Anda di halaman 1dari 12

STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI


KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
Parulian Simanjuntak

Abstract

Fiscal Gap in autonomy era has been a bottleneck to some regions in order to achieve a
certain economic development. The ability to increase their Regional Original Income (PAD)
in order to cover their expenditures needs more efforts to do it. Humbang Hasundutan Region
experiences the same situation. This research mainly intends to analyze the role of Regional
Original Income in the framework territory autonomy implementation in the region of
Humbang Hasundutan. The result shows that a reliable material for arranging policy which
directly points at the improvement of Regional Original Income as a realization of territory
autonomy implementation although it is still far from satisfaction. It means that fiscal gap is
still wide. In the framework of territory autonomy implementation, it is approved that
Regional Original Income plays an important role in financing administration implementation
and regional development. Therefore, the effort to minimize the dependence toward central
government in the future must be realized.

Keywords : Autonomy, Regional, Income, Fiscal.

Latar Belakang

Memperhatikan berbagai hasil kajian para ahli menunjukkan bahwa otonomi daerah selama
ini tergolong sangat kecil dilihat dari indikator kecilnya kewenangan, jumlah bidang
pemerintahan, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimiliki daerah (Hoessein, 2000 :
3). Hal ini merupakan gambaran dari praktek pemerintahan masa lalu yang dilandasi oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dengan berpegang pada Undang-undang tersebut,
maka praktek yang terjadi di lapangan berupa sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat,
sehingga masyarakat di daerah tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk
mengaktualisasikan kepentingan dan potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo, 2000 : 574).

Pada masa sekarang ini dengan perubahan paradigma pemerintahan yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan
Daerah yang telah dirubah menjadi UU No. 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah
dan UU No. 33 Tahun 2004 perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah,
pemerintah pusat mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah pada posisi yang
sebenarnya, yaitu bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut
mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang
lain.

Otonomi daerah merupakan aplikasi dari kebijakan yang menetapkan bahwa kabupaten dan
kota menjadi titik beratnya. Inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya untuk
1
mekasimalkan hasil yang akan dicapai daerah tersebut sekaligus menghindari kerumitan-
kerumitan birokrasi yang akan menghambat perkembangan daerah tersebut. Dengan
demikian, tuntutan masyarakat yang ada di daerah tersebut akan dapat diwujudkan secara
nyata dengan menerapkan otonomi daerah secara luas tanpa memberatkan keuangan pusat.
Inilah pentingnya pelaksanaan otonomi daerah saat ini.

Kewenangan yang begitu luas tentunya akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu


bagi daerah untuk menjalankan kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya adalah
bahwa daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan
yang menjadi kewenangannya Sejalan dengan hal tersebut, Koswara (2000 : 5) menyatakan
bahwa daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-
sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup
memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan
kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber
keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai
prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.

Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan
otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan
daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di samping itu
PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso (1995 : 20)
mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang
merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran
daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi
derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten dan kota dimulai
dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat ke perintah daerah
yang bersangkutan. Hal ini dirasakan perlu oleh pemerintah pusat pada saat ini agar masing-
masing daerah (kabupaten dan kota) dapat membiaya pembangunan daerahnya dengan
maksimal dan melaksanakannya berdasarkan kekayaan yang dimiliki oleh daerah itu sendiri.
Sumber pembiayaan penting di daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dimana
komponen utamanya berasal dari kebijakan keuangan daerah tersebut. PAD dapat dikelola
secara langsung oleh daerah sehingga diperoleh kebebasan untuk memajukan daerahnya
berdasarkan PAD yang bias dihasilkan oleh daerah tersebut.

Secara teoritis, pengukuran kemandirian suatu daerah didasarkan kepada besaran PAD yang
diperolehnya. Semakin besar PAD suatu daerah maka semakin mampu daerah tersebut
membiaya belanjanya sehingga daerah tersebut akan semakin mandiri atau terlepas dari
bantuan pusat. Dengan maksud tersebut maka banyak daerah yang mengusahakan
peningkatan PAD yang dicanangkan oleh daerah tersebut. Walaupun banyak daerah yang
menjadi lupa diri dalam meningkatkan PAD dengan cara yang memberatkan perekonomian
sehingga perekonomian dfaerah tersebut menjadi tidak berkembang atau terkungkung dengan
peraturan-peraturan daerah (perda) yang dibuat untuk meningkatkan PAD. Inilah yang
seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah sehingga peningkatan PAD akan
diikuti oleh kegairahan pertumbuhan ekonomi dan bukannya malah memberatkan para
pelaku-pelaku ekonomi.

