Journal Anestesiologi Indonesia PDF
Journal Anestesiologi Indonesia PDF
, Msi.Med
Sejawat terhormat,
Laporan Kasus pada nomor ini mengulas Anestesi Pada Total Anomalous Pulmonary
Venous Drainage, dan Penggunaan Opioid sebagai Balans Anestesi pada Craniotomi
Emergensi dengan Meningioma
Semoga bermanfaat
Salam,
PENELITIAN
Pengaruh Pemberian Parecoxib Terhadap Kadar Il-6 dan Intensitas Nyeri
Pascabedah Laparotomi Ginekologi
Effect Of Parecoxib to Interleukin-6 (Il-6) Serum Concentration and Post
Operative Pain Intensity Post Gyneacologic Laparotomy
Heriady Haeruddin*, Muhammad Ramli Ahmad*
*Bagian ilmu anestesi, perawatan intensif dan manajemen nyeri FK Unhas, Makassar
ABSTRACT
Background: Post operative pain still an issue in the post operative management.
Approximately 80% patients undergo surgery has had acute post operative pain which
hipothetically mediated by interleukin 6 (IL-6): a proinflamation cytokine that has
important role in pain physiology.
Purpose: The aim of this research is to measure Interleukin 6 (IL-6) concentration and
post operative pain intensity in the use of combination Parecoxib 40 mg intravenous
with epidural analgesic bupivakain and fentanyl for patients undergo gyneacology
laparotomy.
Methods: This is an experimental research using double blind random technique.
Total sample 50, which divided into 2 groups consist of 25 subjects each which had
done gyneacologic laparotomy. One group had Parecoxib 40 mg before surgery and
12 hours after surgery, while the control group had placebo. Both of groups had
epidural analgesic using bupivacain 0,5% and fentanyl, and post operative analgesic
continuous with bupivacain 0,125% and fentanyl 2 ug/ml 5 ml/hour. The pain
asessment using NRS chart at 2, 12, and 24 hours post operative.
Result: IL-6 serum on both groups had elevation with the peak level on 24 hours post
operative. No significant difference in IL-6 serum elevation (p>0,05). No difference
also in assessment post operative pain scale using NRS chart in both groups.
Conclusion: Analgesic combination between Parecoxib 40 mg IV with epidural
analgesic bupivacain 0,125% cant lower IL-6 patient serum who undergo
gynecologic laparotomy.
Keyword: IL-6, Parecoxib, gynecologic Laparotomy, epidural analgesic
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Penelitian ini merupakan uji klinis acak Sampel darah diambil sebelum
tersamar ganda, melibatkan 50 pasien pembedahan yaitu sebelum pemberian
yang menjalani laparotomi ginekologi. Parecoxib dan Plasebo pada masing-
Kriteria inklusi yaitu pasien ASA I dan masing Kelompok, dan pada 2 jam
II, usia 18-55 tahun, tinggi badan diatas pasca bedah dan 24 jam pascabedah
150 cm, BMI 18,5-25 kg cm -2, akan untuk mengukur kadar IL-6. Pengukuran
menjalani pembedahan elektif kadar IL-6 menggunakan serum dengan
laparotomi ginekologi, tidak menderita Human IL-6 Immunoassay Quantikine
nyeri akut maupun kronik dan setuju HS (R & D System) dengan metode
ikut serta dalam penelitian. Penelitian Enzym Linked Immunosorbent Assay
dilakukan pada Desember 2012 - April dan pembacaan melalui alat ELISA
2012. Reader Organon 680 (Biorad) dengan
panjang gelombang 640 atau 690 nm.
Sampel penelitian yang dibagi dalam
dua kelompok (n=25) secara random. Data yang diperoleh diolah dan
Malam sebelum operasi Kedua ditampilkan. Analisis statistik
Kelompok diberikan premedikasi menggunakan piranti statistik elektronik
Alprazolam 0,5 mg per oral. Kelompok yang sesuai. Data diuji dengan tingkat
Parecoxib mendapatkan injeksi kepercayaan 95% dengan kemaknaan
Parecoxib 40 mg intravena, sedangkan p<0,05.
HASIL 112,5%).
Kelompok
N MeanSD Min-Mak(Med) P
Kadar IL-6 Awal Parecoxib 25 7,787,25 1,25-19,79 0,282
(3,21)
Kontrol 25 5,024,69 0,84-17,81
(2,87)
Kadar IL-6 2 Jam Parecoxib 25 14,785,89 1,68-20,08 (17,21) 0,764
Pascabedah
Kontrol 25 14,176,31 1,24-20,06 (16,41)
Tabel 4. Perbandingan Kadar IL-6 Awal dengan 4 dan 24 Jam menurut Kelompok
PENELITIAN
Efek Dexmedetomidine 0,2 ug/kgbb Intravena terhadap Insiden Delirium
saat Pulih Sadar dari Anestesi Umum pada Pasien Pediatrik
ABSTRACT
Background : Dexmedetomidine gives sedation effect, analgesic and anxiolitik after
intravenous administration. Isoflurane and Sevoflurane associated with delirium effect
when awakening from general anesthesia. This research using placebo as control, we
evaluate delirium effect from single dose dexmedetomidine when awakening from
general anesthesia with Isoflurane as inhalation agent in pediatric patients whom
undergo elective operation.
Method: This is a double blind research. There are 46 children (age 3-10 years old)
selected randomly had dexmedetomidin 0,2 ug/kg weight or placebo before the surgery
ended. One hour after surgery, we evaluate delirium score. We noted ekstubation time,
awakening, and side effect from dexmedetomidin. We also asessed post operative pain
using objective pain scale (OPS).
Result: The delirium effect when awakening from general anesthesia in the group
given dexmedetomidine are better than the placebo group (P<0,05). Post operative
pain are similar in both groups. Ekstubation time and awakening time in
Dexmedetomidin group are longer than placebo group, but not qualified statistically.
No side effect (hypotension and bradicardia) in both groups.
Conclusion: We conclude that dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB intravenous proven to
minimize delirium incidens when awakening from general anesthesia with isoflurane
with childen undergo elective surgery.
Keyword: dexmedetomidine, delirium, isofluran, anesthesia
ABSTRAK
Latar Belakang: Dexmedetomidine memberikan efek sedasi, analgesia, dan anxiolitik
setelah pemberian intravena. Isofluran dan sevofluran dihubungkan dengan angka
kejadian delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik. Pada
penelitian dengan menggunakan placebo sebagai kontrol, kami mengevaluasi efek dari
dosis tunggal dexmedetomidine pada delirium saat pulih sadar dari anestesi umum
Skor Deskripsi
0 Anak tidur
1 Anak tenang
2 Anak menangis tapi masih dapat
ditenangkan
3 Anak menangis dan susah ditenangkan
4 Agitasi dan atau delirium
Kelompok D Kelompok S
Parameter P
(n = 23) (n = 23)
1
Uji t independent, 2uji mann whitney U
Keterangan: Kelompok D = Kelompok Dexmedetomidine, Kelompok S = Kelompok Saline
Kelompok D Kelompok S
Variabel p
<6 6 <6 6
OPS0 23 0 23 0 1,000
OPS5 23 0 23 0 1,000
OPS10 23 0 23 0 1,000
OPS15 23 0 23 0 1,000
OPS30 23 0 23 0 1,000
OPS45 23 0 23 0 1,000
OPS60 23 0 23 0 1,000
Gambar 3. Grafik waktu ekstubasi dan pulih sadar dari anestesi umum antara
kelompok Dexmedetomidine (D) dan kelompok Saline (S) yang tidak bermakna
PENELITIAN
Perbedaan Pengaruh HES 6% (200) Dalam NaCl 0,9% dan Dalam
Larutan Berimbang pada Base Excess dan Strong Ion Difference Pasien
Seksio Sesaria dengan Anestesi Spinal
Effect of HES 6% difference (200) in 0.9% NaCl solution and in balanced at
Base Excess and Strong Ion Difference cesarean section patients with Spinal
Anesthesia
Djatun Hasyim*, Ratno Samodro*, Himawan Sasongko*, Ery Leksana*
* Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
ABSTRAK
Latar belakang: Pada bedah sesar dengan anestesi spinal, pemilihan koloid sebagai
cairan preload lebih efektif ketimbang kristaloid. Pemberian cairan koloid dengan
pelarut yang berbeda sebagai preload ini memiliki dampak terhadap keseimbangan
asam basa tubuh. Sehingga pemilihan koloid berdasarkan pelarutnya mulai
dipertimbangkan.
Tujuan: Melihat pengaruh pemberian HES 6% dalam larutan berimbang dengan HES
6% dalam NaC1 0,9% terhadap Base Excess (BE) dan Strong Ion Difference (SID)
pada pasien bedah sesar dengan anestesi spinal.
Metode: Merupakan uji klinik eksperimental yang dilakukan secara acak tersamar
ganda, dengan consecutive sampling, dibagi menjadi 2 kelompok (n=12) yaitu
kelompok HES 6% dalam larutan berimbang dan HES 6% dalam NaC1 0,9%. Uji
statistik untuk membandingkan nilai BE dan SID pada masing-masing kelompok
menggunakan SPSS for Windows versi 16
Hasil: Nilai BE sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok HES 6% dalam NaCI
0,9%, memiliki perbedaan yang bermakna (p < 0,05). Sedangkan nilai BE sebelum
dan sesudah perlakuan pada kelompok HES 6% dalam larutan berimbang memiliki
perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05). Nilai SID sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok HES 6% dalam NaC1 0,9%, memiliki perbedaan yang bermakna (p
0,05). Sedangkan nilai SID sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok HES 6%
dalam larutan berimbang memiliki perbedaan yang tidak bermakna (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan BE dan SID secara bermakna pada kelompok HES
'6% dalam NaC1 0,9% dibanding pada kelompok HES 6% dalam larutan berimbang.
