehingga dapat
disajikan suatu kurikulum umum untuk semua jenis kelas.
Mengkonsolidasi berarti mengadakan penyimpulan tentang
hasil percobaan yang memungkinkan digunakannya unit-unit
tersebut dalam lingkup yang labih luas.
4. Mengembangkan jaringan kerja, yakni kegiatan yang
dilakukan untuk lebih meyakinkan apakah unit-unit yang telah
direvisi dan dikonsolidasikan dapat digunakan lebih luas atau
tidak. Untuk itu perlu dilakukan iji/penilaian mengenai
sekuensi dan lingkupnya oleh orang yang berkompeten dalam
pengembangan kurikulum, dalam hal ini adalah ahli
kurikulum.
5. Memangsa dan mendesiminasi unit-unit baru, yakni kegiatan
untuk menerapkan dan menyebarluaskan unit-unit baru yang
dihasilakan. Agar dapat digunakan dan disebarluaskan secara
tepat maka perlu dilakukan penyiapan guru-guru melalui
pelatihan dalam jabatan.
(Taba, 1962 : 457-459; Zais, 1976 : 454-458; Nana Sy.
Sukmadinata, 1988 : 183-184).
5.. Model Rogers

Carl Rogers adalah seorang ahli psikologi yang berpandangan bahwa


manusia dalam proses perubahan (becoming, developing, changing) yang
mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri (Nana Sy.
Sukmadinata, 1988 : 184). Berdasarkan pandangan tentang manusia, maka
Rogers mengemukakan model pengembangan kurikulum yang disebut
dengan Model Relasi Interpersonal Roger (Rogers Interpersonal Relation
Model).
Model relasi interpersonal Roger terdiri dari empat langkah
pengembangan kurikulum, yakni: (i) pemilihan satu system pendidikan
sasaran, (ii) pengalaman kelompok yang intesif bagi guru, (iii)
pengembangan satu pengalaman kelompok yang intensif bagi satu kelas
atau unit pelajaran, dan (v) melibatkan orang tua dalam pengalaman
kelompok yang intensif. Apabila kita perhatikan langkah-langkah dalam
model relasi interpersonal ini, tidak satu pun yang mengemukakan tentang
rancangan tertulis.
Rogers lebih mementingkan kegiatan pengembangan kurikulum dari
pada tancangan pengembangan kurikulum tertulis, yakni melalui aktivitas
dan interaksi dalam pengalaman kelompok intensif yang terpilih.

Tugas
Diskusikan tugas berikut dalam kelompok (3-4 orang) dan laporkan
hasil secara lisan didalam diskusi kelas yang dipimpin dosen Pembina.
1. Model pengembangan kurikulum yang manakah paling sering
diterapkan di Indonesia? Jelaskan jawaban Anda!
2. Muatan local termasuk perwujudan model pengembangan kurikulum
apa? Jelaskan !
3. Menurut Anda, model pengembangan kurikulum yang manakah yang
paling ideal diterapkan di Indonesia? Berikan alasan !

D. Guru dan Pengembangan Kurikulum

1. Pembelajaran dan Kurikulum


Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan
implementasi kurikulum, tapi banyak juga yang mengemukakan bahwa
pembelajaran itu sendiri merupakan kurikulum sebagai aksi/kegiatan.
Untuk memperjelas hubungan antara pembelajaran dan kurikulum, kita
mulai dari melihat hakikat keduanya. Hakikat pembelajaran di
antaranya adalah :
(i) Kegiatan yang dimaksudkan untuk membelajarkan
pembelajaran;
(ii) Program pembelajaran yang diancang dan
diimplementasikan sebagai satu sistem;
(iii) Kegiatan yang dimaksudkan untuk memberika
pengalaman belajar kedapa pebelajar;
(iv) Kegiatan yang mengarahkan pebelajar ke arah
pencapaian tujuan pembelajaran; dan
(v) Kegiatan yang melihatkan komponen-komponen tujuan, isi
pelajaran system penyajian, dan sistem evaliasi dalam
realisasinya.
Hakikat pembelajaran sebagaimana diuraikan pada alinea
sebelumnya, harus kita pertentangkan dengan hakikat
kurikulum:
(i) Kurikulum sebagai jalan memperoleh ijazah;
(ii) Kurikulum sebagai mata da nisi pelajaran;
(iii) Kurikulum sebagai rencana kegiatan pembelajaran;
(iv) Kurikulum sebagai hasil belajar, dan
(v) Kurikulum sebagai pengalaman belajar.

Dari mempertentangkan dan membandikngkan hakikat


kurikulum dan pembelajaran, kita dapat menyimpulkan
bahwa pembelajaran dan kurikulum merupakan dua
konsep yang tak terpisahkan satu dengan yang lain
(Johnson dalam Zais, 1976 : 10). Sebagai dua konsep
yang tak dibedakan, baik pembelajaran maupun
kurikulum dapat dalam wujud sebagai rencana juga dapat
berwujud kegiatan. Guru sebagai orang yang
berkewajiban merencanakan pembelajaran (instruction
planning) selalu mengacu kepada komponen-kompponen
kurikulum yang berlaku.

2. Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum


Dari berbagai model pengembangan kurikulum yang telah
diuraikan pada pembahasan sebelumnya, sebagian besar model
melibatkan guru dalam pengembangan kurikulum. Keterlibatan
guru dalam model-model pengembangan kurikulum tersebut
tetunya bukanlah kebetulan belaka. Guru adalah orang yang
tahu persis situasi dan kondisi diterapkannya kurikulum yang
berlaku. Selain itu, guru bertanggung jawab atas terciptanya
hasil belajar yang diinginkan (Raka joni, 1983 : 26).

Berdasarkan kenyataan bahwa guru tahu situasi dan kondisi


serta bertanggung jawab atas terciptanya hasil belajar, maka
sudah sewajarnya guru berperan dalam pengembangan
kurikulum. Peran guru dalam pengembangan kurikulum
diwujudkan dalam bentuk-bentuk kegiatan berikut:
1. Merumuskan tujuan khusus pengajaran berdasarkan
tujuan-tujuan kurikulum di atasnya dan karakteristik
pebelajar, mata pelajaran/bidang studi, dan karakteristik
situasi kondisi sekolah/kelas.
2. Merencanakan kegiatan pembelajaran yang dapat secara
efektif membantu pebelajar mencapai tujuan yang
diterapkan.
3. Menerapkan rencana/program pembelajaran yang
dirumuskan dalam situasi pembelajaran yang nyata.
4. Mengevakuasi hasli dan proses belajar pada pebelajar.
5. Mengevakuasi interaksi antara komponen-komponen
kurikulum yang diimplementasikan.
Lima kegiatan tersebut merupakan peran guru dalam
pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi.
Sedangkan dalam pengembangan kurikulum yang bersifat
desentralisasi, peran guru lebih besar, yakni mencakup
pengembangan keseluruhan komponen-komponen
kurikulum dalam perencanaan, mengimplementasikan
kurikulum yang dikembangkan, mengevaluasi implementasi
kurikulum, dan merevisi komponen-komponen kurikulum
yang kurang memadai.

Rangkuman
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru berpangkal pada
suatu kurikulum, dan dalam proses pembelajaran guru juga
berorientasi pada tujuan kurikulum. Pada satu sisi, guru adalah
pengembang kurikulum. Pada sisi lain, guru adalah pembelajar siswa,
yang secara kreatif membelajarkan siswa sesuai dengan kurikulum
sekolah. Hal itu menunjukkan bahwa dalam tugas pembelajaran
dipersyaratkan agar guru memahami kurikulum.
Para ahli seperti Zais, Winecoff, Bondi, Tanner & Tanner telah
mempelajari kurikulum. Mereka mengemukakan prinsip dan teori yang
berbeda-beda. Meskipun demikian mereka juga mengemukakan hal-hal
yang serupa mereka mengemukakan arti kurikulum sebagai (i) jalan
meraih ijaza, (ii) mata pelajaran dan isi pelajaran, (iii) rencana kegiatan
pembelajaran, (iv) hasil belajar yang direncanakan, dan (v)
pengalaman belajar. Terbentuknya kurikulum tersebut dilandasi oleh
berbagai landasan pemikiran seperti (i) landasan filosofis, (ii) landasan
sosial-budaya-agama, (iii) landasan ilmu pengetahuan, teknologi,dan
seni, (iv) landasan kebutuhan masyarakat, dan (v) landasan
perkembangan masyarakat. Sebagai suatu program, maka kurikulum
terdiri dari beberapa komponen penting, seperti (i) tujuan, (ii)
pengalaman belajar, (iii) organisasi pemgalaman belajar, dan (iv)
evaluasi. Dalam tugas pengembangan, guru berurusan degan
komponen-komponen kurikulum, selanjutnya dalam pengembangan
kurikulum. Di antara prinsip pengembangan tersebut adalah (i) prinsip
relevasi, (ii) prinsip kontinuitas, dan (iii) prinsip fleksibelitas.
Para ahli kurikulum juga menemukan model-model pengembangan
kurikulum tersebut adalah (i) model adminisratif, (ii) model Grass-
Roots, (iii) model Beuachamp, (iv) model arah-terbalik Taba, dan (v)
model Rogers.
Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan
implementasi kurikulum. Pada sisi lain banyak ahli mengemukakan
bahwa pembelajaran itu sendiri merupakan kurikulum terapan atau
kurikulum dalam kegiatan/aksi. Hal itu berarti bahwa pembelajaran dari
kurikulum merupakan dua konsep yang tak terpisah.
Guru sebagai pembelajar mengetahui kondisi, situasi, dan
bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar. Pada sisi lain guru
juga bertanggung jawab atas kelakuan dalam pembangunan
kurikulum. Oleh karena itu sewajarnya guru berperan optimal dalam
pengembangan purikulum. Peran guru dalam pengembangan
kurikulum terwujud dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut : (i)
perumusan tujuan khusus pembelajaran, (ii) perencanaan kegiatan
pembelajaran yang efektif (iii) pelaksanaan program pembelajaran
sesungguhnya, (iv) mengevaluasi proses belajar dan hasil belajar
siswa, dan (v) mengevaluasi interaksi antara komponen-komponen
kurikulum yang diimplementasikan. Kelima kegiatan tersebut
merupakan tuntutan bagi guru yang profesional.

Anda mungkin juga menyukai