2
Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya masih kurang
memadai. Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan PAD terhadap Total
Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif rendah. Sebagaimana yang dialami Pemerintah
Kabupaten Humbang Hasundutan, selama kurun waktu tahun anggaran 1991/1992 2000
proporsi PAD terhadap TPD rata-rata sebesar 32,96 %. Proporsi sebesar ini sebenarnya
tidaklah terlalu kecil bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di seluruh Indonesia.
Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerjasama dengan Badan
Litbang Depdagri menunjukkan bahwa selama 5 tahun (1986/1987 1989/1990) sebagian
besar Daerah Kabupaten/Kota atau sebanyak 173 Daerah Kabupaten/Kota (59,25 % dari
seluruh Indonesia) mempunyai angka prosentase PAD terhadap total penerimaan daerah di
bawah 15 %.

Landasan Teori

Sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang


pemerintahan daerah yang telah diperbaharui dengan UU No. 33 tahun 2004, yang dimaksud
dengan PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam
wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Selanjutnya sumber-sumber PAD sebagaimana telah
dikemukakan pada bab terdahulu, terdiri dari beberapa unsur yaitu; pajak daerah, retribusi
daerah, perusahaan daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pengertian pajak daerah
berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dapat digunakan
untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah


kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian prinsip dasar otonomi daerah berdasarkan undang-
undang tersebut adalah mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi dengan adanya kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan adanya pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta adanya perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah.

Dalam pandangan lain, pada prinsipnya otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Pemberian wewenang kepada daerah yang lebih luas sangat tepat karena daerah adalah yang
lebih mengerti tentang kondisinya sendiri. Pembangunan yang dilaksanakan akan sesuai
dengan prioritas daerah dan aspirasi masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya partisipasi
masyarakat dalam aktifitas politik di tingkat daerah serta sistem demokratisasi yang
dijalankan sesuai dengan tujuan otonomi itu sendiri (lihat Prastijo , 2001 : 15).

Selain itu otonomi daerah lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat (lebih bersifat
kerakyatan) dari pada kepentingan Pemerintah Daerah. Dalam arti bahwa kewenangan-
kewenangan Pemerintah Daerah tersebut sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan

3
pelayanan kepada masyarakat, menyebarkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan
fasilitas kepada rakyat melalui peran serta dan pemberdayaan masyarakat.

Pengertian otonomi daerah sebagaimana diuraikan di atas ternyata masih dipersepsikan


berbeda di antara beberapa kalangan pejabat daerah. Dalam arti bahwa pemahaman
mengenai otonomi daerah masih berbeda satu sama lain. Sebagaimana dikemukakan oleh
Syahruddin, dkk (2000 : 3-4) bahwa terdapat perbedaan pemahaman otonomi daerah antara
pejabat Pemerintah Daerah Propinsi dengan pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
antara DPRD Propinsi dengan DPRD Kabupaten/Kota, antara sesama pejabat Pemerintah
Daerah Propinsi dan sesama pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, antara sesama
DPRD Propinsi dan sesama DPRD Kabupaten/Kota.

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah, tujuan pemberian otonoi daerah
adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta
peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu secara nyata, dinamis
dan bertanggungjawab. Nyata berarti pemeberian otonomi daerah didasarkan pada factor-
faktor perhitungan, tindakan dan kebijaksanaan yang benar-benar menjamin daerah yang
bersangkutan, dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Dinamis artinya didasarkan pada
kondisi perkembangan dan pembangunan. Bertanggungjawab adalah pemberian otonomi
yang diupayakan untuk memperlancar pembangunan di pelosok tanah air.

Menurut Saragih (1996 : 39) peran PAD sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah
masih rendah. Kendatipun perolehan PAD setiap tahunnya relatif meningkat namun masih
kurang mampu menggenjot laju pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk beberapa daerah yang
relatif minus dengan kecilnya peran PAD dalam APBD, maka upaya satu-satunya adalah
menarik investasi swasta domestik ke daerah minus. Pendekatan ini tidaklah mudah
dilakukan sebab swasta justru lebih berorientasi kepada daerah yang relatif menguntungkan
dari segi ekonomi.