Kata Kunci: HES 6%, larutan berimbang, NaC1 0,9%, BE, SID
PENDAHULUAN
Anestesi spinal merupakan salah satu Aliran darah uterus secara langsung
teknik yang paling sering dipilih pada ditentukan oleh tekanan darah maternal.
operasi bedah sesar. Salah satu efek Karena itu hipotensi akibat anestesi
samping yang paling sering dijumpai spinal yang tidak dikelola dengan baik
pada teknik anestesi spinal adalah akan berpengaruh buruk pada ibu dan
terjadinya hipotensi. Hal ini sebagai janin. Beberapa tindakan dapat
akibat blok simpatis dari obat anestesi dilakukan untuk mencegah dan
lokal yang bekerja di dalam ruang mengatasi hipotensi yang terjadi, antara
subarakhnoid adalah terjadinya lain dengan meningkatkan preload, atau
hipotensi. Sebagian besar parturien akan pemberian vasopressor.
mempunyai mekanisme kompensasi
Hasil ulasan system review spinal
yang cukup untuk memelihara tekanan
analgesia menunjukkan bahwa
darah arteri. Hipotensi yang terjadi pada
kemampuan pemberian kristaloid
parturien (dengan kondisi tekanan intra
sebagai cairan preloading untuk
abdominal tinggi) akan menyebabkan
mencegah hipotensi tidak konsisten dan
insidesi penurunan tekanan darah 20%
dalam hal ini koloid lebih efektif
lebih sering dibandingkan pada pasien
ketimbang kristaloid.2,3 Penelitian Riley
lainnya.1
eksklusi meliputi pasien yang mendapat berimbang untuk 12 sampel dan 15 cc/
pemberian cairan koloid 15 cc/kgBB, kgBB HES 6% (200) dalam larutan NaCl
pasien yang mendapat pemberian 0,9% untuk 12 sampel lainnya.
transfusi darah selama perlakuan, pasien
Anestesi spinal dilakukan dengan jarum
yang durante operasi mengalami
spinal 25G pada celah vertebra lumbal 3
komplikasi anestesi maupun
4. Setelah keluar cairan serebrospinalis
pembedahan seperti: kesadaran
sebagai tanda pasti bahwa ujung jarum
menurun; penurunan SpO2 (keadaan
spinal berada dalam ruang subarachnoid,
umum sesak sampai dengan apneu);
dilakukan injeksi bupivacain heavy 0,5%
perdarahan tidak terkontrol lebih dari
3 cc dengan kecepatan 1 cc/detik.
500 ml.
Setelahnya, penderita sesegera mungkin
Sampel diambil dari pasien yang dibaringkan dalam posisi terlentang
menjalani operasi bedah sesar dan horizontal dengan kepala diganjal bantal
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompk serta diberikan O2 3 lt/menit.
1 (K1) menggunakan 15 cc/kgBB HES
Tinggi blok sensorik ditentukan dengan
6% (200) dalam larutan berimbang
cara pinprick menggunakan jarum 22G
sebagai preload anestesi spinal, dan
bevel pendek. Setelah anestesi spinal
Kelompok 2 (K2) menggunakan 15 cc/
berhasil, operasi sesar dapat dimulai.
kgBB HES 6% (200) dalam larutan
Bila dalam lima belas menit tidak terjadi
NaCl 0,9% sebagai preload anestesi
blok (negatif), maka anestesi spinal
spinal.
dianggap gagal dan pasien dikeluarkan
Penelitian dilakukan terhadap 24 pasien dari penelitian dan dilanjutkan dengan
yang sebelumnya telah mendapat general anesthesia.
penjelasan dan setuju untuk mengikuti
Satu jam setelah pemberian preload 15
semua prosedur penelitian. Semua
cc/kgBB cairan HES 6% (200) pada
pasien dipuasakan 6 jam dan tidak
masing-masing kelompok lalu dilakukan
diberikan obat premedikasi.
pemeriksaan BGA dan elektrolit (Na+;
Satu jam sebelum operasi dilakukan K+, Cl-). Hasil pemeriksaan
pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGD) dibandingkan dengan data awal dan
dengan mengambil sampel 1 cc darah dilakukan analisis statistik menggunakan
arteri dan pemeriksaan elektrolit (Na+; piranti lunak SPSS for Windows versi 16.
K+, Cl-) dengan mengambil sampel 3 cc
HASIL
darah vena. Hasil pemeriksaan awal
tersebut digunakan sebagai data dasar. Telah dilakukan penelitian tentang
pengaruh pemberian 15 cc/kgBB HES
Lima belas menit sebelum dilakukan
6% (200) dalam larutan berimbang
anestesi spinal, diberikan preload 15 cc/
dengan 15 cc/kgBB HES 6% (200)
kgBB HES 6% (200) dalam larutan
dalam NaCl 0,9% terhadap BE dan SID
Tabel 2. Perbedaan pengaruh pemberian HES 6% (200) dalam larutan berimbang dan HES
6% (200) dalam NaCl 0,9% terhadap perubahan BE
Tabel 3. Perbedaan pengaruh pemberian HES 6% (200) dalam larutan berimbang dan HES
6% (200) dalam NaCl 0,9% terhadap perubahan SID
Difusi CO2 melewati membran sangat Dari hasil penelitian, SID sebelum
mudah dan cepat, sehingga setiap perlakuan antara kelompok HES 6%
perubahan yang terjadi pada pCO2 akan (200) dalam NaCl 0,9% dengan HES
cepat diatasi oleh perubahan ventilasi. 6% (200) dalam larutan berimbang
Dengan demikian perubahan pada pCO2 didapatkan adanya perbedaan yang tidak
tidak akan menyebabkan terjadinya bermakna. Ini berarti selisih antara Na-
perbedaan konsentrasi [H+] dari masing dan Cl- sebelum perlakuan pada kedua
-masing kompartemen, sehingga CO2 kelompok berada dalam kondisi yang
tidak berkontribusi dalam menyebabkan tidak jauh berbeda, atau dapat dikatakan
perbedaan status asam basa antar dalam kondisi metabolik yang
membran. cenderung sama. Namun pada
pemeriksaan SID setelah perlakuan
SID didapatkan dari Na+ dan Cl-. Secara
antara kelompok HES 6% (200) dalam
solution. AnestAnalg. 1995; 81(4): 838-42. 8. Brill SA, Stewart TR, Brundage SI,
Schreiber MA. Base deficit does not predict
5. Ueyama H, Le H, Tanigami H, Mashimo T, mortality when secondary to hyperchloremic
Yoshiva I. Effect of crystalloid and colloid acidosis. Shock. 2002; 17; 459-62.
preload on blood volume in the parturient
undergoing spinal for elective cesarean 9. Kellum JA. Diagnosis and treatment of acid-
section. Anesthesiology. 1999; 91; 1571-6. base didorders. Dalam: Grenvik A,
Shoemaker PK, Ayer S, Holbrook. Textbook
6. Zander R. Fluid Management [e-book]. of critical care. Philadelphia: WB Saunders;
Germany: Bibliomed; 2006 [diunduh 6 1999. Hlm. 839-53.
January 2012]. Tersedia dari:
www.physioklin.de 10. Finucane BT. Complications of regional
anesthesia. New York: Churchill
7. Ery leksana. SIRS, Sepsis, keseimbangan Livingstone; 2000.
asam basa, shock dan terapi cairan.
Semarang: SMF/Bag. Anestesi dan terapi 11. Mustafa I, George YWH. Keseimbangan
intensif RSUP Dr. Kariadi/Fak. Kedokteran asam-basa (paradigma baru). Anest and
UNDIP. 2006. critcare. 2003; 21: 1-13.
PENELITIAN
Pengaruh Premedikasi Klonidin terhadap Interval Q-Tc dan Skor Rate
Pressure Product pada Laringoskopi Intubasi
ABSTRACT
Background: Endotracheal intubation laryngoscopy is an act done in general
anesthesia. Laryngoscopy and intubation actions than can cause trauma, can also
cause cardiovascular changes in the form of increased blood pressure, increased heart
rate, increased scores rate pressure product (RPP) which increased cardiac oxygen
demand and Q-Tc interval prolongation by sympathetic stimulation caused by
laryngoscopy intubation. Role of clonidine premedication administration aims to
reduce cardiovascular changes of decreased blood pressure and decreased heart rate.
Objective: This study aimed to study the effect of oral clonidine tablets for blood
pressure, heart rate, Q-Tc interval and score rate pressure product (RPP) during
laryngoscopy intubation
Methods: Forty-eight subjects aged 14-40 years with ASA physical status I and II, with
no sign of trouble intubation were randomly divided into groups of clonidine (KI) and
the control group (K II). KI group get oral clonidine premedication 0.15 mg 2 hours
before surgery, while K2 placebo. Both groups received the same treatment as
laryngoscopy intubation. Blood pressure, heart rate, Q-Tc interval and RPP score is
calculated at 2 minutes post-induction, 2 min and 5 min after intubation laryngoscopy.
Results: heart rate, RPP Score and QTc intervals did not differ significantly between
the two groups. However blood pressure in the clonidine group was significantly lower
in the clonidine group
Conclusions: Premedication with oral clonidine 0.15 mg dose did not affect the Q-Tc
interval, RPP scores, and heart rate were significantly laryngoscopy intubation in
adult patients.
Keywords: laryngoscopy intubation, clonidine, Rate Pressure Product, QTC interval
ABSTRAK
Latar belakang: Laringoskopi intubasi endotrakea merupakan tindakan yang banyak
dilakukan pada anestesi umum tindakan laringoskopi dan intubasi selain dapat
menimbulkan trauma, juga dapat menimbulkan gejolak kardiovaskuler berupa
peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung, peningkatan score rate
pressure product (RPP) yaitu peningkatan kebutuhan oksigen jantung dan
pemanjangan interval Q-Tc oleh stimulasi simpatik akibat laringoskopi intubasi.
Tindakan laringoskopi dan intubasi ini beta bloker 4, dan antagonis kalsium.5
selain dapat menimbulkan trauma, juga Meskipun usaha-usaha tersebut dapat
dapat menimbulkan stimulasi simpatis, mengurangi respon hemodinamik tetapi
dengan akibat terjadi gejolak belum sepenuhnya berhasil. Salah satu
kardiovaskuler berupa peningkatan upaya yang lain adalah dengan
tekanan darah dan peningkatan laju memberikan premedikasi klonidin
jantung. Hal ini akan meningkatkan
kebutuhan metabolik jantung dengan Klonidin adalah salah satu obat golongan
akibat antara lain iskemik otot jantung -2 agonis adrenergic yang mempunyai
dan sangat membahayakan bagi efek analgesik, sedasi dan efek
penderita hipertensi, tekanan intrakranial simpatolitik. Peran pemberian
tinggi dan penyakit jantung iskemik premedikasi klonidin dengan efek
yang sudah dideritanya. Berbagai upaya simpatolitiknya bertujuan untuk
telah dilakukan untuk mencegah ataupun mengurangi meningkatnya kadar
mengurangi respons hemodinamik akibat katekolamin plasma, sehingga gejolak
MAC dan N2O 3 liter/menit dan O2 3 kontrol secara statistik berbeda tidak
liter/menit. Menit ke 2 setelah intubasi bermakna, sehingga kedua kelompok
dilakukan perekaman dan pencetakan tersebut dapat diperbandingkan dalam
EKG, pemeriksaan dan pencatatan penelitian. Hasil selengkapnya dapat
tekanan darah dan denyut jantung. dilihat pada tabel 1.
