Anda di halaman 1dari 19

ment", Manchester School, Mei 1965, hlm. 1-16.

14 H. E Williamson dalam komentarnya terhadap paper Abramovitz dalam Haley (1952),


vol. 2, hlm. 182.
15 W Arthur Lewis, "Reflections on Development", dalarn Gustav Ranis dan T Paul
Schultz, The State of Detelopment Economics: Progress and Perspective (1988), him. 3-14
dan 16.19.
16 Harvey Leibenstein, Economic Backwardness and Economic Growth (1957),
hlm. 96, 98.
17 Aid., hlm. 96.
18 Beberapa ekonom yang tulisan-tulisannya sangat berpengaruh dalam memberikan
berbagai elemen strategi sosialis adalah. Nurske, Myrdal, Hirschman, Balogh, Rosenstein Rodan,
Chenery, Prebisch, Singer, dan Streeten. Mereka yang tetap menekankan superioritas pasar
adalah: Haberler, Viner, Bauer, Yamey, dan Schultz. Untuk referensi rinci, iihat Deepak Lai, The
Poverty of Development Economics (1983), hlm. 5.

19 Lille Albert Hirschman, 'The Rise and Decline of Development Economics",


dalam Essays in Trespassing (1981); dan Gunnar Myrdal, Economic Theory and Underdeveloped
Region (1957).
20 Lihat W.W Rostow Take-off into Self-sustained Economic Growth", Economic
Journal, Maret 1986.
21 Untuk gambaran tentang model Stalinis dari sumber-sumber Rusia, lihat Doug Fureng,
"Development Theory and Problems of Socialist Development Economics", dalam Ranis and
Shultz (1988), hlm. 235-237.
22 Nurske, Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries (1953), hlm. 13.
23 P.N. Rosenstein-Rodan, "Notes, on the Theory of the 'Big Push', dalam Howard S. Ellis,
ed., Economic Development for Latin America (1961), hlm. 1.
24 Myrdal, Asian Drama (1968), vol. 3, hlm. 1899.
25 Ibid., hlm. 1900.
26 M.L.. Qureshi, Strategy of Industrial Planning and Development in Pakistan (1965),
hlm. 6.
27 Gottfried Haberler, "Liberal and Illiberal Development Policy", dalam Gerald M.
Meier, (ed.), Pioneers in Development (1987), hlm. 66.
28 literatur ekonomi pembangunan penuh dengan pandangan bahwa suatu peningkatan
dalam distribusi pendapatan secara langsung bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi. Lihat
William R Cline, Potential Fffects of Income Redistribution on Economic Growth (1973), bab 2.
29 Government of India, Planning Commission, The First Five Year Plan: A Summary
(1952), hlm. 8.
30 Government of Pakistan, The Constitution of the Republic of Pakistan (1962), hlm. 13.
31 Government of Pakistan, National Planning Board, The First Five Year Plan 1955-60,
(1957), him. 1 ft dan The Second Five Year Plan 1960-65 (1960), hlm. xv, 1.
32 Arthur W. Lewis, The Theory of Economic Growth (1955), hlm. 9.
33 Peter T. Bauer dan Basil S. Yamey, The Economics of Underdeveloped Countries
(1957), hlm. 168.
34 United Nations, ECAFE, "Criteria for Allocating Investment Resources among Various
Fields of Development in Underdeveloped Countries", Juni 1961, hlm. 30.
35 Harry G. Johnson, Money, Trade and Economic Growth (1962), hlm. 159.
36 G. Field, "Income Distribution and Economic Growth", dalam Ranis and Schultz
(1988), hlm. 460; Irma Adelman dan Erik Thorbecke (eds.), Theory and Design of Economic
Development (1966).
37 Bauer and Yamey (1957), him. 168. Lihat juga W. Galenson and H. Leibenstein,
"Investment Criteria, Productivity and Economic Development", Quarterly Journal of
Economics, Agustus 1955, hlm. 343-370.
38 Simon Kuznets, "Economic Growth and Income Inequality", American Economic
Review, Maret 1955; "Quantitative Aspects of the Economic Growth of Nations: VIII. Dis-
tribution of Income by Size", Economic Development and Cultural Change, Januari 1963; and
Modern Economic Growth (1966).