Melihat kenyataan yang ada bahwa PAD yang diperoleh pada umumnya masih relatif rendah,
maka tidak sedikit Pemerintah Daerah yang merasa khawatir melaksanakan otonomi daerah.
Namun demikian Rasyid (1994 : 14) mengemukakan bahwa kekhawatiran yang berlebihan
bagi daerah, terlebih bagi daerah miskin dalam menghadapi otonomi daerah mestinya tidak
perlu terjadi. Pertimbangan pemberian otonomi daerah tidaklah mesti dilihat dari
pertimbangan keuangan semata, sekiranya pertimbangan ini masih tetap mendominasi
pemberian otonomi ini tidak akan terlaksana.

Sebenarnya apabila diberikan mekanisme kewenangan yang lebih luas dalam bidang
keuangan, maka Pemerintah Daerah dapat menggali dan mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Gaffar (2000 : 43-44) bahwa Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 diharapkan lebih menekankan kepada mekanisme yang memberikan
kewenangan yang luas kepada daerah dalam bidang keuangan, karena dengan kewenangan
tersebut uang akan dapat dicari semaksimal mungkin (follow function), tentu saja dengan
memperhatikan potensi daerah serta kemampuan aparat pemerintah untuk mengambil
inisiatif guna menemukan sumber-sumber keuangan yang baru. Kewenangan yang luas bagi
daerah akan dapat menentukan mana sumber dana yang dapat digali dan mana yang secara
potensial dapat dikembangkan.

4
Hasil dan Pembahasan

Akibat dari pemberlakukan undang-undang ini Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan


melakukan penyesuaian/perubahan pada jumlah maupun jenis pajak dan retribusi yang
ditetapkan. Penyesuaian/perubahan jenis pajak daerah dan retribusi tersebut dilakukan untuk
meningkatkan PAD daerah tersebut. Penyesuaian atau perubahan yang dilakukan pemerintah
daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) diusahakan tidak menambah beban dari pada
pembayar pajak daerah atau retribusi daerah yaitu masyarakat melainkan harus membangun
semangat masyarakat untuk membayar pajak daerah dan retribusi daerah demi pembangunan
daerah tersebut. Perubahan atau penyesuaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah,
ternyata membawa dampak yang positip terhadap peningkatan PAD Kabupaten Humbang
Hasundutan.

Kebijakan pemerintah daerah dalam mengatur anggarannya telah dimuat dalam UU No.
32/2004 tentang pemerintah daerah. Kebijakan anggaran merupakan pedoman umum dari
rencana kerja pembangunan dan merupakan bagian dari perencanaan operasiona anggaran
dan alokasi sumber daya. Sementara arah kebijakan keuangan daerah adalah kebijakan
penyusunan program dan indikasi kegiatannya pada pengelolaan pendapatan dan belanja
daerah secara efektif dan efisien. Dalam mendukung pendanaan atas penyerahan otonomi
kepada pemerintah daerah, maka dibuatlah UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Keuangan pemerintah daerah tidak hanya mencerminkan arah dan
kebijakan fiscal daerah dalam mendorong pembangunan daerah secara umum tetapi juga
menggambarkan sejauh mana tugas dan kewajiban yang diembankan kepada pemerintah
daerah dalam prinsip desentralisasi.

Secara umum, PAD Kabupaten Humbang Hasundutan mengalami kenaikan yang cukup
signifikan setiap tahunnya mulai Tahun 2006 2010 walaupun pada tahun 2009, PAD
Kabupaten ini mengalami penurunan. Peningkatan PAD tersebut telah menjelaskan usaha-
usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatannya melalui sumber-sumber
pendapatan yang sah dan telah diperdakan oleh pemerintah daerah tersebut. Peningkatan PAD
menunjukkan kemampuan pemerintah daerah meningkat dalam membiayai pembelanjaan
rutinnya dari tahun ke tahun. Dengan makin meningkatnya PAD daerah tersebut maka akan
semakin banyak kegiatan-kegiatan pemerintah yang diperuntukkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat juga akan semakin meningkat. Kemampuan seperti ini yang harus
tetap dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten ini setiap waktunya sehingga pada
akhirnya nanti, pemeerintah daerah akan dapat berdiri sendiri dalam menyelenggarakan
kegiatan pembangunannya tanpa harus lagi tergantung pada dukungan dana dari propinsi atau
pusat.