Pemeriksaan dan perekaman EKG, dan
Pada kelompok perlakuan, laju jantung
pemeriksaan dan pencatatan tekanan
pada menit ke-2 sesudah intubasi lebih
darah dan denyut jantung diulangi lagi
tinggi dan bermakna dibanding data
pada menit ke-5 setelah intubasi
dasar, sedang pada menit ke-5 sesudah
Saturasi oksigen dan monitor EKG intubasi lebih rendah dibandingkan data
dipakai sebagaimonitoring selama dasar. Perbedaan ini tidak bermakna.
operasi. Kemudian dihitung skore rate Pada kebanyakan kontrol, pada menit ke-
pressure product (RPP) Hasil kemudian 2 sesudah intubasi lebih tinggi dan
dicatat, dilakukan coding, cleaning dan bermakna dibanding data dasar, sedang
tabulasi. Perbandingan antara kelompok pada menit ke-5 sesudah intubasi lebih
perlakuan Klonidin HCl dan kelompok tinggi dibanding data dasar, perbedaan
kontrol dilakukan dengan program SPSS ini secara statistik tidak bermakna. Kalau
for Windows. Sebaran hasil akan kedua kelompok dibandingkan baik pada
dianalisis normalitasnya dengan uji menit ke-2 maupun ke-5 kelompok
Saphiro wilk. Apabila sebaran normal kontrol lebih tinggi secara bermakna
dilanjutkan dengan uji t independen, dibandingkan kelompok perlakuan.
sedangkan apabila tidak normal akan
Pada kelompok perlakuan pada menit ke-
diuji dengan uji Mann-whitney U.
2 sesudah intubasi lebih rendah
HASIL dibanding data dasar, perbedaan ini tidak
bermakna. Pada menit ke-5 sesudah
Pada penelitian ini didapat 48 sampel
intubasi juga lebih rendah dibanding data
yang terdiri dari 24 sampel kelompok
dasar, perbedaan ini tidak bermakna.
perlakuan dan 24 orang kelompok
Pada kelompok kontrol pada menit ke-2
kontrol. Adapun karakteristik demografi
sesudah intubasi lebih tinggi dibanding
dari sampel melanjutkan jenis kelamin,
data dasar, perbedaan ini tidak
status fisik ASA, umur, berat bedan,
bermakna. Bila kedua kelompok ini
tinggi badan, BMI dan data dasar hasil
dibandingkan baik pada menit ke-2
pemeriksaan pada menit ke 2 sesudah
maupun ke-5 kelompok kontrol lebih
induksi, yang meliputi tekanan darah
tinggi dibandingkan kelompok perlakuan
sistole , tekanan darah diastole, denyut
tetapi perbedaan tidak bermakna
jantung, rate pressure product dan QTC.
Pada kelompok perlakuan pada menit ke-
Semua data-data tersebut antara
2 sesudah induksi lebih tinggi dan
kelompok perlakuan dan kelompok
bermakna dibanding data dasar, sedang
pada menit ke-5 lebih rendah dibanding diantar kelompok perlakuan dan
data dasar. Perbedaanya tidak kelompok kontrol.
bermakna. Pada kelompok kontrol pada
Dari data dasar menit ke-2 sesudah
menit ke-2 lebih tinggi dan bermakna
intubasi terdapat perbedaan yang tidak
dibanding data dasar, pada menit ke-5
bermakna tekanan diastole antara
juga lebih tinggi dibanding data dasar.
kelompok perlakuan dan kelompok
Perbedaan ini tidak bermakna. Bila
kontrol. Sedangkan perubahan dari data
kedua kelompok dibandingkan baik
dasar dari menit ke-2 ke menit ke-5
pada menit ke-2 maupun menit ke-5
sesudah intubasi terjadi perbedaan yang
kelompok kontrol lebih tinggi, tetapi
bermakna antara kelompok perlakuan
tidak bermakna.
dan kelompok kontrol.
Pada kelompok perlakuan, baik pada
Perubahan laju denyut jantung
menit ke-2 maupun ke-5 sesudah
intubasi lebih tinggi dibanding data Dari data dasar menit ke-2 sesudah
dasar, tetapi tidak bermakna. Pada intubasi terdapat perbedaan antara
kelompok kontrol pada menit ke-2 kelompok perlakuan dan kelompok
sesudah intubasi lebih rendah tetapi kontrol tidak bermakna. Perubahan dari
pada menit ke-5 lebih tinggi dibanding data dasar pada menit ke-5 sesudah
data dasar, tetapi keduanya tidak intubasi perbedaan antara kelompok
bermakna. perlakuan dan kelompok kontrol juga
tidak bermakna.
Pada menit ke-2 sesudah intubasi
kelompok perlakuan lebih tinggi Dari data dasar menit ke-2 sesudah
dibanding kelompok kontrol, sedangkan intubasi antara kelompok perlakuan dan
pada menit ke-5 sesudah intubasi kelompok kontrol Rate Pressure Product
kelompok perlakuan lebih rendah berbeda tidak bermakna, demikian pula
dibanding kelompok kontrol. Tetapi perubahan dari data dasar pada menit ke
kedua perbedaan tidak bermakna -5 sesudah intubasi perbedaan antara
dibanding kelompok kontrol. Data-data kelompok perlakuan dan kelompok
hasil penelitian tersebut bisa dilihat kontrol juga tidak bermakna
pada tabel 2. Grafik dapat diikuti pada
grafik 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari data dasar pada menit ke-2 sesudah
intubasi interval QTc antar kelompok
Dari data dasar menit ke-2 sesudah perlakuan dan kelompok kontrol tidak
intubasi atau kelompok perlakuan dari berbeda bermakna, demikian juga
kelompok kontrol Perubahan tekanan perubahan interval QTc atau data dasar
systole berbeda tidak bermakna. meit ke-5 sesudah intubasi antara
Sedangkan perubahan dari data dasar kelompok perlakuan dan kelompok
pada menit ke-5 sesudah intubasi, kontrol juga tidak bermakna.
terjadi perbedaan yang bermakna
dasar, sehingga tekanan sistole dan dosis 0,2 mg oral, lebih tinggi dibanding
diastole menit ke-5 kelompok kontrol penelitian ini dengan dosis 0,15 mg oral.
lebih tinggi dan bermakna dibanding
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian
kelompok perlakuan.
Raval dkk, yang menyimpulkan bahwa
Frekuensi denyut jantung pada klonidin oral dapat mencegah respon
kelompok kontrol baik pada menit ke-2 hemodinamik laringoskopi intubasi.
lebih tinggi daripada data dasar dan Raval memberikan dosis 0,4g/kgbb12.
kelompok perlakuan, tetapi perbedaan Kalau dihitung dengan berat badan
ini tidak bermakna orang Indonesia , sekitar 60 kg maka
kelompok yang diberikan adalah 0,24
Rate pressure product baik kelompok
mg, jadi lebih tinggi dari dosis yang
perlakuan maupun kelompok kontrol
diberikan pada penelitian ini. Penelitian
pada menit ke-2 lebih tinggi dan
Yokota dkk juga menyimpulkan
bermakna dibanding data dasar. Pada
klonidin dapat mencegah respon
menit ke-5 kelompok kontrol masih
hemodinamik selama intubasi fiberoptik
lebih tinggi tetapi tidak bermakna
nasal, dosis yang dipakai 5g/kgbb13.
dibanding data dasar. Perbedaan antara
kelompok perlakuan dan kelompok Ditinjau dari waktu pemberian obat ,
kontrol tidak bermakna baik pada menit pada penelitian ini klonidin oral
ke-2 maupun menit ke-5. diberikan 2 jam sebelum tindakan, jadi
sudah cukup waktu untuk proses
QTC hanya sedikit mengalami
absorpsi sampai menimbulkan efek
perubahan
farmakologis. Hal ini sesuai dengan
Melihat hal-hal diatas nampaknya penelitian sebelumnya dimana klonidin
pengaruh klonidin dalam penelitian ini oral diberikan antara 90 menit 120
tidak sepenuhnya bisa menghambat menit sebelum tindakan6-9 .
gejolak kardiovaskuler, terbukti masih
Menurut Abildskov, cathecolamine
terjadi kenaikan tekanan sistole dan
menyebabkan QT interval memanjang,
diastole. Sebagai sebab karena klonidin
hal ini terjadi pada penyuntikan cepat
dalam penelitian ini diberikan per oral.
cathecolamin14 . Tindakan laringoskopi
Hal ini sesuai dengan penelitian
intubasi menyebabkan stimulasi
Zalunardo dkk bahwa klonidin oral
simpatis dan berakibat meningkatnya
kurang efektif dibanding intravena6.
chatecolamin plasma6 . Hal ini diyakini
Berbeda dengan penelitian Talebi dkk akan menyebabkan QT interval
dimana klonidin oral dapat memanjang, memanjangnya QT interval
menimbulkan efek hemodinamik yang yang berat adalah terjadinya taki aritmia
stabil pada tindakan laringoskopi ventrikel diikuti dengan Torsades de
intubasi11. Perbedaan dengan penelitian pointes dan kematian15 .
ini mungkin karena Talebi memberikan
PENELITIAN
Pengaruh Induksi Propofol dan Ketamin terhadap Kadar Procalcitonin
Plasma
The Effect of Propofol and Ketamine Induction on Plasma Procalcitonin
Level
Aunun Rofiq*, Johan Arifin*, Witjaksono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Procalcitonin used as one of the inflammatory response to infection.
Induction of anesthesia used drugs known to affect the increase in procalcitonin
Objective: Determine the effect of differences in propofol and ketamine on levels of
procalcitonin in general anesthesia
Method: a quasi experimental study on 16 subjects who performed general anesthesia.
The samples were divided into 2 groups each of 8 samples, group 1 and 2 get a dose of
propofol 2.5 mg / kg intravenous or ketamine 2 mg / kg intravenous as an anesthetic
induction drugs. anesthesia were mainained with O2 and N2O with a ratio of 50%:
50%. Subject blood samples were taken before induction, 4 hours and 24 hours
following induction.
