Anda di halaman 1dari 91

Volume V Nomor 2, Juli 2013

ISSN Cetak: 2089-970X


ISSN Online: 2337-5124
www.janesti.com
Jurnal Anestesiologi Indonesia merupakan berkala ilmiah sejak
Maret 2009, yang diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro bekerja sama dengan Ikatan Dokter Spesialis
Anestesiologi dan Reanimasi (IDSAI) kemudian berganti nama
menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan
Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN) wilayah Jawa Tengah.
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan 3 kali per
tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November

Jurnal ini diterbitkan sebagai wadah untuk berbagai artikel


ilmiah meliputi penelitian, tinjauan pustaka, laporan kasus dan
ulasan buku terbaru. Dengan kehadiran jurnal ini diharapkan
dapat memberikan masukan ilmu dan pengetahuan dalam
bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif bagi para
sejawat. Untuk meningkatkan kualitas, kami menghargai
adanya masukan dan saran untuk perbaikan berkala ilmiah ini.

Untuk berlangganan dapat mendaftar pada www.janesti.com


atau menghubungi :
Ibu Nik Sumarni (081326271093)

, KIC ISSN Cetak: 2089-970X

ISSN Online: 977-2337512

, Msi.Med
Sejawat terhormat,

Jurnal Anestesiologi Indonesia menyampaikan dukungan atas penyelenggaraan


Kongres Nasional Perdatin ke-10 di Semarang. Nomor ini memuat artikel penelitian
mengenai Pengaruh Pemberian Parecoxib dan Preventif multimodal analgesiaTerhadap
Kadar Il-6 dan Intensitas Nyeri Pascabedah , Efek Dexmedetomidine 0,2 ug/kgbb
Intravena terhadap Insiden Delirium saat Pulih Sadar dari Anestesi Umum pada Pasien
Pediatrik, Pengaruh pelarut HES 6% (200) pada Base Excess dan Strong Ion Difference
Pasien Seksio Sesaria, Pengaruh Klonidin terhadap Interval Q-Tc dan Skor Rate
Pressure Product pada Laringoskopi Intubasi, Pengaruh Induksi Propofol dan Ketamin
terhadap Kadar Procalcitonin Plasma.

Laporan Kasus pada nomor ini mengulas Anestesi Pada Total Anomalous Pulmonary
Venous Drainage, dan Penggunaan Opioid sebagai Balans Anestesi pada Craniotomi
Emergensi dengan Meningioma

Untuk menambah wawasan, nomor ini menyajikan Tinjauan pustaka mengenai


Pengawasan Curah Jantung.

Semoga bermanfaat

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Ucapan Terima Kasih:

Kepada Mitra Bestari


Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol. V No. 2 Tahun 2013:

Prof. dr.Soenarjo, SpAn, KMN, KAKV (Semarang)


Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)
Dr. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)
Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC, KAO (Malang)
Prof. Dr.dr. Made Wiryana, SpAn, KIC, KNA (Bali)
Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn. KIC, KMN (Bandung)
Dr. dr. Sudadi SpAn, KNA (Yogyakarta)
DAFTAR ISI
PENELITIAN Hal
Heriady Haeruddin, Muhammad Ramli Ahmad 61
Pengaruh Pemberian Parecoxib Terhadap Kadar Il-6 dan Intensitas Nyeri
Pascabedah Laparotomi Ginekologi
Effect Of Parecoxib to Interleukin-6 (Il-6) Serum Concentration and Post Operative Pain
Intensity Post Gyneacologic Laparotomy
Cahya Hendrawan, Syafri Kamsul Arif 71
Efek Dexmedetomidine 0,2 ug/kgbb Intravena terhadap Insiden Delirium saat Pulih
Sadar dari Anestesi Umum pada Pasien Pediatrik
The Effect of Dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB Intravenous to Incidence of Awakening

Djatun Hasyim, Ratno Samodro, Himawan Sasongko, Ery Leksana 83


Perbedaan Pengaruh HES 6% (200) Dalam NaCl 0,9% dan Dalam Larutan
Berimbang pada Base Excess dan Strong Ion Difference Pasien Seksio Sesaria
dengan Anestesi Spinal
Effect of HES 6% difference (200) in 0.9% NaCl solution and in balanced at Base Excess
and Strong Ion Difference cesarean section patients with Spinal Anesthesia
Fajrian Noor, Soni Hidayat, Witjaksono, Uripno Budiono 92
Pengaruh Premedikasi Klonidin terhadap Interval Q-Tc dan Skor Rate Pressure
Product pada Laringoskopi Intubasi
Effect of Clonidine Premedication on Q-Tc Interval and Score Rate Pressure Product at
Laryngoscopy Intubation
Aunun Rofiq, Johan Arifin, Witjaksono 101

Pengaruh Induksi Propofol dan Ketamin terhadap Kadar Procalcitonin Plasma


The Effect of Propofol and Ketamine Induction on Plasma Procalcitonin Level

Muhammad Hisyam, Muhammad Ramli, Burhanuddin Bahar 107


Pengaruh Preventif Multimodal Analgesia Terhadap Dinamika Kadar Il - 1,
Intensitas Nyeri Pada Pascabedah Laparotomi Ginekologi
The Effect Of Preventive Multimodal Analgesia On Il-1 Level And Pain Intensity In Post
Gynecologic Laparotomy
LAPORAN KASUS Hal
Bagus Damar Ririh Wiyatmoko, Chairil Gani Koto 116
Penatalaksanaan Anestesi Pada Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage
Anesthetic Management in Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage
Yutu Solihat
Penggunaan Opioid sebagai Balans Anestesi pada Craniotomi Emergensi dengan 124
Meningioma
Opioid In Balanced Anesthesia for Emergency Craniotomy with Meningioma
TINJAUAN PUSTAKA Hal
Mochamat Helmi 132
Pengawasan Curah Jantung
Cardiac output monitoring
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Pemberian Parecoxib Terhadap Kadar Il-6 dan Intensitas Nyeri
Pascabedah Laparotomi Ginekologi
Effect Of Parecoxib to Interleukin-6 (Il-6) Serum Concentration and Post
Operative Pain Intensity Post Gyneacologic Laparotomy
Heriady Haeruddin*, Muhammad Ramli Ahmad*
*Bagian ilmu anestesi, perawatan intensif dan manajemen nyeri FK Unhas, Makassar

ABSTRACT

Background: Post operative pain still an issue in the post operative management.
Approximately 80% patients undergo surgery has had acute post operative pain which
hipothetically mediated by interleukin 6 (IL-6): a proinflamation cytokine that has
important role in pain physiology.
Purpose: The aim of this research is to measure Interleukin 6 (IL-6) concentration and
post operative pain intensity in the use of combination Parecoxib 40 mg intravenous
with epidural analgesic bupivakain and fentanyl for patients undergo gyneacology
laparotomy.
Methods: This is an experimental research using double blind random technique.
Total sample 50, which divided into 2 groups consist of 25 subjects each which had
done gyneacologic laparotomy. One group had Parecoxib 40 mg before surgery and
12 hours after surgery, while the control group had placebo. Both of groups had
epidural analgesic using bupivacain 0,5% and fentanyl, and post operative analgesic
continuous with bupivacain 0,125% and fentanyl 2 ug/ml 5 ml/hour. The pain
asessment using NRS chart at 2, 12, and 24 hours post operative.
Result: IL-6 serum on both groups had elevation with the peak level on 24 hours post
operative. No significant difference in IL-6 serum elevation (p>0,05). No difference
also in assessment post operative pain scale using NRS chart in both groups.
Conclusion: Analgesic combination between Parecoxib 40 mg IV with epidural
analgesic bupivacain 0,125% cant lower IL-6 patient serum who undergo
gynecologic laparotomy.
Keyword: IL-6, Parecoxib, gynecologic Laparotomy, epidural analgesic

ABSTRAK

Latar Belakang: Nyeri pascabedah masih merupakan masalah dalam periode


pascabedah. Sekitar 80% pasien yang menjalani pembedahan mengalami nyeri akut
pascabedah. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin proinflamasi yang berperan
penting dalam fisiologi nyeri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengukur kadar IL-6 dan intensitas nyeri
pascabedah pada penggunaan kombinasi Parecoxib 40 mg intravena dengan
analgesia epidural bupivacain dan fentanyl pada pasien yang menjalani laparotomi
ginekologi.
Metode: Dilakukan penelitian eksperimental secara acak pada 50 pasien yang dibagi

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 61


Jurnal Anestesiologi Indonesia

menjadi dua kelompok, masing-masing 25 subyek yang menjalani bedah laparotomi


ginekologi. Sebelum dan 12 jam setelah pembedahan Kelompok Parecoxib
mendapatkan Parecoxib 40 mg sedangkan Kelompok Kontrol mendapatkan plasebo.
Pada kedua kelompok mendapatkan anestesi selama pembedahan dengan anestesi
epidural bupivacain 0,5% dan fentanyl dilanjutkan analgesia epidural pascabedah
kontinu dengan bupivacain 0,125% dan fentanyl 2 ug/ml 5 ml/jam. Penilaian nyeri
dengan NRS diam bergerak dan dilakukan pada 2 jam, 12 jam, dan 24 jam
pascabedah.
Hasil: Pada IL-6 serum pada kedua kelompok mengalami peningkatan dengan kadar
puncak pada pengukuran 24 jam pascabedah. Tidak ada perbedaan peningkatan
kadar IL-6 antara kedua kelompok (p>0,05). Demikian pula pada penilaian skala
nyeri dengan NRS diam dan bergerak, tidak ditemukan perbedaan antara kedua
kelompok.
Kesimpulan: Kombinasi analgesia parecoxib 40 mg iv dengan analgesia epidural
bupivacain 0,125% tidak dapat menurunkan kadar IL-6 serum pada pasien yang
menjalani laparotomi ginekologi.
Kata Kunci: IL-6, Parecoxib, laparotomi ginekologi, analgesia epidural

PENDAHULUAN

Beberapa dekade terakhir ini, dalam fisiologi nyeri. Respon inflamasi


perkembangan pemahaman fungsi sistem terhadap trauma pascabedah dapat
saraf pusat (SSP) dan mekanisme nyeri menginduksi respon stres neuroendokrin,
semakin maju, namun demikian yang pertama pada jaringan inflamasi
perkembangan pada pengelolaan nyeri perifer. Jalur yang kedua adalah sinyal
pascabedah belum optimal. Diperkirakan humoral yang berasal dari jaringan
nyeri tidak ditangani secara adekuat pada inflamasi perifer menyebabkan produksi
setengah dari semua prosedur sitokin seperti Interleukin-1 (IL-), IL-
pembedahan. Sekitar 80% pasien yang 2, IL-6, dan tumor necrosing factor
menjalani pembedahan mengalami nyeri (TNF) yang akan menginduksi
akut pascabedah.1 penyebaran dan peningkatan
siklooksigenase (COX)-2 dan sintesis
Pembedahan histerektomi merupakan prostaglandin yang berada di SSP. Hal
salah satu jenis pembedahan ginekologi ini tidak dapat dihambat dengan efektif
yang paling banyak dilakukan. Nyeri oleh anestesi regional, namun pemberian
kronik pasca histerektomi merupakan COX-2 inhibitor yang bekerja sentral
masalah klinis yang besar, 5-30% persen akan menekan produksi ini.
pasien yang menjalani histerektomi
masih merasakan nyeri setelah 1 tahun Parecoxib dosis berulang dapat
pascabedah.2 menurunkan nyeri bahu pasca
laparaskopi ginekologik sedangkan
Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin parecoxib dosis tunggal tidak dapat
proinflamasi yang berperan penting menurunkan angka kejadian nyeri bahu.3

62 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Injeksi parecoxib sama efektifnya Kelompok Kontrol mendapatkan


dengan ketorolak dalam menurunkan plasebo di kamar operasi. Kemudian
nyeri pascabedah pada operasi dilakukan pemasangan kateter epidural
laparatomi ginekologi. Penggunaan di interspace T12-L1. Setelah test dose
parecoxib 40 mg iv pada histerektomi epidural dengan 3 ml lidokain 20 mg ml-
1
total abdominal direkomendasikan dengan epinefrin 5 ug ml-1 , diberikan
sebagai sparing morfin.4 Analgesia bupivacain 0,5% dengan ajuvan fentanyl
epidural preemptif tidak dapat menekan 2 ug ml-1 melalui kateter epidural
sensitisasi sentral melalui jalur dengan volume 1-2 ml per dermatom
5
humoral. yang akan diblok. Analgesia epidural
pascabedah dijalankan secara kontinu
Penelitian ini bertujuan mengukur kadar
dengan kecepatan 5 ml jam-1 bupivacain
IL-6 dan intensitas nyeri pascabedah
0,125% dan fentanyl 2 ug ml-1.
pada penggunaan kombinasi Parecoxib
Pengukuran NRS dilakukan pada 2 jam,
40 mg intravena dengan analgesia
12 jam dan 24 jam pascabedah. Dua
epidural Bupivacain 0,125% dan
belas jam pasca injeksi Parecoxib awal,
fentanyl pada pasien yang menjalani
Parecoxib 40 mg dan plasebo diberikan
laparotomi ginekologi.
masing-masing pada Kelompok
METODE Parecoxib dan Kontrol.

Penelitian ini merupakan uji klinis acak Sampel darah diambil sebelum
tersamar ganda, melibatkan 50 pasien pembedahan yaitu sebelum pemberian
yang menjalani laparotomi ginekologi. Parecoxib dan Plasebo pada masing-
Kriteria inklusi yaitu pasien ASA I dan masing Kelompok, dan pada 2 jam
II, usia 18-55 tahun, tinggi badan diatas pasca bedah dan 24 jam pascabedah
150 cm, BMI 18,5-25 kg cm -2, akan untuk mengukur kadar IL-6. Pengukuran
menjalani pembedahan elektif kadar IL-6 menggunakan serum dengan
laparotomi ginekologi, tidak menderita Human IL-6 Immunoassay Quantikine
nyeri akut maupun kronik dan setuju HS (R & D System) dengan metode
ikut serta dalam penelitian. Penelitian Enzym Linked Immunosorbent Assay
dilakukan pada Desember 2012 - April dan pembacaan melalui alat ELISA
2012. Reader Organon 680 (Biorad) dengan
panjang gelombang 640 atau 690 nm.
Sampel penelitian yang dibagi dalam
dua kelompok (n=25) secara random. Data yang diperoleh diolah dan
Malam sebelum operasi Kedua ditampilkan. Analisis statistik
Kelompok diberikan premedikasi menggunakan piranti statistik elektronik
Alprazolam 0,5 mg per oral. Kelompok yang sesuai. Data diuji dengan tingkat
Parecoxib mendapatkan injeksi kepercayaan 95% dengan kemaknaan
Parecoxib 40 mg intravena, sedangkan p<0,05.

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 63


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik sampel

Variabel Kelompok Parecoxib Kelompok Kontrol p


Penelitian (n=25) (n=25)

Min-Maks(Med) MeanSD Min-Maks(Med) MeanSD


Umur 35-54(43,0)) 44,25,2 36-54(44,0) 44,85,6 0,733
IMT 20-23(22,0) 21,70,9 20-23(21,0) 21,40,9 0,184
Durasi 60-130(100,0) 101,615,5 60-130(110,0) 106,618,4 0,251
Kebutuhan 80-135(120,0) 116,219,7 90-135(120,0) 117,817,2 0,846
Anestesi Lokal

*Uji Mann Whitney-U, bermakna jika p <0,05.

Tabel 2. Sebaran Diagnosis dan Tindakan Menurut Kelompok


Kelompok p
Diagnosis Parecoxib Kontrol
n=25 n=25
f (%) f (%)
Tumor Ovarium 8 (32,0%) 11(44,0%) 0,382
Tumor Uterus 17 (68,0%) 14 (56,0%)
Tindakan
Histerektomi 20(80,0%) 21(84,0%) 0,382
Miomektomi 3 (12,0%) 3(12,0%)
Salfingooforektomi 2 (8,0%) 1 (4,0%)

*Uji Chi-Square bermakna bila p<0,05

64 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

HASIL 112,5%).

Karakteristik sampel ditampilkan pada Pada Kelompok Kontrol didapatkan


tabel 1 dan 2. Hasil uji homogenitas perbedaan signifikan rerata kadar IL-6
tidak didapatkan adanya perbedaan antara waktu pengukuran 2 jam
bermakna antara kedua Kelompok pascabedah dengan waktu awal
sehingga dikatakan keduanya adalah (p<0,001). Kadar IL-6 4 jam meningkat
homogen. dari 5,02 dengan simpang baku 4,69
menjadi 14,17 dengan simpang baku
Kadar IL-6
6,31, (peningkatan 182,3%). Terdapat
Untuk mengamati perbandingan kadar pula perbedaan signifikan rerata kadar
Il-6 sebagai respon inflamasi, dilakukan IL-6 antara waktu pengukuran 24 jam
pengukuran kadar IL-6 secara serial dengan waktu awal (p<0,001).
yaitu pada saat prabedah, 2 jam, dan 24 Kadar IL-6 24 jam meningkat dari 5,02
jam pascabedah. Hasil analisis dari menjadi 14,61 (peningkatan 191,0%).
pengukuran pada kedua kelompok
Intensitas Nyeri
dapat dilihat pada tabel 3 dan grafik 1.
Intensitas nyeri diamati dengan
Berdasarkan Tabel 3 dan Grafik 1
menggunakan NRS saat istirahat dan
tampak bahwa tidak ada perbedaan
bergerak pada 2 jam, 12 jam, dan 24 jam
signifikan kadar IL-6 antara kedua
pascabedah, selama rentang waktu 24
kelompok. Kedua kelompok
jam pascabedah apabila NRS>4 akan
menunjukkan adanya peningkatan kadar
diberikan analgetik tambahan.
IL-6 pada 2 jam dan 24 jam
pascabedah, dengan puncak kadar IL-6 Tabel 7. menujukkan tidak ada
terjadi pada 24 jam pascabedah. perbedaan signifikan antara kedua
Kelompok dalam hal penggunaan
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada
anestetik lokal pascabedah dalam 24 jam
kelompok Parecoxib terdapat
pengamatan.
perbedaan signifikan dengan rerata
kadar IL-6 antara waktu pengukuran 2 Tabel 8. menunjukkan perbandingan
Jam dengan waktu awal dari 7,78 proporsi dalam mendapatkan rescue
dengan simpang baku 7,25 menjadi analgetik antara 2 kelompok tidak
14,78 dengan simpang baku 5,89 pada 2 bermakna secara statistik.
jam pascabedah (p<0,01). Kadar IL-6 4
PEMBAHASAN
Jam meningkat 90% dari nilai awal.
Terdapat perbedaan signifikan rerata Pada penelitian ini didapatkan bahwa
kadar IL-6 antara waktu pengukuran 24 kadar IL-6 awal tidak berbeda
Jam dengan waktu Awal (p<0,001). bermakna. Ini Disebabkan karena selain
Kadar IL-6 24 Jam meningkat dari berhubungan dengan inflamasi akibat
rerata 7,78 menjadi 16,53 (peningkatan trauma atau pembedahan, beberapa

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 65


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Perbandingan Kadar IL-6 Awal menurut Kelompok

Kelompok
N MeanSD Min-Mak(Med) P
Kadar IL-6 Awal Parecoxib 25 7,787,25 1,25-19,79 0,282
(3,21)
Kontrol 25 5,024,69 0,84-17,81
(2,87)
Kadar IL-6 2 Jam Parecoxib 25 14,785,89 1,68-20,08 (17,21) 0,764
Pascabedah
Kontrol 25 14,176,31 1,24-20,06 (16,41)

Kadar IL-6 24 Jam Parecoxib 25 16,534,24 6,25-20,48 (18,15) 0,421

Kontrol 25 14,616,21 1,41-17,54 (17,54)

* Uji Mann Whitney-U, bermakna bila p<0,05

Grafik 1. Dinamika kadar IL-6 serum

66 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Perbandingan Kadar IL-6 Awal dengan 4 dan 24 Jam menurut Kelompok

Kelompok n MeanSD Min-Mak (Med) p


Parecoxib Kadar IL-6 Awal 25 7,787,25 1,25-19,79(3,21) 0,002
Kadar IL-6 2 Jam 25 14,785,89 1,68-20,48(17,21)
Pascabedah
Kadar IL-6 Awal 25 7,787,25 1,25-19,79(3,21) 0,000
Kadar IL-6 24 Jam 25 16,534,24 6,25-20,48(18,15)
Kontrol Kadar IL-6 Awal 25 5,024,69 0,84-17,81(2,87) 0,000
Kadar IL-6 2 Jam 25 14,176,31 1,24-20,06(16,41)
Pascabedah
Kadar IL-6 Awal 25 5,024,69 0,84-17,81(2,87) 0,000
Kadar IL-6 24 Jam 25 14,616,21 1,41-20,50(17,54)

*Uji Wilcoxon Signed Rank, bermakna bila p<0,05

Tabel 5 Perbandingan NRS Istirahat pada 2 jam pascabedah, 12 jam pascabedah,


dan 24 jam pascabedah

Kelompok N MeanSD Min-Mak(Med) p


NRSI 2 Jam Pascabedah Parecoxib 25 0,00,0 0-0(0,0) 1,000
Kontrol 25 0,00,0
NRSI 12 Jam Parecoxib 25 2,00,3 0-0(0,0) 1,000
Pascabedah
Kontrol 25 2,00,0
NRSI 24 Jam Parecoxib 25 1,90,3 1-3(2,0) 1,000
Pascabedah
Kontrol 25 1,90,3 2-2(2,0)

*uji Mann-Whitney-U, bermakna bila p<0,05

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 67


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 6.Perbandingan NRS Bergerak pada 2 jam pascabedah, 12 jam Pascabedah,


dan 24 jam pascabedah
Kelompok N MeanSD Min-Mak(Med) p

NRSB 2 Jam Parecoxib 25 0,00,0 0-0(0,0) 1,000


Pascabedah
Kontrol 25 0,00,0 0-0(0,0)
NRSB 12 Jam Parecoxib 25 2,90,4 1-3(3.0) 0,967
Pascabedah
Kontrol 25 2,90,3 2-3(3,0)
NRSB 24 Jam Parecoxib 25 2,10,4 1-3(2,0) 0,106
Pascabedah
Kontrol 25 1,90,3 1-2( 2,0)

*uji Mann-Whitney-U, bermakna bila p<0,05

Tabel 7. Perbandingan Kebutuhan Anestetik Lokal Pascabedah


Variabel Kelompok Parecoxib Kelompok Kontrol p
Penelitian (n=25) (n=25)

Min-Max(Med) MeanSD Min-Max(Med) MeanSD


Kebutuhan 120-145 (130,0) 132,088,04 100-145(130,0) 128,5611,12 0,846*
Analgetik

*uji Mann-Whitney-U, bermakna bila p<0,05

Tabel 8. Proporsi Mendapatkan Analgetik Rescue Antara Dua Kelompok

Kelompok Parecoxib(n=25) Kelompok Kontrol(n=25)


P
Dapat Rescue Tidak Dapat Dapat Rescue Tidak Dapat
N % n % N % n %
2 8 23 82 7 28 18 72 0,068*

*uji Mann Whitney U Test, p<0,05 dinyatakan signifikan.

68 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

peneliti mengaitkan kenaikan kadar IL- preemtif terbukti efektif pada


6 dengan tumor yaitu tumor ovarium6 pembedahan yang hanya melibatkan
dan tumor payudara.7 Penelitian- nyeri somatik, namun tidak efektif pada
penelitian sebelumnya menunjukkan pembedahan yang melibatkan nyeri
bahwa setelah terjadi trauma, viseral. Organ viseral dipersarafi oleh
konsentrasi IL-6 dapat dideteksi dalam saraf yang lebih kompleks dan memiliki
60 menit dengan puncak 4-6 jam. keunikan tersendiri.11,12,13
Setelah 24-48 jam pascatrauma, kadar
SIMPULAN
IL-6 berangsur-angsur menurun namun
masih dapat terdeteksi hingga 10 hari Kombinasi Parecoxib 40 mg IV dan
pascatrauma.8,9 analgesia epidural bupivacain dengan
fentanyl tidak dapat menurunkan kadar
Kadar IL-6 pada penelitian ini
IL-6 serum tetapi dapat menurunkan
menunjukkan peningkatan pada
intensitas nyeri pascabedah laparotomi
pengukuran 2 jam dan 24 jam
ginekologi. Perlu adanya penelitian
pascabedah. Uji statistik menunjukkan
lanjutan dengan menggunakan
bahwa antara kedua kelompok tersebut
kombinasi tersebut dengan
tidak bermakna. Pola peningkatan IL-6
membandingkan kadar IL-6 di cairan
sejalan dengan Beilin et al.10 pada
serebrospinalis, dan diperlukan
pasien yang menjalani bedah abdomen
penelitian dengan menggunakan obat
bawah dengan menggunakan teknik
analgetik lain yang dikombinasikan
analgesia epidural preemtif yang
dengan analgesia epidural.
dilanjutkan dengan PCEA (Patient
Controlled Epidural Analgesia)
mendapatkan kenaikan kadar IL-6 tetap DAFTAR PUSTAKA
terjadi namun lebih rendah jika 1. Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS, Gan TJ.
dibandingkan dengan kelompok PCA Postoperatif pain experience: result from a
national survey suggest postoperatif
dengan morfin dan kelompok yang continues to be undermanage. Anesth Analg
mendapatkan rejimen opiat intermiten. 2003;97: 534-40.

2. Brandsborg B, Dueholm M, Jensen TS.


Penelitian sebelumnya oleh Xu et al. Nikolajsen L. Mechanosensitivity before and
mendapatkan bahwa pemberian after hysterecyomy: a prospective study on
Parecoxib dapat menurunkan kadar IL- the prediction of acute and chronic
postoperative pain. BJA 2011;9:1-8.
6 pada 2 jam pasca bedah oftalmologi
dengan anestesi umum. Hal ini dapat 3. Zhang H, Shu H,Yang L, Cao M, Zhang J,
Liu K,et al. Multiple, but not single, dose of
dijelaskan bahwa luas kerusakan parecoxib reduces shoulder pain after
jaringan dan terlibatnya nyeri somatik gynelcoloic laparascopy. Int J Med Sci
2012;9(9):757-65Samad TA, Sapirstein AA,
dan viseral pada penelitian ini berbeda Woolf CJ. Prostanoid and pain : unraveling
dengan penelitian oleh Xu et al. Aida et mechanism and revealing therapetic targets.
Trens Mol Med 2012;8:390-96.
al. Mendapatkan bahwa analgesia

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 69


Jurnal Anestesiologi Indonesia

4. Ng A, Smith G, Davidson AC. Analgesic 9. Desborough.The stress response to trauma


effects of parecoxib following total and surgery. Br J Anaesth 2000;85:109-17.
abdominal hysterectomi.Br J Anaesth
2003;90(6):746-9. 10. Beilin B, Bessler H, Mayburd E, Smirnov G,
Dekel A, Yerdeni I, Shavit Y. Effect of
5. Ahmad MR. Peran analgesia epidural preemtive analgesia on pain and cytokine
preemtif terhadap intensitas nyeri, respon production in postoperative period. Anesth
hemodinamik serta dinamika kadar sitokin Analg 2003;98:151-55.
proinflamasi dan antiinflamasi pada pasca
bedah ekstremitas bawah. Disertasi 11. Xu LL, Shen JJ, Zhou HY. Effects of
Doktoral, Universitas Hasanuddin. parecoxib sodium preemtive analgesia on
Makassar. 2012 perioperative cytokine responses and stress
responses in patients undergoing
6. Coward J, Kulbe H, Chakravarty P,Leader opthalmology surgery. Chin J Med Gen
D, Vassileva V, Leinster A, et al. Interleukin 2010;90:1893-96.
6 as a therapeutic target in human ovarian
cancer. Clin Cancer Res 2011;17(18):6083- 12. Aida S, Baba H, Yamakura T, Taga K,
96. Fukuda S , Shimoji K. The effectiveness of
preemtive analgesia variies according to the
7. Ravishankaran P, Karunamthi. Clinical type of surgery: a randomized, double-blind
significance of perioperartive serum IL-6 study. Anesth Analg 1999;89:711-16.
and CRP level in breast cancer
patient.World J Surg Onc 2011;9:18. 13. Gilliland HE,Armstrong MA, Carabine U,Mc
Murray TJ. The choice of anesthetic
8. Jun-hua Z. Yu-guang H. Immune system: a maintenance technique influences the
new look at pain. Chin Med J 2006;119:930- antiinflammatory cytokine response to
38. abdominal surgery. Anesth Analg
1997;85:1394-8.