Kontribusi yang dimaksud di sini adalah besarnya sumbangan yang dapat diberikan oleh
sumber-sumber PAD terhadap besarnya jumlah PAD. Besarnya kontribusi juga dapat
mencerminkan besarnya peran dari masing-masing sumber PAD tersebut. Menganalisis
kontribusi PAD juga dapat menjelaskan sejauhmana keberhasilan pemerintah daerah untuk
mengelola sumber-sumber PAD tersebut. Kontribusi yang baik seharusnya menunjukkan
keseimbangan sumbangan dari sumber-sumber PAD terhadap Total PAD per tahunnya.
Keseimbangan ini akan mencerminkan potensi yang merata dari potensi-potensi ekonomi
yang ada di kabupaten tersebut. Dengan berimbangnya sumber-sumber PAD akan
menjadikan pemerintah daerah menjadi lebih mudah dalam mengelola keuangan daerahnya.

5
Tabel 1.
Kontribusi sumber-sumber PAD terhadap total PAD (Realisasi)
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun Anggaran 2006 - 2010
(dalam Rupiah)
Tahun Pajak Retribusi Pendapatan Penerimaan
Anggaran Daerah Daerah Hasil Lain-lain
Pengelolaan Daerah yang
Kekayaan Sah
Daerah
1 2 3 4

2006 981,857,609 911,628,726 440,663,105 3,998,722,556


2007 1,229,651,508 2,027,090,941 297,644,666 4,021,822,218
2008 2,616,789,420 3,009,364,497 764,203,600 2,754,888,215
2009 2,018,523,618 2,765,622,038 1,107,677,236 2,157,113,108
2010 2,066,465,231 2,869,580,659 2,612,589,590 2,458,585,160

Sumber : Laporan Keuangan Tahunan Pemda, 2006 2010.

Terlihat bahwa yang paling besar perannya dalam menyumbang PAD sejak tahun anggaran
analisis (2006) sampai dengan tahun anggaran 2010 adalah penerimaan lain-lain yang sah
dari pemerintah daerah, diikuti oleh pajak daerah, retribusi daerah dan penghasilan
pengelolaan kekayaan daerah. Secara umum kontribusi sumber-sumber PAD tersebut dari
tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Meskipun demikian secara absolut perolehan PAD
khususnya dari pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah mengalami trend yang menaik
dari tahun ke tahun sementara yang lain mengalami fluktuasi yang kadang-kadang menurun
dan kadang-kadang menaik.

Laju pertumbuhan PAD akan menunjukkan apakah terjadi peningkatan atau penurunan dari
tahun ke tahun dalam penelitian ini. Laju pertumbuhan PAD akan menjelaskan peranan
sumber-sumber PAD terhadap total PAD apakah makin penting atau semakin tidak penting.
Hal ini perlu diketahui oleh pengambil kebijakan di suatu daerah untuk menentukan skala
prioritas perbaikan dan pengembangan yang akan dilakukan pada tahun berikutnya untuk
menentukan program-program pendatangan penerimaan daerah tersebut. Dengan mengetahui
keberadaan tersebut maka pemerintah daerah dapat mencanangkan langkah-langkah untuk
tetap mempertahankan sumber-sumber yang menjadi primadona dalam penerimaan daerah.
Analisis yang lebih mendalam seharusnya memasukkan secara rinci unsur-unsur penerimaan
dari setiap sumber-sumber PAD yang ada sehingga akan terlihat elemen-elemen mana yang
menunjukkan laju pertumbuhan yang membaik akan main buruk. Penelitian lanjutan dengan
data yang lebih lengkap dibutuhkan untuk lebih baiknya dan dalamnya analisis terhadap
pertumbuhan PAD dan sumber-sumbernya tersebut.