Results: There were significant difference in procalcitonin levels before and after
treatment in the propofol group (K1) (p = 0.008) and no significant difference in the
ketamine group (K2) (p = 1,00). Procalcitonin levels amid values K1 and K2 were
0.175 0.1 and 0.05 0.05. Propofol causes marked elevated levels of procalcitonin
compared to ketamine (p = 0.053)
Conclusion: Propofol significantly increased procalcitonin levels compared to
ketamine
Keywords: propofol, ketamine, procalcitonin, general anesthesia
ABSTRAK
Latar belakang: Procalcitonin merupakan salah satu petanda respon inflamasi
terhadap infeksi. Obat induksi anestesi dapat mempengaruhi kadar procalcitonin
plasma.
Tujuan: Menilai pengaruh propofol dan ketamin terhadap kadar procalcitonin dalam
induksi general anestesi
Metode: Studi quasi experimental terhadap 16 subjek yang menjalani general
anestesi. Sampel dibagi menjadi grup 1 yang mendapatkan propofol dengan dosis
2,5 mg/kgbb intravena dan grup 2 yang mendapatkan ketamin dengan dosis 2 mg/kgbb
intravena sebagai obat induksi anestesi selama prosedur penelitian, anestesi rumatan
O2 dan N2O dengan rasio 50%:50%. Sampel darah subjek diambil sebelum induksi,
jam ke-4 dan jam ke -24.
Hasil: Didapatkan perbedaaan kadar procalcitonin bermakna sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok propofol (K1) (p=0,008) dan perbedaan tidak bermakna
pada kelompok ketamin (K2) (p=1,00). Nilai tengah kadar procalcitonin K1 dan K2
PENDAHULUAN
Propofol Ketamin
No (n=8) (n=8) p
Median(min-max) Median(min-max)
Umur 40,5 (21-61) 38,5 (23-65) 0,725
1
(tahun)
Lama operasi 135,0 (120-150) 120,0 (75-160) 0,383
2
(menit)
Hb 12,9 (10,3-14,9) 11,9 (10,2-14,0) 0,195
3
Sebelum perlakuan (gr/dl)
Leukosit 6050 (4500-8600) 6300 (4600-8700) 0,015
4
sebelum perlakuan (mm3)
Procalcitonin 0,05 (0,05-0,05) 0,05 (0,05-0,05) 1,00
5 Sebelum perlakuan
(ng/dl)
Tabel 2 Perbedaan kadar PCT (ng/dl) sebelum induksi antara kedua kelompok
Tabel 3. Perbedaan kadar PCT (ng/dl) 4 jam setelah induksi antara kedua kelompok.
Tabel 4. Perbedaan kadar PCT (ng/dl) 24 jam setelah induksi antara kedua kelompok.
Tabel 5. Perbedaan kadar PCT (ng/dl) antara sebelum induksi, 4jam dan 24 jam setelah induksi.
PENELITIAN
Pengaruh Preventif Multimodal Analgesia Terhadap Dinamika Kadar Il -
1, Intensitas Nyeri Pada Pascabedah Laparotomi Ginekologi
The Effect Of Preventive Multimodal Analgesia On Il-1 Level And Pain
Intensity In Post Gynecologic Laparotomy
Muhammad Hisyam*, Muhammad Ramli*, Burhanuddin Bahar**
*Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar
**Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar
ABSTRACT
ABSTRAK
pascabedah belum optimal dan masih sering terabaikan. Interleukin (IL) 1 adalah
salah satu sitokin proinflamasi yang kadarnya akan meningkat bila terjadi proses
inflamasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar IL-1, skala NRS, pada
kelompok yang mendapatkan epidural bupivakain 0,125% kombinasi parecoxib 40 mg
dengan kelompok yang mendapatkan epidural bupivakain 0,125% yang digunakan
sebagai multimodal preventif analgesia pascabedah laparotomi ginekologi.
Metode: Penelitian eksperimental dilakukan secara acak pada 50 pasien dengan
status fisik (ASA PS) II yang akan menjalani prosedur laparotomi ginekologi dengan
anestesi epidural. Subyek penelitian dibagi dalam dua kelompok perlakuan, yakni
kelompok pertama dengan kombinasi parecoxib 40 mg (n=25) dan kelompok kedua
dengan kombinasi plasebo NaCl 0,9% (n=25). Kedua kelompok tersebut mendapatkan
anestesi epidural selama operasi dan sebagai analgesia pascabedah. Pengambilan
sampel darah pasien dilakukan 35 menit sebelum pembedahan untuk pengukuran
kadar IL-1 , selanjutnya dilakukan pada 2 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis
statistik menggunakan uji Mann-Whitney U dan Levane test.
Hasil: Rerata kadar IL-1 prabedah pada kelompok parecoxib 1,051,25 pg/ml, 1,24
1,54 pg/ml untuk 2 jam pascabedah dan 1,82 2,16 pg/ml pada 24 jam pascabedah.
Kelompok kontrol, kadar IL-1 prabedah 1,651,69 pg/ml, 2,552,77 pg/ml untuk 2
jam pasca bedah pg/ml, dan 1,961,97 pg/ml pada 24 jam pascabedah. Tidak ada
perbedaan bermakna rerata skor NRS diam dan bergerak 2 jam, 12 jam, dan 24 jam
pascabedah diantara kedua kelompok sampel (p>0,05).
Kesimpulan: Kombinasi epidural bupivakain 0,125% dengan parecoxib 40 mg dapat
menurunkan kadar IL-1 pada 2 jam pascabedah.
Kata kunci: Bupivakain, Epidural, IL-1, Laparotomi Ginekologi, Parecoxib
PENDAHULUAN
Respon inflamasi terhadap trauma
Nyeri pascabedah merupakan
pascabedah dapat menginduksi respon
permasalahan sangat penting yang
stres neuroendokrin, yang pertama pada
dihadapi pasien pascabedah. Nyeri
jaringan inflamasi perifer yang dapat di
pascabedah akan mempengaruhi sistem
hambat oleh anestesi lokal dan
kardiovaskuler, respirasi dan endokrin.
cyclooxygenase (COX-2) inhibitor. Jalur
Meskipun pengetahuan kita tentang
yang kedua adalah sinyal humoral yang
mekanisme nyeri pascabedah sudah
berasal dari jaringan inflamasi perifer
mengalami banyak kemajuan, namun
menyebabkan produksi sitokin seperti
pengelolaan nyeri pascabedah belum
Interleukin-1 (IL-), IL-2, IL-6 dan
optimal dan masih sering terabaikan.
tumor necrosing factor (TNF) yang akan
Suatu survey yang dilakukan Apfelbaum
menginduksi penyebaran dan
pada tahun 2003, menemukan bahwa
peningkatan COX-2 dan sintesa
sekitar 82% pasien masih mengalami
prostaglandin yang berada di central
nyeri akut, 47% diantaranya dengan
nervous system (CNS). Hal ini tidak
nyeri sedang dan 40% dengan nyeri
dapat dihambat dengan efektif oleh
berat dan sangat berat.1
Tabel 1. Perbandingan Umur, IMT, Durasi dan Anestesi Lokal menurut Kelompok
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata,simpang baku dan nilai p diuji dengan Uji Mann Whitney-U,
bermakna jika p<0,05
Kelompok
Parecoxib Kontrol Total
Diagnosis Tumor Ovarium N 8 11 19
% 32,0% 44,0% 38,0%
Tumor Uterus N 17 14 31
% 68,0% 56,0% 62,0%
Total N 25 25 50
% 100,0% 100,0% 100,0%
Data diuji dengan uji Chi Square (p=0,382), bermakna bila p<0.05
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata,simpang baku dan nilai p diuji dengan Uji Mann Whitney-U, bermakna jika
p<0,05.
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata,simpang baku dan nilai p diuji dengan Uji Mann-Whitney U , bermakna jika
p<0,05.
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata,simpang baku dan nilai p diuji dengan Uji Mann-Whitney U , bermakna jika
p<0,05
dibandingkan kelompok kontrol dimana yang ketiga adalah proporsi pasien yang
perubahan dinamika kadar IL-1 sangat memerlukan rescue lebih banyak pada
terlihat perbedaan pada jam ke 2 pasca Kelompok Kontrol dibandingkan
bedah. Hal ini dapat diasumsikan Kelompok Parecoxib (p<0,05),
bahwa pemberian parecoxib pada selanjutnya adalah waktu pemberian
analgesia epidural mampu menekan rescue pertama pada kelompok kontrol
kadar IL-1 secara konsisten pada jam juga lebih cepat dibanding kelompok
ke 2 pasca bedah dibandingkan dengan Parecoxib. Hal ini membuktikan bahwa
epidural tunggal yang tidak mampu parecoxib 40 mg IV yang dikombinasi
menekan lonjakan IL-1 pada jam ke 2 dengan analgesia epidural lebih superior
pasca bedah. dibandingkan plasebo.
optimal mengurangi nyeri pascabedah 5. Samad TA, Sapirstein AA, Woolf CJ.
Prostanoid and pain : unraveling mechanism
dan respon stres pascabedah. and revealing therapetic targets. Trens Mol
Med. 2012; 8:390-96.
SIMPULAN
6. Beilin B, Bessler H, Mayburd E, Smirnov G,
Kombinasi epidural bupivakain 0,125% Dekel A. Effect of preemtive analgesia on
pain and cytokine production in
dengan parecoxib 40 mg mengurangi postoperative period. Am Societ Anesth.
intensitas nyeri pascaoperasi dan dapat 2003; 98:151-55.
mengurangi kebutuhan analgetik 7. Brandsborg B, Dueholm M, Jensen TS.
epidural maupun analgetik tambahan Nikolajsen L. Mechanosensitivity before and
after hysterecyomy: a prospective study on
serta dapat menurunkan kadar IL-1 the prediction of acute and chronic
pasca operasi. postoperative pain. Br J Anest. 2011; 9:1-8.
LAPORAN KASUS
Penatalaksanaan Anestesi Pada Total Anomalous Pulmonary Venous
Drainage
Anesthetic Management in Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage
ABSTRACT
Background : TAPVD is one of cyanotic congenital heart disease. There is no
connection between pulmonary vein and left atrium; pulmonary vein was directly
drain into right atrium or systemic vein (innominate, superior cava, Azygus, inferior
cava or portal vein) through alternative ways (vertical vein). All venous blood drain
into right atrium, thus the patient life depend on the connection between left and right
atrium.
Case: 12 years old boy with major complain exhausted and weight gain difficulty.