70 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Efek Dexmedetomidine 0,2 ug/kgbb Intravena terhadap Insiden Delirium
saat Pulih Sadar dari Anestesi Umum pada Pasien Pediatrik

The Effect of Dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB Intravenous to Incidence


of Awakening Delirium from General Anesthesia in Pediatric Patients

Cahya Hendrawan*, Syafri Kamsul Arif*


*Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

ABSTRACT
Background : Dexmedetomidine gives sedation effect, analgesic and anxiolitik after
intravenous administration. Isoflurane and Sevoflurane associated with delirium effect
when awakening from general anesthesia. This research using placebo as control, we
evaluate delirium effect from single dose dexmedetomidine when awakening from
general anesthesia with Isoflurane as inhalation agent in pediatric patients whom
undergo elective operation.
Method: This is a double blind research. There are 46 children (age 3-10 years old)
selected randomly had dexmedetomidin 0,2 ug/kg weight or placebo before the surgery
ended. One hour after surgery, we evaluate delirium score. We noted ekstubation time,
awakening, and side effect from dexmedetomidin. We also asessed post operative pain
using objective pain scale (OPS).
Result: The delirium effect when awakening from general anesthesia in the group
given dexmedetomidine are better than the placebo group (P<0,05). Post operative
pain are similar in both groups. Ekstubation time and awakening time in
Dexmedetomidin group are longer than placebo group, but not qualified statistically.
No side effect (hypotension and bradicardia) in both groups.
Conclusion: We conclude that dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB intravenous proven to
minimize delirium incidens when awakening from general anesthesia with isoflurane
with childen undergo elective surgery.
Keyword: dexmedetomidine, delirium, isofluran, anesthesia

ABSTRAK
Latar Belakang: Dexmedetomidine memberikan efek sedasi, analgesia, dan anxiolitik
setelah pemberian intravena. Isofluran dan sevofluran dihubungkan dengan angka
kejadian delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik. Pada
penelitian dengan menggunakan placebo sebagai kontrol, kami mengevaluasi efek dari
dosis tunggal dexmedetomidine pada delirium saat pulih sadar dari anestesi umum

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 71


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada pasien pediatrik yang menjalani pembedahan elektif menggunakan anestesi


umum dengan isofluran.
Metode: Pada penelitian acak tersamar ganda ini , 46 anak (usia 3-10 tahun) dipilih
secara acak mendapatkan dexmedetomidin 0,2ug/kgBB atau placebo pada akhir
pembedahan. Semua pasien mendapatkan obat anestesi yang standar. Setelah
pembedahan, nilai delirium saat pulih sadar dari anestesi umum diukur sampai 1 jam
pascabedah. Waktu ekstubasi, waktu pulih sadar, dan efek samping dari
dexmedetomidine dicatat. Setelah pembedahan nyeri pasien diukur dengan
menggunakan objective pain scale (OPS) .
Hasil: Nilai delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada kelompok
dexmedetomidine lebih baik daripada kelompok placebo (P<0,05). Nilai nyeri sama
pada kedua kelompok (P>0,05). Waktu ekstubasi dan waktu pulih sadar lebih panjang
pada kelompok dexmedetomidin tetapi tidak bermakna secara statistik (P>0,05). Tidak
ada efek samping (hipotensi dan bradikardi) pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Kami menyimpulkan bahwa Dexmedetomidine 0,2ug/kgBB intravena
dapat mengurangi insiden delirium saat pulih sadar dari anestesi umum dengan
isofluran pada anak yang menjalani pembedahan elektif.
Kata kunci: dexmedetomidine, delirium, isofluran, anesthesia

PENDAHULUAN menjalani prosedur pembedahan dengan


Kejadian delirium saat pulih sadar pada anestesi umum dengan gas inhalasi
anak merupakan suatu fenomena bersifat isofluran.
akut yang dapat berhenti sendiri (5-15
menit) namun dapat bertambah parah Metode
apabila tidak ditangani dengan segera Jenis penelitian ini merupakan penelitian
dan dapat mengakibatkan trauma yang acak tersamar ganda. Pada penelitian ini
berarti pada anak.1,2 melibatkan 46 pasien anak. Kriteria
Dexmedetomidine merupakan alpha2 inklusi meliputi: pasien status fisik ASA
reseptor agonis telah banyak dikaitkan I-II, usia 3-10 tahun, akan menjalani
dapat menurunkan emergence delirium pembedahan elektif dengan tehnik
dengan pemberian dosis tunggal anestesi umum, setuju ikut serta dalam
intravena.3 penelitian, belum pernah menjalani
Penelitian ini dilakukan untuk proses pembedahan sebelumnya, dan ada
membuktikan hipotesis bahwa persetujuan dari dokter primer yang
pemberian dexmedetomidine 0,2 ug/ merawatnya. Kriteria ekslusi meliputi
kgBB intravena dosis tunggal sebelum riwayat alergi terhadap obat yang
ekstubasi dapat menurunkan insiden digunakan, menderita retardasi mental,
delirium saat pulih sadar dari anestesi menderita gangguan pertumbuhan,
umum pada pasien pediatrik yang menderita penyakit neurologis dan atau

72 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

psikiatrik, adanya gangguan hati dan sampai 1 jam.


ginjal. Skor delirium pada saat pulih sadar
Ruang lingkup keilmuan: Anestesiologi dinilai dengan menggunakan skor yang
dan Terapi Intensif Rumah Sakit diperkenalkan oleh Watcha dkk. Dan
Wahidin Sudirohusodo Makassar. skor nyeri obyektif diukur berdasarkan
Ruang lingkup waktu pada bulan Hanallah dkk untuk menilai nyeri. 4
Januari sampai Februari 2013. Populasi Anak dengan skor 3 atau 4 dinyatakan
terjangkau semua pasien yang berumur mempunyai episode delirium pada saat
antara 3-10 tahun di Rumah Sakit pulih sadar dari anestesi umum. Untuk
Wahidin Sudirohusodo Makassar. skor nyeri obyektif, setiap skor dari
Pasien dibawa ke kamar operasi dan masing-masing item kemudian
diinduksi dengan sevofluran, jalur dijumlahkan untuk memperoleh nilai
intravena dipasang, pasien diberikan total dari OPS (Objectif pain score).
premedikasi dengan Sulfat atropin (SA) Skor OPS < 6 memberi kesan tidak
0,1% sebanyak 0,01 mg/kgBB adanya nyeri dan tidak memerlukan
intravena, fentanyl 1 g/kgBB kemudian pemberian tambahan analgetik,
jalan napas diamankan dengan intubasi sementara skor 6 mengindikasikan
endotrakeal dengan atrakurium 0,5 mg/ pasien dalam keadaan nyeri dan sangat
kgBB intravena sebagai pelumpuh otot. penting untuk memberikan analgetik
Pemeliharaan anestesi dengan isofluran tambahan. Efek samping berupa
1-1,5 vol% dan fentanyl 0,5 ug/kgBB/30 hipotensi dan bradikardi serta waktu
menit, dan diberikan paracetamol 10 ekstubasi dan buka mata dicatat.
mg/kgBB intravena. Pada saat operasi Data yang diperoleh diolah dan hasilnya
selesai, kelompok perlakuan diberikan ditampilkan dalam bentuk narasi, tabel
dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB atau grafik. Analisis statistik
intravena dosis tunggal yang dilarutkan menggunakan program SPSS 17 for
dengan NaCl 0,9% menjadi 5 cc dan windows. Data diuji dengan uji T dan uji
diberikan dalam waktu 5 menit dan Mann Whitney. Tingkat kepercayaan
kelompok kontrol diberikan Nacl 0,9 % 95% dan dianggap bermakna bila p <
(placebo) intravena dengan volume yang 0,05.
sama dan diberikan dalam waktu 5
menit, pasien diekstubasi dan ditransfer HASIL
ke Post Anesthesia Care Unit (PACU). Semua pasien digolongkan dengan status
Di PACU dilakukan pencatatan denyut gizi : 1. Status gizi buruk dengan IMT
jantung, Mean arterial presure (MAP), (indeks masa tubuh) < 70%, 2. Status
SpO2, dan skor delirium saat pasien gizi kurang dengan IMT 70%-90%, 3.
pulih sadar post operasi (PO). Status gizi cukup dengan IMT 90%-
Pencatatan secara serial yaitu: P5 (PO + 110%, 4. Overweight dengan IMT 110%
5 menit), P10 (P0+10 menit), P15 (PO + -120%, dan 5. Obesitas dengan IMT
15 menit) kemudian tiap 15 menit >120%. Sementara untuk jenis

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 73


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pembedahan digolongkan menjadi: 1. skor ini terdapat 5 kategori yaitu tekanan


Operasi THT, 2. Operasi mata, 3. darah, menangis, pergerakan, agitasi, dan
Operasi orthopedi, 4. Operasi Urologi, verbal akan nyeri. Dimana masing-
dan 5. Operasi bedah umum masing kategori mempunyai 3 skala
Semua pasien yang memenuhi kriteria penilaian mulai dari 0 sampai 2. Masing
inklusi dilakukan prosedur pembedahan masing kategori dinilai dan dijumlahkan
dengan general anestesi dengan gas untuk mendapatkan skor akhir dan dapat
anestesi isofluran. Tidak ada perbedaan diinterpretasi. Interpretasi dari skor ini
yang bermakna antara kedua kelompok terdiri dar 2 parameter yaitu kurang dari
penelitian dilihat dari jenis karakteristik 6 yang berarti pasien dinilai tidak nyeri
sampel (Tabel. 3). Didapatkan waktu dan lebih atau sama dengan 6 dikatakan
ekstubasi dan buka mata lebih lama nyeri dan dibutuhkan suatu analgetik
pada kelompok Dexmedetomidine tambahan. Pada penelitian ini semua
(Tabel. 4) namun tidak bermakna secara sampel baik pada kelompok
statistik (p >0,05). Kestabilan Dexmedetomidine maupun pada
hemodinamik pada kedua kelompok kelompok Saline mempunyai skor nyeri
perlakuan tetap terjaga dan tanda vital obyektif < 6 dan tidak bermakna secara
tetap terpelihara antara 20% dari tanda statistik.5,6,7
vital basal baik saat pemberian obat
maupun selama observasi di PACU. PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan pasien Penelitian ini memperlihatkan bahwa
yang mengalami episode delirium 1 pemberian Dexmedetomidine 0,2 ug/
orang pada Kelompok kgBB intravena dosis tunggal sebelum
Dexmedetomidine (D) (4,3%) dan 11 ekstubasi mampu menurunkan insiden
orang pada Kelompok Salin (S) (47%) dari delirium saat pulih sadar dari
dan hanya 1 orang yang mendapatkan anestesi umum pada pasien pediatrik
resque midazolam pada Kelompok S Delirium saat pulih sadar didefinisikan
karena skor delirium 4. Dan didapatkan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
perbedaan yang bermakna (P<0,05) disosiasi dari kesadaran dimana anak
pada skor pulih sadar dari anestesi menjadi tidak bisa ditenangkan, cengeng,
umum (ED score) pada setiap waktu tidak kooperatif, menangis.2,8
observasi. Nilai skor OPS sama pada Banyak faktor yang diduga dapat
kedua kelompok (p>0,05). mempengaruhi timbulnya delirium saat
Untuk menilai nyeri pascabedah pada pulih sadar dari anestesi umum pada
sampel kelompok penelitian, peneliti pasien pediatrik antara lain kehadiran
menggunakan skor yang diciptakan oleh orang tua pada saat pemulihan. Weldon
Hannalah dkk yang banyak digunakan dkk memperlihatkan bahwa insiden
pada berbagai macam penelitian delirium pada saat pulih sadar dari
termasuk juga pada penelitian yang anestesi umum menurun dengan
berhubungan dengan delirium. Pada kehadiran orang tua di PACU. Pada

74 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

penelitian ini kami tidak menghadirkan intravena intraoperasi yang diharapkan


orang tua pasien di PACU untuk dapat menurunkan risiko faktor nyeri.
menyeragamkan perlakuan pada kedua Selain paracetamol opioid intravena 0,5-
kelompok penelitian.5,9 1 ug/kgBB tiap 30 menit intravena juga
Jenis operasi juga merupakan faktor diberikan untuk menghindari nyeri
yang diduga dapat menjadi faktor risiko intraoperatif. Dari penelitian ini faktor
munculnya delirium saat pulih sadar dari nyeri dapat ditekan dimana skor nyeri
anestesi umum pada pasien pediatrik. obyektif pada semua sampel penelitian <
Voepel lewis dkk (2003) melakukan 6 dan tidak bermakna secara statistik.4
suatu penelitian prospektif yang Pemeliharaan anestesi dengan agen
memperlihatkan bahwa operasi inhalasi isofluran dinyatakan mempunyai
otolaryngologic merupakan faktor risiko pengaruh yang sama dalam
independen terhadap kejadian delirium menimbulkan delirium pada saat pulih
saat pulih sadar dari anestesi umum. sadar dari anestesi umum pada pasien
Pada penelitian ini, peneliti tidak dapat pediatrik dengan gas inhalasi sevofluran.
membuat sampel penelitian mempunyai Dimana isofluran dapat meningkatkan
jenis operasi yang sama karena kadar norepinefrin dalam tubuh yang
kurangnya kasus operasi merupakan salah satu pemicu terjadinya
otolaryngologic pada pasien pediatrik di delirium.11
rumah sakit peneliti. Namun dari data Banyak instrumen atau alat bantu yang
penelitian sebaran jenis operasi pada digunakan untuk menilai delirium saat
kedua kelompok penelitian dapat pulih sadar dari anestesi umum pada
dikatakan sama dan tidak bermakna pasien pediatrik antara lain Pediatric
secara statistik. 10 anesthesia emergence delirium scale
Nyeri juga dikatakan sebagai faktor (PAEDS), skor menurut Watcha dkk,
risiko munculnya delirium saat pulih dan skor menurut Cravero dkk. Samira
sadar dari anestesi umum. Beberapa dkk (2010) yang meneliti tentang
penelitian telah dilakukan untuk perbandingan skala delirium pada saat
mempelajari efek kausal dari nyeri dan pulih sadar dari anestesi umum dengan
delirium saat pulih sadar dan untuk menggunakan 3 skala yang berbeda yaitu
menurunkan insiden dari delirium saat skala PAEDS, skala menurut Watcha,
pulih sadar dari anestesi umum dengan dan skala menurut Cravero, mereka
jalan menangani nyeri dengan berbagai menyimpulkan bahwa ketiga skala yang
modalitas yang berbeda seperti digunakan masing-masing mempunyai
pemberian NSAID dan paracetamol korelasi yang saling berhubungan dan
seperti yang dilakukan oleh Gueller dkk. mempunyai keterbatasan masing-masing
Pada penelitian ini Gueller dkk dalam menilai delirium saat pulih sadar
memberikan analgetik paracetamol. dari anestesi umum. Namun skala
Pada penelitian ini peneliti juga menurut Watcha dkk merupakan skala
memberikan paracetamol 10 mg/kgBB yang paling sederhana yang dapat

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 75


Jurnal Anestesiologi Indonesia

digunakan dalam praktik klinis dan Dexmedetomidine juga mempunyai efek


mempunyai sensitivitas dan spesivitas sentral berupa aktivasi pusat vasomotor
yang lebih tinggi dibandingkan dengan medula yang akan menurunkan
skala yang lain. Oleh karena inilah katekolamin sehingga akan dapat
peneliti memilih skala menurut Watcha mencegah peningkatan katekolamin
karena dianggap paling sederhana dan akibat gas anestesi inhalasi pembedahan,
mudah diterapkan di rumah sakit kami. dan proses ekstubasi. Dexmedetomidine
12
mempunyai efek defosforilasi ion chanel
Dexmedetomidine, seperti halnya 2- yang menurunkan aktivitas neuronal
adrenoreseptor agonis yang lain yang akan menyebabkan sedasi dan
mempunyai efek sedasi, anxiolitik, dan anxiolitik, juga dapat menstimulasi
analgetik. Efek sedasi didapatkan oleh parasimpatis dan inhibisi simpatis di
2-adrenoreseptor agonis tidak batang otak sehingga menyebabkan
bergantung secara primer terhadap sedasi dan anxiolitik. Efek dari
aktivasi dari -aminobutyric acid Dexmedetomidine inilah yang
(GABA) reseptor, seperti yang merupakan salah satu penyebab waktu
dihasilkan oleh sedatif lainnya seperti ekstubasi dan waktu pulih sadar dari
benzodiazepines dan propofol. Tempat anestesi umum pada Kelompok
aksi primer dari 2-adrenoreseptor Perlakuan menjadi lebih lama namun
agonis ini adalah pada locus cereleous tidak bermakna secara statistik yaitu
bukan pada corteks cerebral. Hal inilah waktu ekstubasi (p 0,559) dan waktu
yang menjadi alasan kenapa obat pulih sadar (p 0,062). Hal ini sesuai
golongan ini menghasilkan jenis sedasi dengan penelitian yang dilakukan oleh
yang berbeda dibandingkan Gueller dan kawan kawan (2005).
benzodiazepines dan propofol.13 Namun berbeda dengan yang ditemukan
Dari hasil penelitian terhadap 2 oleh Ibacache ME (2004) dimana dia
kelompok sampel penelitian ditemukan melakukan penelitian dengan
adanya perbedaan yang signifikan antara menggunakan Dexmedetomidine 0,3 ug/
Kelompok Perlakuan dan Kelompok kgBB dosis tunggal sesaat setelah
Plasebo (P<0,05). Hal ini membuktikan induksi dan tidak mendapatkan adanya
bahwa Dexmedetomidine dosis 0,2 ug/ pemanjangan waktu ekstubasi maupun
kgBB dapat menurunkan insiden dari pulih sadar. Hal ini kemungkinan
delirium saat pulih sadar dari anestesi diisebabkan karena adanya perbedaan
umum pada pasien pediatrik, hal ini waktu penyuntikan dexmedetomidine,
disebabkan karena Dexmedetomidine dimana peneliti menyuntikkan
mempunyai beberapa efek yaitu efek Dexmedetomidine sebelum ekstubasi,
terhadap aktivasi 2 adrenergik di sementara Ibacache menyuntikkan
dorsal horn dan spinal cord yang dapat Dexmedetomidine sesaat setelah induksi
menghambat pelepasan substansi P dan anestesi. 4,8,14
akan mengurangi nyeri.

76 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Skor emergence delirium menurut Watcha dkk

Skor Deskripsi
0 Anak tidur
1 Anak tenang
2 Anak menangis tapi masih dapat
ditenangkan
3 Anak menangis dan susah ditenangkan
4 Agitasi dan atau delirium

Tabel 2. Skor nyeri obyektif berdasarkan Hanallah dkk

Observasi Kriteria Poin


Tekanan darah 10% dari nilai basal 0
>20% dari nilai basal 1
>30% dari nilai basal 2
Menangis Tidak menangis 0
Menangis, namun berhenti dengan bujukan 1
Menangis, dan tidak berhenti dengan bujukan
2
Pergerakan Tidak ada 0
Gelisah 1
Tak terkendali 2
Agitasi Tidur atau tenang 0
Agitasi ringan 1
Histeria 2
Verbal akan nyeri Tidur atau tanpa keluhan nyeri 0
Mengeluh ada nyeri namun tidak bisa 1
menunjukkan
Mengeluh ada nyeri dan bisa menunjukkan
2

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 77


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Karakteristik Sampel

Kelompok D Kelompok S
Parameter P
(n = 23) (n = 23)

Umur (tahun)1 7,17 2,146 7,17 2,289 1,000

Jenis kelamin (L/P)2 15 / 8 18 / 5 0,526

ASA PS (I/II)2 2 / 21 3 / 20 0,386

Status gizi (1/2/3/4/5)2 0 / 2 / 20 / 1 / 0 0 / 2 /20 / 1 / 0 1,000

Durasi operasi (menit)1 85,65 21,122 80,96 21,438 0,458

Jenis operasi (1/2/3/4/5)2 2/4/6/7/4 2/3/6/8/4 0,451

1
Uji t independent, 2uji mann whitney U
Keterangan: Kelompok D = Kelompok Dexmedetomidine, Kelompok S = Kelompok Saline

Gambar 1. Hubungan antara waktu pengamatan dengan jumlah pasien dengan


tingkat delirium masing-masing pada kelompok Dexmedetomidine, pada grafik ini
dapat dilihat pada setiap waktu observasi sebagian besar sampel memiliki skala 0

78 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 2. Hubungan antara waktu pengamatan dengan jumlah pasien dengan


tingkat delirium masing-masing pada kelompok kontrol, pada grafik ini dapat
dilihat sebagian pasien pada awal waktu observasi (sampai P 15) memiliki ED score

Tabel 4. Penilaian nyeri objektif pascabedah

Kelompok D Kelompok S
Variabel p
<6 6 <6 6

OPS0 23 0 23 0 1,000

OPS5 23 0 23 0 1,000

OPS10 23 0 23 0 1,000

OPS15 23 0 23 0 1,000

OPS30 23 0 23 0 1,000

OPS45 23 0 23 0 1,000

OPS60 23 0 23 0 1,000

*Uji mann-whitney; p>0,05 dinyatakan tidak bermakna pada setiap waktu

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 79


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 5. Waktu ekstubasi dan pulih sadar

Gambar 3. Grafik waktu ekstubasi dan pulih sadar dari anestesi umum antara
kelompok Dexmedetomidine (D) dan kelompok Saline (S) yang tidak bermakna

80 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

SIMPULAN agitation after sevofluran


Insiden kejadian delirium pada saat anesthesia in children. Anesth
pulih sadar dari anestesi umum pada Analg 2004;98(1):60-63.
6. Malviya S. Assessment of pain in
pasien pediatrik lebih rendah pada children. Presennted at SPA annual
kelompok Dexmedetomidine 0,2 ug/ meeting. 2006: 3-6
kgBB intravena dosis tunggal sebelum 7. McClain BC. Newer modalities for
ekstubasi dibandingkan dengan pain managements. Presented at
kelompok normal saline 0,9%, waktu SPA Annual Meeting. 2006: 1-6.
8. Mountain BW, Smithson L,
ekstubasi dan waktu pulih sadar dari Cramolini M, Wyatt TH, Newman
anestesi umum pada pasien pediatrik M. Dexmedetomidine as a
pada kelompok Dexmedetomidine 0,2 pediatric anesthetic premedication
ug/kgBB lebih lama secara klinis namun to reduce anxiety and to deter
tidak bermakna secara statistik, dan emergence delirium. AANA J
2011;79(3):219-23.
tidak ditemukan adanya efek samping 9. Weldon BC, Watcha MF, White
berupa hipotensi dan bradikardi dengan PF. Oral midazolam in children:
pemberian Dexmedetomidine 0,2 ug/ effect of time and adjunctive
kgBB intravena dosis tunggal. theraphy. Anesth Analg 1992;75(5)
51-55.
10. Mountain BW, Smithson L,
DAFTAR PUSTAKA Cramolini M, Wyatt TH, Newman
1. Lewis TV, Malviya S. A M. Dexmedetomidine as a
prospective cohort study of pediatric anesthetic premedication
emergence agitation in the to reduce anxiety and to deter
pediatric postanesthesia care unit. emergence delirium. AANA J
Anesth Analg 2003;96:1625-30. 2011;79(3):219-23.
2. Mason LJ. Emergece delirium. In: 11. Meyer RR, Munster P, Werner C,
Pitfalls of pediatric anesthesia, Barmbrink AM. Isofluran is
New York: Loma Linda associated with a similar incidence
University Publisher;2010.p.150- of agitation/delirium as sevofluran
5. in young children: a randomised
3. Guler G, Akin A, Tosun Z, Ors S, controlled study. Pediatr Anesth
Esmaoglu A, Boyaci A. Single- 2007;17(1):56-60
dose dexmedetomidine reduces 12. Samira A, Bajwa FR, Fanzcha DC,
agitation and provides smooth Allan M. A Comparison of
extubation after pediatric emergence delirium scales
adenotonsillectomy. Pediatric following general anesthesia in
Anesthesia 2005;15:762-6 children. Pediatr Anaesth J
4. Syukry M, Cain JG. 2010;20(8):704-11
Dexmedetomidine prevents and 13. Tobias JD. Dexmedetomidine:
treats agitation, delirium, and Applications in pediatric critical
withdrawl. Int J Trauma 2007;17 care and pediatric anesthesiology.
(1):24-6. Pediatr Crit Care Med 2007;8:115-
5. Ibacache ME, Munoz HR, 131
Brandez V, Morales AR. Single 14. Aarts A, Hagen VV, Russchen H.
dose dexmedetomidine reduce Does pharmacologic treatment

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 81


Jurnal Anestesiologi Indonesia

prevent children from emergence


agitation after sevofluran
anesthesia? a systematic review.
Eras J Med 2012;2(2):24-8.