39 Lihat J.G. Williamson dan P.H. Lindert, American Inequality: A Macro-Economic


History (1980); J.G. Williamson, Did British Capitalism Breed Inequality?(1985); dan J.G.
Williamson, 'The Historical Content of the Classical Labour Surplus Model", Population end
Development Review, Juni 1985, him. 171-191. Lihat juga komentar Williamson terhadap paper
Lewis dalam Ranis and Schultz (1987), hlm. 29.
40 Bauer and Yamey (1957), him. 206 dan 168.
41 W. Arthur Lewis, The Theory of Economic Growth (1955).
42 "Strategy of the Third Plan", Problems in the Third Plan -A Critical Miscellany,
hlm. 50.
43 Mahboobul Hag, The Strategy of Economic Planning: A Case Study of Pakistan
(1963), hlm. 30.
44 Myrdal, Asian Drama (1968), vol. 2, hlm. 740.
45 Ibid., hlm. 808.
46 Ibid., him. 807.
47 Ekonom ini adalah Gunnar Myrdal. Ia menekankan persamaan ekonomi dan sosial di
seluruh tulisannya, terutama dalam bukunya Asian Drama (1968).
48 Morawetz (1977), him. 9.
49 Ini dengan jelas dapat dilihat dan identitas berikut, Y=C+I+G+X-M, di mana Produk
Domestik Bruto (PDB); C= Konsumsi; I= Investasi Domestik Kotor, G= Pengeluaran
Pemerintah; X= Ekspor, dan M= Impor. Jika C+I+G=A, di mana A mewakili absorpsi domestik
kotor, maka Y=(A-M)+X. Bagi negara-negara berkembang yang menghadapi ketidakseimbangan
eksternal dan internal, suatu strategi yang baik adalah dengan meningkatkan Y dan menurunkan
ketidakseimbangan yang menuntut suatu peningkatan bukan saja dalam X tetapi juga dalam (A-
M), yang merupakan absorpsi barang dan jasa yang secara domestik diproduksi. Oleh karena A
perlu dikurangi untuk menghapuskan ketidakseimbangan internal, maka satu-satunya cara untuk
meningkat-kan (A-M) adalah dengan mengurangi M lebih tinggi daripada pengurangan dalam A.
Meskipun substitusi impor merupakan cam yang penting untuk mencapai tujuan ini, tapi hal itu
tidak memadai. Masih perlu menekan secara substansial impor barang-barang mewah dan
konsumsi yang tidak esensial sehingga impor barang-barang konsumsi yang esensial dan kapital
dapat dilakukan.
50 Douglas Dosser, "General Investment Criteria for Less Developed Countries", Scottish
Journal of Political Economiy, Juni 1962, hlm. 93-98.
51 Hla Myint, "Neoclassical Development Analysis: Its Strengths and limitations", dalam
Meier (1987), hlm. 118.
52 Lihat ILO, Employment Objectives in Economic Development: Report of a Meeting of
Experts (1961), hlm. 28-32.
53 UNTADs 1989 Trade and Development Report. Lihat juga, "Export Reforms No
Guarantee of Economic Growth", Financial Times, 6 September 1989, hlm. 6.