Echocardiography show supracardiac TAPVD (to innominate vein), large ASD (right
to left shunt), mild tricuspid regurgitation and moderate pulmonary hypertension.
Anesthetic management aimed to reduce pulmonary blood flow through controlled
ventilation dan quick extubation after repair procedure was finished. Central venous
pressure, arterial line and pulmonary arterial pressure monitoring is very useful.
Perioperative pulmonary hypertension could be treated with hyperventilation,
oxygenation, alkalinization, deep sedation dan muscle relaxant.
Keywords: Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage, congenital heart disease,
anesthesia
ABSTRAK
Pendahuluan: TAPVD merupakan salah satu CHD yang bersifat sianotik. TAPVD
merupakan anomali vena paru kongenital yang mana tidak ada hubungan antara
pembuluh darah paru dan atrium kiri; vena paru terhubung langsung ke atrium kanan
atau ke vena sistemik (inominata, vena cava superior, Azygus, vena cava inferior atau
vena portal) oleh jalur alternatif (vena vertikal). Karena semua darah vena kembali ke
atrium kanan, sehingga kelangsungan hidup penderita tergantung pada koneksi antara
atrium kiri dan kanan.
Kasus: Anak laki-laki 12 tahun dengan keluhan cepat lelah dan berat badan sulit naik.
Ekokardiografi menunjukkan adanya TAPVD supracardiac (ke V.inominata), ASD
besar (pirau kanan ke kiri), TR mild dan PH moderate. Prinsip manajemen anestesi
dengan mengurangi aliran darah ke paru melalui kontrol ventilasi dan pertimbangkan
ekstubasi cepat setelah repair. Monitoring dengan CVP, LA pressure dan PA pressure
sangat membantu. Hipertensi pulmonal perioperatif ditangani dengan hiperventilasi,
oksigen 100%, alkalinisasi, sedasi dalam dan pelumpuh otot.
Kata kunci: Total Anomalous Pulmonary Venous Drainage, penyakit jantung bawaan,
anestesi
PENDAHULUAN
sistemik (innominate, vena cava
Kelainan jantung bawaan (Congenital
superior, Azygus, vena cava inferior atau
heart disease, CHD) relatif jarang
vena portal) oleh jalur alternatif (vena
terjadi, diperkirakan <1% dari kelahiran
vertikal). Karena semua darah vena
hidup. Pada awal kelahiran beberapa
kembali ke atrium kanan, sehingga
CHD asimtomatik.1 CHD merupakan
kelangsungan hidup bayi tergantung
kelainan jantung yang sudah didapat
pada koneksi antara atrium kiri dan
sejak lahir. Manifestasinya klinis
kanan. 5
bergantung dari berat ringan penyakit,
mulai dari asimtomatis sampai dengan KASUS
adanya gejala gagal jantung pada
Anak laki-laki 12 tahun dengan keluhan
neonatus. Dengan berkembangnya
cepat lelah dan berat badan sulit naik.
teknologi, terutama dengan
Merupakan rujukan dari daerah dengan
ditemukannya ekokardiografi, banyak
diagnosis atresia aorta. Pemeriksaan fisik
kelainan jantung bawaan asimtomatis
pre operasi ditemukan tanda vital
yang dapat dideteksi. Tata laksana
normal, saturasi pre operasi 94% dan
meliputi non-bedah dan bedah. Tata
peningkatan suara jantung 2 dengan wide
laksana non-bedah meliputi pengobatan
fixed split tanpa murmur atau gallop.
medikamentosa dan kardiologi
Hasil laboratorium hematologi dalam
intervensi, sedangkan tata laksana bedah
batas normal, ronsen thorax ditemukan
meliputi bedah paliatif dan operasi
pinggang jantung datar, dan hasil
definitif.2 Salah satu bentuk CHD yang
ekokardiografi ditemukan TAPVD
jarang terjadi yaitu Total Anomalous
supracardiac (ke V.inominata), ASD
Pulmonary Venous Drainage (TAPVD)
besar (R-L shunt), TR mild dan PH
atau dikenal juga dengan Total
moderate.
Anomalous Pulmonary Venous
Connection (TAPVC) atau Total Pasien ini kemudian didiagnosis TAPVD
Anomalous Pulmonary Venous Return supracardiac, ASD besar dan PJB
(TAPVR).3-6 asianotik.
TAPVD merupakan salah satu CHD Dilakukan anestesi dengan premedikasi
yang bersifat sianotik, insiden sebesar midazolam, induksi dengan sufentanyl
0,008% dari kelahiran hidup, atau 10 g dan vecuronium 2 mg.
sebesar 2,2% dari CHD. TAPVD Pemeliharaan dengan sevoflurane 1%
merupakan anomali vena paru volume dalam O2: air = 50%:50%.
kongenital yang mana tidak ada Sufentanyl dan vecuronium bolus
hubungan antara pembuluh darah paru intermitten. Monitoring invasif dengan
dan atrium kiri; vena paru terhubung arterial line, central venous catheter
langsung ke atrium kanan atau ke vena (CVC) dan pulmonal artery line.
Support selama operasi dengan milrinon portal. Tipe ini biasanya terjadi obstruksi
0,375 g/kgBB/menit dan NTG 1g/ dari aliran balik vena paru. Insiden: 24%
kgBB/menit. Durasi CPB selama 112 dari total kasus.
menit, aorta cross clamp 55 menit dan
Tipe IV, Sangat jarang, melibatkan
balans cairan -305.
beberapa drainase. Insiden: approx 5%
PEMBAHASAN dari total kasus.
TAPVC dibagi menjadi empat tipe: Pada pasien ini termasuk dalam TAPVD
supracardiac, cardiac, infracardiac, dan tipe I, dimana semua vena pulmonalis ke
campuran. Prinsip perbaikan operasi vena innominata kemudian ke vena cava
adalah membuat hubungan antara vena superior dan secara klinis merupakan
paru dan atrium kiri, hubungan dengan unobstructed TAPVD karena adanya
sirkulasi vena sistemik, dan menghapus ASD yang besar.
shunting intracardiac. Perbaikan yang
Gambaran klinis : 5
spesifik tergantung pada jenis koneksi
anomali. Obstruksi vena pulmonalis Timbulnya gejala: Kebanyakan pasien
merupakan komplikasi yang signifikan mengalami gejala dalam 1 tahun
dan komplek.4 kehidupan: takipnea, kesulitan makan,
sering infeksi pernafasan, dan gagal
TAPVD terbagi atas : 4,5
tumbuh.
Tipe-I: TAPVD melibatkan drainase ke
Awitan awal gejala: Pasien yang
dalam sistem vena sistemik melalui sisi
memiliki obstruksi vena pulmonalis
kiri vertikal vena (suatu sisa
dapat terjadi dalam hari-hari pertama
embryologic dari sistem kardinal kiri),
kehidupan dengan takipnea, sianosis, dan
yang mengalir ke kiri brakiosefalika
gagal jantung.
vena atau langsung ke vena kava
superior. Terjadi pada 46% dari pasien Temuan Klinis Klasik :5
yang memiliki TAPVD. Insiden: 46%
dari total kasus. Unobstructed TAPVD: ditemukan
Klasik ASD - split lebar dan suara
Tipe II: Ini melibatkan drainase jantung kedua tetap dengan S3 RV ejeksi
langsung ke jantung, biasanya melalui dan murmur ejeksi sistolik pada bayi
sinus koroner atau langsung ke dalam yang mengalami gagal jantung kongestif
atrium kanan. Insiden-26% dari total dan sianosis sehingga harus
kasus. meningkatkan kecurigaan TAPVD.
Tipe III: Ini melibatkan drainase melalui Obstructed TAPVD: biasanya pada
vena descending di bawah diafragma TAPVD, darah dari vena pulmonalis
dan bergabung dengan vena cava butuh waktu lebih lama untuk mencapai
inferior, vena hepatica, atau sistem atrium kiri. Jalur ini mungkin hanya
Tipe I
Tipe II
Tipe III
Gambar 1. View TEE setelah repair TAPVD,tampak drainase vena pulmonalis ke atrium kiri.
Gambar 2. Empat jenis utama TAPVD, ditandai oleh adanya aliran darah dari pembuluh darah paru ke
atrium kanan oleh vena masuk dari atas, bawah, di tingkat jantung atau kombinasi. Untuk masing-masing
jenis, ada hubungan atrium yang memungkinkan darah untuk mencapai sisi kiri jantung. TAPVD biasanya
mempunyai cacat jantung lain yaitu defek septum atrium (Atrial septal defect, ASD).6
itu bisa juga dengan pemberian obat 3. Sohsuke Y, Masanori H, Ke-Yong W, Yan
inodilator seperti milrinon yang dapat Ding, Xin Guo, Shohei Shimajiri, et al.
Total anomalous pulmonary vein drainage:
menurunkan left ventricular work dan Report of an autopsy case associated with
juga meningkatkan cardiac output. atresia of the common pulmonary vein and
left superior pulmonary vein. Pathology
Internationale 2011; 61: 93-8
RINGKASAN
4. Jennifer CH, Edward L.Total anomalous
Manajemen anestesi untuk pasien pulmonary venous connection.. European
dengan TAPVD: 1. Maksimalkan Association for Cardio thoracic surgery
2007; 1-7
oksigenasi dengan ventilasi mekanik,
FiO2 100% dan tindakan lain untuk 5. CME: Total Anomalous pulmonary venous
Drainage(TAPVD). Cited in : 25-1-2013.
menurunkan PVR; 2. Hipertensi Available from URL : http://
pulmonal perioperatif sering www.cardioiap.org/PDF/TAPVD.pdf
membutuhkan hiperventilasi, oksigen 6. Boston children hospitals. Anomalous
100%, alkalinisasi, sedasi dalam dan pulmonary venous return (TAPVR or
PAPVR). Cited in 26-1-2013. Available
pelumpuh otot; 3. Hindari penggunaan from URL : http://
TEE yang dapat memperburuk www.childrenshospital.org/az/Site475/
mainpageS475P1.html
obstruksi vena pulmonalis; 4. Hindari
pemberian cairan yang berlebihan pada 7. Allen DW. Total Anomalous Pulmonary
Venous Connection. Cited in 27-1-2013.
jantung kiri; 5. Pemberian obat Aailable from URL : http://
inotropik, inodilator; 6. Diagnosis dan emedicine.medscape.com/article/899491-
overview#a0104
obati bila ada gangguan irama jantung.
8. Dean BA, Stephen AS, Isobel AR.
Anesthesia for congenital heart disease.