82 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Perbedaan Pengaruh HES 6% (200) Dalam NaCl 0,9% dan Dalam
Larutan Berimbang pada Base Excess dan Strong Ion Difference Pasien
Seksio Sesaria dengan Anestesi Spinal
Effect of HES 6% difference (200) in 0.9% NaCl solution and in balanced at
Base Excess and Strong Ion Difference cesarean section patients with Spinal
Anesthesia
Djatun Hasyim*, Ratno Samodro*, Himawan Sasongko*, Ery Leksana*

* Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT

Background: On cesarean section with spinal anesthesia, colloid administration as


preload is more effective than crystalloid. This preload using colloid with its different
solvent has its own effect to the acid base balance. Therefore the use of colloid-solvent
-based-on is being improved.
Objectives: to analyze the effect of HES 6% in balanced solution with HES 6% in NaCl
0,9% on Base Excess (BE) and Strong Ion Difference (SID) on cesarean section
patients with spinal anesthesia.
Method: this is an experimental clinical trial, double blind randomized with
consecutive sampling, divided into two groups (n=12), HES 6% in balanced solution
and HES 6% in NaCl 0,9%. Statistical analysis were performed with SPSS for
Windows version 16.
Result: Group HES 6% in NaCl 0,9% has significant difference for BE before and
after administration (p < 0,05). While BE before and after administration on HES 6%
in balanced solution has insignificant difference (p > 0,05). Group HES 6% in NaCl
0,9% has significant difference for SID before and after administration (p < 0,05).
While SID before and after administration on HES 6% in balanced solution has
insignificant difference (p > 0,05).
Conclusion: there are significant declination of BE and SID on group of HES 6% in
NaCl 0,9% than on group of HES 6% in balanced solution.
Keyword: HES 6%, balanced solution, NaCl 0,9%, BE, SID

ABSTRAK

Latar belakang: Pada bedah sesar dengan anestesi spinal, pemilihan koloid sebagai
cairan preload lebih efektif ketimbang kristaloid. Pemberian cairan koloid dengan
pelarut yang berbeda sebagai preload ini memiliki dampak terhadap keseimbangan
asam basa tubuh. Sehingga pemilihan koloid berdasarkan pelarutnya mulai

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 83


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dipertimbangkan.
Tujuan: Melihat pengaruh pemberian HES 6% dalam larutan berimbang dengan HES
6% dalam NaC1 0,9% terhadap Base Excess (BE) dan Strong Ion Difference (SID)
pada pasien bedah sesar dengan anestesi spinal.
Metode: Merupakan uji klinik eksperimental yang dilakukan secara acak tersamar
ganda, dengan consecutive sampling, dibagi menjadi 2 kelompok (n=12) yaitu
kelompok HES 6% dalam larutan berimbang dan HES 6% dalam NaC1 0,9%. Uji
statistik untuk membandingkan nilai BE dan SID pada masing-masing kelompok
menggunakan SPSS for Windows versi 16
Hasil: Nilai BE sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok HES 6% dalam NaCI
0,9%, memiliki perbedaan yang bermakna (p < 0,05). Sedangkan nilai BE sebelum
dan sesudah perlakuan pada kelompok HES 6% dalam larutan berimbang memiliki
perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05). Nilai SID sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok HES 6% dalam NaC1 0,9%, memiliki perbedaan yang bermakna (p
0,05). Sedangkan nilai SID sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok HES 6%
dalam larutan berimbang memiliki perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan BE dan SID secara bermakna pada kelompok HES
'6% dalam NaC1 0,9% dibanding pada kelompok HES 6% dalam larutan berimbang.
Kata Kunci: HES 6%, larutan berimbang, NaC1 0,9%, BE, SID

PENDAHULUAN

Anestesi spinal merupakan salah satu Aliran darah uterus secara langsung
teknik yang paling sering dipilih pada ditentukan oleh tekanan darah maternal.
operasi bedah sesar. Salah satu efek Karena itu hipotensi akibat anestesi
samping yang paling sering dijumpai spinal yang tidak dikelola dengan baik
pada teknik anestesi spinal adalah akan berpengaruh buruk pada ibu dan
terjadinya hipotensi. Hal ini sebagai janin. Beberapa tindakan dapat
akibat blok simpatis dari obat anestesi dilakukan untuk mencegah dan
lokal yang bekerja di dalam ruang mengatasi hipotensi yang terjadi, antara
subarakhnoid adalah terjadinya lain dengan meningkatkan preload, atau
hipotensi. Sebagian besar parturien akan pemberian vasopressor.
mempunyai mekanisme kompensasi
Hasil ulasan system review spinal
yang cukup untuk memelihara tekanan
analgesia menunjukkan bahwa
darah arteri. Hipotensi yang terjadi pada
kemampuan pemberian kristaloid
parturien (dengan kondisi tekanan intra
sebagai cairan preloading untuk
abdominal tinggi) akan menyebabkan
mencegah hipotensi tidak konsisten dan
insidesi penurunan tekanan darah 20%
dalam hal ini koloid lebih efektif
lebih sering dibandingkan pada pasien
ketimbang kristaloid.2,3 Penelitian Riley
lainnya.1

84 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dkk menunjukkan hipotensi lebih sedikit sedangkan derajat substitusi berpengaruh


terjadi pada kelompok yang mendapat pada koagulasi darah. Saat ini jenis
preload 500 ml Hydroxyethyl Starch koloid yang mengandung larutan
(HES) 6% dibandingkan kelompok yang berimbang mulai banyak diminati.
mendapat preload 1 liter Ringer
Hal tersebut mendorong dilakukannya
Laktat.4,5
penelitian ini, untuk membuktikan
Awal tahun 1970-an cairan yang pemberian preload pada anestesi spinal
mengandung NaCl 0,9% dikenal sebagai menggunakan cairan koloid uang
cairan isotonik paling fisiologis, namun mengandung NaCl 0,9% bila
kini didapatkan data bahwa terjadi dibandingkan dengan cairan koloid yang
perubahan substansial asam-basa pada mengandung pelarut larutan berimbang
pemberian dalam jumlah besar cairan akan menimbulkan perubahan kadar
infus NaCl 0,9%, keadaan ini disebut klorida yang bermakna, serta
sebagai kondisi asidosis mempengaruhi kondisi keseimbangan
6,7
hiperkloremik. asam basa yang dapat dilihat dari nilai
strong ion difference (SID) dan base
Kebijakan untuk memilih cairan dengan
excess (BE) pada pemeriksaan analisa
mempertimbangkan dampak terhadap
gas darah.
keseimbangan asam-basa mulai
dikembangkan. Terjadinya gangguan METODE
pada keseimbangan asam-basa dapat
Penelitian ini merupakan uji klinik
mengakibatkan disfungsi organ penting
eksperimental tahap II yang dilakukan
seperti edema otak, kejang, gangguan
secara acak tersamar ganda, dengan
kontraksi jantung, vasodilatasi
tujuan mencari perbedaan pengaruh
pembuluh darah paru dan vasodilatasi
pemberian 15 cc/kgBB HES 6% (200)
sistemik. Beberapa penelitian juga
dalam larutan NaCl 0,9% dengan 15 cc/
menjelaskan bahwa pemberian dalam
kgBB HES 6% (200) dalam larutan
jumlah relatif besar cairan yang tidak
berimbang terhadap komponen
mengandung elektrolit berimbang
keseimbangan asam basa.
dikatakan mempunyai tendensi
memperberat kondisi asidosis yang Seleksi penderita dilakukan pada saat
semula mungkin sudah ada karena kunjungan preoperasi, penderita yang
sebuah proses hipoperfusi.8 memenuhi kriteria ditentukan sebagai
sampel. Kriteria inklus meliputi Usia
Beberapa tipe cairan koloid yang saat ini
parturien 19-35 tahun, status fisik ASA I
beredar di pasaran dengan berbagai
ASA II, menjalani operasi bedah sesar
karakteristik berdasarkan berat molekul
cito dan elektif dengan anestesi spinal,
(BM) dan derajat substitusinya. Cairan
BMI normal (18,5-24,9), setuju untuk
yang memiliki BM besar akan bertahan
diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria
lebih lama dalam ruang intravaskuler

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 85


Jurnal Anestesiologi Indonesia

eksklusi meliputi pasien yang mendapat berimbang untuk 12 sampel dan 15 cc/
pemberian cairan koloid 15 cc/kgBB, kgBB HES 6% (200) dalam larutan NaCl
pasien yang mendapat pemberian 0,9% untuk 12 sampel lainnya.
transfusi darah selama perlakuan, pasien
Anestesi spinal dilakukan dengan jarum
yang durante operasi mengalami
spinal 25G pada celah vertebra lumbal 3
komplikasi anestesi maupun
4. Setelah keluar cairan serebrospinalis
pembedahan seperti: kesadaran
sebagai tanda pasti bahwa ujung jarum
menurun; penurunan SpO2 (keadaan
spinal berada dalam ruang subarachnoid,
umum sesak sampai dengan apneu);
dilakukan injeksi bupivacain heavy 0,5%
perdarahan tidak terkontrol lebih dari
3 cc dengan kecepatan 1 cc/detik.
500 ml.
Setelahnya, penderita sesegera mungkin
Sampel diambil dari pasien yang dibaringkan dalam posisi terlentang
menjalani operasi bedah sesar dan horizontal dengan kepala diganjal bantal
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompk serta diberikan O2 3 lt/menit.
1 (K1) menggunakan 15 cc/kgBB HES
Tinggi blok sensorik ditentukan dengan
6% (200) dalam larutan berimbang
cara pinprick menggunakan jarum 22G
sebagai preload anestesi spinal, dan
bevel pendek. Setelah anestesi spinal
Kelompok 2 (K2) menggunakan 15 cc/
berhasil, operasi sesar dapat dimulai.
kgBB HES 6% (200) dalam larutan
Bila dalam lima belas menit tidak terjadi
NaCl 0,9% sebagai preload anestesi
blok (negatif), maka anestesi spinal
spinal.
dianggap gagal dan pasien dikeluarkan
Penelitian dilakukan terhadap 24 pasien dari penelitian dan dilanjutkan dengan
yang sebelumnya telah mendapat general anesthesia.
penjelasan dan setuju untuk mengikuti
Satu jam setelah pemberian preload 15
semua prosedur penelitian. Semua
cc/kgBB cairan HES 6% (200) pada
pasien dipuasakan 6 jam dan tidak
masing-masing kelompok lalu dilakukan
diberikan obat premedikasi.
pemeriksaan BGA dan elektrolit (Na+;
Satu jam sebelum operasi dilakukan K+, Cl-). Hasil pemeriksaan
pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGD) dibandingkan dengan data awal dan
dengan mengambil sampel 1 cc darah dilakukan analisis statistik menggunakan
arteri dan pemeriksaan elektrolit (Na+; piranti lunak SPSS for Windows versi 16.
K+, Cl-) dengan mengambil sampel 3 cc
HASIL
darah vena. Hasil pemeriksaan awal
tersebut digunakan sebagai data dasar. Telah dilakukan penelitian tentang
pengaruh pemberian 15 cc/kgBB HES
Lima belas menit sebelum dilakukan
6% (200) dalam larutan berimbang
anestesi spinal, diberikan preload 15 cc/
dengan 15 cc/kgBB HES 6% (200)
kgBB HES 6% (200) dalam larutan
dalam NaCl 0,9% terhadap BE dan SID

86 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada 24 orang parturien yang menjalani tersebut memiliki perbedaan yang


bedah sesar dengan anestesi spinal bermakna.
dengan status fisik ASA I dan II setelah
PEMBAHASAN
disesuaikan dengan kriteria inklusi dan
eksklusi yang ditentukan. Karakteristik Pada karakteristik umum dari subjek
subjek penelitian ditampilkan pada kedua kelompok penelitian yang ada,
Tabel 1 yaitu umur, BMI, status fisik (ASA),
setelah dilakukan uji beda didapatkan
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai BE
perbedaan yang tidak bermakna di
sebelum dan sesudah perlakuan pada
antara keduanya sehingga kedua
kelompok HES 6% (200) dalam NaCl
kelompok layak untuk dibandingkan .
0,9%, memiliki perbedaan yang
Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.
bermakna. Sedangkan nilai BE sebelum
dan sesudah perlakuan pada kelompok Tabel 2 menunjukkan bahwa bahwa
HES 6% (200) dalam larutan berimbang nilai BE sebelum dan sesudah perlakuan
memiliki perbedaan yang tidak pada kelompok HES 6% (200) dalam
bermakna. Perbandingan nilai BE larutan berimbang memiliki perbedaan
sebelum perlakuan antara kelompok yang tidak bermakna. Nilai BE sebelum
HES 6% (200) dalam larutan berimbang dan sesudah perlakuan pada kelompok
dengan HES 6% (200) dalam NaCl HES 6% (200) dalam NaCl 9,0%
0,9% memiliki perbedaan yang memiliki perbedaan yang bermakna.
bermakna, demikian pula nilai BE
sesudah perlakuan pada dua kelompok Base Excess merupakan variabel yang
tersebut memiliki perbedaan yang spesifik untuk menentukan komponen
bermakna. metabolik pada gangguan asam basa
yang terjadi. Berdasarkan nomogram
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai SID yang dikembangkan oleh Siggaard-
sebelum dan sesudah perlakuan pada Anderson, didapatkan bahwa BE akan
kelompok HES 6% (200) dalam NaCl berubah sesuai komponen metabolik
0,9%, memiliki perbedaan yang yang terganggu dari keseimbangan asam
bermakna. Sedangkan nilai SID basa tubuh.9
sebelum dan sesudah perlakuan pada
kelompok HES 6% (200) dalam larutan Secara fisiologis, wanita hamil berada
berimbang memiliki perbedaan yang dalam kondisi lebih asidosis. Hal ini
tidak bermakna. Perbandingan nilai SID menjelaskan mengapa, pada kelompok
sebelum perlakuan antara kelompok HES 6% (200) dalam NaCl 0,9%
HES 6% (200) dalam larutan berimbang maupun HES 6% (200) dalam larutan
dengan HES 6% (200) dalam NaCl berimbang, nilai BE sebelum perlakuan
0,9% memiliki perbedaan yang tidak berada dalam kondisi asidosis (BE
bermakna, sedangkan pula nilai SID kurang dari -2). Namun bila
sesudah perlakuan pada dua kelompok dibandingkan dengan kondisi setelah

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 87


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian

Variabel HES NS HES BS p


Umur 28,33 5,015 28,08 4,907 0,903*
ASA
I 6 (25,0%) 7 (29,2%) 0,682**
II 6 (25,0%) 5 (20,8%)
BMBMI 22,12 1,801 22,48 1,524 0,604*

Tabel 2. Perbedaan pengaruh pemberian HES 6% (200) dalam larutan berimbang dan HES
6% (200) dalam NaCl 0,9% terhadap perubahan BE

Variabel BE pre BE post p


HES NS -6,59 1,549 -7,83 2,086 0,003**
HES BS -3,26 0,680 -2,97 0,597 0,216**
p 0,000* 0,000*

Tabel 3. Perbedaan pengaruh pemberian HES 6% (200) dalam larutan berimbang dan HES
6% (200) dalam NaCl 0,9% terhadap perubahan SID

Variabel SID pre SID post p


HES NS 37,48 2,368 34,38 2,758 0,000**
HES BS 37,75 1,215 38,00 1,206 0,555**
p 0,732* 0,000*

88 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

perlakuan, pada kelompok HES 6% lebih spesifik dapat dikatakan bahwa


(200) dalam larutan berimbang karena Na+ berperan penting pada
didapatkan perubahan BE yang tidak tonisitas, maka peran Cl- menjadi lebih
bermakna, dengan kecenderungan dominan dibanding Na+ dalam
adanya perbaikan nilai BE. Ini menentukan pH cairan ekstrasel. Dari
dimungkinkan karena pada HES 6% sketsa Jonathan Waters ditunjukkan
(200) dalam larutan berimbang terdapat bahwa setiap perubahan komposisi
anion laktat yang di dalam tubuh akan elektrolit dalam suatu larutan akan
dimetabolisme menjadi bikarbonat yang menghasilkan perubahan pada [H+] atau
pada gilirannya akan memperbaiki [OH-] dalam rangka mempertahankan
kelainan pada keseimbangan asam basa prinsip kenetralan muatan listrik
dengan cara mengintervensi persamaan (electrical neutrality).11
asam-basa. Pada penelitian ini
Menurut Stewart, peran ginjal dalam
didapatkan penurunan nilai BE yang
menurunkan [H+] dalam plasma terjadi
bermakna secara statistik pada
akibat regulasi tubuh terhadap SID
kelompok yang diberikan preload HES
(terutama [Cl-]) melalui tubulus ginjal.
6% (200) dalam NaCl 0,9% yang
Ion klorida akan difiltrasi namun tidak
berarti keseimbangan asam basa
direabsorpsi oleh tubuh sehingga nilai
terganggu ke arah asidosis metabolik.
SID dalam plasma dijaga tetap
Menurut Stewart status asam basa seimbang. Sehingga proses amonia-
cairan tubuh ditentukan oleh beberapa genesis di ginjal berfungsi untuk
variabel independen. Dalam plasma menghasilkan NH4+ yang kemudian
darah, variabel independen tersebut dapat mengikat Cl- agar dapat
adalah pCO2, SID, konsentrasi total diekskresikan dalam bentuk NH4Cl,
asam lemah non-volatile (albumin, bukan karena sifat amonia yang dapat
fosfat).10 mengangkut H+.10

Difusi CO2 melewati membran sangat Dari hasil penelitian, SID sebelum
mudah dan cepat, sehingga setiap perlakuan antara kelompok HES 6%
perubahan yang terjadi pada pCO2 akan (200) dalam NaCl 0,9% dengan HES
cepat diatasi oleh perubahan ventilasi. 6% (200) dalam larutan berimbang
Dengan demikian perubahan pada pCO2 didapatkan adanya perbedaan yang tidak
tidak akan menyebabkan terjadinya bermakna. Ini berarti selisih antara Na-
perbedaan konsentrasi [H+] dari masing dan Cl- sebelum perlakuan pada kedua
-masing kompartemen, sehingga CO2 kelompok berada dalam kondisi yang
tidak berkontribusi dalam menyebabkan tidak jauh berbeda, atau dapat dikatakan
perbedaan status asam basa antar dalam kondisi metabolik yang
membran. cenderung sama. Namun pada
pemeriksaan SID setelah perlakuan
SID didapatkan dari Na+ dan Cl-. Secara
antara kelompok HES 6% (200) dalam

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 89


Jurnal Anestesiologi Indonesia

NaCl 0,9% dengan HES 6% (200) didapatkan dibanding apabila penelitian


dalam larutan berimbang didapatkan ini mengambil jumlah sampel yang lebih
adanya perbedaan yang bermakna (p < banyak. Terkait dengan etika dan
0,05). Kondisi yang mengakibatkan hal keselamatan pasien, pada penelitian ini
ini adalah pada kelompok HES 6% dibatasi hanya pada operasi bedah sesar
(200) dalam NaCl 0,9%, pelarutnya dengan perdarahan kurang dari 500 ml.
memiliki komposisi Na+ dan Cl- yang
SIMPULAN
besar, yang pada akhirnya akan
mengakibatkan penurunan nilai SID Terdapat penurunan BE secara
dan mengganggu keseimbangan asam- bermakna pada kelompok 15 cc/kgBB
basa ke arah asidosis metabolik. HES 6% (200) dalam NaCl 0,9%
dibandingkan kelompok 15 cc/kgBB
Pada penelitian ini terdapat perbedaan
HES 6% (200) dalam larutan berimbang
yang tidak bermakna pada pemeriksaan
dan terdapat penurunan SID secara
SID antara sebelum dengan sesudah
bermakna pada kelompok 15 cc/kgBB
perlakuan pada kelompok HES 6%
HES 6% (200) dalam NaCl 0,9%
(200) dalam larutan berimbang (p >
dibandingkan kelompok 15 cc/kgBB
0,05). Karena pada kelompok ini
HES 6% (200) dalam larutan
terdapat kandungan Na+ dan Cl- yang
berimbang.
mendekati komposisi plasma, tidak
banyak terjadi perubahan SID yang
mengindikasikan gangguan DAFTAR PUSTAKA
keseimbangan asam-basa. Namun
1. Birnbach DJ, Browne IM. Anesthesia for
begitu terdapat perbedaan yang obstetrics. Dalam: Miller RD. Millers
bermakna dari penurunan nilai SID anesthesia. Edisi 6. Pennsylvania: Elsevier
pada kelompok yang diberikan preload Churchill Livingstone; 2005. Hlm.326-29.
HES 6% (200) dalam NaCl 0,9% yang 2. Mulyono I, Harijanto E, Sunatrio S. Cairan
berarti keseimbangan asam basa koloid. Dalam: Panduan tata laksana terapi
mengarah ke asidosis metabolik. cairan perioperatif. Jakarta: Perhimpunan
dokter spesialis anestesiologi dan reanimasi
Pada penelitian ini tidak memeriksa Indonesia; 2009. Hlm. 130-31.
komponen lain dari penilaian asam-basa
3. Abdelrachman RS, Elzeftawy AE.
menurut metode Stewart seperti free Comparison of colloid versus crystalloid
water, albumin effect, maupun preload for prevention of hypotension during
unmeasured anion dikarenakan adanya spinal anesthesia for elective section
beberapa keterbatasan, antara lain cesarean. Tanta Med Sciences J. 2007; 2(1):
134-41.
sarana dan dana penelitian. Total
sampel yang diperiksa sejumlah 24 4. Riley ET, Cohen SE, Rubenstein AJ,
pasien dikarenakan keterbatasan waktu Flanagan B. Prevention of hypotension after
penelitian. Hal ini mungkin berakibat spinal anesthesia for cesarean section: six
percent hetastarch versus lactated ringers
kurang validnya data penelitian yang

90 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

solution. AnestAnalg. 1995; 81(4): 838-42. 8. Brill SA, Stewart TR, Brundage SI,
Schreiber MA. Base deficit does not predict
5. Ueyama H, Le H, Tanigami H, Mashimo T, mortality when secondary to hyperchloremic
Yoshiva I. Effect of crystalloid and colloid acidosis. Shock. 2002; 17; 459-62.
preload on blood volume in the parturient
undergoing spinal for elective cesarean 9. Kellum JA. Diagnosis and treatment of acid-
section. Anesthesiology. 1999; 91; 1571-6. base didorders. Dalam: Grenvik A,
Shoemaker PK, Ayer S, Holbrook. Textbook
6. Zander R. Fluid Management [e-book]. of critical care. Philadelphia: WB Saunders;
Germany: Bibliomed; 2006 [diunduh 6 1999. Hlm. 839-53.
January 2012]. Tersedia dari:
www.physioklin.de 10. Finucane BT. Complications of regional
anesthesia. New York: Churchill
7. Ery leksana. SIRS, Sepsis, keseimbangan Livingstone; 2000.
asam basa, shock dan terapi cairan.
Semarang: SMF/Bag. Anestesi dan terapi 11. Mustafa I, George YWH. Keseimbangan
intensif RSUP Dr. Kariadi/Fak. Kedokteran asam-basa (paradigma baru). Anest and
UNDIP. 2006. critcare. 2003; 21: 1-13.

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 91


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Premedikasi Klonidin terhadap Interval Q-Tc dan Skor Rate
Pressure Product pada Laringoskopi Intubasi

Effect of Clonidine Premedication on Q-Tc Interval and Score Rate Pressure


Product at Laryngoscopy Intubation
Fajrian Noor*, Soni Hidayat**, Witjaksono**, Uripno Budiono**
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD H. Boejasin, Tanah Laut, Kalimantan Selatan
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Endotracheal intubation laryngoscopy is an act done in general
anesthesia. Laryngoscopy and intubation actions than can cause trauma, can also
cause cardiovascular changes in the form of increased blood pressure, increased heart
rate, increased scores rate pressure product (RPP) which increased cardiac oxygen
demand and Q-Tc interval prolongation by sympathetic stimulation caused by
laryngoscopy intubation. Role of clonidine premedication administration aims to
reduce cardiovascular changes of decreased blood pressure and decreased heart rate.
Objective: This study aimed to study the effect of oral clonidine tablets for blood
pressure, heart rate, Q-Tc interval and score rate pressure product (RPP) during
laryngoscopy intubation
Methods: Forty-eight subjects aged 14-40 years with ASA physical status I and II, with
no sign of trouble intubation were randomly divided into groups of clonidine (KI) and
the control group (K II). KI group get oral clonidine premedication 0.15 mg 2 hours
before surgery, while K2 placebo. Both groups received the same treatment as
laryngoscopy intubation. Blood pressure, heart rate, Q-Tc interval and RPP score is
calculated at 2 minutes post-induction, 2 min and 5 min after intubation laryngoscopy.
Results: heart rate, RPP Score and QTc intervals did not differ significantly between
the two groups. However blood pressure in the clonidine group was significantly lower
in the clonidine group
Conclusions: Premedication with oral clonidine 0.15 mg dose did not affect the Q-Tc
interval, RPP scores, and heart rate were significantly laryngoscopy intubation in
adult patients.
Keywords: laryngoscopy intubation, clonidine, Rate Pressure Product, QTC interval

ABSTRAK
Latar belakang: Laringoskopi intubasi endotrakea merupakan tindakan yang banyak
dilakukan pada anestesi umum tindakan laringoskopi dan intubasi selain dapat
menimbulkan trauma, juga dapat menimbulkan gejolak kardiovaskuler berupa
peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung, peningkatan score rate
pressure product (RPP) yaitu peningkatan kebutuhan oksigen jantung dan
pemanjangan interval Q-Tc oleh stimulasi simpatik akibat laringoskopi intubasi.

92 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Peran pemberian premedikasi klonidin bertujuan untuk mengurangi gejolak


kardiovaskuler berupa penurunan tekanan darah dan penurunan laju jantung.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian klonidin
tablet oral terhadap tekanan darah, laju jantung, interval Q-Tc dan skor rate pressure
product (RPP) saat laringoskopi intubasi
Metode: Empat puluh delapan subjek berusia 14-40 tahun dengan status fisik ASA I
dan II, tanpa tanda kesulitan intubasi dibagi secara acak menjadi kelompok klonidin
(K I) dan kelompok kontrol (K II). Kelompok KI mendapatkan premedikasi klonidin
oral 0,15 mg 2 jam sebelum operasi sedangkan K2 mendapatkan plasebo. Kedua
kelompok mendapatkan perlakuan yang sama saat laringoskopi intubasi. Tekanan
darah, laju jantung, interval Q-Tc dan skor RPP dihitung pada 2 menit pasca induksi,
2 menit dan 5 menit pasca laringoskopi intubasi.
Hasil: Laju jantung, Skor RPP dan interval QTc tidak berbeda bermakna antara
kedua kelompok . Akan tetapi tekanan darah pada kelompok klonidin secara bermakna
lebih rendah pada kelompok klonidin
Simpulan : Premedikasi klonidin oral pada dosis 0,15 mg tidak mempengaruhi
interval Q-Tc, skor RPP, dan laju jantung secara bermakna pada laringoskopi
intubasi pasien dewasa.
Kata kunci: laringoskopi intubasi, klonidin, Rate Pressure Product, interval QTC

PENDAHULUAN tindakan laringoskopi intubasi,


Laringoskopi intubasi endotrakhea dilakukan dengan meningkatkan
merupakan tindakan yang banyak kedalaman anestesi, memberikan
dilakukan pada anestesi umum. anestesi topikal , lidokain ,fentanil 3,
1,2 2-4

Tindakan laringoskopi dan intubasi ini beta bloker 4, dan antagonis kalsium.5
selain dapat menimbulkan trauma, juga Meskipun usaha-usaha tersebut dapat
dapat menimbulkan stimulasi simpatis, mengurangi respon hemodinamik tetapi
dengan akibat terjadi gejolak belum sepenuhnya berhasil. Salah satu
kardiovaskuler berupa peningkatan upaya yang lain adalah dengan
tekanan darah dan peningkatan laju memberikan premedikasi klonidin
jantung. Hal ini akan meningkatkan
kebutuhan metabolik jantung dengan Klonidin adalah salah satu obat golongan
akibat antara lain iskemik otot jantung -2 agonis adrenergic yang mempunyai
dan sangat membahayakan bagi efek analgesik, sedasi dan efek
penderita hipertensi, tekanan intrakranial simpatolitik. Peran pemberian
tinggi dan penyakit jantung iskemik premedikasi klonidin dengan efek
yang sudah dideritanya. Berbagai upaya simpatolitiknya bertujuan untuk
telah dilakukan untuk mencegah ataupun mengurangi meningkatnya kadar
mengurangi respons hemodinamik akibat katekolamin plasma, sehingga gejolak

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 93


Jurnal Anestesiologi Indonesia

kardiovaskuler dapat dikurangi, dengan vitamin b kompleks


cara penurunan tekanan darah dan
Seleksi penderita dilakukan pada saat
frekuensi denyut jantung6, dengan
kunjungan pra bedah, penderita yang
demikian dapat mengurangi peningkatan
memenuhi kriteria setelah mendapat
kebutuhan oksigen otot jantung.
penjelasan setuju mengikuti semua
METODE prosedur penelitian dan menandatangani
informed consent dimasukkan sebagai
Penelitian ini merupakan penelitian
sampel penelitian. Kemudian penderita
eksperimental analitik komparatif
diopuasakan 6 jam dan dibagi menjadi 2
dengan desain acak. Subyek penelitian
kelompok secara konsekutif sampling. 2
diambil secara consecutive sampling
jam sebelum operasi dengan sedikit air
dari pasien yang menjalani tindakan
putih kelompok I mendapat 0,15 mg
bedah atau operasi elektif di Instalasi
klonidin oral sebagai kelompok
Bedah Sentral Rumah Sakit Umum
perlakuan dan kelompok II mendapat
Pusat Dokter Kariadi Semarang, dengan
vitamin B kompleks sebagai kelompok
anestesi umum yang dilakukan tindakan
kontrol
laringoskopi dan intubasi endotrakhea
dan kriteria inklusi berusia antara 14 - Semua pasien direbahkan dimeja operasi
40 tahun, status fisik ASA I atau II, lalu dipasang tensimeter dan 12 lead
pasien tanpa kesulitan intubasi ECG serta monitor saturasi oksigen.
(mallampati I atau II), pria dan wanita, Deberikan premedikasi midazolam 3 mg
untuk wanita tidak dalam keadaan lalu diinduksi dengan propofol 2mg/kg
hamil, tekanan darah dalam batas bb. Setelah itu pasien dibaging cup
normal, tidak ada kelainan jantung, hati, dengan oksigen 3 liter dan N2O 3 liter
ginjal dan cerebrovascular disease. dan gas anestesi dibuka 1 MAC. Setelah
Kriteria eksklusinya adalah intubasi airway dikuasai dengan baging
dilakukan lebih dari satu kali, pelumpuh otot atracurium bromide 0,5
laringoskopi dan intubasi endotrakea mg/kg bb. Dua menit kemudian
lebih dari 30 detik, terjadi vagal reflek, dilakukan rekaman dan pencetakan
perdarahan yang mengganggu airway, EKG, pengukuran dan pencatatan
atau kejadian lain yang memerlukan tekanan darah dan denyut jantung
intervensi, pada saat tindakan sebagai data dasar.
laringoskopi pasien masih bernafas
Setelah 3 menit gas anestesi dan N2O
spontan, pada saat intubasi pasien masih
dimatikan dan dilakukan oksigenisasi 6
menunjukan adanya gerakan.
liter per menit, dilanjutkan dengan
Penderita dibagi menjadi dua kelompok: laringoskopi intubasi, kemudian
Kelompok I mendapat 0,15mg klonidin dievaluasi dengan stetoskop memastikan
oral 2 jam sebelum operasi dengan aliran udara pada kedua paru sama,
sedikit air putih, Kelompok II mendapat selanjutnya gas anestesi dihidupkan 1

