Pendahuluan
Pada bagian terdahulu kita telah banyak berdiskusi tentang berbagai dimensi yang perlu
mendapat perhatian guru dan siswa untuk mewujudkan keberhasilan proses pembelajaran. Dari
kajian yang telah kita lakukan, kita juga memahami bahwa keberhasilan proses pembelajaran
merupakan muara dari seluruh aktivitas yang dilakukan guru dan siswa. Artinya, apapun bentuk
kegiatan-kegiatan guru, mulai dari merancang pembelajaran, memilih dan menentukan materi,
pendekatan, strategi dan metode pembelajaran, memilih dan menentukan teknik evaluasi,
semuanya diarahkan untuk mencapai keberhasilan belajar siswa. Meskipun guru secara sungguh-
sungguh telah berupaya merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik,
namun masalah-masalah belajar tetap akan dijumpai guru. Hal ini merupakan pertanda bahwa
belajar merupakan kegiatan yang dinamis sehingga guru perlu secara terus menerus mencermati
perubahan-perubahan yang terjadi pada siswa di kelas.
Agar aktivitas-aktivitas pembelajaran yang dilakukan guru dapat lebih terarah, dan guru
dapat memahami persoalan-persoalan belajar yang sering kali atau pada umumnya terjadi pada
kebanyakan siswa dalam berbagai bentuk aktivitas pembelajaran, maka akan lebih baik bilamana
guru memiliki bekal pemahaman tentang masalah-masalah belajar. Pemahaman tentang masalah
belajar memungkinkan guru dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan munculnya masalah
yang dapat menghambat tercapainya tujuan pembelajaran. Dengan pemahaman itu pula guru
dapat menemukan masalah-masalah didalam pelaksanaan proses pembelajaran. Memahami
pentingnya hal ini, maka pada bagian ini Anda akan diajak untuk mengkaji secara kritis dan lebih
dalam masalah-masalah belajar. Agar memperoleh pemahaman yang baik, maka disamping
mengikuti pembahasan melalui tatap muka dikelas, Anda juga diharapkan dapat lebih
mendalaminya melalui aktivitas diskusi pada sesama teman, atau mengkaji sendiri. Setelah
mempelajari bab ini, berdiskusi dengan rekan-rekan Anda serta mengerjakan tugas-tugas latihan
yang disediakan, diharapkan Anda memiliki kompetensi:
Untuk mendukung tercapainya kompetensi tersebut, berikut ini diuraikan beberapa sub
materi terkait dengan beberapa indikator kompetensi yang akan dicapai. Oleh karena itu
diharapkan Anda dapat berperan aktif mengkaji paparan materi berikut ini.
Dari dimensi siswa, masalah-masalah belajar yang dapat muncul sebelum kegiatan
belajar dapat berhubungan dengan karakteristik/ciri siswa, baik berkenaan dengan minat,
kecakapan maupun pengalaman-pengalaman. Selama proses belajar, masalah belajar sering kali
berkaitan dengan sikap terhadap belajar, motivasi, konsentrasi, pengolahan pesan pembelajaran,
menyimpan pesan, menggali kembali pesan yang telah tersimpan, unjuk hasil belajar. sesudah
belajar, masalah belajar dimungkinkan berkaitan dengan penerapan prestasi atau keterampilan
yang sudah diperoleh melalui proses belajar sebelumnya.
Sedangkan dari dimensi guru, masalah belajar dapat terjadi sebelum kegiatan belajar,
selama proses belajar dan evaluasi hasil belajar. Sebelum belajar masalah belajar seringkali
berkaitan dengan pengorganisasian belajar. Selama proses belajar, masalah belajar seringkali
berkenaan dengan bahan belajar dan sumber belajar. Sedangkan sesudah kegiatan belajar,
masalah belajar yang dihadapi guru kebanyakan berkaitan dengan evaluasi hasil belajar. Berikut
ini adalah beberapa factor internal yang mempengaruhi proses belajar siswa.
Persoalan intern pembelajaran berkaitan dengan kondisi kepribadian siswa, baik fisik
maupun mental. Berkaitan dengan aspek-aspek fisik tentu akan relative lebih mudah diamati
dan dipahami, dibandingkan dengan dimensi-dimensi mental atau emosional. Sementara
dalam kenyatannya, persoalan-persoalan pembelajaran lebih banyak berkaitan dengan
dimensi mental atau emosional.