2005. pg 310-314
LAPORAN KASUS
Penggunaan Opioid sebagai Balans Anestesi pada Craniotomi Emergensi
dengan Meningioma
Yutu Solihat*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara/ RSU Haji Adam Malik Medan
ABSTRACT
Background: Balanced anesthesia is a technique of general anesthesia based on the
concept that administration of mixture agent inhalation and intravenous or
combinations anesthesia technique for desired advantages effect anesthesia. Opioid
as one component of balanced anesthesia proven can reduce perioperative pain and
anxiety, decrease somatic and autonomic responses to airway manipulation, improve
hemodynamic stability during noxious stimulation due to surgery, lower requirements
for inhaled anesthetics, and provide immediate postoperative analgesia. The goal of
maintenance anesthesia in neurosurgery is controlling brain tension through control
cerebral metabolic rate for oxygen consumption (CMRO2) and cerebral blood flow
(CBF). The specific anesthetic regimen is a combination of drugs that favorably affects
cerebral hemodynamics, CMRO2, and intracranial pressure (ICP) to provide good
operating conditions and to enhance the probability of a quality outcome. Opioid
generally produce modest decreases in the cerebral metabolic rate (CMR) and
intracranial pressure although such changes are influenced by the concomitant
administration of other agents and anesthetics.
Case: A female, 42 years old, predicted body weight 60 kg was admitted to the
hospital with main complain decreased level of consciousness suddenly.
(meningioma) on the parietal lobe.History of headache was found, no vomittus, and no
seizure. Physical examination revealed sensorium Glasgow Coma Scale 10 (E3M5V2),
status hemodynamic,we respiratory, laboratory and radiology findings were within
normal limits. Patient was scheduled for craniotomy emergency tumor removal under
general anesthesia intubation using endotracheal tube with opioid in balanced
anesthesia using fentanil.
Operation lasted for 3 hours. Intravenous injection of midazolam (2 mg) as
ABSTRAK
Latar Belakang: Balans anestesi adalah teknik anestesi umum berdasar konsep
pemberian campuran agen inhalasi dan intravena atau teknik anestesi kombinasi untuk
mendapatkan keuntungan efek anestesi.
Opioid sebagai salah satu komponen balans anestesi terbukti dapat mengurangi nyeri
perioperatif dan cemas, mengurangi respon somatik dan respon otonom terhadap
manipulasi saluran napas, meningkatkan stabilitas hemodinamik selama rangsang nyeri
operasi, kebutuhan anestesi inhalasi yang lebih rendah, dan memberikan analgesi segera
pasca operasi. Tujuan maintenans anestesi pada bedah saraf adalah mengontrol tekanan
otak melalui kontrol tingkat konsumsi oksigen metabolisme otak (CMRO2) dan aliran
darah otak (CBF). Preparat anestesi spesifik merupakan kombinasi obat yang
menguntungkan hemodinamik serebral, CMRO2, dan tekanan intrakranial (ICP) untuk
memberikan kondisi operasi yang baik dan untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang
berkualitas. Opioid umumnya menghasilkan penurunan sederhana dalam tingkat
metabolisme otak (CMR) dan tekanan intrakranial meskipun perubahan tersebut
dipengaruhi dengan pemberian agen lain.
Kasus: Seorang wanita, 42 tahun, berat badan 60 kg dirawat di rumah sakit dengan
keluhan utama penurunan kesadaran tiba-tiba. CT scan menunjukkan tumor
(meningioma) pada lobus parietal. Terdapat riwayat sakit kepala, tidak ada muntah, dan
tidak kejang. Pemeriksaan fisik menunjukkan Glasgow Coma Scale 10 (E3M5V2), status
hemodinamik, pernafasan, pemeriksaan laboratorium dan radiologi dalam batas normal.
Pasien dijadwalkan untuk kraniotomi pengangkatan tumor emergensi di bawah anestesi
umum, intubasi dengan endotrakeal tube dan opioid dalam balans anestesi menggunakan
fentanil . Operasi berlangsung selama 3 jam. Injeksi intravena midazolam 2 mg sebagai
premedikasi diberikan sebelum induksi anestesi, fentanil 250 ug/iv (titrasi) diberikan 5
menit sebelum injeksi propofol untuk mencapai tingkat puncak sebelum intubasi. Induksi
dengan propofol 100 mg iv (titrasi) dan pelumpuh otot dengan rokuronium 50 mg iv.
Selama anestesi, pasien dikontrol secara total, maintenans O2:udara 2l : 2l, sevofluran
0,5-1 % , rocuronium 10 m / jam/iv dan fentanil 100-200 ug/jam/ iv syringe pump. Total
fentanil digunakan adalah 900 ug dan pada akhir operasi pasien diekstubasi. Manajemen
nyeri pasca operasi yang digunakan di ICU adalah fentanil 500 uq/24 jam/iv dan
ketorolak 30mg/ 8 jam/iv. Pada asesmen ulang tingkat kesadaran pasca operasi di ICU
didapatkan GCS 15.
Pembahasan: Opioid dalam balans anestesi pada pengangkatan tumor (meningioma)
pada kraniotomi emergensi memberikan kondisi dan hasil operasi yang baik. Opioid
dalam balans anestesi adalah pilihan yang baik untuk kasus ini. Konsentrasi plasma
opioid yang diperlukan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi,
intubasi trakea, dan berbagai rangsangan noxius, serta konsentrasi plasma opioid yang
terkait dengan kebangkitan dari anestesi dan terbukti tidak meningkatkan metabolisme
otak dan tekanan intrakranial. Opioid dosis dititrasi untuk efek yang diinginkan
berdasarkan stimulus bedah dan menghasilkan pemulihan yang baik.
Kata kunci: Opioid dalam balans anestesi, neuroanesthesia, kraniotomi emergensi,
meningioma .
PENDAHULUAN
dan ketorolak 30 mg/8 jam iv ,dan waktu, dan memberikan efek analgesia
dinilai ulang tingkat kesadaran di ICU pasca operasi dengan minimal efek
dengan tingkat kesadaran GCS 15 . samping.1,2,4,5
mengurangi biaya dengan tujuan akhir ialah Penggunaan fentanil dengan dosis bolus
mempercepat pemulihan pasien. 1,2,3 secara intravena dapat diberikan dengan
dosis 3 ug/kgbb yang diberikan 25-30
Pada saat induksi anestesi pemakaian
menit sebelum insisi kulit, terbukti dapat
fentanil sebagai loading dose dapat
mengurangi MAC pemakaian anestesi
diberikan dengan dosis bekisar antara 2-6
inhalasi kira-kira sebesar 50% baik pada
ug/kg yang dikombinasi dengan pemakaian
Isofluran maupun Desfluran. Pemberian
agen hipnotik-sedatif yang lain seperti
fentanil dengan dosis 1.5 ug/kgbb yang
thiopental atau propofol dan pemberian
diberikan 5 menit sebelum induksi dapat
relaksasi otot. Pemeliharaan anestesi dapat
mengurangi pemakaian gas inhalasi baik
digunakan dengan N2O (60-70%) pada O2,
Isofluran maupun Desfluran dalam N2O
menggunakan sedikit anestesi inhalasi.1,6
60% dengan pengurangan hingga 60-
Penambahan fentanil adalah dengan dosis 70%. Konsentrasi plasma fentanil pada
inkremental antara 25-50 ug iv yang pasca operasi kira-kira 1.5 ng/mL tapi
dititrasi sampai mendapatkan efek yag level sedikitnya mencapai 2-3 ng/mL,
diinginkan atau dengan dosis 0.5-2.5 ug/kg biasanya diperlukan selama pembedahan
secara intermitten yang selama bila agen inhalasi hanya N2O. Pada
pembedahan dapat diulang dalam rentang pasca operasi, konsentrasi plasma
waktu antara 15-30 menit ataupun dapat fentanil bekisar antara 1.5-3.0 ng/mL
digunakan dengan infus secara konstan dapat mengurangi respon CO2 sebesar
dengan dosis 0.5-5.0 ug/kgbb/jam)3,7,8 50%.1,6
Sumber : Bailey PL. Egan TD, Stanley TH : Intravenous Opioid Anesthetics. In Miller RD (ed) : Anesthesia , 5 th ed.
New York, Churchill Livingstone,2000,p 335
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawasan Curah Jantung
Mochamat Helmi*
*Dokter Spesialis Anestesiologi lulusan FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Kandidat PhD pada Department Intensive Care
Adults, Erasmus University Medical Center, Rotterdam, The Netherlands
ABSTRACT
Cardiac ouput has a major role to determine tissue oxygen delivery and blood
pressure, therefore its monitoring became fundamental. Uptil now, the thermodilution
system remains a gold standard in cardiac output monitoring. However, it is well
known that this system has many risks due to its invasive methods. Therefore, the less
invasive, safe, accurate and easy to use cardiac output monitorings are under
developments. The aim of this review is to describe some cardiac output monitoring
methods.
ABSTRAK
Sebagai faktor penentu dari hantaran oksigen ke jariangan dan juga tekanan darah,
curah jantung menjadi komponen penilaian hemodinamik yang penting.Penggunaan
teknik thermodilusi yang menjadi standar baku, telah banyak diketahui mempunyai
resiko karena teknik invasifnya. Sehingga teknik pengawasan CO yang kurang invasif,
aman,akurat dan mudah digunakan, terus mengalami perkembangan. Tinjauan
pustaka ini akan mamaparkan mengenai beberapa macam metode pengawasan CO.