94 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

MAC dan N2O 3 liter/menit dan O2 3 kontrol secara statistik berbeda tidak
liter/menit. Menit ke 2 setelah intubasi bermakna, sehingga kedua kelompok
dilakukan perekaman dan pencetakan tersebut dapat diperbandingkan dalam
EKG, pemeriksaan dan pencatatan penelitian. Hasil selengkapnya dapat
tekanan darah dan denyut jantung. dilihat pada tabel 1.
Pemeriksaan dan perekaman EKG, dan
Pada kelompok perlakuan, laju jantung
pemeriksaan dan pencatatan tekanan
pada menit ke-2 sesudah intubasi lebih
darah dan denyut jantung diulangi lagi
tinggi dan bermakna dibanding data
pada menit ke-5 setelah intubasi
dasar, sedang pada menit ke-5 sesudah
Saturasi oksigen dan monitor EKG intubasi lebih rendah dibandingkan data
dipakai sebagaimonitoring selama dasar. Perbedaan ini tidak bermakna.
operasi. Kemudian dihitung skore rate Pada kebanyakan kontrol, pada menit ke-
pressure product (RPP) Hasil kemudian 2 sesudah intubasi lebih tinggi dan
dicatat, dilakukan coding, cleaning dan bermakna dibanding data dasar, sedang
tabulasi. Perbandingan antara kelompok pada menit ke-5 sesudah intubasi lebih
perlakuan Klonidin HCl dan kelompok tinggi dibanding data dasar, perbedaan
kontrol dilakukan dengan program SPSS ini secara statistik tidak bermakna. Kalau
for Windows. Sebaran hasil akan kedua kelompok dibandingkan baik pada
dianalisis normalitasnya dengan uji menit ke-2 maupun ke-5 kelompok
Saphiro wilk. Apabila sebaran normal kontrol lebih tinggi secara bermakna
dilanjutkan dengan uji t independen, dibandingkan kelompok perlakuan.
sedangkan apabila tidak normal akan
Pada kelompok perlakuan pada menit ke-
diuji dengan uji Mann-whitney U.
2 sesudah intubasi lebih rendah
HASIL dibanding data dasar, perbedaan ini tidak
bermakna. Pada menit ke-5 sesudah
Pada penelitian ini didapat 48 sampel
intubasi juga lebih rendah dibanding data
yang terdiri dari 24 sampel kelompok
dasar, perbedaan ini tidak bermakna.
perlakuan dan 24 orang kelompok
Pada kelompok kontrol pada menit ke-2
kontrol. Adapun karakteristik demografi
sesudah intubasi lebih tinggi dibanding
dari sampel melanjutkan jenis kelamin,
data dasar, perbedaan ini tidak
status fisik ASA, umur, berat bedan,
bermakna. Bila kedua kelompok ini
tinggi badan, BMI dan data dasar hasil
dibandingkan baik pada menit ke-2
pemeriksaan pada menit ke 2 sesudah
maupun ke-5 kelompok kontrol lebih
induksi, yang meliputi tekanan darah
tinggi dibandingkan kelompok perlakuan
sistole , tekanan darah diastole, denyut
tetapi perbedaan tidak bermakna
jantung, rate pressure product dan QTC.
Pada kelompok perlakuan pada menit ke-
Semua data-data tersebut antara
2 sesudah induksi lebih tinggi dan
kelompok perlakuan dan kelompok
bermakna dibanding data dasar, sedang

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 95


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada menit ke-5 lebih rendah dibanding diantar kelompok perlakuan dan
data dasar. Perbedaanya tidak kelompok kontrol.
bermakna. Pada kelompok kontrol pada
Dari data dasar menit ke-2 sesudah
menit ke-2 lebih tinggi dan bermakna
intubasi terdapat perbedaan yang tidak
dibanding data dasar, pada menit ke-5
bermakna tekanan diastole antara
juga lebih tinggi dibanding data dasar.
kelompok perlakuan dan kelompok
Perbedaan ini tidak bermakna. Bila
kontrol. Sedangkan perubahan dari data
kedua kelompok dibandingkan baik
dasar dari menit ke-2 ke menit ke-5
pada menit ke-2 maupun menit ke-5
sesudah intubasi terjadi perbedaan yang
kelompok kontrol lebih tinggi, tetapi
bermakna antara kelompok perlakuan
tidak bermakna.
dan kelompok kontrol.
Pada kelompok perlakuan, baik pada
Perubahan laju denyut jantung
menit ke-2 maupun ke-5 sesudah
intubasi lebih tinggi dibanding data Dari data dasar menit ke-2 sesudah
dasar, tetapi tidak bermakna. Pada intubasi terdapat perbedaan antara
kelompok kontrol pada menit ke-2 kelompok perlakuan dan kelompok
sesudah intubasi lebih rendah tetapi kontrol tidak bermakna. Perubahan dari
pada menit ke-5 lebih tinggi dibanding data dasar pada menit ke-5 sesudah
data dasar, tetapi keduanya tidak intubasi perbedaan antara kelompok
bermakna. perlakuan dan kelompok kontrol juga
tidak bermakna.
Pada menit ke-2 sesudah intubasi
kelompok perlakuan lebih tinggi Dari data dasar menit ke-2 sesudah
dibanding kelompok kontrol, sedangkan intubasi antara kelompok perlakuan dan
pada menit ke-5 sesudah intubasi kelompok kontrol Rate Pressure Product
kelompok perlakuan lebih rendah berbeda tidak bermakna, demikian pula
dibanding kelompok kontrol. Tetapi perubahan dari data dasar pada menit ke
kedua perbedaan tidak bermakna -5 sesudah intubasi perbedaan antara
dibanding kelompok kontrol. Data-data kelompok perlakuan dan kelompok
hasil penelitian tersebut bisa dilihat kontrol juga tidak bermakna
pada tabel 2. Grafik dapat diikuti pada
grafik 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari data dasar pada menit ke-2 sesudah
intubasi interval QTc antar kelompok
Dari data dasar menit ke-2 sesudah perlakuan dan kelompok kontrol tidak
intubasi atau kelompok perlakuan dari berbeda bermakna, demikian juga
kelompok kontrol Perubahan tekanan perubahan interval QTc atau data dasar
systole berbeda tidak bermakna. meit ke-5 sesudah intubasi antara
Sedangkan perubahan dari data dasar kelompok perlakuan dan kelompok
pada menit ke-5 sesudah intubasi, kontrol juga tidak bermakna.
terjadi perbedaan yang bermakna

96 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Angka perubahan-perubahan tekanan intubasi menit ke-2 hingga menit ke-5


sistole, tekanan diastole, frekuensi laringoskopi intubasi tidak bermakna
denyut jantung, rate pressure product dengan nilai P 0,81.
dan interval QTc dapat dilihat pada
PEMBAHASAN
tabel 3
Gejolak peningkatan kardiovaskuler
Perubahan TDS dari induksi menit ke-2
pada tindakan laringoskopi intubasi
hingga laringsoskopi intubasi menit ke-
disebabkan oleh stimulus simpatis
2 bermakna dengan nilai P 0,00 dan
dengan akibat meningkatnya kadar
perubahan dari laringoskopi intubasi
kathekolamin dalam plasma darah dan
menit ke-2 hingga menit ke-5
menyebabkan kenaikan tekanan darah
laringoskopi intubasi bermakna dengan
dan frekwensi denyut jantung6 ,karena
nilai P 0,00.
itu pencegahannya adalah dengan
Perubahan TDD dari induksi menit ke-2 mengurangi stimulus simpatis atau
hingga laringsoskopi intubasi menit ke- menghambat pengaruh simpatis. Salah
2 bermakna dengan nilai P 0,02 dan satu cara adalah dengan memberikan
perubahan dari laringoskopi intubasi klonidin. Beberapa peneliti
menit ke-2 hingga menit ke-5 menggunakan klonidin intravena
6,7,8
laringoskopi intubasi bermakna dengan membuktikan hal ini . Tetapi
nilai P 0,00. terdapat juga penelitian penggunaan
klonidin dengan hasil klonidin tidak bisa
Perubahan HR dari induksi menit ke-2
digunakan untuk mengatasi gejolak
hingga laringsoskopi intubasi menit ke-
kardiovaskuler akibat intubasi
2 tidak bermakna dengan nilai P 0,70 6,9
endotrakeal . Meskipun demikian
dan perubahan dari laringoskopi
klonidin dapat mengurangi morbiditas
intubasi menit ke-2 hingga menit ke-5
dan mortalitas sesudah operasi non
laringoskopi intubasi bermakna dengan
jantung10.
nilai P 0,00.
Pada penelitian ini baik kelompok
Perubahan RPP dari induksi menit ke-2
perlakuan maupun kelompok kontrol
hingga laringsoskopi intubasi menit ke-
mengalami kenaikan tekanan sistole dan
2 bermakna dengan nilai P 0,02 dan
diastole yang bermakna dibanding
perubahanvdari laringoskopi intubasi
dengan data dasar dengan kelompok
menit ke-2 hingga menit ke-5
kontrol lebih tinggi dibanding
laringoskopi intubasi bermakna dengan
kelompok perlakuan pada menit ke-2
nilai P 0,00.
sesudah intubasi. Sampai menit ke-5
Perubahan QTc dari induksi menit ke-2 kelompok kontrol tekanan sistole dan
hingga laringsoskopi intubasi menit ke- diastole masih lebih tinggi dibanding
2 tidak bermakna dengan nilai P 0,30 data dasar, sedangkan kelompok
dan perubahan dari laringoskopi perlakuan lebih rendah daripada data

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 97


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dasar, sehingga tekanan sistole dan dosis 0,2 mg oral, lebih tinggi dibanding
diastole menit ke-5 kelompok kontrol penelitian ini dengan dosis 0,15 mg oral.
lebih tinggi dan bermakna dibanding
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian
kelompok perlakuan.
Raval dkk, yang menyimpulkan bahwa
Frekuensi denyut jantung pada klonidin oral dapat mencegah respon
kelompok kontrol baik pada menit ke-2 hemodinamik laringoskopi intubasi.
lebih tinggi daripada data dasar dan Raval memberikan dosis 0,4g/kgbb12.
kelompok perlakuan, tetapi perbedaan Kalau dihitung dengan berat badan
ini tidak bermakna orang Indonesia , sekitar 60 kg maka
kelompok yang diberikan adalah 0,24
Rate pressure product baik kelompok
mg, jadi lebih tinggi dari dosis yang
perlakuan maupun kelompok kontrol
diberikan pada penelitian ini. Penelitian
pada menit ke-2 lebih tinggi dan
Yokota dkk juga menyimpulkan
bermakna dibanding data dasar. Pada
klonidin dapat mencegah respon
menit ke-5 kelompok kontrol masih
hemodinamik selama intubasi fiberoptik
lebih tinggi tetapi tidak bermakna
nasal, dosis yang dipakai 5g/kgbb13.
dibanding data dasar. Perbedaan antara
kelompok perlakuan dan kelompok Ditinjau dari waktu pemberian obat ,
kontrol tidak bermakna baik pada menit pada penelitian ini klonidin oral
ke-2 maupun menit ke-5. diberikan 2 jam sebelum tindakan, jadi
sudah cukup waktu untuk proses
QTC hanya sedikit mengalami
absorpsi sampai menimbulkan efek
perubahan
farmakologis. Hal ini sesuai dengan
Melihat hal-hal diatas nampaknya penelitian sebelumnya dimana klonidin
pengaruh klonidin dalam penelitian ini oral diberikan antara 90 menit 120
tidak sepenuhnya bisa menghambat menit sebelum tindakan6-9 .
gejolak kardiovaskuler, terbukti masih
Menurut Abildskov, cathecolamine
terjadi kenaikan tekanan sistole dan
menyebabkan QT interval memanjang,
diastole. Sebagai sebab karena klonidin
hal ini terjadi pada penyuntikan cepat
dalam penelitian ini diberikan per oral.
cathecolamin14 . Tindakan laringoskopi
Hal ini sesuai dengan penelitian
intubasi menyebabkan stimulasi
Zalunardo dkk bahwa klonidin oral
simpatis dan berakibat meningkatnya
kurang efektif dibanding intravena6.
chatecolamin plasma6 . Hal ini diyakini
Berbeda dengan penelitian Talebi dkk akan menyebabkan QT interval
dimana klonidin oral dapat memanjang, memanjangnya QT interval
menimbulkan efek hemodinamik yang yang berat adalah terjadinya taki aritmia
stabil pada tindakan laringoskopi ventrikel diikuti dengan Torsades de
intubasi11. Perbedaan dengan penelitian pointes dan kematian15 .
ini mungkin karena Talebi memberikan

98 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pada penelitian ini pemanjangan QT 3. Setijanto E, Susuasta IM, Budiono U.


Respon Kardiovaskuler Pada Laringoskopi
interval baik kelompok perlakuan Intubasi Perbandingan Antara Pemberian
maupun kelompok kontrol tidak Lidokain Dan Fentanil. Anesthesia and Crit
Care 2002;23:10-18
bermakna, meskipun kelompok kontrol
lebih panjang tetapi juga tidak 4. Rathore A, Gupta HK, Tanwar GL.
bermakna. Hal ini berbeda dengan Attenuation of the pressure response to
laryngoscopy and endotracheal intubation
penelitian Sunaryo dan Endang with different doses of esmolol. Indian J.
Widiastuti sesudah laringoskopi Anaesth 2002;46:449-52.
intubasi endotrakea QTC memendek 5. Marwoto, Purwoko, Achmadi A.
tidak bermakna, pada penelitian Perbandingan Efek Verapamil dan Lldokain
Intravena terhadap Respon Kardiovaskuler
tersebut obat yang digunakan pada Tindakan Laringoskopi Intubasi.
midazolam, penthotal dan vecuronium16 Anesthesia and Crit Care 2002;23:10-18
sedang pada penelitian ini
6. Zalunardo MP, Serafino D, Szelloe P,
menggunakan midazolam, propofol dan Weisser F, Zollinger A, Seifert B, Pasch T.
atracurium. Preoperative clonidine blunts
hyperadrenergic and hyperdynamic
responses to prolonged tourniquet pressure
Pengaruh klonidin pada penelitian ini during general anesthesia. Anesth Analg.
tidak jelas terlihat ditandai dengan 2002 Mar;94(3):615-8
masih memanjangnya QTC meskipun 7. Yokota S, Komatsu T, Yano K, Taki K,
tidak bermakna dan ini seperti Shimada Y. Effect of oral clonidine
disampaikan sebelumnya bahwa premedication on hemodynamic response
during sedated nasal fiberoptic intubation.
sebagai penyebab adalah karena Nagoya J Med Sci. 1998 May;61(1-2):47-
kurangnya dosis yang diberikan. 52

8. Raval et al. Oral clonidine premedication


SIMPULAN for attenuation of haemodynamic response
to laryngoscopy and intubation. Indian J.
Premedikasi 5mg klonidin oral tidak Anaesth. 2002; 46: 124-129
berpengaruh pada perubahan Rate
9. Talebi H , Nourozi A, Fateh S,
Pressure Product dan interval QTc Mohammadzadeh A, Eghtesadi-Araghi P,
Jabbari S, Kalantarian M. Effects of oral
clonidine premedication on haemodynamic
DAFTAR PUSTAKA
response to laryngoscopy and tracheal
1. Mostafa SM, Murthy, BVS, Barrett P. J,
intubation: a clinical trial. Pak J Biol Sci.
McHugh P. Comparison of the effects of
2010 Dec 1;13(23):1146-50.
topical lignocaine spray applied before or
after induction of anaesthesia on the
10. Harshvardhana HS. Attenuation of
pressor response to direct laryngoscopy
haemodynamic response to Laryngoscopy
and intubation. Issue European Journal of
and tracheal intubation in adult Patients
Anaesthesiology. Eur J of Anaesth January
with a single bolus dose of 3g/kg body
1999;16 (1): 710
Weight of intravenous clonidine a
prospective Randomized double blind
2. Hamill JF, Bedford RF, Weaver DC,
clinical study [dissertation]. Bangalore:
Colohan AR. Lidocaine before
Rajiv Gandhi University of Health
endotracheal intubation: intravenous or
Sciences; 2011.
laryngotracheal? Anesthesiology. 1981
Nov;55(5):578581
11. Keersebilck E, De Deyne C, Struys M,

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 99


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Vissers K, Heylen R. Influence of 14. Abildskov J, My G. Atrial fibrillation as


clonidine on haemodynamic responses to self-sustaining arrhythmia independent of
endotracheal intubation after sevoflurane focal discharge. Am. Heart. J. 1959; 5 (58):
inhalation induction in adult patients. 59-70.
European Journal of Anaesthesiology
2000;17: 8 15. Schwartz PJ, Stramba-Badiale M, Segantini
A, Austoni P, Bosi G, Giorgetti R, Grancini
12. Tewari A, Katyal S, Singh A .Prophylaxis F, Marni ED, Perticone F, Rosti D, Salice
with oral clonidine prevents perioperative P. Prolongation of the QT interval and the
shivering in patients undergoing sudden infant death syndrome. N Engl J
transurethral resection of prostate. Indian Med. 1998 Jun 11;338(24):1709-14.
Journal of Urology 2006: 122-35
16. Soenarjo, Widiyastuti E. Perubahan
13. Wallace A., Ratcliffe M.B., Galindez D., interval QTc akibat induksi anestesi dan
and Kong J.S. L-Arginine Infusion Dilates intubasi, Media Medika Indonesia. 2001;
Coronary Vasculature in Patients 36 (2): 67-71.
Undergoing Coronary Bypass Surgery.
Anesthesiology 90(6): 15771586 , 1999.

100 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Induksi Propofol dan Ketamin terhadap Kadar Procalcitonin
Plasma
The Effect of Propofol and Ketamine Induction on Plasma Procalcitonin
Level
Aunun Rofiq*, Johan Arifin*, Witjaksono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Procalcitonin used as one of the inflammatory response to infection.
Induction of anesthesia used drugs known to affect the increase in procalcitonin
Objective: Determine the effect of differences in propofol and ketamine on levels of
procalcitonin in general anesthesia
Method: a quasi experimental study on 16 subjects who performed general anesthesia.
The samples were divided into 2 groups each of 8 samples, group 1 and 2 get a dose of
propofol 2.5 mg / kg intravenous or ketamine 2 mg / kg intravenous as an anesthetic
induction drugs. anesthesia were mainained with O2 and N2O with a ratio of 50%:
50%. Subject blood samples were taken before induction, 4 hours and 24 hours
following induction.
Results: There were significant difference in procalcitonin levels before and after
treatment in the propofol group (K1) (p = 0.008) and no significant difference in the
ketamine group (K2) (p = 1,00). Procalcitonin levels amid values K1 and K2 were
0.175 0.1 and 0.05 0.05. Propofol causes marked elevated levels of procalcitonin
compared to ketamine (p = 0.053)
Conclusion: Propofol significantly increased procalcitonin levels compared to
ketamine
Keywords: propofol, ketamine, procalcitonin, general anesthesia
ABSTRAK
Latar belakang: Procalcitonin merupakan salah satu petanda respon inflamasi
terhadap infeksi. Obat induksi anestesi dapat mempengaruhi kadar procalcitonin
plasma.
Tujuan: Menilai pengaruh propofol dan ketamin terhadap kadar procalcitonin dalam
induksi general anestesi
Metode: Studi quasi experimental terhadap 16 subjek yang menjalani general
anestesi. Sampel dibagi menjadi grup 1 yang mendapatkan propofol dengan dosis
2,5 mg/kgbb intravena dan grup 2 yang mendapatkan ketamin dengan dosis 2 mg/kgbb
intravena sebagai obat induksi anestesi selama prosedur penelitian, anestesi rumatan
O2 dan N2O dengan rasio 50%:50%. Sampel darah subjek diambil sebelum induksi,
jam ke-4 dan jam ke -24.
Hasil: Didapatkan perbedaaan kadar procalcitonin bermakna sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok propofol (K1) (p=0,008) dan perbedaan tidak bermakna
pada kelompok ketamin (K2) (p=1,00). Nilai tengah kadar procalcitonin K1 dan K2

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 101


Jurnal Anestesiologi Indonesia

adalah 0,1750,1 dan 0,050,05. Propofol menyebabkan peningkatan kadar


procalcitonin lebih tinggi dibandingkan ketamin (p=0,053)
Kesimpulan : Propofol secara bermakna meningkatkan kadar procalcitonin
dibandingkan ketamin
Kata kunci : Propofol, ketamin, procalcitonin, induksi, general anestesi

PENDAHULUAN

Hampir semua tindakan operasi antara lain propofol dan ketamin.


dilakukan dibawah pengaruh anestesi Propofol sering digunakan karena
dan sebagian besar dengan anestesi memiliki onset cepat, durasi pendek dan
umum. 1 Penderita pasca operasi dengan waktu pulih sadar cepat 9,10 Sediaan
anestesi umum mempunyai risiko terjadi propofol mempunyai komponen protein
Systemic Inflammatory Response yang dapat memicu respon inflamasi dan
Syndrome (SIRS) dan sepsis pasca merupakan media yang baik untuk
operasi. pertumbuhan bakteri.10 Sedangkan
Ketamin merupakan derivat
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi phencyclidine yang dapat mensupresi
sistemik terhadap infeksi, dimana produksi netrofil yang merupakan
patogen atau toksin dilepaskan ke dalam mediator inflamasi, serta meningkatkan
sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi aliran darah. Ketamin juga menurunkan
proses inflamasi. 2,3 Tes laboratorium migrasi lekosit ke sel endotel serta
yang dapat digunakan untuk mengetahui mensupresi sitokin proinflamatori dalam
adanya proses inflamasi antara lain darah.
jumlah leukosit, laju endap darah, C-
reaktif protein (CRP), Tumor necrosis Penelitian yang membandingkan
factor (TNF- ) dan IL-1 dan IL-6.3,4 perubahan kadar PCT pada obat propofol
Procalcitonin (PCT) merupakan dan ketamin belum pernah dilakukan
pemeriksaan yang dapat diandalkan namun terdapat potensi bahwa
untuk menegakkan diagnosis infeksi komponen utama sediaan obat mungkin
bakteri akut, dan dapat pula digunakan mempengaruhi perubahan kadar PCT
untuk menilai proses inflamasi. Kadar maupun menginduksi proses inflamasi.
PCT serum 0,5-2 ng/ml menunjukkan Penelitian ini bertujuan membandingkan
probabilitas infeksi bakteri pada kondisi peningkatan kadar PCT pada induksi
SIRS dan berisiko terhadap terjadinya anestesi dengan propofol dan ketamin.
sepsis, sedangkan kadar >2ng/ml
METODE
dikatakan sudah memasuki kondisi
sepsis.5-8 Penelitian ini adalah penelitian Quasi-
experimental pada 16 pasien. Dengan
Tindakan anestesi untuk GA
kriteria inklusi wanita usia 19 - 65 tahun
membutuhkan obat untuk induksi,
yang menjalani operasi elektif dengan

102 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

General Anesthesia (GA), status fisik HASIL


ASA I-II. Pasien di eksklusikan bila
Enam belas penderita bedah yang
memiliki alergi terhadap propofol dan
menjalani operasi MRM pada periode
ketamin, dan operasi bersinggungan
Oktober 2012 hingga Desember 2012
dengan saluran pencernaan dan daerah
diikutsertakan dalam penelitian ini.
tiroid
Karakteristik umum pasien pada masing
Pemilihan subjek penelitian dilakukan -masing kelompok yang didapatkan dari
saat kunjungan prabedah di RSUP Dr pemeriksaan awal tersebut
Kariadi Semarang . Subjek diberikan dideskripsikan dalam tabel 1. Sebelum
penjelasan tentang hal-hal akan dilakukan induksi, subjek menjalani
dilakukan dan diminta menandatangani pemeriksaan darah rutin dan kadar
lembar informed concent jika setuju procalcitonin awal. Leukosit sebelum
mengikuti penelitian. Selanjutnya secara perlakuan berbeda bermakna diantara
random sederhana pasien dibagi menjadi kedua kelompok (p=0,015. Kadar PCT
2 kelompok yaitu kelompok 1(K1) sebelum perlakuan tidak berbeda
Propofol dan kelompok 2 (K2) ketamin, bermakna pada kedua kelompok (tabel
sehingga masing-masing kelompok 2).
berjumlah 8 orang.
Pada kelompok propofol terjadi
Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum peningkatan kadar procalcitonin setelah
operasi dan mendapatkan cairan infus dilakukan perlakuan sedangkan pada
ringer laktat. Setelah pasien di kamar kelompok ketamin tidak peningkatan
operasi diambil sampel darah vena 10cc dari kadar procalcitonin. Kadar PCT 4
dari v. mediana cubiti kemudian segera jam dan 24 jam setelah perlakuan
diperiksa kadar procalcitonin pra berbeda bermakna pada kedua
perlakuan. Saat induksi anestesi semua kelompok.(tabel 5)
pasien mendapatkan obat induksi
PEMBAHASAN
propofol atau ketamin. Untuk
pemeliharaan anestesi, obat anestesi Procalcitonin (PCT) merupakan suatu
inhalasi mengunakan enflurane dan pemeriksaan laboratorium baru yang
menggunakan gas anestesi dengan digunakan sebagai marker terjadinya
perbandingan antara O2:N2O sebesar SIRS dan sepsis.Kadar PCT meningkat
50%:50%. Pengambilan sampel darah seiring dengan peningkatan beratnya
berikutnya dilakukan pada 4 dan 24 jam respon inflamasi.11,12
setelah induksi.
Sediaan obat induksi anestesi yang
Data yang terkumpul dianalisis berupa emulsi dengan komponen utama
menggunakan piranti lunak SPSS for protein seperti susu kedelai dan
Windows versi 16. komponen telur dapat memicu
peningkatan procalcitonin oleh

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 103


Jurnal Anestesiologi Indonesia

rangsangan dari luar.13 Propofol sebagai endothelial.15 Ketamin pada penelitian


salah satu obat induksi anestesi dengan ini tidak mempengaruhi kadar PCT
kandungan protein tinggi pada setelah perlakuan hal ini sesuai dengan
pelarutnya memiliki potensi untuk sediaan kedua obat berbeda dengan
merangsang proses inflamasi hebat propofol berupa larutan dengan pelarut
padat tubuh sehingga mempengaruhi utama terdiri dari susu kedelai dan putih
mediator-mediator, sehingga telur. 1,8,10
menyebabkan peningkatan kadar
Susanne dkk mendokumentasikan bahwa
procalcitonin. Hal ini sesuai dengan
sevoflurane lebih menekan pelepasan
penelitian yang dilakukan V.Von
PCT dibandingkan dengan propofol dan
Dossow dkk yang mendokumentasikan
menyimpulkan bahwa sevofluran lebih
efek propofol terhadap peningkatan IL-6
menekan respon inflamasi dibandingkan
dan Il-10 pada penderita dengan latar
propofol.13 Sejalan dengan penelitian
belakang konsumsi alkohol yang
tersebut, dalam penelitian ini juga dapat
menjalani operasi.14 Pada penelitian ini,
dilihat peningkatan kadar leukosit pada
terbukti bahwa propofol meningkatkan
kelompok propofol lebih tinggi
kadar PCT pada penderita yang
dibandingkan kelompok ketamin
menjalani operasi MRM dengan GA
ditunjukan dengan nilai peningkatan
ditunjukan peningkatan kadar PCT
leukosit. Pada penelitian ini pada
setelah 4 jam perlakuan dan 24 jam
peningkatan kadar leukosit kelompok
setelah perlakuan meningkat secara
propofol lebih signifikan pada 4 jam
signifikan, dengan nilai p ,masing
(p=0,002 )dan 24 jam (p=0,004) setelah
masing p=0,01 pada 4 jam setelah
perlakuan.
perlakuan dan p=0,03 pada 24 jam
setelah induksi Kadar PCT meningkat secara signifikan
pada kelompok propofol dibandingkan
Sedangkan ketamin mensupresi
dengan ketamin setelah 24 jam
produksi netrofil yang merupakan
(p=0,008).
mediator inflamasi, serta meningkatkan
aliran darah. Ketamin juga menurunkan Penelitian ini menunjukan bahwa
migrasi lekosit ke sel endotel serta propofol dapat menyebabkan
mensupresi sitokin proinflamatori dalam peningkatan kadar PCT pada penderita
darah. Ketamin mensupresi produksi dengan induksi anestesi sehingga
LPS-induced TNF-, IL-6 dan IL-8 dan berpotensi untuk terjadinya SIRS hingga
rhTNF-induced IL-6 and IL-8 dalam sepsis
darah manusia. TNF- adalah sitokin
pertama yang timbul setelah stimulasi SIMPULAN
LPS, yang kemudian menstimulasi
Pada penelitian ini, didapatkan
sekrasi IL-6 and IL-8 dari makrofag
kesimpulan bahwa induksi anestesi
monocytes, neutrophils, dan sel
dengan Propofol 2,5 mg/kgbb untuk

104 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1 Karakteristik umum subyek pada masing-masing kelompok

Propofol Ketamin
No (n=8) (n=8) p
Median(min-max) Median(min-max)
Umur 40,5 (21-61) 38,5 (23-65) 0,725
1
(tahun)
Lama operasi 135,0 (120-150) 120,0 (75-160) 0,383
2
(menit)
Hb 12,9 (10,3-14,9) 11,9 (10,2-14,0) 0,195
3
Sebelum perlakuan (gr/dl)
Leukosit 6050 (4500-8600) 6300 (4600-8700) 0,015
4
sebelum perlakuan (mm3)
Procalcitonin 0,05 (0,05-0,05) 0,05 (0,05-0,05) 1,00
5 Sebelum perlakuan
(ng/dl)

Tabel 2 Perbedaan kadar PCT (ng/dl) sebelum induksi antara kedua kelompok

No Deskripsi Median (min-max) P


1 Propofol 0,05 (0,05-0,05) 1,00
2 Ketamin 0,05 (0,05-0,05) 1,00

Tabel 3. Perbedaan kadar PCT (ng/dl) 4 jam setelah induksi antara kedua kelompok.