54 The Economist, 22 Juli 1989, hlm. 65.


55 Clemens Boonekamp, "Industrial Policies of Industrial Countries", Finance and
Development, Maret 1989, hlm. 17.
56 Peter Winglee, "Agricultural Trade Policies of Industrial Countries", Finance and
Development, Maret 1989, hlm. 10.
57 Lihat Sam Laird dan Alexander Yeats, "Non-tariff of Developed Countries, 19661968"
Finance and Development, Maret 1989, hlm. 12-13.
58 UNCTAD, Trade and Development Report, 1985, hlm. 123-124.
59 lihat Hollis Chenery with A. Strout, "Foreign Assistance and Economic Development",
American Economic Review, September 1966; dan Henry Bruton, 'The Two-gap Approach to Aid
and Development", American Econmic Review, September 1966.
60 Laju inflasi terus meningkat di negara-negara berkembang dan 10 persen per tahun
dalam 1965-73 menjadi 26 persen pada tahun 1974-1982, dan 51 persen pada tahun 1983-87.
IBRD, World Development Report, 1989, hlm. 62.
61 Haberer, dalam Meier (1987), hlm. 70.
62 Henry Bruton, Inflation in a Growing Economy (1961), hlm. 57.
63 Ibid., hlm. 58.
64 Lewis, dalam Ranis and Schultz (1988), hlm. 22.
65 Utang luar negeri negara-negara berkembang meningkat dan US$ 639 miliar pada
tahun 1980 menjadi (diproyeksikan) US$ 1.341 miliar pada tahun 1990. (IBRD, World Debt
Tables: External Debt of Developing Countries 1990-1991, vol. 1, hlm. 121).

66 Gerald Meier, Leading Issues in Development Economics: Selected Materials and


Commentary (1964), hlm. 563.
67 J.K Galbraith, Economic Development in Perspective (1962), hlm. 9-10.
68 Michael Camdessus, "Opening Remarks", Vittoria Corbo, et. al., Growth-Oriented
Adjustment Programmes (1987), hlm. 7.
69 Morawetz (1977), hlm. 10.
70 Ibid., hlm. 71.
71 Gerald M. Meier, Emerging from Poverty: The Economics that Really Matters (1984),
hlm. 5 dan 184.
72 Ibid., hlm. 29.
73 Ibid., hlm. 2.
74 Ibid.
75 Dudley Seers, 'The Meaning of Development", International Development Review,
Desember 1969.
76 Barber Conable, "Opening Remarks", daiam Corbo, et al. (1987), hlm. 6.
77 IMF, Fund-Supported Programmes, Fiscal Policy, and Incomo Distribution, IMF
Occasional Paper No. 46 (September 1986), hlm. 1.
78IMF, The Implications of Fund-Suppeorted Adjustment Programnies for Poverty:
Experience of Selected Countries, Occasional Paper No. 58, Theoritical Aspects of the Design of
Fund-Supported Adjustment Programmes, September 1987.
79 IMF, Occasional Paper No. 58 (1988) hlm. 17.
80 Lihat Ronald Findlay, "Trade, Development and the State", dalam Ranis dan Schulzt
(1988), hlm. 92-93; lihat juga Myint dalam Meier, Pioneers in Development (1987), hlm. 117.
81 Lihat komentar Ronald Findlay terhadap Haberler dalam Meier, (1987), hlm. 96; lihat
juga Bhagwati dan Kruger, "Exchange Control, liberalisation and Development", American
Economic Review, 2/1973, hlm. 419-427.
82 Yasuo Masai, "Japan", The New Encyclopaedia Britannica, 15th ed., vol. 10, hlm. 49.