Masalah-masalah belajar yang berkenaan dengan dimensi siswa sebelum belajar pada
umumnya berkenaan dengan minat, kecakapan dan pengalaman-pengalaman. Bilamana siswa
memiliki minat yang tinggi untuk belajar, maka ia akan berupaya mempersiapkan hal-hal
yang berkaitan dengan apa yang akan dipelajari secara lebih baik. Hal ini misalnya dapat
dilihat dari kesediaan siswa untuk mencatat pelajaran, mempersiapkan buku, alat-alat tulis,
apalagi mempersiapkan materi yang perlu untuk mendukung pemahaman siswa juga akan
turut menentukan muncul tidaknya masalah belajar sebelum kegiatan belajar dimulai. Siswa-
siswa yang memiliki latar pengalaman yang baik yang mendukung materi pelajaran yang
akan dipelajari, tidak memiliki banyak masalah sebelum belajar dan dalam proses belajar
selanjutnya. Namun bagi siswa yang kurang memiliki pengalaman yang terkait dengan mata
pelajaran atau materi yang akan dipelajari akan menghadapi masalah dalam belajar, terutama
berkaitan dengan kesiapannya untuk belajar.
Dalam berbagai literature kita menemukan bahwa sikap adalah kecenderungan seseorang
untuk berbuat. Sikap sesungguhnya berbeda dengan perbuatan, karena perbuatan merupakan
implementasi atau wujud nyata dari sikap. Namun demikian sikap seseorang akan tercermin
melalui tindakannya. Sebagai contoh, ketika seorang siswa merasa tertarik untuk
mempelajari suatu mata pelajaran tertentu, maka dalam dirinya sudah ada keinginan untuk
menerima atau menolak pelajaran tersebut, walaupun waktu itu belum dimulai atau
dilaksanakan kegiatan pembelajaran. Bilamana seseorang menyenangi sesuatu, maka ia akan
menerima, dan pada gilirannya ia tidak bersedia untuk melakukan atau akan mengabaikan
kesempatan untuk melakukan kegiatan tersebut.
Dalam kegiatan belajar, sikap siswa dalam proses belajar, terutama sekali ketika memulai
kegiatan belajar merupakan bagian penting untuk diperhatikan karena aktivitas belajar siswa
selanjutnya banyak ditentukan oleh sikap siswa ketika akan memulai kegiatan belajar.
Bilamana ketika akan memulai kegiatan belajar siswa memiliki sikap menerima atau ada
kesediaan emosional untuk belajar, maka ia akan cenderung untuk berusaha terlibat dalam
kegiatan belajar dengan baik. Namun bilamana yang lebih dominan adalah sikap menolak
sebelum belajar atau ketika akan memulai pelajaran, maka siswa cenderung kurang
memperhatikan atau mengikuti kegiatan belajar.
Sikap terhadap belajar juga nampak dari kesungguhan mengikuti pelajaran, atau
sebaliknya bersikap acuh terhadap aktivitas belajar. Misalnya acuh dengan penjelasan guru,
tidak serius ketika bertanya/mengemukakan pendapat, mengerjakan tugas berprinsip asal
jadi, dalam hal ini siswa tidak berupaya menyelesaikan tugas sesuai dengan kapasitas
kemampuan optimalnya. Karena itu disarankan agar guru dapat mencermati sacara sungguh-
sungguh sikap siswa, memberikan kesan positif tentang belajar termasuk manfaat bagi siswa
dalam kaitan dengan pencapaian hasil belajar yang lebih baik dan mencapai cita-cita yang
mereka diinginkan.
3. Motivasi Belajar
Motivasi di dalam kegiatan belajar merupakan kekuatan yang dapat menjadi tenaga
pendorong bagi siswa untuk mendayagunakan potensi-potensi yang ada pada dirinya dan
potensi diluar dirinya untuk mewujudkan tujuan belajar. Siswa yang memiliki motivasi
belajar akan nampak melalui kesungguhan untuk terlibat didalam proses belajar, antara lain
Nampak melalui keaktifan bertanya, mengemukakan pendapat, menyimpulkan pelajaran,
mencatat, membuat resume, mempraktekkan sesuatu, mengerjakan latihan-latihan dan
evaluasi sesuai dengan tuntutan pembelajaran. Didalam aktivitas belajar sendiri, motivasi
individu dimanifestasikan dalam bentuk ketahanan atau ketekunan dalam belajar,
kesungguhan dalam menyimak isi pelajaran, kesungguhan dan ketelatenan dalam
mengerjakan tugas dan sebagainya. Sebaliknya siswa-siswa yang tidak atau kurang memiliki
motivasi, umumnya kurang mampu untuk bertahan untuk belajar lebih lama, kurang
sungguh-sungguh didalam mengerjakan tugas. Sikap yang kurang positif didalam belajar ini
semakin nampak ketika tidak ada orang lain (guru, orang tua) yang mengawasinya. Oleh
karena itu, rendahnya motivasi merupakan masalah dalam belajar, karena hal ini memberikan
dampak bagi ketercapaian hasil belajar yang diharapkan.