No Deskripsi Median (min-max) P


1 Propofol 0,06 (0,05-0,08) 0,010
2 Ketamin 0,05 (0,05-0,05 1,00

Tabel 4. Perbedaan kadar PCT (ng/dl) 24 jam setelah induksi antara kedua kelompok.

No Deskripsi Median (min-max) P


1 Propofol 0,10 (0,05-0,08) 0,03
2 Ketamin 0,05 (0,05-0,05 1,00

Tabel 5. Perbedaan kadar PCT (ng/dl) antara sebelum induksi, 4jam dan 24 jam setelah induksi.

Sebelum Antara 4 jam


4 Jam 24 jam
Induksi dan 24 jam
No Deskripsi
Median Median Median
P P P P
(min-max) (min-max) (min-max)

0,05 0,06 0,10


1 Propofol 1 0,01 0,03 0,008
(0,05-0,05) (0,05-0,08) (0,05-0,08)

0,05 0,05 0,05


2 Ketamin 1 1 1 1
(0,05-0,05) (0,05-0,05 (0,05-0,05)

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 105


Jurnal Anestesiologi Indonesia

lebih meningkatkan kadar procalcitonin 17


8. O'Connor E, Venkatesh B, lipman J, et al.
setelah 4 jam dan 24 jam perlakuan Procalcitonin in Critical Illness. Critical
dibandingkan Ketamin 2 mg/kgbb. Care and Resuscitation 2001; 3: 236-243
9. Trapani G, Altomare C, Liso G, Sanna E,
Biggio G. Propofol in anesthesia.
DAFTAR PUSTAKA Mechanism of action, structure-activity
relationships and drug delivery. Curr Med
Chem. 2000 Feb;7(2):249-71
1. Danish MA. Dr Azams Notes in 10. Stoelting RK, Hillier SC, Pharmacology &
Anesthesiology. Bangalore: Anesthesiology Physiology in Anesthetic Practice, 4th
& Critical Care Department B.M.Jain edition, Philadelphia : Lippincott; 2006.
Hospital;2010. available from: http:// 11. Ismanoe G. The Role of Cytokine in The
www.drazam.com/index.php? Pathobiology of Sepsis : proceeding of the
p=1_8_Education-Teaching-Programme 2nd Indonesian Sepsis Forum. March 7th-
(accessed 18 Jun 2012) 9th, 2008, Surakarta : UNS Press; 2008
2. Balk RA. Severe Sepsis and Septic Shock, 12. Susanne C, Peter F, Joerg M, Klaus P.
Definition, Epidemiology and Clinical Effect of sevoflurane and propofol on
Manifestation. Crit Care Clin 2000;16 (2) procalcitonin and C-reactive protein
179-92. concentration in patients undergoing off-
3. Delinger RP. Surviving Sepsis Compaign pum coronary artery bypass graft surgery.
Guidelines for Management of Severe Anesthesiology 2002; 96: A155.
Sepsis and septic Shock. Crit Care Med 13. Bozeman WP, Kleiner DM, Huggett V. A
2004; 32: 858-873 comparison of rapid-sequence intubation
4. Pohan HT. Pemeriksaan Procalcitonin and etomidate-only intubation in the
untuk Diagnosis Infeksi Berat. In: Pohan prehospital air medical setting. Prehosp
HT, Widodo D, editor. Penyakit Infeksi. Emerg Care. 2006; 10(1): 8-13.
Jakarta: FKUI; 2004. P. 32-9 14. Dosow V.V, Haas A, Kastrup M, Geyer T,
5. Reinhart K, Karzai W. Procalcitonin as a Spies D. Influence of remifentanil versus
marker of the systemic inflammatory fentanyl analgesia on the perioperative
response to infection. Intensive Care Med. course of plasma procalcitonin levels in
2000 Sep;26(9):1193-200 patients undergoing cardiac surgery.
6. Meisner M, Brunkhorst FM, Reith H, Anesthesiology 2005; 103: A320.
Schmidt J. Clinical Experiences with a New 15. Aalto H, Takala A, Kautiainen H.
Semi-Quantitative Solid Phase Laboratory markers of systemic
Immunoassay for Rapid Measurement of inammationas predictors of bloodstream
Procalcitonin. Clin Chem Lab Med 2000; infection inacutely ill patients admitted to
38 (10): 989-95 hospital in medical emergency. Eur J Clin
7. Simon L, Gauvin F, Amre DK, et al. Serum Microbiol Infect Dis 2004; 23:699704
Procalcitonin and C-Reaktive Protein
Levels as Marker of Bacterial Infection : A
Systematic Review and Meta-analysis.
Clinical Infectious Diseases 2004; 39: 206

106 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Preventif Multimodal Analgesia Terhadap Dinamika Kadar Il -
1, Intensitas Nyeri Pada Pascabedah Laparotomi Ginekologi
The Effect Of Preventive Multimodal Analgesia On Il-1 Level And Pain
Intensity In Post Gynecologic Laparotomy
Muhammad Hisyam*, Muhammad Ramli*, Burhanuddin Bahar**
*Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar
**Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar

ABSTRACT

Background: Postoperative pain is an extremely important issue facing patients


postoperative. Although our knowledge of the mechanisms of postoperative pain has
been a lot of progress, but not yet optimal management of postoperative pain and still
often neglected. Interleukin (IL) 1 is one of the proinflammatory cytokine levels will
rise when the inflammatory process.
Objective: This study aims to compare the level of IL-1 between the group receiving
epidural bupivacaine 0.125% combined with 40 mg parecoxibe and the one treated
with epidural bupivacaine 0.125% used as multimodal preventive analgesia after
gynecological laparotomy operation.
Method: A randomised double blind experiment was administered to 50 patients with
physical status (ASA PS) II who would experience gynecological laparotomy
procedure with epidural anesthesia. The study subjects were divided into two
treatment groups, one with a combination between epidural bupivacaine 0,125% and
parecoxib 40 mg (n = 25) and the other one with a placebo combination with NaCl
0,9% (n = 25). Each would have epidural anesthesia during operation and the
postoperative analgesia. Thirty-five minutes before surgery, the patients blood
sample was taken for IL-1 level measurement and so was at 2 and 24 hours after
surgery. Statistical analysis used statistical software, Mann-Whitney U test and Levane
test.
Result: Average level of IL-1 in parecoxib group was 1,051,25 pg/ml
preoperatively, 1,24 1,54 pg/ml 2 hours postoperative and 1,82 2,16 pg/ml 24
hours postoperative. In control group, IL-1 level was 1,651,69 pg/ml preoperatively,
2,552,77 pg/ml 2 hours postoperative and 1,961,97 pg/ml 24 hours postoperative.
Average NRS score between resting and moving was not significantly different at 2, 12
and 24 hours postoperative (p>0,05).
Conclusion: Combination of epidural bupivacaine 0,125% with parecoxibe 40 mg
decrease IL-1 level at 2 hour after the surgery.
Keywords: Bupivacaine, Epidural , IL-1, Laparotomy Gynecology, Parecoxib.

ABSTRAK

Latar Belakang: Nyeri pascabedah merupakan permasalahan sangat penting yang


dihadapi pasien pascabedah. Meskipun pengetahuan kita tentang mekanisme nyeri
pascabedah sudah mengalami banyak kemajuan, namun pengelolaan nyeri

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 107


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pascabedah belum optimal dan masih sering terabaikan. Interleukin (IL) 1 adalah
salah satu sitokin proinflamasi yang kadarnya akan meningkat bila terjadi proses
inflamasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar IL-1, skala NRS, pada
kelompok yang mendapatkan epidural bupivakain 0,125% kombinasi parecoxib 40 mg
dengan kelompok yang mendapatkan epidural bupivakain 0,125% yang digunakan
sebagai multimodal preventif analgesia pascabedah laparotomi ginekologi.
Metode: Penelitian eksperimental dilakukan secara acak pada 50 pasien dengan
status fisik (ASA PS) II yang akan menjalani prosedur laparotomi ginekologi dengan
anestesi epidural. Subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok perlakuan, yakni
kelompok pertama dengan kombinasi parecoxib 40 mg (n=25) dan kelompok kedua
dengan kombinasi plasebo NaCl 0,9% (n=25). Kedua kelompok tersebut mendapatkan
anestesi epidural selama operasi dan sebagai analgesia pascabedah. Pengambilan
sampel darah pasien dilakukan 35 menit sebelum pembedahan untuk pengukuran
kadar IL-1 , selanjutnya dilakukan pada 2 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis
statistik menggunakan uji Mann-Whitney U dan Levane test.
Hasil: Rerata kadar IL-1 prabedah pada kelompok parecoxib 1,051,25 pg/ml, 1,24
1,54 pg/ml untuk 2 jam pascabedah dan 1,82 2,16 pg/ml pada 24 jam pascabedah.
Kelompok kontrol, kadar IL-1 prabedah 1,651,69 pg/ml, 2,552,77 pg/ml untuk 2
jam pasca bedah pg/ml, dan 1,961,97 pg/ml pada 24 jam pascabedah. Tidak ada
perbedaan bermakna rerata skor NRS diam dan bergerak 2 jam, 12 jam, dan 24 jam
pascabedah diantara kedua kelompok sampel (p>0,05).
Kesimpulan: Kombinasi epidural bupivakain 0,125% dengan parecoxib 40 mg dapat
menurunkan kadar IL-1 pada 2 jam pascabedah.
Kata kunci: Bupivakain, Epidural, IL-1, Laparotomi Ginekologi, Parecoxib

PENDAHULUAN
Respon inflamasi terhadap trauma
Nyeri pascabedah merupakan
pascabedah dapat menginduksi respon
permasalahan sangat penting yang
stres neuroendokrin, yang pertama pada
dihadapi pasien pascabedah. Nyeri
jaringan inflamasi perifer yang dapat di
pascabedah akan mempengaruhi sistem
hambat oleh anestesi lokal dan
kardiovaskuler, respirasi dan endokrin.
cyclooxygenase (COX-2) inhibitor. Jalur
Meskipun pengetahuan kita tentang
yang kedua adalah sinyal humoral yang
mekanisme nyeri pascabedah sudah
berasal dari jaringan inflamasi perifer
mengalami banyak kemajuan, namun
menyebabkan produksi sitokin seperti
pengelolaan nyeri pascabedah belum
Interleukin-1 (IL-), IL-2, IL-6 dan
optimal dan masih sering terabaikan.
tumor necrosing factor (TNF) yang akan
Suatu survey yang dilakukan Apfelbaum
menginduksi penyebaran dan
pada tahun 2003, menemukan bahwa
peningkatan COX-2 dan sintesa
sekitar 82% pasien masih mengalami
prostaglandin yang berada di central
nyeri akut, 47% diantaranya dengan
nervous system (CNS). Hal ini tidak
nyeri sedang dan 40% dengan nyeri
dapat dihambat dengan efektif oleh
berat dan sangat berat.1

108 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

anestesi regional, namun pemberian melibatkan nyeri somatik dan viseral.


COX-2 inhibitor yang bekerja sentral Nyeri kronik pasca histerektomi
akan menekan produksi ini.2 Sekarang merupakan masalah klinis yang besar, 5-
ini the American Society of 30 % pasien yang menjalani
Anesthesiology Task Force on Acute histerektomi masih merasakan nyeri
Pain Management dan the Agency for setelah 1 tahun pascabedah.7
Health Care research and Quality
Barton dkk dalam penelitiannya
menganjurkan penggunaan pendekatan
mengungkapkan bahwa injeksi
multimodal analgesia dalam penangan
parecoxib sama efektifnya dengan
nyeri akut.3
ketorolak dalam menurunkan nyeri
Ahmad pada tahun 2012, dalam sebuah pascabedah pada operasi laparatomi
penelitian menunjukkan bahwa ginekologi.8 Ng dalam penelitiannya
analgesia preemptif epidural memiliki tentang penggunaan parecoxib pada
rasio sitokin proinflamasi/anti-inflamasi histerektomi total abdominal
lebih rendah dibanding kelompok merekomendasikan penggunaan
kontrol namun tidak berbeda bermakna, parecoxib 40 mg iv sebagai sparing
dan membuktikan bahwa epidural morfin.9 Malan menyatakan injeksi
preemptif tidak dapat menekan parecoxib intramuskular 40 mg sama
sensitisasi sentral melalui jalur efektifnya dengan morfin 12 mg pada
4
humoral. Samad dkk. pada tahun 2002, pembedahan laparatomi ginekologi.10
melalui penelitiannya menyatakan
Naito dkk, mengungkapkan bahwa blok
bahwa, epidural hanya dapat
epidural tidak dapat mencegah respon
menghambat jalur neural dan tidak
hormon stres pada pembedahan
dapat menghambat jalur humoral.5
abdomen bagian atas.11 Aida dkk,
Beilin dkk pada tahun 2003, melakukan menyatakan bahwa keefektifan dari
penelitian mengenai preemptif analgetik yang diberikan dipengaruhi
analgesia dengan menggunakan oleh jenis pembedahan, dimana
epidural terhadap skor nyeri dan analgesia preemptif tidak efektif pada
produksi sitokin, membuktikan bahwa pembedahan yang melibatkan organ
penggunaan epidural preemptif dapat viseral dan peritoneum (laparotomi).12
menurunkan skor nyeri dan produksi IL
Uraian tersebut merupakan dasar dari
-1, IL-6, IL-1ra secara signifikan
penelitian ini, namun dari seluruh
kurang meningkat dibandingkan
6 penelitian mengenai analgesia preemptif
kelompok kontrol.
dan preventif yang dipublikasikan
Pembedahan histerektomi merupakan belum pernah dilakukan kombinasi
salah satu jenis pembedahan ginekologi teknik analgesia epidural dengan
yang paling banyak dilakukan, dimana menggunakan bupivakain 0,125% dan
nyeri pascabedah pada prosedur ini fentanyl dengan parecoxib 40 mg iv

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 109


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada pembedahan laparotomi jam dan 24 jam pascabedah. dicatat


ginekologi dengan menilai kadar IL-1 pada lembar pengamatan selama periode
dan intensitas nyeri. pengamatan.

Data yang diperoleh diolah dan hasilnya


ditampilkan dalam bentuk narasi, tabel
METODE
atau grafik. Analisis statistik yang
Penelitian ini dilakukan di kamar bedah digunakan piranti lunak statistik yaitu
RS Wahidin Sudirohusodo Makassar sebagai berikut: (1) Kadar IL-1 dengan
selama + 2 (dua) bulan (Juni 2013- Juli uji Mann-Whitney U (2) Velocity
2013). Penelitian ini merupakan uji menggunakan Levane test (3) Nilai NRS
klinis acak tersamar ganda ( consecutive dengan uji Mann-Whitney U (4)
random sampling). Kebutuhan analgetik diuji dengan uji
Mann-Whitney U.
Populasi penelitian adalah pasien yang
menjalani prosedur laparotomi HASIL
ginekologi di ruang bedah sentral RS
Karakteristik Pasien
Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya
selama masa penelitian. Sampel Dari Tabel 1 dan Tabel 2, dapat dilihat
sebanyak 50 orang yang dipilih secara bahwa tidak didapatkan perbedaan
acak yang telah memenuhi kriteria bermakna dari data demografi pada
inklusi yaitu: pasien yang menjani kedua kelompok penelitian. Sehingga
prosedur laparotomi ginekologi dengan karakteristik dari 50 sampel penelitian
prosedur epidural anestesi, ASA PS 1 dinyatakan homogen. Dari Tabel 1,
2, usia 18 60 tahun, IMT 18 25 kg/ karakteristik menurut umur, IMT , lama
cm2, tidak mempunyai penyakit operasi, dan konsumsi anestesi lokal,
jantung, obesitas, hati, gangguan ginjal, dari 50 sampel penelitian dinyatakan
osteoartritis, tidak mengkonsumsi homogen dengan nilai p>0,05. Terlihat
antibiotik dan menggunakan bahwa untuk kategori umur didapatkan
kortikosteroid lama serta bersedia nilai rerata umur untuk kelompok
untuk mengikuti penelitian ini dan Parecoxib (44,2 5,1) tahun dan
menandatangani informed consent yang kelompok kontrol (44,8 5,6) tahun
telah dikeluarkan oleh Komisi Etik dengan nilai (p=0,733), kategori IMT
Fakultas Kedokteran Universitas didapatkan nilai rerata IMT untuk
Hasanuddin. kelompok Parecoxib (21,70,9) kg/m2
dan kelompok kontrol (21,4 0,9) kg/m2
Pengumpulan data dilakukan oleh kami
dengan nilai (p=0,184), kategori durasi
dibantu oleh peserta PPDS
operasi didapatkan nilai rerata pada
anestesiologi Unhas di RS Wahidin
kelompok Parecoxib (101,6 15,5)
Sudirohusodo. Data pasien mengenai
menit dan pada kelompok kontrol
pengambilan darah pada jam ke 0, 2

110 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Perbandingan Umur, IMT, Durasi dan Anestesi Lokal menurut Kelompok

Kelompok N Rerata Simpang Baku P


Umur Parecoxib 25 44,2 5,1 0,733
Kontrol 25 44,8 5,6
IMT Parecoxib 25 21,7 0,9 0,184
Kontrol 25 21,4 0,9
Durasi Parecoxib 25 101,6 15,5 0,251
Kontrol 25 106,6 18,4
Anestesi Lokal Parecoxib 25 115,6 19,2 0,743
Kontrol 25 117,4 17,9

Data disajikan dalam bentuk nilai rerata,simpang baku dan nilai p diuji dengan Uji Mann Whitney-U,
bermakna jika p<0,05

Tabel 2. Sebaran Diagnosis menurut Kelompok

Kelompok
Parecoxib Kontrol Total
Diagnosis Tumor Ovarium N 8 11 19
% 32,0% 44,0% 38,0%
Tumor Uterus N 17 14 31
% 68,0% 56,0% 62,0%
Total N 25 25 50
% 100,0% 100,0% 100,0%

Data diuji dengan uji Chi Square (p=0,382), bermakna bila p<0.05

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 111


Jurnal Anestesiologi Indonesia

(106,618,4) dengan nilai (p=0,251), dapat terlihat bahwa antara kedua


kategori konsumsi anestesi lokal kelompok, terdapat perbedaan yang
didapatkan nilai rerata konsumsi bermakna kadar IL-1 pada 2 jam
anestesi lokal pada kelompok Parecoxib pascabedah (p<0,05), sementara kadar
(115,619,2) mg dan pada kelompok IL-1 pra bedah dan 24 jam pascabedah
kontrol (117,417,9) mg dengan nilai tidak terdapat perbedaan yang bermakna
(p=0,743). Semua pasien yang (p>0,05).
diikutkan termasuk kategori ASA PS
Intensitas nyeri
II.
Intensitas nyeri pada penelitian ini
Pada Tabel 2, karakteristik menurut
diamati dengan menggunakan NRS saat
diagnosa prabedah dimana pada
istirahat maupun bergerak/batuk pada
kelompok Parecoxib, pasien dengan
saat 2 jam, 12 jam, dan 24 jam
diagnosa tumor ovarium sebanyak 8
pascabedah, namun dalam rentang 24
pasien (32%), tumor uterus 17 pasien
jam pascabedah bila NRS > 4 akan
(68%). Pada kelompok kontrol, pasien
diberikan tambahan analgetik. Pada
dengan diagnosa tumor ovarium
Tabel 4 didapatkan bahwa tidak ada
sebanyak 11 pasien (44%), tumor uterus
perbedaan bermakna rerata skor NRS
14 (56%).
diam 2 jam, 12 jam, dan 24 jam
Kadar IL-1 pascabedah diantara kedua kelompok
sampel (p>0,05).
Untuk mengamati perbandingan kadar
IL-1 sebagai respon inflamasi, Pada Tabel 5 didapatkan bahwa tidak
dilakukan pengukuran kadar IL-1 ada perbedaan bermakna rerata skor
secara serial, yaitu pada saat prabedah, NRS bergerak 2 jam, 12 jam, dan 24
2 jam dan 24 jam pascabedah. Hasil jam pascabedah diantara kedua
analisa dari pengukuran kadar IL-1 kelompok sampel (p>0,05).
pada kedua kelompok dapat dilihat pada
PEMBAHASAN
Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa
kadar IL-1 prabedah pada kelompok Penelitian ini dilakukan untuk melihat
parecoxib memiliki nilai rata-rata 1,05 pengaruh penggunaan kombinasi
pg/ml dengan nilai simpang baku 1,25 parecoxib 40 mg IV dengan analgesia
pg/ml, untuk 2 jam pascabedah adalah epidural 0,125% dengan ajuvan
1,24 1,54 pg/ml dan 24 jam fentanyl terhadap kadar IL-1 dan
pascabedah adalah 1,82 2,16 pg/ml. intensitas nyeri pascabedah laparatomi
Pada kelompok kontrol, kadar IL-1 ginekologi.
prabedah adalah 1,651,69 pg/ml,
untuk 2 jam pasca bedah adalah Pada penelitian ini diperoleh hasil kadar
2,552,77 pg/ml, dan pada 24 jam IL-1 mengalami perubahan yang
pascabedah 1,961,97. Pada tabel 3 signifikan pada kelompok parecoxib

112 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Perbandingan Kadar IL-1 menurut Kelompok


Kelompok N Rerata Simpang Baku P
Kadar IL-1 Awal Parecoxib 25 1,05 1, 25 0,162
Kontrol 25 1,65 1,69
Kadar IL-1 2 Jam Parecoxib 25 1,24 1,54 0,044
pasca bedah
Kontrol 25 2,55 2,77
Kadar IL-1 24 Jam Parecoxib 25 1,82 2,16 0,820
Pascabedah
Kontrol 25 1,96 1,97

Data disajikan dalam bentuk nilai rerata,simpang baku dan nilai p diuji dengan Uji Mann Whitney-U, bermakna jika
p<0,05.

Tabel 4. Perbandingan Skor NRS Diam menurut Kelompok

Kelompok N Rerata Simpang Baku P


NRS Diam awal Parecoxib 25 0,0 0,0 1,000
Kontrol 25 0,0 0,0
NRS Diam 2 Jam Parecoxib 25 2,0 0,3 1,000
Kontrol 25 2,0 0,0
NRS Diam 24 Jam Parecoxib 25 1,9 0,3 1,000
Kontrol 25 1,9 0,3

Data disajikan dalam bentuk nilai rerata,simpang baku dan nilai p diuji dengan Uji Mann-Whitney U , bermakna jika
p<0,05.

Tabel 5. Perbandingan NRS Bergerak menurut Kelompok


Kelompok N Rerata Simpang Baku p
NRS Bergerak awal Parecoxib 25 0,0 0,0 1,000
Kontrol 25 0,0 0,0
NRS Bergerak 2 Jam Parecoxib 25 2,9 0,4 0,967
Kontrol 25 2,9 0,3
NRS Bergerak 24 Jam Parecoxib 25 2,1 0,4 0,106

Data disajikan dalam bentuk nilai rerata,simpang baku dan nilai p diuji dengan Uji Mann-Whitney U , bermakna jika
p<0,05

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 113


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dibandingkan kelompok kontrol dimana yang ketiga adalah proporsi pasien yang
perubahan dinamika kadar IL-1 sangat memerlukan rescue lebih banyak pada
terlihat perbedaan pada jam ke 2 pasca Kelompok Kontrol dibandingkan
bedah. Hal ini dapat diasumsikan Kelompok Parecoxib (p<0,05),
bahwa pemberian parecoxib pada selanjutnya adalah waktu pemberian
analgesia epidural mampu menekan rescue pertama pada kelompok kontrol
kadar IL-1 secara konsisten pada jam juga lebih cepat dibanding kelompok
ke 2 pasca bedah dibandingkan dengan Parecoxib. Hal ini membuktikan bahwa
epidural tunggal yang tidak mampu parecoxib 40 mg IV yang dikombinasi
menekan lonjakan IL-1 pada jam ke 2 dengan analgesia epidural lebih superior
pasca bedah. dibandingkan plasebo.