83 Marius B. Jansen, "Japan, History of', The New Encyclopaedia Britannica, 15th ed.,
vol. 10, hlm. 88; South Korea, Agriculture in Korea (1970), hlm. 5-17; dan Oh YoungKyun,
"Agrarian Reform and Economic Development: A case Study of Korean Agriculture", Koreana
Quarterly, 1969, hlm. 99.
84 Australian Bureau of Agriculture and Research Economics, Japanese Agricultural
Policies, Policy Monograph No. 3, Canberra, 1988.
85 Jeffrey D. Sachs, 'Trade and Exchange Rate Policies in Growth-Oreinted Adjustment",
dalam Corbo, et al. (1987), hlm. 301.
86 Ibid., him. 303.
87 Myrdal, Asian Drama (1968), vol. 2, hlm. 747.
88 Jeffrey Sachs, Social Conflict and Populist Policies in Latin America (Cambridge,
Mass.: National Bureau of Economic Research, Paper No. 2897).
89 Pranab Bardhan's commcnts on Ranis and Fei, dalam Ranis and Schultz (1988), hlm.
138.
90 Meier, Emerging from Poverty (1984), hlm. 61.
91 Lihat Hla Myint, "Comparative Analysis of Taiwan's Economic Development with
Other Countries", Academic Economic Papeers, Maret 1982; lihatjuga Myint, dalam Meier,
Pioneers in Development (1988), hlm. 133.
92 Ranis dan Fei, dalam Ranis and Schultz (1988), hlm. 121.
93 Lihat Meier, Emerging from Poverty (1984), hlm. 63; Tibor Scitovsky, "Economic
Development in Taiwan and South Korea", Food Research Institute Studies, No. 4, 1985, hlm.
215-64; dan "Unequalled Economic Failures", The Economist, 17Juni 1989, hlm. 83. Menurut
Meier, Taiwan "barangkali merupakan negara kapitalis yang paling egalitarian" (Meier, Emerging
from Poverty (1988), hlm. 63). Pernyataan ini kurang akurat karena ada sejumlah negara yang
mempunyai koefisien Gini lebih rendah dan lcbih sejahtera daripada Taiwan.
94 Untuk Jepang,. Lihat R Benedict, The Chrysanthemum and the Sword (1946); Lihat
juga Yoshihara Kunio,Japanese Economic Development: A Short Introduction (1979), hlm. 80-
82.
95 Untuk Jepang, lihat T. Nakamura, terj. J. Kaminski, The Postwar Japanese Economy:
Its Development and Structure (1981), hlm. 96.