4. Konsentrasi Belajar
Konsentrasi belajar merupakan salah satu aspek psikologis yang seringkali tidak begitu
mudah untuk diketahui oleh orang lain selain diri individu yang sedang belajar. Hal ini
disebabkan kadang-kadang apa yang terlihat melalui aktivitas seseorang belum tentu sejalan
dengan apa yang sesungguhnya sedang individu tersebut pikirkan. Sebagai contoh, ketika
dihadapan siswa terdapat sebuah buku yang sedang terbuka, dan terlihat sepintas siswa
seperti sedang mengamati atau membaca buku tersebut. Akan tetapi benarkan siswa sedang
memusatakan perhatian (berkonsentrasi) terhadap isi buku yang terbuka dihadapannya?
Tentu perlu diperiksa, diteliti dan dipahami untuk dapat menyimpulkannya. Ketika guru
menjelaskan pelajaran, dan sepintas terlihat siswa-siswa di kelas tersebut memperhatikan apa
yang dijelaskan oleh guru. Dapatkah guru menjamin bahwa semua siswa sedang konsentrasi
dengan apa yang ia jelaskan? Bilamana menurut keyakinan guru siswa berkonsentrasi
terhadap pelajaran yang sedang dijelaskannya, maka umumnya guru merasa yakin pula
bahwa siswa-siswa dapat memahami pelajaran dengan baik. Bagaimana jika yang terjadi
tidak seperti yang diduga guru, karena ternyata separoh siswanya hanya diam, akan tetapi
tidak berkonsentrasi dengan pelajaran yang disajikan guru? Hal-hal seperti ini layak dikaji
secara cermat guru agar guru dapat memahami kondisi siswa sesungguhnya.
Mengolah bahan belajar dapat diartikan sebagai proses berpikir seseorang untuk
mengolah informasi-informasi yang diterima sehingga menjadi bermakna. Dalam kajian
konstruktivisme mengolah bahan belajar atau mengolah informasi merupakan kemampuan
penting agar seseorang mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri berdasarkan informasi
yang telah ia dapatkan. Dalam proses pembelajaran, makna yang dihasilkan dari proses
pengolahan pesan merupakan hasil bentukan siswa sendiri yang bersumber dari apa yang
mereka dengar, lihat, rasakan, dan alami. Seperti telah dibahas sebelumnya, secara
substansial, belajar bukanlah aktivitas menghimpun fakta atau informasi, akan tetapi lebih
kepada upaya pengembangan pemikiran-pemikiran baru. Dalam keadaan ini, maka
kemampuan siswa mengolah bahan belajar merupakan kemampuan yang harus terus
didorong dan dikembangkan agar siswa semakin mampu mencapai makna belajar dan akan
semakin mengarah pada perkembangan serta kemampuan berpikir yang sangat berguna untuk
menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru.
Bilamana dalam proses belajar, siswa mengalami kesulitan didalam mengolah pesan,
maka berarti ada kendala pembelajaran yang dihadapi siswa yang membutuhkan bantuan
guru. Bantuan guru tersebut hendaknya dapat mendorong siswa agar memiliki kemampuan
sendiri untuk terus mengolah bahan belajar, karena konstruksi berarti merupakan suatu
proses yang berlangsung secara dinamis. Saling keterkaitan antara komponen-komponen
dalam proses pengolahan pesan digambarkan dalam bentuk bagan berikut;
1 3 4
Proses Penerimaan Proses Pengolahan Proses penyimpanan
Perhatian Proses berkesadaran Ingatan jangka
Seleksi Memiliki tugas panjang
Pengkodean Latihan menggunakan Penghayatan
Menarik kesimpulan Latihan ulang
unjuk hasil
2
5
Proses Pengaktifan
Penguatan pesan baru Pemanggilan
pembangkitan pesan dan
pengalaman lama
Bagan 7.4
Sistem Kesadaran dan Belajar
(Adaptasi dari Dimyati dan Mudjiono, 1994)
Bagan di atas menunjukkan tahapan-tahapan kesadaran dalam kegiatan belajar.