Penelitian ini mendukung penelitian Hasil penelitian ini sejalan dengan


sebelumnya bahwa penggunaan penelitian yang dilakukan oleh Xu et al.
analgesia epidural dan COX-2 selektif (2010), Buvanandran et al. (2003), dan
inhibitor dapat menekan sitokin Esme et al.(2011) bahwa pemberian
proinflamasi dimana jika tidak terjadi COX-2 inhibitor memiliki intensitas
sensitisasi sentral maka kadar IL-1 nyeri yang lebih rendah dibanding grup
dapat dicegah peningkatannya. kontrol, perbedaannya adalah penelitian
ini membandingkan antara intensitas
Pada hasil penelitian ini di dapatkan
nyeri saat istirahat dan bergerak.
NRSI sebelum dan pascabedah tidak
berbeda antara dua kelompok (p>0,05). Tidak adanya perbedaan yang bermakna
Sehingga dapat dikatakan secara klinis antara NRSI dan NRSB pada Kelompok
pada waktu pengamatan yaitu prabedah, Parecoxib sesuai dengan teori yang
2 dan 24 jam pascabedah tidak ada menyatakan bahwa pemberian COX-2
perbedaan intensitas nyeri saat istirahat. inhibitor yang bekerja sentral dapat
Namun bila diamati lebih lanjut terjadi mencegah terjadinya sensitisasi sentral
beberapa perbedaan klinis dalam melalui hambatan PGEs baik perifer
rentang waktu 24 jam pascabedah maupun sentral. Adanya respon
diantara 2 kelompok, perbedaan inflamasi akibat kerusakan jaringan
pertama adalah NRSB 24 jam pascabedah sensitif terhadap blokade
pascabedah (p<0,05) , pada Kelompok neural oleh anestetik lokal maupun
Parecoxib tidak didapatkan alodinia terhadap COX inhibitor yang bekerja
namun di Kelompok Kontrol terdapat perifer, namun sinyal inflamasi yang
alodinia pada jam ke-24 (p<0,05), yang beredar di sirkulasi sitemik dan
kedua adalah perbedaan konsumsi menginduksi sebaran COX-2 di SSP
analgetik epidural antara 2 kelompok, tidak efektif semata-mata di tekan oleh
Kelompok Kontrol memiliki konsumsi anestesi regional sehingga dibutuhkan
analgetik epidural lebih besar (p<0,05) kombinasi dengan COX-2 inhibitor
dibandingkan Kelompok Parecoxib, yang bekerja sentral agar dapat secara

114 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

optimal mengurangi nyeri pascabedah 5. Samad TA, Sapirstein AA, Woolf CJ.
Prostanoid and pain : unraveling mechanism
dan respon stres pascabedah. and revealing therapetic targets. Trens Mol
Med. 2012; 8:390-96.
SIMPULAN
6. Beilin B, Bessler H, Mayburd E, Smirnov G,
Kombinasi epidural bupivakain 0,125% Dekel A. Effect of preemtive analgesia on
pain and cytokine production in
dengan parecoxib 40 mg mengurangi postoperative period. Am Societ Anesth.
intensitas nyeri pascaoperasi dan dapat 2003; 98:151-55.
mengurangi kebutuhan analgetik 7. Brandsborg B, Dueholm M, Jensen TS.
epidural maupun analgetik tambahan Nikolajsen L. Mechanosensitivity before and
after hysterecyomy: a prospective study on
serta dapat menurunkan kadar IL-1 the prediction of acute and chronic
pasca operasi. postoperative pain. Br J Anest. 2011; 9:1-8.

8. Barton SF, Langeland FF, Snabes MC,


LeComte D, Kuss ME. Efficacy and safety of
DAFTAR PUSTAKA intravenous parecoxib sodium in relieving
acute postperative pain following
1. Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS, Gan TJ.
gynecologic laparotomy surgery.
Postoperatif pain experience: result from a
national survey suggest postoperatif Anesthesiology. 2002; 97:306-14.
continues to be undermanage. Anesth Analg. 9. Ng A, Smith G, Davidson AC. Analgesic
2003; 97(2) ):534-40 effects of parecoxib following total
abdominal hysterectomi.Br J Anaesth. 2003;
2. Reuben S, Buvanendran A. The role of
preventive multimodal analgesia and impact 90(6):746-9.
on patient outcome. In: Sinatra RS, Leon- 10. Malan TP, Gordon S, Hubbard R, Snabes M.
Casasola OAd, Ginsberg B, Viscusi ER, The cyclooxygenase-2 spesific inhibitor is
McQuay H, editors. Acute pain effective as 12 mg of morphine administered
management. 1st ed. 2009; New York: intramuscularly for treating pain after
Cambridge University Press. p. 172-83. gynecologic laparotomy. Anest Analg. 2005;
3. Ashburn MA, Caplan RA, Carr DB. 100:454-60.
Practice guidelines for acute pain 11. Naito Y, Tamai S, Shingu K, Matsui T,
management in the perioperative setting: an Segawa H. Responses of plasma
updated reported by the American Society of adrenocotricotropic hormone, cortisol, and
Anesthesiologiest task force on acute pain cytokines during and afterupper abdominal
management. Anesthesiology. 2004;
surgery. Anesthesiology. 1992; 77(3):426-31.
100:1573-81.
12. Aida S, Baba H, Yamakura T, Taga K,
4. Ahmad M.R. Peran analgesia epidural Fukuda S , Shimoji K. The effectiveness of
preemtif terhadap intensitas nyeri, respon preemtive analgesia variies according to the
hemodinamik serta dinamika kadar sitokin type of surgery: a randomized, double-blind
proinflamasi dan antiinflamasi pada pasca
study. Anesth Analg. 1999; 89:711-16.
bedah ekstremitas bawah [Disertasi]. 2012;
Makassar: Universitas Hasanuddin.

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 115


Jurnal Anestesiologi Indonesia

LAPORAN KASUS
Penatalaksanaan Anestesi Pada Total Anomalous Pulmonary Venous
Drainage
Anesthetic Management in Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage

Bagus Damar Ririh Wiyatmoko*, Chairil Gani Koto*


*Rumah Sakit Pusat Jantung Harapan Kita

ABSTRACT
Background : TAPVD is one of cyanotic congenital heart disease. There is no
connection between pulmonary vein and left atrium; pulmonary vein was directly
drain into right atrium or systemic vein (innominate, superior cava, Azygus, inferior
cava or portal vein) through alternative ways (vertical vein). All venous blood drain
into right atrium, thus the patient life depend on the connection between left and right
atrium.
Case: 12 years old boy with major complain exhausted and weight gain difficulty.
Echocardiography show supracardiac TAPVD (to innominate vein), large ASD (right
to left shunt), mild tricuspid regurgitation and moderate pulmonary hypertension.
Anesthetic management aimed to reduce pulmonary blood flow through controlled
ventilation dan quick extubation after repair procedure was finished. Central venous
pressure, arterial line and pulmonary arterial pressure monitoring is very useful.
Perioperative pulmonary hypertension could be treated with hyperventilation,
oxygenation, alkalinization, deep sedation dan muscle relaxant.
Keywords: Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage, congenital heart disease,
anesthesia
ABSTRAK
Pendahuluan: TAPVD merupakan salah satu CHD yang bersifat sianotik. TAPVD
merupakan anomali vena paru kongenital yang mana tidak ada hubungan antara
pembuluh darah paru dan atrium kiri; vena paru terhubung langsung ke atrium kanan
atau ke vena sistemik (inominata, vena cava superior, Azygus, vena cava inferior atau
vena portal) oleh jalur alternatif (vena vertikal). Karena semua darah vena kembali ke
atrium kanan, sehingga kelangsungan hidup penderita tergantung pada koneksi antara
atrium kiri dan kanan.
Kasus: Anak laki-laki 12 tahun dengan keluhan cepat lelah dan berat badan sulit naik.
Ekokardiografi menunjukkan adanya TAPVD supracardiac (ke V.inominata), ASD
besar (pirau kanan ke kiri), TR mild dan PH moderate. Prinsip manajemen anestesi
dengan mengurangi aliran darah ke paru melalui kontrol ventilasi dan pertimbangkan
ekstubasi cepat setelah repair. Monitoring dengan CVP, LA pressure dan PA pressure
sangat membantu. Hipertensi pulmonal perioperatif ditangani dengan hiperventilasi,
oksigen 100%, alkalinisasi, sedasi dalam dan pelumpuh otot.
Kata kunci: Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage, penyakit jantung bawaan,
anestesi

116 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN
sistemik (innominate, vena cava
Kelainan jantung bawaan (Congenital
superior, Azygus, vena cava inferior atau
heart disease, CHD) relatif jarang
vena portal) oleh jalur alternatif (vena
terjadi, diperkirakan <1% dari kelahiran
vertikal). Karena semua darah vena
hidup. Pada awal kelahiran beberapa
kembali ke atrium kanan, sehingga
CHD asimtomatik.1 CHD merupakan
kelangsungan hidup bayi tergantung
kelainan jantung yang sudah didapat
pada koneksi antara atrium kiri dan
sejak lahir. Manifestasinya klinis
kanan. 5
bergantung dari berat ringan penyakit,
mulai dari asimtomatis sampai dengan KASUS
adanya gejala gagal jantung pada
Anak laki-laki 12 tahun dengan keluhan
neonatus. Dengan berkembangnya
cepat lelah dan berat badan sulit naik.
teknologi, terutama dengan
Merupakan rujukan dari daerah dengan
ditemukannya ekokardiografi, banyak
diagnosis atresia aorta. Pemeriksaan fisik
kelainan jantung bawaan asimtomatis
pre operasi ditemukan tanda vital
yang dapat dideteksi. Tata laksana
normal, saturasi pre operasi 94% dan
meliputi non-bedah dan bedah. Tata
peningkatan suara jantung 2 dengan wide
laksana non-bedah meliputi pengobatan
fixed split tanpa murmur atau gallop.
medikamentosa dan kardiologi
Hasil laboratorium hematologi dalam
intervensi, sedangkan tata laksana bedah
batas normal, ronsen thorax ditemukan
meliputi bedah paliatif dan operasi
pinggang jantung datar, dan hasil
definitif.2 Salah satu bentuk CHD yang
ekokardiografi ditemukan TAPVD
jarang terjadi yaitu Total Anomalous
supracardiac (ke V.inominata), ASD
Pulmonary Venous Drainage (TAPVD)
besar (R-L shunt), TR mild dan PH
atau dikenal juga dengan Total
moderate.
Anomalous Pulmonary Venous
Connection (TAPVC) atau Total Pasien ini kemudian didiagnosis TAPVD
Anomalous Pulmonary Venous Return supracardiac, ASD besar dan PJB
(TAPVR).3-6 asianotik.
TAPVD merupakan salah satu CHD Dilakukan anestesi dengan premedikasi
yang bersifat sianotik, insiden sebesar midazolam, induksi dengan sufentanyl
0,008% dari kelahiran hidup, atau 10 g dan vecuronium 2 mg.
sebesar 2,2% dari CHD. TAPVD Pemeliharaan dengan sevoflurane 1%
merupakan anomali vena paru volume dalam O2: air = 50%:50%.
kongenital yang mana tidak ada Sufentanyl dan vecuronium bolus
hubungan antara pembuluh darah paru intermitten. Monitoring invasif dengan
dan atrium kiri; vena paru terhubung arterial line, central venous catheter
langsung ke atrium kanan atau ke vena (CVC) dan pulmonal artery line.

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 117


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Support selama operasi dengan milrinon portal. Tipe ini biasanya terjadi obstruksi
0,375 g/kgBB/menit dan NTG 1g/ dari aliran balik vena paru. Insiden: 24%
kgBB/menit. Durasi CPB selama 112 dari total kasus.
menit, aorta cross clamp 55 menit dan
Tipe IV, Sangat jarang, melibatkan
balans cairan -305.
beberapa drainase. Insiden: approx 5%
PEMBAHASAN dari total kasus.

TAPVC dibagi menjadi empat tipe: Pada pasien ini termasuk dalam TAPVD
supracardiac, cardiac, infracardiac, dan tipe I, dimana semua vena pulmonalis ke
campuran. Prinsip perbaikan operasi vena innominata kemudian ke vena cava
adalah membuat hubungan antara vena superior dan secara klinis merupakan
paru dan atrium kiri, hubungan dengan unobstructed TAPVD karena adanya
sirkulasi vena sistemik, dan menghapus ASD yang besar.
shunting intracardiac. Perbaikan yang
Gambaran klinis : 5
spesifik tergantung pada jenis koneksi
anomali. Obstruksi vena pulmonalis Timbulnya gejala: Kebanyakan pasien
merupakan komplikasi yang signifikan mengalami gejala dalam 1 tahun
dan komplek.4 kehidupan: takipnea, kesulitan makan,
sering infeksi pernafasan, dan gagal
TAPVD terbagi atas : 4,5
tumbuh.
Tipe-I: TAPVD melibatkan drainase ke
Awitan awal gejala: Pasien yang
dalam sistem vena sistemik melalui sisi
memiliki obstruksi vena pulmonalis
kiri vertikal vena (suatu sisa
dapat terjadi dalam hari-hari pertama
embryologic dari sistem kardinal kiri),
kehidupan dengan takipnea, sianosis, dan
yang mengalir ke kiri brakiosefalika
gagal jantung.
vena atau langsung ke vena kava
superior. Terjadi pada 46% dari pasien Temuan Klinis Klasik :5
yang memiliki TAPVD. Insiden: 46%
dari total kasus. Unobstructed TAPVD: ditemukan
Klasik ASD - split lebar dan suara
Tipe II: Ini melibatkan drainase jantung kedua tetap dengan S3 RV ejeksi
langsung ke jantung, biasanya melalui dan murmur ejeksi sistolik pada bayi
sinus koroner atau langsung ke dalam yang mengalami gagal jantung kongestif
atrium kanan. Insiden-26% dari total dan sianosis sehingga harus
kasus. meningkatkan kecurigaan TAPVD.
Tipe III: Ini melibatkan drainase melalui Obstructed TAPVD: biasanya pada
vena descending di bawah diafragma TAPVD, darah dari vena pulmonalis
dan bergabung dengan vena cava butuh waktu lebih lama untuk mencapai
inferior, vena hepatica, atau sistem atrium kiri. Jalur ini mungkin hanya

118 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Skematik TAPVD

Tipe I

Supracardiac TAPVC: common vein ke dalam vena innominate


atau vena kava superior melalui vena vertikalis

Tipe II

Cardiac TAPVC: vena pulmonalis ke dalam sinus koroner atau,


pada keadaan tertentu vena pulmonalis akan terhubung langsung
ke atrium kanan.

Tipe III

Infracardiac TAPVC: saluran vena pulmonalis melalui


diafragma ke dalam vena portal atau duktus venosus.

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 119


Jurnal Anestesiologi Indonesia

terbatas di tempat-tempat seperti di Komplikasi morbiditas utama yang


tingkat koneksi interatrial atau drainase terjadi pasien pasca operasi: 5
ke vena vertikalis secara ascending
Post-repair pulmonary venous
maupun descending yang
obstruction perlu intervensi ulang;
mengakibatkan peningkatan tekanan
Pulmonary vein stenosis biasanya tidak
vena pulmonalis dan penurunan cardiac
terdeteksi sebelum operasi; Late
output. Diagnosis ini harus dicurigai
arrhythmias seperti disfungsi sinus node,
pada neonatus yang sangat sianosis
termasuk sinus bradikardia, penurunan
dengan CHF.
kemampuan chronotropic pada sebagian
Foto thorak x-ray: Pada jenis besar pasien setelah 10 tahun pasca
unobstructed TAPVD, biasanya terdapat operasi.
hipertrofi ventrikel kanan dan atrium
kanan dengan peningkatan aliran darah Patofisiologi
paru. Pada pasien yang mempunyai Sebagai hasil dari campuran aliran vena
aliran balik ke vena brakiosefalika kiri, pulmonal dan sistemik, di atrium kanan
mungkin ada pembesaran mediastinum dan ventrikel kanan terjadi peningkatan
superior, bilateral dalam bentuk angka-8 volume pada semua pasien dengan
atau salju. Hasil elektrokardiogram anomali vena paru. Jika foramen ovale
biasanya akan menunjukkan kelainan tertutup, tekanan atrium kanan
right-axis deviasi dengan right atrial P- meningkat, terjadi kongesti vena
gelombang dan hipertrofi ventrikel sistemik dan paru. Meningkatkan aliran
kanan. Obstructed TAPVD dapat darah paru, dan hipertensi arteri
dengan ukuran jantung yang relatif pulmonalis mungkin terjadi. Atrium kiri
normal dan adanya hipertensi vena dan ventrikel kiri menerima aliran
pulmonal, ground glass opacity.5 kurang dari normal dan pompa kurang
dari volume normal, dengan beberapa
Ekokardiografi: Dua-dimensi
penurunan indeks jantung. Kebanyakan
echocardiography dapat menetapkan
pasien dengan total anomali paru
diagnosis dengan lebih akurat.5 CT
memiliki foramen ovale paten dengan
Angio/ kateterisasi konvensional:
beberapa tingkat pembatasan mengalir
mungkin diperlukan jika
trans-atrial. Jika tidak ada obstruksi vena
echocardiography belum meyakinkan
paru, meningkatkan aliran darah paru
dalam menentukan tempat koneksi vena
(misalnya, 3-5 kali volume sistemik) di
paru.5
awal masa bayi, dan saturasi oksigen
Pengobatan: Diagnosis TAPVD arteri dipertahankan, biasanya pada 90%
merupakan indikasi untuk operasi atau lebih tinggi. Tanda-tanda volume
jantung terbuka. Proses pembedahan jantung beban kanan atau gagal jantung
tergantung letak kelainan. kanan yang jelas.

120 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 1. View TEE setelah repair TAPVD,tampak drainase vena pulmonalis ke atrium kiri.

Gambar 2. Empat jenis utama TAPVD, ditandai oleh adanya aliran darah dari pembuluh darah paru ke
atrium kanan oleh vena masuk dari atas, bawah, di tingkat jantung atau kombinasi. Untuk masing-masing
jenis, ada hubungan atrium yang memungkinkan darah untuk mencapai sisi kiri jantung. TAPVD biasanya
mempunyai cacat jantung lain yaitu defek septum atrium (Atrial septal defect, ASD).6

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 121


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Jika terjadi obstruksi vena pulmonalis, TAPVD. Monitoring dengan


kongesti vena pulmonalis kemudian menggunakan CVP, LA pressure dan PA
terjadi dengan akibat aliran limfatik pressure mungkin akan sangat
paru pun meningkat dan peningkatan membantu.
aliran melalui jalur vena alternatif paru.
Setelah periode bypass, NO harus
Vasokonstriksi arteri Reflex paru juga
digunakan secara empiris untuk
dapat terjadi. Peningkatan resistensi
manajemen obstructed TAPVD dan
vaskuler paru menyebabkan penurunan
harus tersedia juga untuk yang non-
aliran darah paru dan volume yang
obstructed TAPVD jika sewaktu waktu
lebih rendah dari darah yang jenuh
diperlukan. Hipertensi pulmonal terjadi
dalam campuran vena. Penurunan
pada lebih kurang 50% pasien TAPVD
saturasi oksigen sistemik bersama
dan merupakan resiko mayor terjadinya
dengan penurunan indeks jantung dapat
kematian dini. Krisis hipertensi
menyebabkan penurunan yang parah
pulmonal dapat dihindari dengan
dalam pengiriman oksigen. 7
melakukan hiperventilasi, pemberian
Manajemen Anestesi oksigen 100%, alkalinisasi, sedasi,
pemberian pelumpuh otot. Magnesium
Pertimbangan intraoperatif pada pasien
sulfat dan prostaglandin E1 telah banyak
dengan PAPVD/ TAPVD hampir mirip
digunakan untuk mengobati hipertensi
dengan penatalaksanaan pasien dengan
pulmonal yang berat.8
ASD, karena adanya peningkatan
aliran darah ke paru. Mengurangi aliran Fungsi paru setelah periode bypass
darah ke paru dengan mengontrol kadang belum membaik akibat (i)
ventilasi dan mempertimbangkan untuk adanya edema pulmonum preoperatif
ekstubasi secara cepat setelah akibat efek sekunder dari obstruksi vena
dilakukannya repair merupakan tujuan dan (ii) akibat respon inflamasi akibat
utama pada pasien ini. CPB. Komplain paru menurun dan
gradien arterial-alveoli menjadi besar,
Penatalaksanaan pre-bypass pada pasien
fungsi paru dapat diperbaiki dengan
dengan dengan obstructed TAPVD
memberikan pressure control ventilation
dengan cara meningkatkan PO2,
dan PEEP untuk meningkatkan
memperbaiki asidosis metabolik yang 8
komplians paru.
terjadi, dan mempertahankan kestabilan
hemodinamik dengan obat-obatan Setelah repair, tekanan di atrium kiri
inotropik yang dibutuhkan. mungkin akan meningkat akibat aliran
Transesophageal echocardiography darah dari vena pulmonalis kembali ke
biasanya merupakan kontraindikasi atrium kiri,dimana sebelum repair,
karena dapat menyebabkan penekanan atrium kiri cenderung berukuran lebih
dan obstuksi pada vena pulmonalis kecil dan ventrikel kiri yang
meskipun pada jenis non-obstructed komplainnya kurang. Ketika weaning

122 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dari CPB diusahakan agar tekanan DAFTAR PUSTAKA


darah tidak terlalu tinggi untuk 1. Laurie K, Daniel KG. Anaesthetic
menghindari overdistended sisi kiri management for Congenital Heart Disease.
In: Hensley AF, Martin ED, Gravlee PG,
jantung. Pemberian cairan harus hati-
eds. Lippincott Williams & Wilkins. 5th ed.
hati dengan mengoptimalkan irama 2012: p. 375-438
jantung dan denyut jantung dan
2. Mulyadi M, Bambang M. Tatalaksana
pemberian inotropik akan Penyakit Jantung Bawaan. Sari pediatric
8
meningkatkan cardiac output. Selain 2000; 2(3): 155-62

itu bisa juga dengan pemberian obat 3. Sohsuke Y, Masanori H, Ke-Yong W, Yan
inodilator seperti milrinon yang dapat Ding, Xin Guo, Shohei Shimajiri, et al.
Total anomalous pulmonary vein drainage:
menurunkan left ventricular work dan Report of an autopsy case associated with
juga meningkatkan cardiac output. atresia of the common pulmonary vein and
left superior pulmonary vein. Pathology
Internationale 2011; 61: 93-8
RINGKASAN
4. Jennifer CH, Edward L.Total anomalous
Manajemen anestesi untuk pasien pulmonary venous connection.. European
dengan TAPVD: 1. Maksimalkan Association for Cardio thoracic surgery
2007; 1-7
oksigenasi dengan ventilasi mekanik,
FiO2 100% dan tindakan lain untuk 5. CME: Total Anomalous pulmonary venous
Drainage(TAPVD). Cited in : 25-1-2013.
menurunkan PVR; 2. Hipertensi Available from URL : http://
pulmonal perioperatif sering www.cardioiap.org/PDF/TAPVD.pdf
membutuhkan hiperventilasi, oksigen 6. Boston children hospitals. Anomalous
100%, alkalinisasi, sedasi dalam dan pulmonary venous return (TAPVR or
PAPVR). Cited in 26-1-2013. Available
pelumpuh otot; 3. Hindari penggunaan from URL : http://
TEE yang dapat memperburuk www.childrenshospital.org/az/Site475/
mainpageS475P1.html
obstruksi vena pulmonalis; 4. Hindari
pemberian cairan yang berlebihan pada 7. Allen DW. Total Anomalous Pulmonary
Venous Connection. Cited in 27-1-2013.
jantung kiri; 5. Pemberian obat Aailable from URL : http://
inotropik, inodilator; 6. Diagnosis dan emedicine.medscape.com/article/899491-
overview#a0104
obati bila ada gangguan irama jantung.
8. Dean BA, Stephen AS, Isobel AR.
Anesthesia for congenital heart disease.
2005. pg 310-314

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 123


Jurnal Anestesiologi Indonesia

LAPORAN KASUS
Penggunaan Opioid sebagai Balans Anestesi pada Craniotomi Emergensi
dengan Meningioma

Opioid In Balanced Anesthesia for Emergency Craniotomy with Meningioma

Yutu Solihat*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara/ RSU Haji Adam Malik Medan

ABSTRACT
Background: Balanced anesthesia is a technique of general anesthesia based on the
concept that administration of mixture agent inhalation and intravenous or
combinations anesthesia technique for desired advantages effect anesthesia. Opioid
as one component of balanced anesthesia proven can reduce perioperative pain and
anxiety, decrease somatic and autonomic responses to airway manipulation, improve
hemodynamic stability during noxious stimulation due to surgery, lower requirements
for inhaled anesthetics, and provide immediate postoperative analgesia. The goal of
maintenance anesthesia in neurosurgery is controlling brain tension through control
cerebral metabolic rate for oxygen consumption (CMRO2) and cerebral blood flow
(CBF). The specific anesthetic regimen is a combination of drugs that favorably affects
cerebral hemodynamics, CMRO2, and intracranial pressure (ICP) to provide good
operating conditions and to enhance the probability of a quality outcome. Opioid
generally produce modest decreases in the cerebral metabolic rate (CMR) and
intracranial pressure although such changes are influenced by the concomitant
administration of other agents and anesthetics.
Case: A female, 42 years old, predicted body weight 60 kg was admitted to the
hospital with main complain decreased level of consciousness suddenly.
(meningioma) on the parietal lobe.History of headache was found, no vomittus, and no
seizure. Physical examination revealed sensorium Glasgow Coma Scale 10 (E3M5V2),
status hemodynamic,we respiratory, laboratory and radiology findings were within
normal limits. Patient was scheduled for craniotomy emergency tumor removal under
general anesthesia intubation using endotracheal tube with opioid in balanced
anesthesia using fentanil.
Operation lasted for 3 hours. Intravenous injection of midazolam (2 mg) as

124 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

premedication was administered prior to anesthesia induction, fentanil 250 ug iv


(titration) was given 5 minute before propofol injection to reach peak level before
intubation. Induction with propofol 100 mg iv (titration) and muscle relaxant with
rocuronium 50 mg iv was given. During anesthesia patient fully controlled, maintenanced
O2:air 2l:2l, sevoflurane 0,5-1%, rocuronium 10 mg/hours/iv and fentanil 100-200 ug/
hours/iv syringe pump. Totally fentanil used was 900 ug and at the end of surgery patient
extubated. Pain management post operative used in ICU was fentanil 500 uq/24 hours/iv
and ketorolac 30 mg/8 hours/iv. Reassessed the level of consciousness post operative in
ICU was GCS 15.
Discussions: It has been reported that opioid in balanced anesthesia with tumor removal
(meningioma) in emergency craniotomy provide good operating conditions and excellent
outcome. Opioid in balanced anesthesia is a good choice for this case. Plasma opioid
concentrations required to blunt hemodynamic responses to laryngoscopy, tracheal
intubation, and various noxius stimuli, as well as plasma opioid concentration associated
with awakening from anesthesia and proven not increased cerebral metabolic and
intracranial pressure. Opioid dosage is titrated to the desired effect based on surgical
stimulus and revealed good recovery.
Keywords: Opioid in balanced anesthesia, neuroanesthesia, emergency craniotomy,
meningioma.

ABSTRAK
Latar Belakang: Balans anestesi adalah teknik anestesi umum berdasar konsep
pemberian campuran agen inhalasi dan intravena atau teknik anestesi kombinasi untuk
mendapatkan keuntungan efek anestesi.
Opioid sebagai salah satu komponen balans anestesi terbukti dapat mengurangi nyeri
perioperatif dan cemas, mengurangi respon somatik dan respon otonom terhadap
manipulasi saluran napas, meningkatkan stabilitas hemodinamik selama rangsang nyeri
operasi, kebutuhan anestesi inhalasi yang lebih rendah, dan memberikan analgesi segera
pasca operasi. Tujuan maintenans anestesi pada bedah saraf adalah mengontrol tekanan
otak melalui kontrol tingkat konsumsi oksigen metabolisme otak (CMRO2) dan aliran
darah otak (CBF). Preparat anestesi spesifik merupakan kombinasi obat yang
menguntungkan hemodinamik serebral, CMRO2, dan tekanan intrakranial (ICP) untuk

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 125


Jurnal Anestesiologi Indonesia

memberikan kondisi operasi yang baik dan untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang
berkualitas. Opioid umumnya menghasilkan penurunan sederhana dalam tingkat
metabolisme otak (CMR) dan tekanan intrakranial meskipun perubahan tersebut
dipengaruhi dengan pemberian agen lain.
Kasus: Seorang wanita, 42 tahun, berat badan 60 kg dirawat di rumah sakit dengan
keluhan utama penurunan kesadaran tiba-tiba. CT scan menunjukkan tumor
(meningioma) pada lobus parietal. Terdapat riwayat sakit kepala, tidak ada muntah, dan
tidak kejang. Pemeriksaan fisik menunjukkan Glasgow Coma Scale 10 (E3M5V2), status
hemodinamik, pernafasan, pemeriksaan laboratorium dan radiologi dalam batas normal.
Pasien dijadwalkan untuk kraniotomi pengangkatan tumor emergensi di bawah anestesi
umum, intubasi dengan endotrakeal tube dan opioid dalam balans anestesi menggunakan
fentanil . Operasi berlangsung selama 3 jam. Injeksi intravena midazolam 2 mg sebagai
premedikasi diberikan sebelum induksi anestesi, fentanil 250 ug/iv (titrasi) diberikan 5
menit sebelum injeksi propofol untuk mencapai tingkat puncak sebelum intubasi. Induksi
dengan propofol 100 mg iv (titrasi) dan pelumpuh otot dengan rokuronium 50 mg iv.
Selama anestesi, pasien dikontrol secara total, maintenans O2:udara 2l : 2l, sevofluran
0,5-1 % , rocuronium 10 m / jam/iv dan fentanil 100-200 ug/jam/ iv syringe pump. Total
fentanil digunakan adalah 900 ug dan pada akhir operasi pasien diekstubasi. Manajemen
nyeri pasca operasi yang digunakan di ICU adalah fentanil 500 uq/24 jam/iv dan
ketorolak 30mg/ 8 jam/iv. Pada asesmen ulang tingkat kesadaran pasca operasi di ICU
didapatkan GCS 15.
Pembahasan: Opioid dalam balans anestesi pada pengangkatan tumor (meningioma)
pada kraniotomi emergensi memberikan kondisi dan hasil operasi yang baik. Opioid
dalam balans anestesi adalah pilihan yang baik untuk kasus ini. Konsentrasi plasma
opioid yang diperlukan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi,
intubasi trakea, dan berbagai rangsangan noxius, serta konsentrasi plasma opioid yang
terkait dengan kebangkitan dari anestesi dan terbukti tidak meningkatkan metabolisme
otak dan tekanan intrakranial. Opioid dosis dititrasi untuk efek yang diinginkan
berdasarkan stimulus bedah dan menghasilkan pemulihan yang baik.
Kata kunci: Opioid dalam balans anestesi, neuroanesthesia, kraniotomi emergensi,
meningioma .