96 World Bank, World Tables, 1988-1989, vol. 1, hlm. 66-69; dan Directorate General of
Budget, Accounting and Statistics, Republic of Taiwan, Statistical Yearbook of the Republic of
China. 1988, hlm. 90.
97 Pada tahun 1983, laju tarif rata-rata Jepang adalah 4,5 persen bagi impor yang dikenai
tarif dan 2.5 persen bagi semua impor, lebih rendah daripada di AS atau Eropa. Bahkan untuk
tekstil, tarif 13,8 person lebih rendah daripada di AS yang 22,7 persen dan kira-kira sekitar itu di
Eropa.
"An open and Shut Case", dalam "Japan: A Survey", The Economist, 7 Oktober 1985, hlm.
20.
98 Lester Thurow, "A Time to Dismantle the World Economy", The Economist, 9
November 1985, hlm. 23.
99 Findlay, dalam Ranis and Schultz (1988), hlm. 90.
100 Lihat IMF, Government Financial Statistics Yearbook, 1989, hlm. 92-93.
101 OECD, Revenue Statistics of OECD Member Countries, 1965-1989 (1990).
102 "Republic of Korea (South Korea)", The Europe Yearbook, 1987, hlm. 1661-1662.
103 Lihat Parvez Hasan, Korea: Problems and Issues in a Rapidly Growing Economy
(1976), hlm. 23.
104 Data untuk tahun 1965 dari Michael Prowse, "Unequal Soceity Rethinking its
Priorities", The Financial Times, 15 Juni 1989, hlm. XII; dan mulai tahun 1987 data dari IBRD,
World Development Report, 1989, hlm. 223.
105 Liz McGregor, "Labour Unrest, the price of Success". The International Herald
Tribune, 5 Juli 1989, hlm. 7.
106 Prowse (1989).
107 Hasan (1976), hlm. 23.
108 Kunio (1979), hlm. 111.
109 Sepuluh bank Jepang, beberapa di antaranya herkaitan dengan nama keluarga zaibatsu
adalah Dai-Ichi Kangyo, Mitsui Taiyo Kobe, Sumitomo, Fuji, Mitsubishi, Sanwa,
Tokai, Daiwa, Bank of Tokyo, dan Kyowa. Beberapa bank ini termasuk yang terbesar di dunia.
(Lihat "Wedding Bells for Japan's Big Banks ", The Economist, 2 September 1989,
hlm. 79; dan "Ranking The World's Largest Bank", Institutional Investor, Juni 1989, hlm.119 ff.).
110 "Japan: Ministry of International Trade and Industry", Commercial Statistics and
White Paper on International Trade (1988).
111 Ini jelas direfleksikan dalam koefisien Gini untuk Jepang yang meningkat dari 0,380
pada tahun 1965 menjadi 0,420 pada tahun 1971 (Lihat Scitovsky, op.cit.).
112 Forbes Magazine, dikutip oleh Arab News, 10 Juli 1989, hlm. 14.
113 Lihat Karel van Wolferen, The Enigma ofJapanese Power (1989).
114 Yamaichi Research Institute of Securities and Economics, Monthly Digest of
Statistics, Januari dan September 1989 dan Juli 1990, hlm. 1
115 Ibid., hlm. 6 dan 126.
116 Nikko Research Centre, Analysis of Japanese Industries for Investors, 1990 (1990),
hlm. 202.
117 Bill Emmott, The Sun also Sets: Why Japan will not be Number One (1989).
118 Iihat, "South Korea: Land to the Dweller", The Economist, 16 September 1989, hlm.
80; dan "A Dangerous Game in Taipei: Taiwan's Stock Market was once a Sleepy
Casino. Now It's Hyperactive", ibid., 9 September 1989, hlm. 113. Lihat juga survei khusus
tentang Taiwan dan Korea Selatan, Financial Times, 10 Oktober 1989 dan Mei 1990.
119 Meier, "On Getting Policies Right", dalam Meier, Pioneers in Development (1987),
hlm. 70.
120 Morawetz (1977), hlm. 71.
121 Gary Fields, "Income Distribution and Economic Growth", dalam Ranis and Schultz
(1988), hlm. 468-469.
122 Morawetz (1977), hlm. 7.
123 Lihat Deepak Lal (1984).
124 Meier, Emerging from Poverty (1984), hlm. 233.
125 Ibid., hlm. 228.
126 Ibid., hlm. 90.
127 Development Committee, Strengthning Efforts to Reduce Poverty (1989), hlm. 3.
128 Ibid., hlm. 5.
BAGIAN II
PANDANGAN ISLAM



Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (al-Anfaal . 24)
.........

Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri(ar-Rad : 11)

BAB V
PANDANGAN DUNIA ISLAM DAN STRATEGINYA

Empat bab pertama telah membahas alasan ketidakmampuan negaranegara kapitalis kaya
dan sosialis serta ekonomi pembangunan merealisasikan secara simultan sasaran-sasaran efisiensi
dan pemerataan dengan menggunakan strategi yang didasarkan pada pandangan dunia
Pencerahan yang sekuler. Karena itu, negara-negara muslim tidak punya alasan untuk menerima
strategi-strategi ini sebagai model, jika mereka bertekad merealisasikan maqashid asy-syari'ah,
yang jauh lebih komprehensif dalam meliput elemen-elemen penting bagi kemaslahatan manusia
daripada sistem sekuler. Di samping itu, negara-negara muslim tidak memiliki waktu yang cukup
untuk menentukan mana yang harus dipilih. Karena sudah ada keresahan dan ketidakpuasan di
kalangan masyai akat. Jika mereka tidak memprioritaskan untuk merealisasikan maqashid,
kekesalan akan semakin memuncak sehingga mengantarkan mereka kepada disintegrasi
masyarakat.