Dapat dilihat bahwa Pajak, Retribusi Daerah dan Pengelolaan kekayaan daerah memiliki laju
pertumbuhan yang positip. Ini menandakan bahwa telah terjadi peningkatan pertumbuhan
dari tahun ke tahun walaupun di salah satu tahun penelitian ada yang mengalami penurunan.
Akan tetapi secara keseluruhan ketiga sumber-sumber ekonomi di atas telah mengalami laju
pertumbuhan yang positip. Sementara itu, penerimaan lain-lain yang sah justru mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Ini menandakan bahwa telah terjadi degradasi peneriman di

6
sumber ini. Dengan demikian, perhatian pemerintah harus dipusatkan pada sumber ini untuk
melihat permasalahan yang ada di sumber tersebut dan berusaha untuk memperbaikinya dan
kemudian meningkatkannya di kemudian hari. Akan tetapi, apabila ditelaah lebih mendalam
maka dapat diberikan jawaban yang logis terhadap itu yaitu adanya pemindahan beberapa pos
penerimaan dari penerimaan lain-lain yang sah ke sumber penerimaan pengelolaan kekayaan
daerah. Dengan adanya perubahan tersebut maka akan dapat dijelaskan mengapa terjadi
pertumbuhan yang negatip pada penerimaan lain-lain yang sah.

Suatu daerah otonomi yang berkembang dengan baik akan menghasilkan DOF yang makin
lama makin meningkat. Hal ini sesuai dengan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat
bahwa daerah seharusnya dengan adanya konsep otonomi daerah dengan kebebasan untuk
mengelola kekayaannya sendiri akan dapat terlepas dari tanggungan pusat. Banyak daerah-
daerah pemekaran yang pada akhirnya merasa menyesal berpisah dengan kabupaten atau kota
induknyan karena tidak dapat mengembangkan dirinya atau dengan kata lain DOF
menunjukkan angka yang semakin menurun.

Independensi suatu daerah dalam mengelola keuangannya akan terlihat dengan jelas apabila
DOF daerah tersebut main tinggi dari waktu ke waktu. Independensi yang diperoleh daerah
menunjukkan bahwa daerah tersebut telah dapat melakukan pembiayaan pada dirinya sendiri
terhadap segala kegiatan rutin maupun pembangunannya sehingga tidak perlu lagi menunggu
kepastian dari pusat untuk mengeluarkan dananya bagi pembangunan-pembanguan ekonomi
yang telah dicanangkan sebelumnya. Dengan semakin besar belanja yang dapat ditutupi oleh
PAD suatu daerah maka akan semakin mudah daerah tersebut untuk menyesuaikan
pengelolaan keuangannya dengan program-program pembangunan yang akan dilaksanakan.
DOF mencerminkan kemandirian suatu daerah terhadap pusat sehingga daerah tersebut
memiliki keleluasaan untuk memilih program-program apa sajakah yang dapat dikerjakan
untuk setiap tahun anggaran yang berjalan. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan daerah
tersebut sudah dapat dilakukan dengan baik. Berdasarkan data yang ada, maka besarnya
kemampuan daerah Kabupaten Humbang Hasundutan dapat diketahui dengan memperhatikan
nilai DOF yang dicapainya, sebagaimana terlihat dalam Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 2.
Derajad Otonomi Fiskal (DOF)
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2007 - 2009
Penerimaan Total Proporsi
Tahun PAD Keterangan
Daerah (%)
1 2 3 4 5

2007 7,576,209,334 329,696,752,893 2.30 Sangat Kurang


2008 9,145,245,733 366,363,230,484 2.50 Sangat Kurang
2009 8,039,936,000 390,313,832,507 2.06 Sangat Kurang

Sumber : Laporan Keuangan Tahunan Pemda, 2006 2010.

Hasil perhitungan pada Tabel di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Humbang Hasundutan
masih dalam kondisi yang sangat tergantung dengan bantuan dari Pusat. Ini berarti bahwa
7
kabupaten ini masih belum dapat berdiri sendiri dalam mengelola fiskalnya. Ketergantungan
yang sangat besar masih terlihat dari DOF kabupaten tersebut yang masih berada pada
kisaran antara 0,1 10% (sangat kurang). Ketergantungan yang masih tinggi ini membuat
daerah ini tidak akan dapat mengelola pengembangan daerahnya sendiri. Dengan melihat
nilai DOF daerah ini, maka ketiadaan bantuan dari pusat ke daerah akan sangat
membahayakan keberlangsungan daerah tersebut pada masa yang akan datang.