Proses kesadaran tersebut meliputi proses penerimaan, proses pengaktifan, proses
pengolahan, proses penyimpanan dan kembali lagi kepada proses pengaktifan. Kelima proses
tersebut merupakan siklus yang saling berkait. Oleh sebab itu bilamana siswa mengalami
kesulitan pada salah satu proses tersebut, maka kemungkinan besar ia akan mengalami
kendala pula pada proses selanjutnya.
Dalam kegiatan pembelajaran kita sering mendengar bahkan mengalami sendiri di mana
kita merasakan kesulitan menggali kembali hasil belajar yang sebelumnya sudah kita
temukan atau kita ketahui. Pesan yang sudah kita terima tidak secara otomatis dapat kita
panggil kembali, karena di dalam mekanisme kerja otak ada suatu proses yang harus dilalui
untuk dapat menggali kembali pesan-pesan yang telah tersimpan dinamakan menggali hasil
belajar. Kesulitan di dalam proses menggali kembali pesan-pesan lama merupakan kendala di
dalam proses pembelajaran karena siswa akan mengalami kesulitan untuk mengolah pesan-
pesan baru yang memiliki keterkaitan dengan pesan-pesan lama yang telah diterima
sebelumnya.
Jika kita cermati kembali bagan system kesadaran dan belajar seperti telah ditampilkan
sebelumnya, kita dapat memahami bahwa kesulitan didalam menggali kembali atau
mengaktifkan kembali pesan-pesan yang telah dipelajari bukan merupakan suatu aktivitas
yang terpisah. Kesulitan ini memiliki keterkaitan dengan proses penerimaan, proses
pengolahan, proses penyimpanan dan kemampuan dan cara menggali pesan itu sendiri.
Bilamana dalam proses belajar siswa mengalami hambatan atau kesulitan didalam proses
penerimaan pesan, maka siswa tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu
yang dipelajari. Oleh sebab itu bagi guru dan siswa sangat penting memperhatikan proses
penerimaan pesan dengan sebaik-baiknya terutama melalui pemusatan perhatian secara
optimal. Demikian pula dalam proses pembelajaran guru hendaknya berupaya untuk
mengaktifkan siswa melalui pemberian tugas, latihan-latihan menggunakan cara kerja
tertentu, rumus, latihan-latihan agar siswa mampu meningkatkan kemampuannya di dalam
mengolah pesan-pesan pembelajaran.
Rasa percaya diri merupakan salah satu kondisi psikologis seseorang yang berpengaruh
terhadap aktivitas fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Rasa percaya diri pada
umumnya muncul ketika seseorang akan melakukan atau terlibat didalam suatu aktivitas
tertentu dimana pikirannya terarah untuk mencapai sesuatu hasil yang diinginkannya. Dari
dimensi perkembangan, rasa percaya diri dapat tumbuh dengan sehat bilamana ada
pengakuan dari lingkungan. Itulah sebabnya maka didalam proses pendidikan dan
pembelajaran, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah, orang tua atau guru hendaknya
dapat menerapkan prinsip-prinsip pedagogis secara tepat terhadap anak. Mendidik dengan
memberikan penghargaan dan pujian jauh lebih baik dari pada mendidik dengan cara
mencemooh dan mencela. Dalam berbagai tulisan sering dikemukakan, bilamana orang tua
maupun guru berupaya mendidik anak dengan pujian dan penghargaan maka anak akan
tumbuh dengan percaya diri. Namun bilamana mereka dididik dengan cela dan cemoohan
maka ada kecenderungan anak menyesali diri dan merasa bersalah. Akibatnya anak-anak
tidak memiliki kemampuan mengeksplorasi kemampuannya dan tidak memiliki keberanian
yang cukup untuk melakukan sesuatu, terlebih lagi bilamana sesuatu adalah hal-hal baru
yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
8. Kebiasaan Belajar
Kebiasaan belajar adalah perilaku belajar seseorang yang telah tertanam dalm waktu yang
relative lama sehingga memberikan ciri dalam aktivitas belajar yang dilakukannya. Ada
beberapa bentuk perilaku yang menunjukkan kebiasaan tidak baik dalam belajar yang sering
kita jumpai pada sejumlah siswa, seperti;
Jenis-jenis kebiasaan belajar diatas merupakan bentuk-bentuk perilaku belajar yang tidak
baik karena mempengaruhi aktivitas belajar siswa dan pada gilirannya dapat menyebabkan
rendahnya hasil belajar yang diperoleh.
1). Input; Kesukaran belajar pada katagori ini berkaitan dengan masalah penerimaan
informasi melalui alat indera, misalnya persepsi visual dan auditory. Kesukaran
dalam persepsi visual dapat menyebabkan masalah dalam mengenali bentuk,
posisi, atau ukuran objek yang dilihat.