PENDAHULUAN
dengan tujuan untuk membantu
Curah jantung / cardiac output (CO) mempertahankan oksigenasi jaringan 1.
merupakan bagian yang penting Karena CO tidak dapat diperkirakan
diperhatikan dalam tata laksana pasien dengan baik dengan menggunakan
resiko tinggi pada fase perio-operatif pemeriksaan fisik atau pemeriksaan rutin
atau di ICU. Pengawasan / monitoring lainnya. Nilai CO sendiri dapat
CO pada pasien-pasien sakit kritis memberikan informasi yang sangat
sangat dianjurkan untuk dilakukan bermanfaat kepada dokter anestesi atau
intensivist dalam melakukan tata laksana PAC ini. Selain itu dengan
pada pasien dengan masalah yang pemakaiannya yang relatif mudah,
kompleks 2. menjadikan PAC sebagai standard baku
dalam pengukuran CO. Pemakaian PAC
Pengukuran CO pertama kali dilakukan
bukan tanpa resiko. Ada banyak
oleh Adolph Fick pada tahun 18703,
penelitian mempertanyakan efektifitas
yang menyebutkan bahwa CO dapat
dan keamanan teknik ini 6-9. Beberapa
dihitung sebagai rasio antara konsumsi
komplikasi dari penggunaan PAC antara
oksigen (VO2) dan beda kadar oksigen
lain adalah kerusakan arteri karotis dan
pada darah arteri dan vena4:
subklavia, pneumothoraks, disritima,
Penggunaan prinsip Fick membutuhkan perforasi ruang jantung, tamponade,
kateterisasi arteri pulmoner yang kerusakan katub jantung, serta ruptur
pertama kali dilakukan pada hewan coba arteri pulmoner10,11. Hal inilah yang
(canine) pada tahun 1886 oleh Grehand kemudian memotivasi perkembangan
dan Quinquaud.Tetapi prinsip ini baru teknologi-teknologi terbaru dalam
dilakukan pada manusia setelah hampir pengukuran CO yang kurang invasif dan
5 dekade kemudian, pada tahun 1940 di berpotensi untuk lebih aman untuk
New York 3. Kemudian ditemukan digunakan2. Saat ini telah tersedia
pengukuran CO menggunakan teknik beberapa teknik alternatif, seperti
dilusi yang dilakukan oleh tim kerja oesophageal ultrasonografi Doppler,
Stewart pada akhir abad ke 19, dan transoesophageal echokardiografi,
kemudian dimodifikasi oleh Hamilton bioimpedansi elektris thorakal, dilusi
pada sekitar tahun 1930. Mereka lithium dan analisa gelombang pulsasi
menghitung CO dengan membagi (pulse wave analysis), yang kesemuanya
jumlah indikator yang diinjeksikan, relatif tidak invasif apabila dibandingkan
dengan area di bawah kurva dilusi. dengan PAC 12.
Teknik dilusi dipandang dapat
Beberapa dari teknik ini mampu menilai
diaplikasikan pada sebagian besar
volume sekuncup / stroke volume (SV)
kondisi klinis, sehingga teknik ini
secara berkelanjutan (continuous) dan
menjadi metode referensi dalam
pula mampu memberikan nilai
pengukuran CO.Pada pertengahan tahun
komponen hemodinamik lain yang dapat
1970an, kateter arteri pulmoner /
memprediksi respon pasien terhadap
pulmonary artery catheter (PAC)
pemberian cairan, menilai volume
berhasil didesain yang memudahkan
preload, dan mengukur saturasi vena
didapatkannya kurva thermodilusi
sentral secara berkelanjutan. Komponen-
dengan menggunakan komputer untuk
komponen tersebut dan nilai CO sangat
menganalisa dan menentukan nilai CO5.
membantu dalam melakukan penilaian
Sebagian besar penelitian-penelitian kondisi hemodinamik pasien kritis
telah menyimpulkan keakuratan teknik dengan lebih baik. Hanya saja perlu
diperhatikan bahwa tidak ada satupun saat sistolik dan diastolik akan
alat pengawan CO yang tidak menyebabkan semakin bertambahnya
mempunyai kelemahan. Oleh karena itu PP2. Nilai PP proporsional terhadap nilai
dirasa bijaksana untuk menyesuaikan SV dan berbanding terbalik dengan
pula kondisi pasien dalam pemilihan compliance vaskuler. Perubahan
jenis alat pengawasan CO13. gelombang PP dapat diprediksi dari
compliance dinding arterial dan SV.
FAKTOR-FAKTOR YANG
Karena compliance vaskuler tidak
MEMPENGARUHI PEMILIHAN
mudah untuk dinilai, maka nilai tersebut
ALAT PENGAWASAN CO
dapat dihitung berdasarkan umur, jenis
Ada baberapa faktor yang dapat kelamin, etnis, dan body mass index
mempengaruhi pemilihan alat (BMI)14 .Menggunakan rumus yang
pengawasan CO, yang dapat kompleks, metode-motode non-invasif
diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok tersebutdapat menilai CO dari analisa
utama (Tabel 1). Faktor institusi pulsasi kontur 15 . Idealnya, analisa
dianggap sebagai faktor yang paling pulsasi kontur dikalibrasi dengan
penting. Selain itu faktor alat (invasif/ menggunakan metode dilusi. Dimana
non invasif) dapat pula berperan. Lebih SV dihitung dan dibandingkan dengan
jauh lagi, kondisi pasien dapat SV yang didapatkan dari metode
menentukan apakah pasien memerlukan thermodilusi, untuk dapat menghitung
alat invasif atau yang non invasif 2. CO. Dengan analisa gelombang
berkelanjutan tiap denyut / beat-to-beat,
ANALISA PULSASI KONTUR CO dapat dinilai secara
16
berkelanjutan .Kalibrasi eksternal
Saat ini telah tersedia beberapa alat
disarankan untuk dilakukan tiap 6
yang menggunakan teknik analisa
sampai dengan 12 jam untuk menjaga
pulsasi kontur (pulse countour analysis)
keakuratan nilai yang didapatkan 15, 17.
untuk menentukan nilai CO, seperti
FloTrac, PiCCO, dan LiDCO, yang Meskipun nilai CO dari analisa
masing-masing berbeda dalam pulsasikontur menunjukkan nilai
kebutuhannya terhadap pengawasan kesepahaman yang baik dengan analisa
invasif dan kalibrasi eksternal. Metode CO dengan teknik lain, tetapi pengunaan
analisa pulsasi kontur dalam menilai obat-obatan vasoaktif (vasodilator/
CO menggunakan variasi gelombang vasokonstriktor) dapat menyebabkan
tekanan pulsasi / pulse pressure (PP). kesalahan dalam perhitungan CO 16,18.
Lebih penting lagi, teknik ini dapat juga
Secara umum, semakin besar SV,
menghitung variasi tekanan pulsasi /
semakin banyak darah dipompa ke
pulse pressure variation (PPV) dan
sistem arterial pada setiap denyut
variasi SV (SVV) pada pasien dengan
jantung. Sehingga semakin besar
ventilasi tekanan positif. Lebarnya PPV/
peningkatan dan penunurunan tekanan
SVV (10% sampai dengan 15%) Kesalahan yang bermakna ditemui pada
menandakan adanya hipovolemia yang pangukuran CO oleh FloTrac apabila
prediktif terhadap respon cairan 2. terdapat perbedaan mean arterial
pressure (MAP) antar 2 lokasi
FloTrac
kateterisasi bernilai lebih dari 5 mm
Sistem FloTrac (Gambar 1) Hg2 . Keunggulan lain dari sistem
diperkenalkan di Amerika Serikat oleh FloTrac ini adalah bahwa sistem ini tidak
Edwards Lifesciences, Irvine, CA, pada membutuhkan kalibrasi eksternal.
bulan April 2005. Sistem ini Analisa algoritma kontur yang dilakukan
diperkenalkan sebagai alat yang dapat oleh sistem FloTrac melakukan kalibrasi
melakukan penilaian CO, resistensi secara otomatis yang bedasarkan data
vaskuler sistemik, dan parameter demografis pasien dan analisa
dinamis (SVV) secara berkelanjutan gelombang.Kalibrasi ini dapat
dengan cepat dan akurat2 . disesuaikan dengan data individu pasien,
termasuk tonus vaskuler 2 .
Sistem ini sangat bergantung pada
algoritma perangkat lunak yang LiDCO
melakukan analisa terhadap karakteristik
Sistem LiDCO (Gambar 2)
gelombang tekanan arterial dan
dikembangkan oleh kelompok LiDCO
menggunakan informasi demografi
dan diperkenalkan pada praktik klinis
spesifik untuk menilai aliran darah.
pada awal dekade ini. Seperti halnya
FloTrac mempunyai beberapa fungsi
sistem FloTrac, sistem in imenggunakan
yang bermanfaat secara klinis. Pertama,
analisa pulsasi kontur dari jalur arterial
sistem ini secara teoritis dapat
untuk menentukan SV dan CO 2 .
digunakan pada tiap jalur kateter
Perbedaan yang paling bermakna dari
arterial; tidak diperlukan adanya kateter
kedua teknologi ini terdapat pada metode
tambahan. Selain itu, tidak ada batasan
kalibrasi analisa kontur. Beda halnya
dalam lokasi kanulasi arterial 2.
dengan sistem FloTrac yang tidak
Sistem ini telah digunakan pada menggunakan kalibrasi eksternal, sistem
beberapa penelitian dimana disimpulkan LiDCO menggunakan dilusi lithium
bahwa sistem ini dapat menyediakan untuk kalibrasi analisa algoritma pulsasi
nilai yang akurat baik dari kateter kontur. Kalibrasi ini dapat dilakukan
femoral ataupun radial 19,20 .Beberapa dengan melakukan injeksi lithium
penelitian menemukan adanya klorida dalam jumlah kecil ke dalam
perbedaan dalam penilaian CO dari vena sentral (disarankan) atau perifer.
beberapa lokasi kateterisasi yang Elektroda yang sensitif terhadap lithium
berbeda, terutama pada pasien dengan ditempatkan pada kateter arterial yang
hemodinamik tidak stabil dan/atau digunakan untuk menentukan kurva
dengan pennggunaan vasopresor. konsentrasi berdasarkan waktu untuk
menghitung nilai CO 21 .
dipelajari oleh selain ahli jantung, tetapi melalui integrasi dari konsentrasi antara
menentukan abnormalitas gerakan aliran darah dan CO2 tiap 3 menit
dinding jantung dan fungsi katub masih setelah periode singkat dari re-breathing
membutuhkan ketrampilan seorang ahli parsial untuk menghitung aliran darah
jantung. pulmoner 41. Nilai aliran darah pulmoner
kemudian dikoreksi untuk shunt
Ukuran ruang jantung dapat dinilai
menggunakan kurva pada sistem
secara langsung dengan menghitung
tersebut, yang kemudian membutuhkan
fraksi ejeksi jantung. Aliran darah
informasi SpO2 atau analisa gas darah
melalu katub-katub jantung dapat diukur
dan FiO2 untuk menentkan CO 2. Selain
dengan pencitraan Doppler ini.Hanya
CO, teknik ini juga menunjukkan
saja, kesukaran teknik ini adalah untuk
ventilasi semenit dari alveoli dan
mendapatkan pencitraan yang adekuat
beberapa parameter respirasi lainnya2 .
pada plana yang tepat, yang
membutuhkan keahlian khusus. Teknik pengawasan NICO
Transoesophageal echokardiografi tidak membutuhkan intubasi endotracheal.