Angka DOF menunjukkan bahwa kesenjangan fiscal pada Kabupaten Humbang Hasundutan
masih menunjukkan angka yang sangat besar. Dalam otonomi daerah yang sedang
berlangsung sekarang ini, kesenjangan fiscal yang makin besar mengharuskan daerah tersebut
untuk melakukan berbagai upaya guna memperoleh penerimaan yang lebih besar lagi di
kemudian hari guna membiayai sendiri semua program peningkatan kesejahteraan
masyarakat daerah tersebut. Kesenjangan fiscal yang sangat besar akan mengakibatkan
ketertinggalan daerah tersebut dibandingkan dengsn daerah lainnya sehingga nantinya akan
menimbulkan keterbelakangan daerah dalam kemajuan yang ada. Secara ekonomi, angka
DOF yang sangat rendah ini menunjukkan kemampuan yang sangat rendah bagi daerah
tersebut untuk melakukan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dengan baik ke depan.
Angka DOF menunjukkan bahwa tingkat kemadirian kabupaten tersebut masih sangat
rendah. Dengan angka DOF seperti yang tertera pada Tabel di atas, maka Kabupaten ini harus
lebih giat lagi melakukan segala usaha untuk meningkatkan kinerja ekonominya sehingga
akan terjadi peningkatan angka DOF daerah tersebut. Kabupaten Humbang Hasundutan
memiliki banyak potensi-potensi ekonomi yang dapat digali menjadi penerimaan daerah
tersebut untuk menambah PAD daerah tersebut. Penggalian terhadap potensi-potensi ekonomi
tersebut harus dicanangkan oleh pemerintah daerah ke depan agar pertumbuhan ekonomi
menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.

Selain dengan mengukur tingkat kemampuan daerah, maka kesiapan daerah dalam
melaksanakan otonomi daerah perlu pula diukur tingkat kemampuan rutin daerahnya. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui gambaran daerah tersebut apakah mampu menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan pemerintahan secara rutin dengan biaya yang berasal dari usaha daerah
sendiri, yaitu PAD. Apabila daerah harus melakukan pembiayaan rutin diluar PAD yang
diperolehnya maka hal tersebut menandakan bahwa daerah tersebut belum mampu untuk
membiayai kegiatan rutinnya sehingga dikhawatirkan berbagai kegiatan tidak dapat
dilakukan oleh daerah tersebut.

Lebih jauh yang dimaksud dengan kemampuan rutin daerah adalah rasio antara PAD dengan
jumlah pengeluaran rutin daerah (di luar belanja pegawai). Belanja pegawai dalam
pengukuran ini dikeluarkan karena sampai saat ini belanja pegawai masih berasal dari
pemerintah pusat yang disalurkan melalui pos sumbangan dan bantuan pada penerimaan
daerah (mulai tahun anggaran 2001 disalurkan melalui Dana Alokasi Umum). Pengecualian
ini hanya akan menunjukkan kemampuan rutin daerah tersebut menjadi lebih baik padahal
pada kenyataannya setiap daerah masih sangat tergantung pada bantuan dari pusat melalui
DAU dan dana-dana lainnya.

Tidak terlepas dari itu, juga berlaku pada Kabupaten Humbang Hasundutan. Dari DOF yang
telah dibahas sebelumnya maka dapat dilihat bahwa kemampuan rutin daerah ini masih
sangat rendah karena DOF akan sejalan dengan KRD. Kabupaten ini masih sangat tergantung
pada bantuan pusat sehingga masih belum dapat menghasilkan penerimaan yang dapat
memenuhi belanja rutinnya. Tanpa mengesampingkan pentingnya data, akan tetapi dengan
8
data yang ada sudah dapat diduga bahwa kabupaten ini masih belum dapat melaksanakan
KRD dengan baik. Hal inilah yang nantinya akan jadi penghalang bagi daerah tersebut untuk
melakukan pengembangan daerahnya atau wilayahnya untuk menyusul pertumbuhan daerah-
daerah lainnya.

Tingkat efektifitas diukur dengan membandingkan antara realisasi PAD dalam setahun
dengan potensi PAD. Dengan asumsi bahwa penghitungan potensi PAD belum dilakukan
(belum ada), maka digunakan data target PAD sebagai proksinya.