2). Integration; Kesukaran tahap ini berkaitan dengan memori/ingatan. Kebanyakan
masalah dalam kategori ini berkaitan dengan short-term memory yang membuat
seseorang mengalami kesulitan dalam mempelajari materi baru tanpa banyak
pengulangan. Misalnya kesukaran dalam memori visual mempengaruhi proses
belajar dalam mengeja.
3). Storage; Tahap ini berkaitan dengan memori/ingatan. Kebanyakan masalah dalam
kategori ini berkaitan dengan short-term memory yang membuat seseorang
mengalami kesulitan dalam mempelajari materi baru tanpa banyak pengulangan.
Misalnya kesukaran dalam memori visual mempengaruhi proses belajar dalam
mengeja.
4). Output; Informasi yang telah diproses oleh otak akan muncul dalam bentuk
respon atau melalui kata-kata, yaitu output bahasa, aktivitas otot, misalnya
menulis, atau menggambar. Kesulitan dalam output bahasa mengakibatkan
masalah dalam bahasa lisan, misalnya menjawab pertanyaan yang diharapkan
dimana seseorang harus menyampaikan kembali informasi yang disimpan,
mengorganisasikan bentuk pikirannya dalam bentuk kata-kata. Hal yang serupa
juga terjadi bila masalah menyangkut bahasa tulis. Kesulitan dalam kemampuan
motoric menyangkut kemampuan motoric kasar maupun halus.
Untuk dapat memahami kesulitan atau kesukaran belajar, hendaknya guru atau orang tua
memahami dengan baik makna kesukaran belajar itu sendiri. Dari beberapa sumber
dijelaskan pengertian kesukaran belajar;
Pada berbagai kegiatan pembelajaran lain kita dapat melihat berbagai contoh nyata, tidak
sedikit siswa yang sebelumnya diketahui memiliki hasil belajar yang relatif rendah, akan tetapi
karena guru dapat merencanakan kegiatan belajar dengan baik, menggunakan pendekatan dan
strategi pembelajaran yang tepat, serta menerapkan pendekatan-pendekatan bimbingan belajar
yang sesuai dengan kondisi siswa, ternyata mampu merubah hasil belajar siswa yang rendah
menjadi lebih baik. Karena itu kita dapat memahami bahwa hasil belajar disamping ditentukan
oleh faktor intern, juga dipengaruhi oleh faktor-fakror ekstern. Faktor-faktor ekstern yang
mempengaruhi hasil belajar siswa antara lain adalah:
1. Faktor Guru
Dalam proses pembelajaran, kehadiran guru masih menempati posisi penting,
meskipun ditengah pesatnya kemajuan teknologi yang telah merambat kedunia
pendidikan. Dalam berabgai kajian diungkapkan bahwa secara umum sesungguhnya
tugas dan tanggung jawab guru mencakup aspek yang luas, lebih sekedar melaksanakan
proses pembelajaran di kelas, akan tetapi juga sebagai bagian dari organisasi yang turut
serta menentukna kemajuan sekolah bahkan di masyarakat.
Dalam ruang lingkup tugasnya, gurunya dituntut untuk memiliki sejumlah
keterampilan terkait dengan tugas-tugas yang dilaksanakannya. Bila disimpulkan dari
pendapat maka kita dapat menemukan beberapa faktor yang menyebabkan semakin
tingginya tuntutan terhadap keterampilan-keterampilan yang harus dikuasai dan dimiliki
oleh guru. Faktor pertama adalah karena cepatnya perkembangan dan perubahan yang
terjadi saat ini terutama perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi. Implikasi bagi
guru adalah dimana guru harus memiliki keterampilan-keterampilan yang cukup untuk
mampu memilih topik, aktivitas dan cara kerja dari berbagai kemungkinan yang ada.
Guru-guru juga harus mengembangkan strategi pembelajaran yang tidak hanya
menyampaikan informasi, melainkan juga mendorong para siswa untuk belajar secara
bebas dalam batas-batas yang ditentukan sebagai anggota kelompok.
Faktor kedua adalah terjadinya perubahan pandangan di dalam masyarakat yang
memiliki implikasi pada upaya-upaya pengembangan pendekatan terhadap siswa. Sebagai
contoh banyak guru yang memberikan motivasi seperti mendorong anak-anak bekerja
keras di sekolah agar nanti mereka memperoleh suatu pekerjaan yang baik, tidak lagi
menarik bagi mereka. Dalam konteks ini gagasan tentang keterampilan mengajar yang
hanya menekankan transmisi pengetahuan dapat menjadi suaru gagasan yang miskin dan
tidak menarik.