126 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN

Terminologi balanced anesthesia KASUS


pertama kali diperkenalkan oleh Jhon S.
Lundy (Mayo Clinic) pada tahun 1926. Seorang pasien perempuan, 42 tahun,
Opioid menjadi pilihan dalam balanced berat badan 60 kg datang dengan
anesthesia karena merupakan analgetik keluhan utama penurunan kesadaran
yang kuat (strong analgesia) sehingga mendadak sehari sebelum masuk rumah
mampu mengurangi nyeri perioperatif, sakit. Hasil CT scan dijumpai
mengurangi kecemasan (anxiety), meningioma di lobus parietal. Adanya
mengurangi respon somatik dan riwayat sakit kepala, tidak dijumpai
autonom terhadap tindakan manipulasi muntah maupun kejang sebelumnya dan
airway, menghasilkan kestabilan dari pemeriksaan fisik dinilai tingkat
hemodinamik yang dihubungkan dengan kesadaran dengan GCS 10 (E3M5V2).
adanya stimulus noxious (tindakan Pemeriksaan fisik dan penunjang yang
pembedahan).1,2,3 lain dalam batas normal. Pasien
direncanakan untuk tindakan
Keuntungan opioid dalam balance pembedahan emergensi pengangkatan
anesthesia ialah menghasilkan analgesi tumor kepala secara kraniotomi dengan
segera pasca operasi yang baik, bersifat teknik anestesi umum menggunakan
sinergistik sehingga dapat mengurangi pipa endotrakeal. Premedikasi dengan 2
kebutuhan propofol dan agen hipnotik- mg midazolam iv diberikan sebelum
sedatif yang lain selama rangsangan dilakukan induksi anestesi, fentanil 250
noksius seperti insisi kulit selama ug iv secara titrasi selama 5 menit
pembedahan, yang berujung dapat sebelum injeksi propofol untuk
mengurangi biaya dengan tujuan akhir mencapai kadar puncak dalam plasma.
adalah mempercepat pemulihan Induksi dengan propofol 100 g iv
1,4
pasien. (titrasi) dan diberikan obat pelumpuh
otot dengan rocuronium 50 mg iv.
Tujuan dari manajemen anestesi untuk
Selama anestesi berlangsung
bedah syaraf adalah mengatur
pemeliharaan diberikan dengan O2:air
keseimbangan terhadap tekanan di
2l:2l, agen inhalasi sevofluran 0,5-1%,
kepala dengan cara mempertahankan
rocuronium 10 mg/jam/iv, dan fentanil
CMRO2 dan CBF. Opioid secara umum
100-200 ug/jam/iv/syringe pump. Total
dapat menurunkan kebutuhan metabolik
fentanil adalah 900 ug iv. Pada akhir
rata-rata (CMR) dan tekanan intrakranial
operasi nafas pasien spontan dan dapat
meskipun seiring dengan pemakaian
diektubasi. Pasien dibawa ke ICU
agen anestesi yang lain.1,5
dengan manajemen nyeri pasca operasi
menggunakan fentanil 500 ug/24 jam iv

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 127


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dan ketorolak 30 mg/8 jam iv ,dan waktu, dan memberikan efek analgesia
dinilai ulang tingkat kesadaran di ICU pasca operasi dengan minimal efek
dengan tingkat kesadaran GCS 15 . samping.1,2,4,5

PEMBAHASAN Opioid dapat mengurangi nyeri pada


ventilasi sentral karena merupakan agen
Lundy pada tahun 1926, mengemukakan
yang efektif dalam mencegah
bahwa balans anestesi adalah
hiperventilasi yang diinduksi oleh karena
keseimbangan antara agen anestesi
nyeri atau kecemasan. Akibat nyeri
dengan teknik anestesi untuk
dapat meningkatkan tonus simpatis, yang
menghasilkan komponen anestesi yang
mengakibatkan hipertensi, takikardi,
berbeda yaitu analgesi, amnesia,
peningkatan intrakranial (ICP) dan
relaksasi otot dan blok saraf otonom
perubahan respon vasomotor.
dengan pemeliharaan yang seimbang.1,2
Mengontrol rasa nyeri dapat
Dapat diambil suatu kesimpulan bahwa menstabilkan hemodinamik, mengurangi
penggunaan opioid pada balans anestesi tekanan darah dan mengurangi rata-rata
adalah opioid sebagai salah satu metabolik serebral terhadap konsumsi
komponen dalam balans anestesi yang oksigen (CMRO2), serta mengurangi
dapat mengurangi nyeri pre-operatif dan ICP. Kurangnya rasa sakit yang
kecemasan, mengurangi respons otonom memadai dapat juga menyebabkan
dan somatik terhadap manipulasi jalan disfungsi respirasi pasca operasi. Opioid
nafas, mempertahankan kestabilan dapat digunakan sebagai analgesi pasca
hemodinamik selama rangsangan stimuli operasi untuk mencegah disfungsi
akibat pembedahan, mengurangi pernafasan dan dengan konsentrasi
pemakaian anestesi inhalasi, dan sebagai analgesi dapat mengurangi MAC
analgesi segera pada pasca operasi.1,2,3 anestesi inhalasi serta dapat mengurangi
CMRO2 dan CBF 1,6,9
Opioid yang ideal untuk digunakan
dalam balans anestesi selayaknya adalah Fentanil
menggunakan dosis titrasi yang
Fentanil merupakan opioid yang paling
disesuaikan, yang dapat mencegah
banyak digunakan dalam praktek
respon nyeri dan rangsangan noksius
anestesi saat ini karena opioid memiliki
akibat pembedahan, menumpulkan
onset kerja cepat, durasi yang relatif
respon hemodinamik saat tindakan
singkat. Fentanil, yang disintesis
laringoskopi dan intubasi, hanya
pertama kali pada tahun 1960, memiliki
memerlukan sedikit penambahan obat
beberapa keuntungan dalam
anestesi yang lain (intravena atau
penggunaannya, yaitu menghasilkan
inhalasi), tidak mendepresi fungsi
analgesia pasca operasi yang baik,
kardiovaskular, memberikan ventilasi
mengurangi kebutuhan agen anestesi
spontan yang adekuat secara tepat
inhalasi yang berujung dengan

128 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengurangi biaya dengan tujuan akhir ialah Penggunaan fentanil dengan dosis bolus
mempercepat pemulihan pasien. 1,2,3 secara intravena dapat diberikan dengan
dosis 3 ug/kgbb yang diberikan 25-30
Pada saat induksi anestesi pemakaian
menit sebelum insisi kulit, terbukti dapat
fentanil sebagai loading dose dapat
mengurangi MAC pemakaian anestesi
diberikan dengan dosis bekisar antara 2-6
inhalasi kira-kira sebesar 50% baik pada
ug/kg yang dikombinasi dengan pemakaian
Isofluran maupun Desfluran. Pemberian
agen hipnotik-sedatif yang lain seperti
fentanil dengan dosis 1.5 ug/kgbb yang
thiopental atau propofol dan pemberian
diberikan 5 menit sebelum induksi dapat
relaksasi otot. Pemeliharaan anestesi dapat
mengurangi pemakaian gas inhalasi baik
digunakan dengan N2O (60-70%) pada O2,
Isofluran maupun Desfluran dalam N2O
menggunakan sedikit anestesi inhalasi.1,6
60% dengan pengurangan hingga 60-
Penambahan fentanil adalah dengan dosis 70%. Konsentrasi plasma fentanil pada
inkremental antara 25-50 ug iv yang pasca operasi kira-kira 1.5 ng/mL tapi
dititrasi sampai mendapatkan efek yag level sedikitnya mencapai 2-3 ng/mL,
diinginkan atau dengan dosis 0.5-2.5 ug/kg biasanya diperlukan selama pembedahan
secara intermitten yang selama bila agen inhalasi hanya N2O. Pada
pembedahan dapat diulang dalam rentang pasca operasi, konsentrasi plasma
waktu antara 15-30 menit ataupun dapat fentanil bekisar antara 1.5-3.0 ng/mL
digunakan dengan infus secara konstan dapat mengurangi respon CO2 sebesar
dengan dosis 0.5-5.0 ug/kgbb/jam)3,7,8 50%.1,6

Dalam literatur, Barash Clinical Fentanil bersama dengan obat induksi


Anesthesia, secara umum pemakaian anestesi seperti propofol dan thiopental
fentanil dengan dosis bekisar antara 3-5 ug/ dapat digunakan untuk menumpulkan
kg/jam akan diperoleh masa pemulihan respon hemodinamik selama tindakan
dengan ventilasi yang spontan pada akhir laringoskopi dan intubasi trakea.
pembedahan. Pemakaian fentanil dikatakan Pemakaian dalam praktik secara klinis
dapat diberikan secara intermiten dengan bisa digunakan secara titrasi pada dosis
loading dose fentanil adalah 5-10 ug/kg bekisar antara 1.5-5 u/kg sebelum
atau dengan infus kontinu dengan rata-rata pemakaian barbiturat atau obat induksi
dosis 2-10 ug/kg/jam 3,7,8 yang lain. Oleh karena kadar puncak
fentanil dalam plasma antara 3-5 menit,
Bila fentanil akan diberikan sebagai dosis maka sebaiknya titrasi fentanil diberikan
tunggal untuk anestesi, memerlukan dosis secara komplit kira-kira 3 menit sebelum
inisial yang cukup besar dengan range dose dilakukannya tindakan laringoskopi
yang besar berkisar antara 50-150 ug/kgbb untuk mendapatkan hasil maksimal
atau konsentrasi fentanil dalam plasma dalam usaha untuk menumpulkan respon
bekisar antara 20-30 ng/mL.1,7,8 hemodinamik terhadap tindakan intubasi
trakea dan laringoskopi. 1,3,4,7,8

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 129


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Fentanil telah digunakan sebagai agen kraniotomi emergensi pada tumor


anestesi dengan range dosis yang besar. meningioma, seperti halnya pada kasus ini.
Penting untuk diketahui bahwa meskipun Dosis opioid dengan titrasi diperlukan
mula kerja fentanil cepat, tetapi untuk menumpulkan respon hemodinamik
membutuhkan waktu 5 menit untuk selama laringoskopi, intubasi trakea, dan
mencapai kadar puncak dalam plasma. beragam rangsangan bedah dan telah
Apabila fentanil diberikan dengan N2O dan terbukti tidak meningkatkan metabolik
oksigen saat induksi, dosis efektif untuk serebral dan intrakranial. Dosis opioid
menghilangkan kesadaran ialah 823 ug/ dengan titrasi memiliki efek yang
kg. Perlu diingat bahwa kombinasi N2O diinginkan selama pembedahan dan
dan opioid dosis sedang - dosis tinggi dapat penyembuhan yang baik segera pasca
menyebabkan kekakuan otot (muscle operasi. 2,3
rigidity). Hal ini dapat dikurangi dengan
Fentanil merupakan pilihan yang baik
memberikan berbagai ajuvan seperti
sebagai bagian dari balanced anesthesia
benzodiazepin, barbiturat, dan pelumpuh
terbukti menghasilkan masa pemulihan
otot.1,3,8
yang cepat dan sebagai analgesi pasca
SIMPULAN operasi yang memberikan hasil akhir yang
memuaskan, hal ini terbukti dengan
Opioid sebagai balanced anesthesia
derajat kesadaran pasien yang makin
adalah pilihan yang baik pada kasus
meningkat.

Tabel 1.Rentang Kadar Konsentrasi Plasma Opioid ( dalam ng/mL)

Fentanil Sufentanil Alfentanil Remifentanil

Predominan agen 15-30 5-10 400-800 -

Bedah Mayor 4-10 1-3 200-400 2-4

Bedah Minor 3-6 0,25-1 50-200 1-3

Ventilasi Spontan 1-3 <0,4 <200 0,3-0,6

Analgesia 1-2 0,2-0,4 50-150 0,2-0,4

Sumber : Bailey PL. Egan TD, Stanley TH : Intravenous Opioid Anesthetics. In Miller RD (ed) : Anesthesia , 5 th ed.
New York, Churchill Livingstone,2000,p 335

130 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR PUSTAKA intervention with morphine sulfate and


1. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, correlative analysis of respiratory, sleep, and
Robert K. Opioid. In :Clinical Anesthesia, 5th ocular motor dysfunction. Neurology 1990;
Edition Lippincott Williams & Wilkins. 40 : 1715-1720.
2006.353-400. 6. Katoh T, Uchiyama T,Ikeda K : Effect of
2. Andrews DT, Leslie K, Sessler DI, Bjorksten fentanyl on awakening concentration of
AR: The arterial blood propofol concentration sevoflurane. Br J Anaesth 1994; 73: 322-
preventing movement in 50% of healthy 325.
women after skin incision. Anesth 7. Glass PSA, Jacoba JR,Smith LR et al :
Analg 1997; 85:414-419. Pharmacokinetic model-driven infusion of
3. Fukuda K. Intravenous opioid anesthetics In : fentanyl : Assesment of accuracy.
Millers anesthesia. 6th ed. Churchill Anesthesiology 73 : 1082, 1990.
Livingstone, Philadelphia, 2009: 379-424 8. Morgan GE et al : Non Volatile Anaesthetic
4. Smith C, McEwan AI, Jhaveri R, et al: The Agents. In : Clinical Anesthesiology . 4th
interaction of fentanil on the Cp50 of propofol ed. Lange Medical Books/ Mc Graw Hill.
for loss of consciousness and skin 192-196, 2006.
incision. Anesthesiology 1994; 81:820-828. 9. Cottrell et al : The Management of Pain in
5. Jaeckle KA, Digre KB, Jones CR. Central the Neurosurgical Patient. In : Handbook of
Neurogenic Hyperventilation: Pharmacologic Neuroanesthesia .5th ed. Lippincott Williams
& Wilkins. 2012.70-76.

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 131


Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA
Pengawasan Curah Jantung

Cardiac output monitoring

Mochamat Helmi*

*Dokter Spesialis Anestesiologi lulusan FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Kandidat PhD pada Department Intensive Care
Adults, Erasmus University Medical Center, Rotterdam, The Netherlands

ABSTRACT

Cardiac ouput has a major role to determine tissue oxygen delivery and blood
pressure, therefore its monitoring became fundamental. Uptil now, the thermodilution
system remains a gold standard in cardiac output monitoring. However, it is well
known that this system has many risks due to its invasive methods. Therefore, the less
invasive, safe, accurate and easy to use cardiac output monitorings are under
developments. The aim of this review is to describe some cardiac output monitoring
methods.

Keywords: cardiac ouput, hemodynamic, hemodynamic monitorings, less invasive.

ABSTRAK

Sebagai faktor penentu dari hantaran oksigen ke jariangan dan juga tekanan darah,
curah jantung menjadi komponen penilaian hemodinamik yang penting.Penggunaan
teknik thermodilusi yang menjadi standar baku, telah banyak diketahui mempunyai
resiko karena teknik invasifnya. Sehingga teknik pengawasan CO yang kurang invasif,
aman,akurat dan mudah digunakan, terus mengalami perkembangan. Tinjauan
pustaka ini akan mamaparkan mengenai beberapa macam metode pengawasan CO.

Kata kunci: cardiac output, hemodinamik, pengawasan hemodinamik, less invasif.

PENDAHULUAN
dengan tujuan untuk membantu
Curah jantung / cardiac output (CO) mempertahankan oksigenasi jaringan 1.
merupakan bagian yang penting Karena CO tidak dapat diperkirakan
diperhatikan dalam tata laksana pasien dengan baik dengan menggunakan
resiko tinggi pada fase perio-operatif pemeriksaan fisik atau pemeriksaan rutin
atau di ICU. Pengawasan / monitoring lainnya. Nilai CO sendiri dapat
CO pada pasien-pasien sakit kritis memberikan informasi yang sangat
sangat dianjurkan untuk dilakukan bermanfaat kepada dokter anestesi atau

132 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

intensivist dalam melakukan tata laksana PAC ini. Selain itu dengan
pada pasien dengan masalah yang pemakaiannya yang relatif mudah,
kompleks 2. menjadikan PAC sebagai standard baku
dalam pengukuran CO. Pemakaian PAC
Pengukuran CO pertama kali dilakukan
bukan tanpa resiko. Ada banyak
oleh Adolph Fick pada tahun 18703,
penelitian mempertanyakan efektifitas
yang menyebutkan bahwa CO dapat
dan keamanan teknik ini 6-9. Beberapa
dihitung sebagai rasio antara konsumsi
komplikasi dari penggunaan PAC antara
oksigen (VO2) dan beda kadar oksigen
lain adalah kerusakan arteri karotis dan
pada darah arteri dan vena4:
subklavia, pneumothoraks, disritima,
Penggunaan prinsip Fick membutuhkan perforasi ruang jantung, tamponade,
kateterisasi arteri pulmoner yang kerusakan katub jantung, serta ruptur
pertama kali dilakukan pada hewan coba arteri pulmoner10,11. Hal inilah yang
(canine) pada tahun 1886 oleh Grehand kemudian memotivasi perkembangan
dan Quinquaud.Tetapi prinsip ini baru teknologi-teknologi terbaru dalam
dilakukan pada manusia setelah hampir pengukuran CO yang kurang invasif dan
5 dekade kemudian, pada tahun 1940 di berpotensi untuk lebih aman untuk
New York 3. Kemudian ditemukan digunakan2. Saat ini telah tersedia
pengukuran CO menggunakan teknik beberapa teknik alternatif, seperti
dilusi yang dilakukan oleh tim kerja oesophageal ultrasonografi Doppler,
Stewart pada akhir abad ke 19, dan transoesophageal echokardiografi,
kemudian dimodifikasi oleh Hamilton bioimpedansi elektris thorakal, dilusi
pada sekitar tahun 1930. Mereka lithium dan analisa gelombang pulsasi
menghitung CO dengan membagi (pulse wave analysis), yang kesemuanya
jumlah indikator yang diinjeksikan, relatif tidak invasif apabila dibandingkan
dengan area di bawah kurva dilusi. dengan PAC 12.
Teknik dilusi dipandang dapat
Beberapa dari teknik ini mampu menilai
diaplikasikan pada sebagian besar
volume sekuncup / stroke volume (SV)
kondisi klinis, sehingga teknik ini
secara berkelanjutan (continuous) dan
menjadi metode referensi dalam
pula mampu memberikan nilai
pengukuran CO.Pada pertengahan tahun
komponen hemodinamik lain yang dapat
1970an, kateter arteri pulmoner /
memprediksi respon pasien terhadap
pulmonary artery catheter (PAC)
pemberian cairan, menilai volume
berhasil didesain yang memudahkan
preload, dan mengukur saturasi vena
didapatkannya kurva thermodilusi
sentral secara berkelanjutan. Komponen-
dengan menggunakan komputer untuk
komponen tersebut dan nilai CO sangat
menganalisa dan menentukan nilai CO5.
membantu dalam melakukan penilaian
Sebagian besar penelitian-penelitian kondisi hemodinamik pasien kritis
telah menyimpulkan keakuratan teknik dengan lebih baik. Hanya saja perlu

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 133


Jurnal Anestesiologi Indonesia

VO2 : konsumsi oksigen (ml O2/menit)


CaO2 : kandungan oksigen dalam darah arteri (ml O2/100 ml darah)
CvO2 : kandungan oksigen dalam darah vena campuran ( ml O 2/ 100 ml darah)

Box 1. Rumus Fick.

Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi pemilihan alat pengawasan CO

Institusi Tipe institusi


Ketersediaan alat
Tingkat standarisasi
Integrasi pada sistem pengawasan standard
Jumlah pegawai
Pelatihan dan pengalaman

Alat Invasif / non invasif


Kemudahan dalam pemakaian
Keterbatasan teknis
Ketergantungannya pada operator
Validitas, akurasi dan kemudahan dalam pengukuran ulang
Informasi komponen hemodinamik lainnya yang tersedia
Aspek ekonomi

Pasien Keparahan penyakit


Ritme denyut jantung
Kontraindikasi
Jenis intervensi
Protokol terapi

Gambar 1. Sistem FloTrac (www.edwards.com)

134 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

diperhatikan bahwa tidak ada satupun saat sistolik dan diastolik akan
alat pengawan CO yang tidak menyebabkan semakin bertambahnya
mempunyai kelemahan. Oleh karena itu PP2. Nilai PP proporsional terhadap nilai
dirasa bijaksana untuk menyesuaikan SV dan berbanding terbalik dengan
pula kondisi pasien dalam pemilihan compliance vaskuler. Perubahan
jenis alat pengawasan CO13. gelombang PP dapat diprediksi dari
compliance dinding arterial dan SV.
FAKTOR-FAKTOR YANG
Karena compliance vaskuler tidak
MEMPENGARUHI PEMILIHAN
mudah untuk dinilai, maka nilai tersebut
ALAT PENGAWASAN CO
dapat dihitung berdasarkan umur, jenis
Ada baberapa faktor yang dapat kelamin, etnis, dan body mass index
mempengaruhi pemilihan alat (BMI)14 .Menggunakan rumus yang
pengawasan CO, yang dapat kompleks, metode-motode non-invasif
diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok tersebutdapat menilai CO dari analisa
utama (Tabel 1). Faktor institusi pulsasi kontur 15 . Idealnya, analisa
dianggap sebagai faktor yang paling pulsasi kontur dikalibrasi dengan
penting. Selain itu faktor alat (invasif/ menggunakan metode dilusi. Dimana
non invasif) dapat pula berperan. Lebih SV dihitung dan dibandingkan dengan
jauh lagi, kondisi pasien dapat SV yang didapatkan dari metode
menentukan apakah pasien memerlukan thermodilusi, untuk dapat menghitung
alat invasif atau yang non invasif 2. CO. Dengan analisa gelombang
berkelanjutan tiap denyut / beat-to-beat,
ANALISA PULSASI KONTUR CO dapat dinilai secara
16
berkelanjutan .Kalibrasi eksternal
Saat ini telah tersedia beberapa alat
disarankan untuk dilakukan tiap 6
yang menggunakan teknik analisa
sampai dengan 12 jam untuk menjaga
pulsasi kontur (pulse countour analysis)
keakuratan nilai yang didapatkan 15, 17.
untuk menentukan nilai CO, seperti
FloTrac, PiCCO, dan LiDCO, yang Meskipun nilai CO dari analisa
masing-masing berbeda dalam pulsasikontur menunjukkan nilai
kebutuhannya terhadap pengawasan kesepahaman yang baik dengan analisa
invasif dan kalibrasi eksternal. Metode CO dengan teknik lain, tetapi pengunaan
analisa pulsasi kontur dalam menilai obat-obatan vasoaktif (vasodilator/
CO menggunakan variasi gelombang vasokonstriktor) dapat menyebabkan
tekanan pulsasi / pulse pressure (PP). kesalahan dalam perhitungan CO 16,18.
Lebih penting lagi, teknik ini dapat juga
Secara umum, semakin besar SV,
menghitung variasi tekanan pulsasi /
semakin banyak darah dipompa ke
pulse pressure variation (PPV) dan
sistem arterial pada setiap denyut
variasi SV (SVV) pada pasien dengan
jantung. Sehingga semakin besar
ventilasi tekanan positif. Lebarnya PPV/
peningkatan dan penunurunan tekanan

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 135


Jurnal Anestesiologi Indonesia

CO = Dosis LiCl x 60 area x (1 hematokrit) l/menit


CO= cardiac output
LiCl= dosis lithium (mmol)
Area= integral dari kurva primer (mmol/liter), yang merupakan kurva yang dihasilkan pada 1 kali
sirkulasi lithium,

Box 2. Penghitungan CO pada system LiDCO

Gambar 2. Sistem LIDCO (www.lidco.com)

Gambar 3. Sistem PiCCO (www.pulsion.com)

136 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

SVV (10% sampai dengan 15%) Kesalahan yang bermakna ditemui pada
menandakan adanya hipovolemia yang pangukuran CO oleh FloTrac apabila
prediktif terhadap respon cairan 2. terdapat perbedaan mean arterial
pressure (MAP) antar 2 lokasi
FloTrac
kateterisasi bernilai lebih dari 5 mm
Sistem FloTrac (Gambar 1) Hg2 . Keunggulan lain dari sistem
diperkenalkan di Amerika Serikat oleh FloTrac ini adalah bahwa sistem ini tidak
Edwards Lifesciences, Irvine, CA, pada membutuhkan kalibrasi eksternal.
bulan April 2005. Sistem ini Analisa algoritma kontur yang dilakukan
diperkenalkan sebagai alat yang dapat oleh sistem FloTrac melakukan kalibrasi
melakukan penilaian CO, resistensi secara otomatis yang bedasarkan data
vaskuler sistemik, dan parameter demografis pasien dan analisa
dinamis (SVV) secara berkelanjutan gelombang.Kalibrasi ini dapat
dengan cepat dan akurat2 . disesuaikan dengan data individu pasien,
termasuk tonus vaskuler 2 .
Sistem ini sangat bergantung pada
algoritma perangkat lunak yang LiDCO
melakukan analisa terhadap karakteristik
Sistem LiDCO (Gambar 2)
gelombang tekanan arterial dan
dikembangkan oleh kelompok LiDCO
menggunakan informasi demografi
dan diperkenalkan pada praktik klinis
spesifik untuk menilai aliran darah.
pada awal dekade ini. Seperti halnya
FloTrac mempunyai beberapa fungsi
sistem FloTrac, sistem in imenggunakan
yang bermanfaat secara klinis. Pertama,
analisa pulsasi kontur dari jalur arterial
sistem ini secara teoritis dapat
untuk menentukan SV dan CO 2 .
digunakan pada tiap jalur kateter
Perbedaan yang paling bermakna dari
arterial; tidak diperlukan adanya kateter
kedua teknologi ini terdapat pada metode
tambahan. Selain itu, tidak ada batasan
kalibrasi analisa kontur. Beda halnya
dalam lokasi kanulasi arterial 2.
dengan sistem FloTrac yang tidak
Sistem ini telah digunakan pada menggunakan kalibrasi eksternal, sistem
beberapa penelitian dimana disimpulkan LiDCO menggunakan dilusi lithium
bahwa sistem ini dapat menyediakan untuk kalibrasi analisa algoritma pulsasi
nilai yang akurat baik dari kateter kontur. Kalibrasi ini dapat dilakukan
femoral ataupun radial 19,20 .Beberapa dengan melakukan injeksi lithium
penelitian menemukan adanya klorida dalam jumlah kecil ke dalam
perbedaan dalam penilaian CO dari vena sentral (disarankan) atau perifer.
beberapa lokasi kateterisasi yang Elektroda yang sensitif terhadap lithium
berbeda, terutama pada pasien dengan ditempatkan pada kateter arterial yang
hemodinamik tidak stabil dan/atau digunakan untuk menentukan kurva
dengan pennggunaan vasopresor. konsentrasi berdasarkan waktu untuk
menghitung nilai CO 21 .