Karena itu negara-negara muslim membutuhkan suatu sistem ekonomi yang berbeda, suatu
sistem yang mampu memberikan semua elemen yang diperlukan bagi kebahagiaan manusia
menurut tuntutan persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi. Sistem itu tidak saja harus mampu
menghapuskan ketidakseimbangan, tetapi juga menciptakan suatu realokasi sumber-sumber daya
dengan cara yang sasaran efisiensi dan pemerataannya secara simultan dapat direalisasikan. Ia
harus dapat memotivasi partisipan untuk memegang teguh prinsip-prinsipnya, dan berbuat terbaik
bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Sistem itu
tidak akan berhasil kecuali jika is mampu menciptakan suatu lingkungan yang positif melalui res-
trukturisasi ekonomi. Restrukturisasi demikian mungkin sulit dilakukan kecuali jika semua pusat-
pusat kekuatan dalam masyarakat diadaptasikan lewat reformasi ekonomi, politik, dan sosial
sedemikian rupa, sehingga tak ada individu maupun kelompok yang mampu memetik manfaat
dengan melanggar prinsip-prinsip dasar sistem tersebut.

Untuk menciptakan sebuah ekuilibrium antara sumber-sumber daya langka dan klaim-klaim
atasnya dengan cara yang dapat merealisasikan efisiensi dan pemerataan, perlu rnemfokuskan
perhatian pada manusia daripada pasar atau negara. Manusia merupakan suatu elemen hidup dan
pokok dan sebuah sistenn ekonomi. Mereka adaiah tujuan sekaligus sarana, dan jika mereka tidak
direformasi dan camotivasi untuk niemenuhi kepentingan dirinya dalam batasan-batasan
kemaslahatan sosial, maka sasaran-sasaran sosio-ekonomi tidak akan dapat dicapai oleh "tangan
gaib(invisible hand) mekanisme pasar atau "tangan nyata" (visible hand)
perencanaan.perekonomian. Pada gilirannya individu menerima impuls penting dan sistem
ekonomi dan institusinya. Tidak ada suatu reformasi terhadap individu yang dapat berjalan efektif
kecuali jika reformasi itu mampu menembus sistem perekonomian dan menciptakan
restrukturisasi gaya hidup dan mesin finansial ekonomi, sehingga klaim-klaim yang tidak
esensial terhadap sumber-sumber daya dapat diminimalkan dan semua sumber-sumber
ketidakadilan, eksploitasi, dan instabilitas dapat direduksi secara substansial. Dengan demikian,
terdapat hubungan dua arah antara manusia dan sistem ekonomi. Keduanya perlu dicapai. Setiap
sistem yang dalam strateginya hanya menekankan pada mekanisme pasar atau peran negara,
dengan mengharapkan mampu menyelesaikan persoalan manusia, pada gilirannya akan berakhir
pada degradasi manusia dan hanya menambah kesengsaraan mereka.

Manusia tidak dapat menjadi tujuan sekaligus sarana suatu sistem ekonomi, kecuali jika
sistem tersebut didasarkan pada sebuah pandangan dunia yang merestorasi kedudukan mereka
pada tahapan pusat, sedangkan seluruh realitas yang lain berputar di sekelilingnya. Pandangan
dunia kapitalisme dan sosialisme tidak memberikan kedudukan yang penting kepada manusia,
karena didasarkan pada prinsip Darwinisme sosial dan dialektika, yang tidak menyertakan
kepercayaan inheren pada persaudaraan manusia, keadilan sosio-ekonomi, dan hakikat amanat
sumbersumber daya. Mereka terlalu menekankan konsep "kelangsungan hidup bagi yang paling
kuat" atau "pertarungan kelas" dan "pemuasan keinginan secara maksimal" atau "kondisi
kehidupan materiil." Mereka tidak memiliki sistem motivasi yang dapat mendorong manusia
untuk berbuat demi kepentingan sosiai, yang tidak selalu seirarna dengan kepentingan individu,
melainkan inemerlukan pengorbanan dan kenyamanan personal dan keuntungan bagi yang lain.
Pandangan dunia semacam ini hanya makin mengintensifkan klaim terhadap sumber-sumber
daya dan menimbulkan tidak saja inefisiensi dan kesenjangan dalam alokasi sumbersumber daya,
tetapi juga pengaburan arah, kejahatan, dan kemerosotan sosial, dan pada
gilirannya, degradasi manusia.