Faktor ketiga adalah perkembangan teknologi baru yang mampu menyajikan
berbagai informasi yang lebih cepat dan menarik. Perkembangan-perkembangan ini
menguji fleksibilitas dan adaptabilitas guru untuk memodifikasi gaya mengajae mereka
dalam mengakomodasi sekurang-kurangnya sebagian dari perkembangan baru tersebut
yang memiliki suatu potensi untuk meningkatkan proses pembelajaran. Tuntutan terhadap
penguasaan sejumlah keterampilan oleh guru harus lebih mendapat perhatian, utamanya
bilamana pembelajaran dilakukan diarahkan lebih mendalam pada pengembangan aspek-
aspek sikap (afektif). Reece dan Walker (1997: 92) mempertegas pernyataannya bahwa
kawasan afektif adalah daerah yang paling sulit dan relatif kurang literatur menyangkut
sikap. Sikap dapat diajarkan melalui pemberian contoh, misalnya bilamana guru sering
terlambat, maka siswapun akan berbuat yang sama. Dalam hal ini siswa menggunakan
guru sebagai model dan oleh karena itu kita harus hati-hati akan hal ini. Pembelajaran
yang baik tidak dapat dipahami terutama hanya dari sebuah pengetahuan dan
keterampilan-keterampilan, sebab sentral dari pembelajaran tersebut mencakup tindakan-
tindakan moral dalam konteks yang bersifat khusus. Oleh sebab itu menurut Shulman dan
Sockett guru yang baik harus menggunakan penilaian terhadap tindakan situasi kelas
secara khusus. Penilaian dan tindakan-tindakan guru terhadap situasi harus mencakup
tindakan-tindakan siswa sebagai sumber-sumber (agen) moral.
Sebelum guru menetukan strategi pembelajaran, metode dan teknik-teknik
evaluasi yang akan dipergunakan, maka guru terlebih dahulu dituntut untuk memahami
karakteristik siswa dengan baik. Hal ini dikarenakan dari sejumlah riset menunjukkan
bahwa keberagaman faktor, seperti sikap siswa, kemampuan dan gaya belajar,
pengetahuan serta kemampuannya dan konteks pembelajaran merupakan komponen yang
memberikan dampak sangat penting terhadap apa sesungguhnya harus siswa-siswa
pelajari (Killen,1998:5). Pengenalan terhadapap siswa dalam interaksi belajar mengajar,
merupakan faktor yang sangat mendasar dan penting untuk dilakukan oleh setiap guru
agar proses pembelajaran yang dilakukan dapat menyentuh kepentingan siswa, minat-
minat mereka, kemampuan serta berbagai karakteristik lain yang terdapat pada siswa, dan
pada akhirnya dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Pengenalan
terhadap siswa mengandung arti bahwa guru harus dapat memahami dan menghargai
keunikan cara belajar siswa dan kebutuhan-kebutuhan perkembangan mereka.
Upaya-upaya mengenal dan memahami siswa merupakan kegiatan yang
berlangsung secara terus-menerus, karena kebutuhan siswa tidak menetap, akan tetapi
mengalami perubajan sesuai tahap perkembangannya. Bahkan seringkali perubahan-
perubahan yang terjadi pada siswa berrlangsung dengan cepat sehingga guru tidak jarang
mengalami kesulitan untuk mengenal dan memahaminya secara cermat. Disamping itu
pula kebutuhan-kebutuhan mereka menggambarkan keberagaman intelegensial,
kemampuan maupun ketidakmampuan (Parkey, 1998:276). Bagi anak-anak yang
memiliki tingkat intelegensi yang baik berada dalam tahap atau masa perkembangan
tertentu memiliki sejumlah kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak yang tergolong
memiliki intelegensi yang rendah walaupun sama-sama berada pada tahap perkembangan
tertentu. Dalam pandangan DePorter & Hernacki (2001 : 117) terdapat tiga karakteristik
atau modalitas dalam belajar siswa yang perlu diketahui oleh setiap pendidik dalam
proses pembelajaran, yaitu; (1) orang-orang yang visual, yang sering kali ditandai suka
mencoret-coret ketika berbicara di telepon, berbicara dengan cepat, lebih suka melihat
peta daripada mendengar penjelasan, (2) orang-orang yang auditorial, yang sering
ditandai suka berbicara sendiri, lebih suka mendengarkan ceramah atau seminar daripada
membaca buku, lebih suka berbicara daripada menulis, (3) orang-orang yang kinestetik,
yang sering ditandai berpikir lebih baik ketika bergerak atau berjalan, yang banyak
menggerakkan anggota tubuh ketika berbicara, sulit untuk duduk diam. Michael Grinder,
pengatrang Righting the Education Conveyor Belt (DePorter & Henacki, 2001: 112) telah
mengajarkan gaya-gaya belajar dan mengajar kepada banyak instruktur. Ia mencatat
bahwa dalam setiap kelompok yang terdiri dari tiga puluh murid, sekitar dua puluh dua
orang mampu belajar secara cukup efektif dengan cara-cara visual, auditorial dan
kinestetik sehingga mereka tidak membutuhkan perhatian khusus. Dari sisa delapan
orang, sekitar enam orang memilih satu modalitas belajar dengan sangat menonjol
melebihi dua modalitas belajar dengan sangat menonjol melebihi dua modalitas lainnya.