dapat ditoleransi pada pasien sadar Alat ini dikontraindikasikan pada pasein
penuh12 . yang tidak dapat mentoleransi periode re
-breathing dengan sedikit peningkatan
NICO: FICKS PRINCIPLE
PaCO2. Selain katub rebreathing yang
Sistem NICO diperkenalkan pertama kali meningkatkan ruang mati jalan nafas
oleh Novametrix pada tahun 1999. (sampai minimal 35 mL) dan
Sistem ini menilai CO melalui beberapa membutuhkan perubahan pada setting
teknik re-breathing parsial yang ventilator, terutama pada pasien yang
2
diperkenalkan oleh Fick . Teknik ini diventilasi dengan volume tidal rendah2.
menggunakan re-breathing parsial CO2 Pada pasien yang bernafas spontan,
yang membandingkan tekanan parsial periode re-breathing berhubungan
end-tidal carbon dioxide (etCO2) yang dengan peningkatan ventilasi semenit.
didapatkan saat periode non re-breathing
Batasan dari metode penilaian CO
dengan yang didapatkan saat periode re-
dengan mengggunakan CO2re-breathing
breathing selanjutnya. Perubahan rasio
adalah karena metode ini hanya menilai
pada eliminasi etCO2 dan eliminasinya
aliran darah pulmoner kapiler.Dengan
setelah periode singkat re-breathing
memperhatikan keterbatasan data pada
parsial (biasanya 50 detik) memberikan
pasien di ICU dan potensi
perkiraan CO non invasif. Teknik ini
ketidakakuratan pada populasi pasien ini,
menggunakan sensor CO2 infra merah,
penggunaan teknik CO2 re-breathing
dengan ujungnya yang dapat menilai
untuk memperkirakan CO secara rutin
perbedaan tekanan, dan katub re-
tidak direkomendasikan untuk saat ini.
breathing yang menilai eliminasi CO2
and death in patients with septic shock. Crit 17. Schuerholz T, Meyer MC, Friedrich L,
Care Med 2004, 32(9):1825-1831. Przemeck M, Sumpelmann R, Marx G:
Reliability of continuous cardiac output
7. Lam C, Tyml K, Martin C, Sibbald W: determination by pulse-contour analysis in
Microvascular perfusion is impaired in a rat porcine septic shock. Acta Anaesthesiol
model of normotensive sepsis. J Clin Invest Scand 2006, 50(4):407-413.
1994, 94(5):2077-2083.
18. Berberian G, Quinn TA, Vigilance DW,
8. De Backer D, Creteur J, Preiser JC, Dubois Park DY, Cabreriza SE, Curtis LJ, Spotnitz
MJ, Vincent JL: Microvascular blood flow HM: Validation study of PulseCO system
is altered in patients with sepsis. Am J for continuous cardiac output measurement.
Respir Crit Care Med 2002, 166(1):98-104. ASAIO J 2005, 51(1):37-40.
9. Lindert J, Werner J, Redlin M, Kuppe H, 19. Beaulieu Y, Marik PE: Bedside
Habazettl H, Pries AR: OPS imaging of ultrasonography in the ICU: part 1. Chest
human microcirculation: a short technical 2005, 128(2):881-895.
report. J Vasc Res 2002, 39(4):368-372.
20. Beaulieu Y, Marik PE: Bedside
10. Boyd KD, Thomas SJ, Gold J, Boyd AD: A ultrasonography in the ICU: part 2. Chest
prospective study of complications of 2005, 128(3):1766-1781.
pulmonary artery catheterizations in 500
consecutive patients. Chest 1983, 84(3):245 21. Tachibana K, Imanaka H, Takeuchi M,
-249. Takauchi Y, Miyano H, Nishimura M:
Noninvasive cardiac output measurement
11. Horst HM, Obeid FN, Vij D, Bivins BA: using partial carbon dioxide rebreathing is
The risks of pulmonary arterial less accurate at settings of reduced minute
catheterization. Surg Gynecol Obstet 1984, ventilation and when spontaneous breathing
159(3):229-232. is present. Anesthesiology 2003, 98(4):830-
837.
12. Hett DA, Jonas MM: Non-invasive cardiac
output monitoring. Intensive Crit Care Nurs 22. Roeck M, Jakob SM, Boehlen T, Brander L,
2004, 20(2):103-108. Knuesel R, Takala J: Change in stroke
volume in response to fluid challenge:
13. Alhashemi JA, Cecconi M, Hofer CK: assessment using esophageal Doppler.
Cardiac output monitoring: an integrative Intensive Care Med 2003, 29(10):1729-
perspective. Crit Care 2011, 15(2):214. 1735.
14. Brumfield AM, Andrew ME: Digital pulse 23. Garcia-Rodriguez C, Pittman J, Cassell CH,
contour analysis: investigating age- Sum-Ping J, El-Moalem H, Young C, Mark
dependent indices of arterial compliance. JB: Lithium dilution cardiac output
Physiol Meas 2005, 26(5):599-608. measurement: a clinical assessment of
central venous and peripheral venous
15. Pittman J, Bar-Yosef S, SumPing J, indicator injection. Crit Care Med 2002, 30
Sherwood M, Mark J: Continuous cardiac (10):2199-2204.
output monitoring with pulse contour
analysis: a comparison with lithium 24. Jonas MM, Tanser SJ: Lithium dilution
indicator dilution cardiac output measurement of cardiac output and arterial
measurement. Crit Care Med 2005, 33 pulse waveform analysis: an indicator
(9):2015-2021. dilution calibrated beat-by-beat system for
continuous estimation of cardiac output.
16. Bein B, Worthmann F, Tonner PH, Paris A, Curr Opin Crit Care 2002, 8(3):257-261.
Steinfath M, Hedderich J, Scholz J:
Comparison of esophageal Doppler, pulse 25. Linton NW, Linton RA: Estimation of
contour analysis, and real-time pulmonary changes in cardiac output from the arterial
artery thermodilution for the continuous blood pressure waveform in the upper limb.
measurement of cardiac output. J Br J Anaesth 2001, 86(4):486-496.
Cardiothorac Vasc Anesth 2004, 18(2):185-
189. 26. Ostergaard M, Nielsen J, Rasmussen JP,
Berthelsen PG: Cardiac output--pulse
contour analysis vs. pulmonary artery plasma volume expansion reduces the
thermodilution. Acta Anaesthesiol Scand incidence of gut mucosal hypoperfusion
2006, 50(9):1044-1049. during cardiac surgery. Arch Surg 1995, 130
(4):423-429.
27. Halvorsen PS, Espinoza A, Lundblad R,
Cvancarova M, Hol PK, Fosse E, 36. Perrino AC, Jr., Fleming J, LaMantia KR:
Tonnessen TI: Agreement between PiCCO Transesophageal Doppler cardiac output
pulse-contour analysis, pulmonal artery monitoring: performance during aortic
thermodilution and transthoracic reconstructive surgery. Anesth Analg 1991,
thermodilution during off-pump coronary 73(6):705-710.
artery by-pass surgery. Acta Anaesthesiol
Scand 2006, 50(9):1050-1057. 37. Lefrant JY, Bruelle P, Aya AG, Saissi G,
Dauzat M, de La Coussaye JE, Eledjam JJ:
28. Sakka SG, Reinhart K, Meier-Hellmann A: Training is required to improve the
Comparison of pulmonary artery and reliability of esophageal Doppler to measure
arterial thermodilution cardiac output in cardiac output in critically ill patients.
critically ill patients. Intensive Care Med Intensive Care Med 1998, 24(4):347-352.
1999, 25(8):843-846.
38. Valtier B, Cholley BP, Belot JP, de la
29. Shoemaker WC, Belzberg H, Wo CC, Coussaye JE, Mateo J, Payen DM:
Milzman DP, Pasquale MD, Baga L, Fuss Noninvasive monitoring of cardiac output in
MA, Fulda GJ, Yarbrough K, Van DeWater critically ill patients using transesophageal
JP et al: Multicenter study of noninvasive Doppler. Am J Respir Crit Care Med 1998,
monitoring systems as alternatives to 158(1):77-83.
invasive monitoring of acutely ill
emergency patients. Chest 1998, 114 39. Poelaert J, Schmidt C, Van Aken H, Hinder
(6):1643-1652. F, Mollhoff T, Loick HM: A comparison of
transoesophageal echocardiographic
30. Marik PE, Baram M: Noninvasive Doppler across the aortic valve and the
hemodynamic monitoring in the intensive thermodilution technique for estimating
care unit. Crit Care Clin 2007, 23(3):383- cardiac output. Anaesthesia 1999, 54(2):128
400. -136.
31. Donovan KD, Dobb GJ, Newman MA, 40. Ryan T, Page R, Bouchier-Hayes D,
Hockings BE, Ireland M: Comparison of Cunningham AJ: Transoesophageal pulsed
pulsed Doppler and thermodilution methods wave Doppler measurement of cardiac
for measuring cardiac output in critically ill output during major vascular surgery:
patients. Crit Care Med 1987, 15(9):853- comparison with the thermodilution
857. technique. Br J Anaesth 1992, 69(1):101-
104.
32. Siegel LC, Fitzgerald DC, Engstrom RH:
Simultaneous intraoperative measurement 41. Wiesenack C, Fiegl C, Keyser A, Prasser C,
of cardiac output by thermodilution and Keyl C: Assessment of fluid responsiveness
transtracheal Doppler. Anesthesiology in mechanically ventilated cardiac surgical
1991, 74(4):664-669. patients. European journal of
anaesthesiology 2005, 22(9):658-665.
33. Perrino AC, Jr., Fleming J, LaMantia KR:
Transesophageal Doppler ultrasonography: 42. Kubicek WG, Karnegis JN, Patterson RP,
evidence for improved cardiac output Witsoe DA, Mattson RH: Development and
monitoring. Anesth Analg 1990, 71(6):651- evaluation of an impedance cardiac output
657. system. Aerosp Med 1966, 37(12):1208-
1212.
34. Dark PM, Singer M: The validity of trans-
esophageal Doppler ultrasonography as a 43. Donovan KD, Dobb GJ, Woods WP,
measure of cardiac output in critically ill Hockings BE: Comparison of transthoracic
adults. Intensive Care Med 2004, 30 electrical impedance and thermodilution
(11):2060-2066. methods for measuring cardiac output. Crit
Care Med 1986, 14(12):1038-1044.
35. Mythen MG, Webb AR: Perioperative