Dengan perhitungan tersebut, maka angka yang diperoleh akan memiliki makna bahwa
semakin kecil angka efektifitasnya berarti semakin tidak efektif. Sebaliknya semakin besar
angka efektifitasnya berarti semakin efektif, yang menggambarkan semakin baik kinerja
administrasi penerimaan PAD-nya. Lebih lanjut hasil perhitungan efektifitas dapat dilihat
dalam Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 3.
Tingkat efektifitas pengumpulan Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun Anggaran 2006 - 2010
(rupiah)
Tahun Target PAD Realisasi PAD Efektifitas
Anggaran (%)
1 2 3 4
2006 5,515,318,620 6,332,871,996 114.8
2007 5,696,675,821 7,576,209,334 133.0
2008 8,409,345,706 9,145,245,733 108.8
2009 9,767,948,370 8,039,936,000 82.3
2010 15,914,105,174 10,007,220,641 62.9
Sumber : Laporan Keuangan Tahunan Pemda, 2006 2010.

Berdasarkan Tabel 3. di atas dapat diketahui nilai rata-rata efektifitas penerimaan PAD, yaitu
sebesar 100,4 %. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum upaya pelaksanaan administrasi
penerimaan PAD Kabupaten Humbang Hasundutan sudah sangat efektif akan tetapi ada
beberapa tahun yang masih menunjukkan efektif dan hanya cukup efektif yaitu tahun 2009
dan 2010.

Penetapan target penerimaan oleh pemerintah daerah seharusnya memperhatikan kemampuan


potensi ekonomi daerah tersebut sehingga penetapan target menjadi lebih realistis dan bukan
hanya tujuan semata. Penetapan target juga harus mengacu pada target-target sebelumnya
sehingga tidak ada lompatan target yang terlalu tinggi apabila tidak terjadi perubahan yang
sangat dramatis pada penggalian potensi sektor-sektor ekonomi di daerah tersebut. Dengan
memperhatikan kedua pertimbangan tersebut serta pertimbangan-pertimbangan lainnya
seperti biaya-biaya yang harus dikeluarkan, kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang
akan melaksanakannya maka seharusnya pembuatan target akan lebih baik dan realisasi juga
tidak akan berbeda jauh dengan target yang telah dicanangkan sebelumnya.

Kelihatannya untuk mendongkrak kemampuan daerah dalam membiaya belanja daerahnya,


Kabupaten Humbang Hasundutan tidak memperhatikan hal tersebut di atas sehingga
memnentukan target yang sangat jauh di atas target-target tahun sebelumnya pada tahun 2009

9
dan 2010. Penetapan target yang sangat tinggi ini akan sulit untuk dipenuhi oleh pemerintah
daerah yang ada. Ternyata hasil realisasi menunjukkan hal yang senada dengan ini. Realisasi
PAD Kabupaten Humbang Hasundutan tidak mengalami peningkatan yang dramatis dari
tahun ke tahun. Ini berarti bahwa belum diperoleh kegiatan-kegiatan ekonomi yang akan
mendongkrak penerimaan dengan signifikan. Sehingga penetapan target yang dilakukan
merupakan suatu usaha yang tidak dapat dimungkinkan tercapai atau hanya impina saja
apabila kondisi ekonomi masih seperti saat ini. Hal inilah yang seharusnya mendapat
perhatian yang mendasar dari pemerintah kabupaten ini.

Prinsip-prinsip penetapan anggaran dan PAD yang berbasis kinerja harus dilakukan untuk
menentukan target PAD daerah tersebut sehingga dengan diketahui pastinya kinerja ekonomi
maka penetapan target akan dengan mudah dicapai atau direalisasikan. Penetapan target yang
terlalu berani tanpa menggunakan alat-alat pengukuran yang dapat diandalkan hanya akan
membuat usaha-usaha yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah menjadi sia-sia belaka.
Penetapan target yang terlalu tinggi akan membenani semua aparat yang berhubungan dengan
perolehan dari PAD tersebut. Penetapan target juga harus memperhatikan perkembangan-
perkembangan yang terjadi sehingga realisasi yang terjadi tidak akan terlalu jauh.