Sehingga setiap saat mereka harus selalu berusaha keras untuk memahami perintah,
kecuali perintah khusus diberikan kepada mereka dengan menghadirkan cara mereka
pilih. Dua orang murid lainnya mempunyai kesulitan belajar karena sebab-sebab
eksternal.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 ditetapkan 4 kompetensi yang
harus dimiliki guru, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi
sosial dan kompetensi kepribadian. Direktorat Jenderal Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan (2006) menjabarkan kompetensi pedagogis kedalam subkompetensi dan
indikator esensial sebagai berikut:
a. Memahami peserta didik. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial; memahami
peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif;
memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan
mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik.
b. Merancang permbelajaran, termasuk memahami landasan-landasan pendidikan untuk
kepentingan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial;
menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran
berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi
ajar; serta menyusun rencana pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
c. Melaksanakan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial; menata
latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
d. Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki
indikator esensial; melaksanakan evaluasi (assesment) proses dan hasil belajar secara
kesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil penilaian proses dan hail
belajar untuk menenetukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level); dan
memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program
pembelajaran secara umum.
e. Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang
dimilikinya. Subkompetensi ini memiliki indikator esensial; memfasilitasi peserta
didik untuk mengembangkkan berbgai potensi akademik.
Perubahan kurikulum pada sisi lain juga menimbulkan masalah. Terlebih lagi
bilamana dalam kurun waktu yang belum terlalu lama terjadi beberapa kali perubahan.
Masalah-masalah itu adalah; (a) tujuan yang akan dicapai mungkin akan berubah.
Bilamana tujuan berubah, berarti pokok bahasan, kegiatan belajar mengajar, evaluasi juga
akan berubah, dan dengan demikian kegiatan belajar mengajar paling tidak harus
disesuaikan, (b) isi pendidikan berubah; akibatnya buku-buku pelajaran, buku-buku
bacaan, dan sumber-simber lainnya berubah. Hal ini juga tentunya akan berakibat
perubahan anggaran pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, demikian pula beban
orang tua siswa, (c) kegiatan belajar mengajar berubah; akibatnya guru harus
mempelajari strategi, metode, teknik dan pendekatan belajar yang baru. Bilamana
pendekatan belajar berubah, maka kebiasaan belajar siswa juga perlu dilakukan
perubahan atu sekurangnya penyesuaian yang mungkin memerlukan waktu untuk proses
penyesuaian, (d) evaluasi berubah; akibatnya guru harus mempelajri metode dan teknik
evaluasi belajar yang baru. Bilamana tekik dan metode evaluasi guru mengalami
perubahan, maka siswa harus mempelajari cara-cara belajar sesuai dengan tuntutan
tersebut (Dimyati dan Mudjiono, 1994: 242). Hal ini semua akan berdampak terhadap
proses pembelajaran dan hasil belajar siswa.
Agar bimbingan belajar dapat lebih terarah dalam upaya membantu siswa dalam mengatasi
kesulitan belajar, maka perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut;
a. Identifikasi
Identifikasi adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk menemukan siswa yang
mengalami kesulitan belajar, yaitu mencari informasi tentang siswa dengan melakukan
kegiatan berikut;
1. Data dokumen hasil belajar siswa.
2. Menganalisis absensi siswa didalam kelas.
3. Mengadakan wawancara dengan siswa.
4. Menyebar angket untuk memperoleh data tentang permasalahan belajar.
5. Tes untuk memperoleh data tentang kesulitan belajar atau permasalahan yang sedang
dihadapi.