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 137


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Setelah dilakukan kalibrasi, sistem yang disetujui untuk digunakan pada


LiDCO dapat melakukan pengukuran praktek klinis pada tahun 2000. Seperti
CO dengan menggunakan analisa halnya sistem LiDCO dan FloTrac,
pulsasi kontur. Kalibrasi eksternal sistem ini memberikan penilaiaan CO
dengan lithium ini tidak perlu diulang. melalui analisa pulsasi kontur dari
Pada umumnya, disarankan kalibrasi gelombang arterial. Seperti halnya sistem
dilakukan paling tidak setiap 8 jam. LiDCO, sistem ini membutuhkan
Tetapi, beberapa penelitian kalibrasi eksternal untuk memulai
menyebutkan bahwa apabila dilakukan analisa2 . Dengan teknik ini, ujung
perubahan terapi yang bermakna, kateter biasanya berada di aorta
termasuk dilakukan bolus cairan, maka desenden melalui jalur femoral. Saline
disarankan untuk dilakukan kalibrasi dingin (15 mL) diinjeksikan melalui
lebih sering.14, 22 . vena sentralis. Penilaian CO dan
kalibrasi sistem pulsasi kontur
Hanya saja, akurasi pengukuran CO dari
didapatkan setelah terjadi perubahan
analisa dengan sistem ini belum diteliti
temperatur di aorta akibat injeksi saline
dengan mendalam. Populasi pasien yang
dingin tersebut [26-28]. Selain analisa
kecil, perbedaan setting penelitian, dan
CO, PiCCO juga dapat memberikan
perbedaan standard baku menjadikan
beberapa pengukuran lain yang
membuat penyamaan hasil (generalisasi)
bermanfaat di kamar operasi dan ICU.
hampir tidak mungkin untuk dilakukan.
Penilaian volume akhir diastolik global
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa
(global end-diastolic volume) dari empat
sistem ini akurat23 dan ada yang
ruang jantung memberikan penilaian
menyebutkan sebaliknya24, 25 . Sehingga
terhadap preload jantung. Volume darah
lebih pastinya, penelitian lebih lanjut
intra-thoraks juga dapat digunakan untuk
masih diperlukan untuk dapat
menilai preload. Komponen ini termasuk
menunjukkan kemampuan sistem
volume pada sistem pulmoner selain
LiDCO untuk menyediakan pengkuran
volume darah di dalam jantung.
CO di setting perioperatif 2.
Sedangkan indeks fungsi jantung
LiDCO dapat menunjukkan mencerminkan kontraktilitas global dan
2
hemodinamik : 1. Tekanan (sistolik, rasio aliran dan preload. Cairan ekstra
diastolic, dan rerata); 2. Laju denyut vaskular paru (extravascular lung water)
jantung; 3. SV dan CO; dan 4. menunjukkan cairan pada ruang
Parameter preload dinamis (PPV dan intraseluler, intersitisial, dan
SVV). intraalveoler yang merupakan metode
untuk menilai edema pulmoner2 .
PiCCO
PiCCO dapat menunjukkan parameter-
Sistem PiCCO (Gambar 3) parameter dinamis untuk menunjukkan
dikembangkan oleh Pulsion Medical responsivitas terhadap cairan. Selain itu,

138 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

teknik ini juga dapatmenunjukkan data terjadinya proses penghangatan


hemodinamik yang sangat bermanfaat indikator thermal oleh massa tubuh
untuk memahami kondisi fisiologis ekstravaskuler 27,28, yang mengakibatkan
pasien 2 yaitu 1. Responsivitas terhadap perubahan temperatur terukur menjadi
cairan: PPV dan SVV; 2. CO kurang reflektif dibandingkan dengan
Thermodilusi transpulmoner dan dilusi sesungguhnya 2.
Analisa pulse contour; 3. Extravascular
Ada beberapa situasi klinis dimana tidak
lung water index (EVLWI): membantu
semua parameter-parameter PiCCO
penilaian edema pulmoner; 4. Global
bernilai valid. Thermodilusi
end-diastolic volume index (GEDI):
transpulmoner mempunyai beberapa
membantu menilai volumetric preload;
keterbatasan seperti perhitungan
5. Cardiac function index yaitu
thermodilusi menggunakan PAC.
kalkulasi indeks dari fungsi jantung
Seperti selama periode resusitasi atau
Salah satu kekurangan dari teknik ini penggunaan katekolamin, dimana
adalah perlunya kateterisasi arteri diperlukan adanya rekalibrasi. Beberapa
proksimalis dengan kateter khusus penulis melaporkan bahwa CO pulsasi
(thermistorstipped). Produsen kontur yang didapatkan dari PiCCO
menyarankan pengunaan kateterisasi senilai dengan CO yang didapatkan
arteri femoral, aksiler atau dengan menggunakan thermodilusi CO
brakhial.Penggunaan arteri radialis berkelanjutan atau intermiten 29, 30.
mempunyai 2 kekurangan apabila
ULTRASONOGRAFI
dibandingan dengan arteri pada lokasi
OESOPHAGEAL DOPPLER
yang lebih proksimal. Pertama,
penyimpangan gelombang akibat area Pengawasan CO dengan menggunakan
kateterisasi menjadi diminimalisir, oesophageal Doppler dapat mengukur
sehingga analisa pulsasi kontur menjadi velositas aliran darah di dalam aorta
kurang rentan terhadap kesalahan desenden30. Dengan menggunakan
sebagai akibat dari vasokonstriktor perubahan frekuensi gelombang
thermoregulasi atau akibat penggunaan ultrasound yang dapat mencerminkan
vasopressor26. Kedua, apabila obyek yang bergerak (akibat
dibandingkan dengan arteri radialis, perpindahan Doppler), maka velositas
area arteri lainnya yang disebutkan aliran darah dapat dinilai. Apabila
sebelumnya memberikan hasil yang pengukuran ini dikombinasi dengan
dapat diprediksi, dengan kondisi suhu estimasi area potong lintang dari aorta
yang homogennya untuk mendapatkan yang didapatkan dari umur, tinggi dan
pengukuran thermodilusi berat badan pasien, maka akan
transpulmoner. Selain variabilitas didapatkan komponen hemodinamik
ekstremitas, jarak yang lebih jauh untuk seperti SV, CO dan cardiac index.
transit intravaskuler menyebabkan Metode ini mempunyai keunggulan

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 139


Jurnal Anestesiologi Indonesia

karena dapat menunjukkan pengukuran hubungannya dengan ketepatan yang


yang berkelanjutan, dengan syarat menunjukkan responsibilitas dari sebuah
keakuratan komponen berikut dapat penilaian. Teknik ini sangat bergantung
diperoleh: 1. area potong lintang aorta pada kepiawaian operator dan posisi
harus akurat; 2. gelombang ultrasound probe yang sangat mudah berubah pada
harus paralel terhadap aliran darah; saat dilakukan penilaian,sehingga dapat
3.arah gelombang tidak berubah ke mengurangi preisis penilaian yang
derajad manapun antar pengukuran / dilakukan36 . Hal ini kemudian dapat
penilaian. mengurangi korelasi antara esophageal
Doppler dengan teknik monitoring CO
Variasi dari kondisi-kondisi tersebut
lainnya37, 38. Selain itu, teknik ini dapat
menyebabkan ketidak akuratan
mengukur aliran darah pada aorta
pengukuran.
desenden dan membuat asumsi dari
Curah jantung dan SV yang didapatkan partisi tetap antara aliran ke pembuluh
dari oesophageal Doppler telah darah cefalika dan ke aorta desenden.
dibandingkan dengan thermodilusi pada Meskipun teknik ini dinilai valid pada
beberapa penelitian, dan dari penelitian- kondisi sehat, korelasi tersebut dapat
penelitian tersebut, rentang didapatkan berubah pada pasien dengan penyakit
dari korelasi buruk ke baik 31-33 . Sebuah tertentu, dan pada beberapa kondisis
meta analisis yangdilakukan oleh Dark seperti pada kondisi ketidakstabilan
dan Singer34 menunjukkan adanya hemodinamik. Dan juga, area potong
korelasi sebesar 86% antara CO yang lintang aorta tidak bernilai konstan,
didapatkan dari Doppler esophageal tetapi dinamis untuk tiap individu.
deangan PAC. Meskipun korelasi antara Sehingga penggunaan normogram dapat
dua teknik tersebut bernilai moderat, ada mengakibatkan kekurangakuratan
24
korelasi yang sangat baik antara penilaian CO .
perubahan CO dengan intervensi
Pasien biasanya dalam kondisi tersedasi,
terapetik. Sehingga perubahan CO
dengan ventilator. Probe kemudian
akibat respon terapi tersebut dapat
melalui esophagus kemudian diputar
menjadi lebih bermanfaat apabila
sedemikian rupa sehingga transduser
dibandingkan dengan nilai absolut itu
menghadap aorta desenden, sehingga
sendiri 22.
didapatkan signal velositas aorta 30 .
Esophageal Doppler merupakan teknik Penggunaan probe pada teknik ini dapat
non invasif yang telah dengan baik diterima dengan baik pada pasien yang
dapat digunakan untuk membantu secara dalam kondisi sadar (tidak ideal), tetapi
langsung dalam pemberican cairan intra memerlukan penempatan posisi pasien
operatif 35 . Kelemahan utama dari yang baik, dan membutuhkan perubahan
penggunaan teknik ini sebagai posisi yang berulang kali 12 .
pengawasan CO berkelanjutan adalah

140 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

TRANSESOPHAGEAL Penilaian CO dapat dilakukan pada level


ECHOCARDIOGRAPHY (TEE) arteri pulmoner, katub mitralis atau
katub aorta, meskipun beberapa
Curah jantung dapat dinilai dengan penelitian menunjukkan bahwa sangat
menggunakan TEE menggunakan sukar untuk mengukur diameter dari
metode Dopper atau non-Doppler. arteri pulmoner yang dapat menjelaskan
Teknik Non-Doppler dilakukan rendahnya korelasi penilaian CO antara
berdasarkan rekonstruksi volumetrik Doppler dan thermodilusi. Penilaian
dari rekonstruksi ruang ventrikel kiri. pada katub mitralis dapat lebih sukar
Metode yang paling sering dilakukan karena bentuk dan ukuran katub yang
adalah menggunakan hukum Simpson, berubah tiap siklus jantung,
dimana ventrikel kiri dibagi menjadi sehinggakatub aorta bukan menjadi
beberapa seri dari basal ke apeks pilihan utama untuk penilian CO dengan
jantung. Dua plana orthogonal Doppler. Ketidakberadaannya stenosis
digunkaan untuk rekonstruksi. Volume aorta pada metode ini merupakan kondisi
ventrikel kiri kemudian dihitung dengan penilaian yang paling CO akurat39 .
menjumlahkan perkiraan volume pada Beberapa penelitian telah menunjukkan
diskus individual2 .Teknik ini dapat korelasi yang baik antar penilaian CO
digunakan untuk menghitung SV yang dengan menggunakan teknik
kemudian apabila dikalikan dengan thermodilusi pada kondisi katub mitral
denyut jentung akan memberikan nilai yang kompeten 40 .
CO12 .
Alat ultrasound portable yang lebih
Prinsipnya, echokardiografi merupakan terkini dapat melakukan pemeriksaan
metode yang mudah untuk menilai jantung dan evaluasi fungsi dinamik
fungsi jantung karena menggunakan jantung. Penilaian fungsi ventrikuler
gelombang ultrasound untuk secara umum bermanfaat untuk tata
mendapatkan pencitraan jantung secara laksana pasien kritis 19 . Pasien dengan
langsung. Metode ini dapat menilai disoksia jaringan dan hiperkontraktilitas
ukuran ruangan jantung, kontraktilitas ventrikel kiri dapat mendapatkan
ventrikel, fungsi ventrikel, dan dengan manfaat dari penggunaan vasopressor
bantuan Doppler dapat pula menilai dan/atau pemberian cairan, sedangkan
aliran 23,24 . Hanya saja, metode ini pasien dengan fungsi ventrikel yang
membutuhkan kepiawaian yang baik buruk dapat mendapatkan manfaat dari
untuk dapat melakukan interpretasi hasil penggunaan inotropik. Dilatasi ventrikel
pencitraan, dan dapat terjadi banyak dapat memberikan peringatan kepada
sekali perbedaan variasi interpretasi intensivist untuk melihat adanya
hasil pencitraan. Pertimbangan lain dari disfungsi ventrikel kanan. Dengan
penggunaan teknik ini adalah harga dari pelatihan dasar, penilaian ini dapat
alat tersebut 30 .

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 141


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 4. Sistem Ultrasonografi Oesophageal Doppler (www.intechopen.com)

Gambar 5. Sistem Transesophageal Echocardiography (TEE)

142 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dipelajari oleh selain ahli jantung, tetapi melalui integrasi dari konsentrasi antara
menentukan abnormalitas gerakan aliran darah dan CO2 tiap 3 menit
dinding jantung dan fungsi katub masih setelah periode singkat dari re-breathing
membutuhkan ketrampilan seorang ahli parsial untuk menghitung aliran darah
jantung. pulmoner 41. Nilai aliran darah pulmoner
kemudian dikoreksi untuk shunt
Ukuran ruang jantung dapat dinilai
menggunakan kurva pada sistem
secara langsung dengan menghitung
tersebut, yang kemudian membutuhkan
fraksi ejeksi jantung. Aliran darah
informasi SpO2 atau analisa gas darah
melalu katub-katub jantung dapat diukur
dan FiO2 untuk menentkan CO 2. Selain
dengan pencitraan Doppler ini.Hanya
CO, teknik ini juga menunjukkan
saja, kesukaran teknik ini adalah untuk
ventilasi semenit dari alveoli dan
mendapatkan pencitraan yang adekuat
beberapa parameter respirasi lainnya2 .
pada plana yang tepat, yang
membutuhkan keahlian khusus. Teknik pengawasan NICO
Transoesophageal echokardiografi tidak membutuhkan intubasi endotracheal.
dapat ditoleransi pada pasien sadar Alat ini dikontraindikasikan pada pasein
penuh12 . yang tidak dapat mentoleransi periode re
-breathing dengan sedikit peningkatan
NICO: FICKS PRINCIPLE
PaCO2. Selain katub rebreathing yang
Sistem NICO diperkenalkan pertama kali meningkatkan ruang mati jalan nafas
oleh Novametrix pada tahun 1999. (sampai minimal 35 mL) dan
Sistem ini menilai CO melalui beberapa membutuhkan perubahan pada setting
teknik re-breathing parsial yang ventilator, terutama pada pasien yang
2
diperkenalkan oleh Fick . Teknik ini diventilasi dengan volume tidal rendah2.
menggunakan re-breathing parsial CO2 Pada pasien yang bernafas spontan,
yang membandingkan tekanan parsial periode re-breathing berhubungan
end-tidal carbon dioxide (etCO2) yang dengan peningkatan ventilasi semenit.
didapatkan saat periode non re-breathing
Batasan dari metode penilaian CO
dengan yang didapatkan saat periode re-
dengan mengggunakan CO2re-breathing
breathing selanjutnya. Perubahan rasio
adalah karena metode ini hanya menilai
pada eliminasi etCO2 dan eliminasinya
aliran darah pulmoner kapiler.Dengan
setelah periode singkat re-breathing
memperhatikan keterbatasan data pada
parsial (biasanya 50 detik) memberikan
pasien di ICU dan potensi
perkiraan CO non invasif. Teknik ini
ketidakakuratan pada populasi pasien ini,
menggunakan sensor CO2 infra merah,
penggunaan teknik CO2 re-breathing
dengan ujungnya yang dapat menilai
untuk memperkirakan CO secara rutin
perbedaan tekanan, dan katub re-
tidak direkomendasikan untuk saat ini.
breathing yang menilai eliminasi CO2

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 143


Jurnal Anestesiologi Indonesia

BIOIMPEDANSI ELEKTRIS perubahan voltase amplitudo


THORAKAL
SIMPULAN
Konsep analisa panjang gelombang
Ringkasnya, tiap teknik pengukuran CO
impedansi thorakal pertama kali
mempunyai kelebihan dan
diperkenalkan padatahun 1966 oleh
kekurangannya masing-masing. Sampai
Kubicek42 . Impedansi plethysmografi
saat ini masih terus dikembangkan
berdasarkan pada perubahan pulsatil
metode pengawasan CO yang kurang
pada resistensi yang tejadi pada siklus
invasif, aman, mudah digunakan, dan
ventrikel sistole dan diastole.
akurat. Sangat tidak mungkin untuk
Bioimpedansi elektrik menggunakan
menyebutkan secara pasti teknologi
stimulasi elektrik untuk identifikasi
mana yang paling akurat dalam
variasi impedansi thoraks atau tubuh
pengukuran CO untuk tiap kondisi
yang mengasilkan perubahan siklik
pasien.
pada aliran darah yang disebabkan oleh
denyut jantung. CO dapat diperkirakan DAFTAR PUSTAKA
secara berkelanjutan dengan elektroda
1. Connors AF, Jr., Speroff T, Dawson NV,
yang ditempatkan pada leher dan Thomas C, Harrell FE, Jr., Wagner D,
thoraks 12. Desbiens N, Goldman L, Wu AW, Califf
RM et al: The effectiveness of right heart
catheterization in the initial care of
Peubahan pada impedansi berkorelasi critically ill patients. SUPPORT
dengan SVdan menyebabkan SVdapat Investigators. Jama 1996, 276(11):889-897.
dihitung dengan mengggunakan rumus 2. Pugsley J, Lerner AB: Cardiac output
Kubiceks atau rumus12 . COdapat monitoring: is there a gold standard and
how do the newer technologies compare?
dihitung dengan menggunakan SV dan
Semin Cardiothorac Vasc Anesth 2010, 14
waktu ejeksi ventrikuler. Penempatan (4):274-282.
elektroda dapat menjadi sumber utama 3. Laszlo G: Respiratory measurements of
kesalahan dalam perhitungan. Faktor cardiac output: from elegant idea to useful
lain yang mempengaruhi penilaian test. J Appl Physiol 2004, 96(2):428-437.

bioimpedansi termasuk perubahan 4. Young BP, Low LL: Noninvasive


cairan intrathorakal dan perubahan nilai monitoring cardiac output using partial CO
(2) rebreathing. Crit Care Clin 2010, 26
hematokrit. Selan itu, siste mini dapat (2):383-392, table of contents.
memberikan manfaat pada klinisi untuk
5. Harvey S, Harrison DA, Singer M, Ashcroft
dapat dengan cepat dan mudah J, Jones CM, Elbourne D, Brampton W,
menentukan CO dengan resiko minimal Williams D, Young D, Rowan K et al:
43 Assessment of the clinical effectiveness of
. Baru-baru ini telah diperkenalkan pulmonary artery catheters in management
Bioreactance (NICOM, Cheetah of patients in intensive care (PAC-Man): a
randomised controlled trial. Lancet 2005,
Medical Ltd, Maidenhead, Berkshire, 366(9484):472-477.
UK) yang suatu modifikasi dari
6. Sakr Y, Dubois MJ, De Backer D, Creteur
bioimpedansi thoraks 32. Kebalikan dari J, Vincent JL: Persistent microcirculatory
bioimpedansi, yang berdasarkan analisa alterations are associated with organ failure

144 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013


Jurnal Anestesiologi Indonesia

and death in patients with septic shock. Crit 17. Schuerholz T, Meyer MC, Friedrich L,
Care Med 2004, 32(9):1825-1831. Przemeck M, Sumpelmann R, Marx G:
Reliability of continuous cardiac output
7. Lam C, Tyml K, Martin C, Sibbald W: determination by pulse-contour analysis in
Microvascular perfusion is impaired in a rat porcine septic shock. Acta Anaesthesiol
model of normotensive sepsis. J Clin Invest Scand 2006, 50(4):407-413.
1994, 94(5):2077-2083.
18. Berberian G, Quinn TA, Vigilance DW,
8. De Backer D, Creteur J, Preiser JC, Dubois Park DY, Cabreriza SE, Curtis LJ, Spotnitz
MJ, Vincent JL: Microvascular blood flow HM: Validation study of PulseCO system
is altered in patients with sepsis. Am J for continuous cardiac output measurement.
Respir Crit Care Med 2002, 166(1):98-104. ASAIO J 2005, 51(1):37-40.
9. Lindert J, Werner J, Redlin M, Kuppe H, 19. Beaulieu Y, Marik PE: Bedside
Habazettl H, Pries AR: OPS imaging of ultrasonography in the ICU: part 1. Chest
human microcirculation: a short technical 2005, 128(2):881-895.
report. J Vasc Res 2002, 39(4):368-372.
20. Beaulieu Y, Marik PE: Bedside
10. Boyd KD, Thomas SJ, Gold J, Boyd AD: A ultrasonography in the ICU: part 2. Chest
prospective study of complications of 2005, 128(3):1766-1781.
pulmonary artery catheterizations in 500
consecutive patients. Chest 1983, 84(3):245 21. Tachibana K, Imanaka H, Takeuchi M,
-249. Takauchi Y, Miyano H, Nishimura M:
Noninvasive cardiac output measurement
11. Horst HM, Obeid FN, Vij D, Bivins BA: using partial carbon dioxide rebreathing is
The risks of pulmonary arterial less accurate at settings of reduced minute
catheterization. Surg Gynecol Obstet 1984, ventilation and when spontaneous breathing
159(3):229-232. is present. Anesthesiology 2003, 98(4):830-
837.
12. Hett DA, Jonas MM: Non-invasive cardiac
output monitoring. Intensive Crit Care Nurs 22. Roeck M, Jakob SM, Boehlen T, Brander L,
2004, 20(2):103-108. Knuesel R, Takala J: Change in stroke
volume in response to fluid challenge:
13. Alhashemi JA, Cecconi M, Hofer CK: assessment using esophageal Doppler.
Cardiac output monitoring: an integrative Intensive Care Med 2003, 29(10):1729-
perspective. Crit Care 2011, 15(2):214. 1735.
14. Brumfield AM, Andrew ME: Digital pulse 23. Garcia-Rodriguez C, Pittman J, Cassell CH,
contour analysis: investigating age- Sum-Ping J, El-Moalem H, Young C, Mark
dependent indices of arterial compliance. JB: Lithium dilution cardiac output
Physiol Meas 2005, 26(5):599-608. measurement: a clinical assessment of
central venous and peripheral venous
15. Pittman J, Bar-Yosef S, SumPing J, indicator injection. Crit Care Med 2002, 30
Sherwood M, Mark J: Continuous cardiac (10):2199-2204.
output monitoring with pulse contour
analysis: a comparison with lithium 24. Jonas MM, Tanser SJ: Lithium dilution
indicator dilution cardiac output measurement of cardiac output and arterial
measurement. Crit Care Med 2005, 33 pulse waveform analysis: an indicator
(9):2015-2021. dilution calibrated beat-by-beat system for
continuous estimation of cardiac output.
16. Bein B, Worthmann F, Tonner PH, Paris A, Curr Opin Crit Care 2002, 8(3):257-261.
Steinfath M, Hedderich J, Scholz J:
Comparison of esophageal Doppler, pulse 25. Linton NW, Linton RA: Estimation of
contour analysis, and real-time pulmonary changes in cardiac output from the arterial
artery thermodilution for the continuous blood pressure waveform in the upper limb.
measurement of cardiac output. J Br J Anaesth 2001, 86(4):486-496.
Cardiothorac Vasc Anesth 2004, 18(2):185-
189. 26. Ostergaard M, Nielsen J, Rasmussen JP,
Berthelsen PG: Cardiac output--pulse

Volume V, Nomor 2, Tahun 2013 145


Jurnal Anestesiologi Indonesia

contour analysis vs. pulmonary artery plasma volume expansion reduces the
thermodilution. Acta Anaesthesiol Scand incidence of gut mucosal hypoperfusion
2006, 50(9):1044-1049. during cardiac surgery. Arch Surg 1995, 130
(4):423-429.
27. Halvorsen PS, Espinoza A, Lundblad R,
Cvancarova M, Hol PK, Fosse E, 36. Perrino AC, Jr., Fleming J, LaMantia KR:
Tonnessen TI: Agreement between PiCCO Transesophageal Doppler cardiac output
pulse-contour analysis, pulmonal artery monitoring: performance during aortic
thermodilution and transthoracic reconstructive surgery. Anesth Analg 1991,
thermodilution during off-pump coronary 73(6):705-710.
artery by-pass surgery. Acta Anaesthesiol
Scand 2006, 50(9):1050-1057. 37. Lefrant JY, Bruelle P, Aya AG, Saissi G,
Dauzat M, de La Coussaye JE, Eledjam JJ:
28. Sakka SG, Reinhart K, Meier-Hellmann A: Training is required to improve the
Comparison of pulmonary artery and reliability of esophageal Doppler to measure
arterial thermodilution cardiac output in cardiac output in critically ill patients.
critically ill patients. Intensive Care Med Intensive Care Med 1998, 24(4):347-352.
1999, 25(8):843-846.
38. Valtier B, Cholley BP, Belot JP, de la
29. Shoemaker WC, Belzberg H, Wo CC, Coussaye JE, Mateo J, Payen DM:
Milzman DP, Pasquale MD, Baga L, Fuss Noninvasive monitoring of cardiac output in
MA, Fulda GJ, Yarbrough K, Van DeWater critically ill patients using transesophageal
JP et al: Multicenter study of noninvasive Doppler. Am J Respir Crit Care Med 1998,
monitoring systems as alternatives to 158(1):77-83.
invasive monitoring of acutely ill
emergency patients. Chest 1998, 114 39. Poelaert J, Schmidt C, Van Aken H, Hinder
(6):1643-1652. F, Mollhoff T, Loick HM: A comparison of
transoesophageal echocardiographic
30. Marik PE, Baram M: Noninvasive Doppler across the aortic valve and the
hemodynamic monitoring in the intensive thermodilution technique for estimating
care unit. Crit Care Clin 2007, 23(3):383- cardiac output. Anaesthesia 1999, 54(2):128
400. -136.

31. Donovan KD, Dobb GJ, Newman MA, 40. Ryan T, Page R, Bouchier-Hayes D,
Hockings BE, Ireland M: Comparison of Cunningham AJ: Transoesophageal pulsed
pulsed Doppler and thermodilution methods wave Doppler measurement of cardiac
for measuring cardiac output in critically ill output during major vascular surgery:
patients. Crit Care Med 1987, 15(9):853- comparison with the thermodilution
857. technique. Br J Anaesth 1992, 69(1):101-
104.
32. Siegel LC, Fitzgerald DC, Engstrom RH:
Simultaneous intraoperative measurement 41. Wiesenack C, Fiegl C, Keyser A, Prasser C,
of cardiac output by thermodilution and Keyl C: Assessment of fluid responsiveness
transtracheal Doppler. Anesthesiology in mechanically ventilated cardiac surgical
1991, 74(4):664-669. patients. European journal of
anaesthesiology 2005, 22(9):658-665.
33. Perrino AC, Jr., Fleming J, LaMantia KR:
Transesophageal Doppler ultrasonography: 42. Kubicek WG, Karnegis JN, Patterson RP,
evidence for improved cardiac output Witsoe DA, Mattson RH: Development and
monitoring. Anesth Analg 1990, 71(6):651- evaluation of an impedance cardiac output
657. system. Aerosp Med 1966, 37(12):1208-
1212.
34. Dark PM, Singer M: The validity of trans-
esophageal Doppler ultrasonography as a 43. Donovan KD, Dobb GJ, Woods WP,
measure of cardiac output in critically ill Hockings BE: Comparison of transthoracic
adults. Intensive Care Med 2004, 30 electrical impedance and thermodilution
(11):2060-2066. methods for measuring cardiac output. Crit
Care Med 1986, 14(12):1038-1044.
35. Mythen MG, Webb AR: Perioperative

146 Volume V, Nomor 2, Tahun 2013

Anda mungkin juga menyukai