Kesimpulan

Penerimaan lain-lain yang sah merupakan contributor terbesar bagi PAD dibandingkan
dengan sumber-sumber penerimaan lainnya walaupun menunjukkan nilai yang kurang stabil.
Pajak daerah dan retribusi daerah mengikuti di belakangnya dengan pengelolaan kekayaan
sebagai sumber yang paling berkontribusi bagi PAD. Hanya saja kontribusi Pajak dan
Retribusi daerah menunjukkan pola yang lebih stabil.

Laju pertumbuhan PAD menunjukkan angka yang positip. Sementara itu, laju pertumbuhan
sumber-sumber penerimaan menunjukkan perilaku yang berbeda. Penerimaan lain-lain yang
sah menunjukkan pertumbuhan yang menurun sementara penerimaan dari pengelolaan
kekayaan daerah menunjukkan peningkatann yang dramatis. Pajak dan Retribusi daerah
menunjukkan trend yang positip dan stabil.

DOF Kabupaten Humbang Hasundutan masih menunjukkan kepada angka yang masih sangat
kecil sehingga ketergantungan daerah tersebut pada pusat masih sangat tinggi. Dengan kata
lain, pembangunan ekonomi yang akan dilakukan di daerah tersebut akan masih sangat
tergantung pada dana-dana bantuan dari pemerintah propinsi dan Pusat.

Kemampuan PAD Kabupaten Humbang Hasundutan untuk memenuhi pembiayaan rutin juga
menunjukkan angka yang masih rendah. Dengan kata lain, PAD yang dihasilkan kabupaten
tersebut belum mampu untuk memenuhi belanja rutin daerah tersebut.

Pada 2 tahun terakhir efektifitas administrasi penerimaan PAD menunjukkan hal yang
mengkhawatirkan karena angkanya yang menurun menjadi cukup efektif karena nilainya
hanya berkisar antara 60 80% saja. Walaupun pada awalnya menunjukkan angka yang
sangat efektif.

Daftar Pustaka

10
Davey, K.J.,1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-praktek Internasional dan
Relevansinya bagi Dunia Ketiga, UI Press, Jakarta.

Devas, N., 1997. Indonesian What do we mean by Decentralization Public Administration


and Development. Vol. 17, 351 367.

FISIPOL-UGM, 1991, Pengukuran Kemampuan Keuangan Daerah Tingkat II Dalam


Rangka Otonomi Daerah Yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Badan Litbang Depdagri,
Jakarta.

Gaffar, A., 2000, Kebijaksanaan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap


Penyelenggaraan Pemerintahan di Masa Mendatang, Wacana, Edisi 5, Tahun II, 31 46.

Hoessein, B., 2000, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Sebagai Tanggap Terhadap
Apresiasi Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan Globalisasi, Usahawan, Tahun XXIX,
Nomor 04, 3 13.

Kaho, Yosef Riwu, 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia;
Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Penerbit Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajat, 1995. Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Prisma No. 4 : 3 17,


Jakarta.

Koswara, E., 2000. Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-


Undang Nomor 22 Tahun 1999: Suatu Telaahan dan Menyangkut Kebijakan, Pelaksanaan dan
Kompleksitasnya, CSIS XXIX No. 1, 51 52.

Lee, D.R., dan Snow, A., 1997, Political Incentive and Optimal Taxation, Public Finance
Review, Vol. 25, 491 508.

Mahi, R., 2000. Prospek Desentralisasi di Indonesia ditinjau dari Segi Pemerataan antar
Daerah dan Peningkatan Efisiensi, Analisis CSIS, Jakarta, Tahun XXIX, Nomor 1, 54 56.

Mardiasmo, 2000, Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah Untuk Menyongsong


Pelaksanaan Otonomi Daerah 2001, Makalah Seminar HIMMEP, Yogyakarta.

Radianto, Elia, 1997, Otonomi Keuangan Daerah Tingkat II, Suatu Studi di Maluku, Prisma,
No. 3, 39 50.

Rasyid, Ryaas M, 1999, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi Politik dan Manajemen
Pembangunan Otonomi Daerah, Bahan Semiloka Nasional, Otonomi Daerah dan
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Ditjen PUOD Depdagri, Jakarta.

Reksohadiprodjo, S., 1996, Keuangan Negara (Ekonomi Publik) Teori dan Praktek, Jurnal
Keuangan dan Akuntansi Publik, Volume I, Nomor 1, 74 78.

11
12

Anda mungkin juga menyukai