b. Diagnosis
Diagnosis adalah keputusan atau penentuan mengenai mengenai hasil dari
pengolahan data tentang siswa yang mengalami kesulitan belajar dan jenis kesulitan yang
dialami siswa. Diagnosis ini dapat berupa hal-hal berikut:
1. Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar siswa
2. Keputusan mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber sebab-sebab kesulitan
belajar
3. Keputusan mengenai jenis mata pelajaran apa yang mengalami kesulitan belajar.
c. Prognosis
Rangkuman
Secara sederhana masalah belajar dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat
menghambat tercapainya tujuan belajar. Dari berbagai pendapat dan hasil penelitian kita
mendapat kejelasan bahwa masalah-masalah belajar beik intern maupun ekstern dapat bersumber
atau dalam dinamikanya sapat dikaji dari dimensi guru maupun dari dimensi siswa. Demikian
pula dilihat dari tahapannya maslah belajar dapat terjadi waktu sebelum belajar, selama peoses
belajar dan sesudah belajar.
Dari dimensi siswa, masalah-masalah belajar dapat muncul pada waktu sebelum
kegiatatn belajar, selama proses belajar, masalah belajar dapat berhubungan dengan minat,
kecakapan maupun pengalaman-pengalaman siswa. Selama proses belajar, masalah belajar
sering kali berkaitan dengan sikap terhadap belajar, motivasi, konsentrasi, kemampuan
pengolahan pesan pembelajaran, kemampuan menyimpan pesan, kemampuan menggali kembali
pesan yang telah tersimpan, serta unjuk hasil belajar. Sesudah belajar, masalah belajar
dimungkinkan berkaitan dengan penerapan prestasi atau keterampilan yang sudah diproses
melalui proses belajar sebelumnya.
Dari dimensi guru, masalah belajar juga dapat terjadi sebelum kegiatan belajar, selama
proses belajar dan pada akhir proses evaluasi hasil belajar. Sebelum belajar masalah seringkali
berkaitan dengan pengorganisasian belajar. Selama proses belajar, masalah belajar seringkali
berkenaan dengan bahan belajar dan sumber belajar. Sedangkan sesudah kegiatan belajar,
masalah belajar yang dihadapi guru kebanyakan berkaitan dengan evaluasi hasil belajar.
Secara spesifik masalah yang bersumber dari faktor internal berkaitan dengan; (1)
karakteristik siswa, (2) sikap terhadap belajar, (3) motivasi belajar, (4) konsentrasi belajar, (5)
kemampuan mengolah bahan ajar, (6) kemampuan menggali hasil belajar, (7) rasa percaya diri,
(8) kebiasaan belajar, sedangkan dari faktor eksternal, masalah belajar dipengaruhi oleh; (a)
faktor guru, (b) lingkungan sosial, terutama termasuk teman sebaya, (c) kurikulum sekolah, (d)
sarana dan prasarana.
Untuk mengatasi masalah belajar, guru perlu mengadakan pendekatan pribadi di samping
pendekatan instruksional dalam berbagai bentuk yang memungkinkan guru lebih mengenal dan
memahami siswa serta masalah belajar.
Karena keberhasilan belajar merupakan muara dari seluruh aktivitas yang dilakukan oleh
guru dan siswa dalam proses pembelajaran, maka setiap guru harus berupaya secara optimal
memahami berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hambatan-hambatan didalam
proses belajar dan pembelajaran. Demikian pula berupaya secara terus menerus mengkaji dan
mencoba berbagai bentuk pendekatan dan teknik-teknik inovatif guna mengatasi keadaan yang
dapat menghambat tercapainya tujuan belajar tersebut.
Abdillah, Husni. (2008). Strategi Bimbingan Belajar Bagi Sisiwa di Sekolah Dasar. Online,
tersedia: http://husniabdillah.multiply.com/journal/item/9/.
Depdiknas Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga kependidikan. (2006). Bahan
Sertifikasi Guru. Jakarta: Derektorat PMPTK.
DepPorter, B & Hernacki. (2001). Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Dimyati dan Mudjiono. (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan dan
Peningkatan Mutu Tenaga Dikti.
Killen, Roy (1998). Effective Teaching Strategies Lesson from Research and Practice. Second
Edition. Australia: Social Science Press.
Parkay, Forest W. (1998). Becoming A Teacher. Fourth Edition. USA: Allyn and Bacon.Briggs
& Roos (1987).
Peraturan Pemerintah Ri Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta:
Depdiknas.
Reece Ian dan Walker, S (1997). Teaching Tranning and Learning A Pratica Guide (Third
Edition). Great Britain: Bussiness Education Publisher Limited.
Sumantri, Mulyani dan Permana, Johar. (1998/1999). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Depdiknas Proyek Pengembangan Buku Sekolah Dasar.