Sistem perbankan dan keuangan memiliki pengaruh luar biasa dalam perekonomian modern,
sehingga tak ada sistem perekonomian maim pun yang dapat bertahan sehat atau mampu
memberikan kontribusi positif pada sasaran sosio-ekonomi tanpa dukungan positif dan
perbankan. Karena itu, sistem perbankan dan keuangan harus direformasi untuk menghambat
ekses dan ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh kesenjangan, pola konsumsi pamer,
pengangguran, dan ekspansi moneter yang tidak sehat, yang menyusahkan semua orang. Secara
umum sistem ini harus mendukung pemenuhan kebutuhan pokok, laju penciptaan lapangan
peketjaan yang tinggi, dan kepemilikan yang luas terhadap sarana-sarana produksi.

Mungkinkah sistem perekonomian yang begitu sehat dapat direkayasa? Inilah persoalan
utama yang akan dibahas pada bab ini, yaitu sistem yang didasarkan pada pandangan dunia Islam
dan strateginya. Terjemahan pandangan dunia dan strategi ini ke dalam kebijakan-kebijakan
spesifik akan dibahas pada bab 6 s/d 11.

Islam memiliki suatu pandangan dunia dan strategi yang seirama dengan maqashid dan
yang memungkinkannya mampu menyediakan cetak biru untuk solusi praktis dan adil bagi
persoalan-persoalan yang dihadapi negara-negara muslim, dengan catatan ada kemauan politik
untuk menerapkan ajaran-ajarannya dan implementasi reformasinya. Oleh karena perekonomian
sejumlah negara-negara muslim masih berada pada tahapan permulaan pembangunan, maka tidak
terlalu sulit kiranya menerapkan sebuah rekayasa baru dan arah bagi perekonomian mereka dan
juga sistem keuangannya. Namun, dengan perjalanan waktu, hal itu akan semakin sulit
dilakukan.

PANDANGAN DUNIA
Islam adalah keimanan universal yang sederhana, mudah dimengerti dan dinalar. Ia
didasarkan pada tiga prinsip fundamental yaitu tauhid 'keesaan', khilafah 'perwakilan', dan
'adalah 'keadilan'. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membentuk pandangan dunia Islam, tetapi juga
membentuk Ujung tombak maqashid dan strategi. Dengan demikian, tak ada persoalan mengenai
pemikiran yang timbul karena adanya tuntutan yang saling bertentangan dan kelompok pluralis
atau kelas-kelas sosial. Pandangan dunia Islam, maqashid, dan strategi diracik bersama-sama
dalam suatu keseluruhan yang konsisten dan terdapat keharmonisan sempurna antara keduanya.
Supaya jelas bagi pembaca yang kurang memahami konsep ini dan untuk menunjukkan betapa
pandangan dunia Islam, maqashid dan strategi itu dirajut dalam sebuah keseluruhan yang
konsisten, sehingga memungkinkan sistem ekonomi Islam merealisasikan sasaran-sasarannya.
Secara singkat akan dijelaskan arti dan signifikansi dan prinsip-prinsip fundamental ini.

TAUHID (Keesaan Tuhan)


Batu fondasi keimanan Islam adalah tauhid (keesaan Tuhan). Pada konsep ini bermuara
semua pandangan dunia dan strateginya. Segala sesuatu yang lain secara logika bermuara dan
sini. Tauhid mengandung arti bahwa alam semesta didesain dan diciptakan secara sadar oleh
Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat esa dan unik, dan ia tidak terjadi karena kebetulan atau
aksiden. (Ali Imran: 191; Shaad: 27; dan al-Mu'minuun: 15) Segala sesuatu yang diciptakan-Nya
memiliki suatu tujuan. Tujuan inilah yang akan memberikan anti dan signifikansi bagi eksistensi
jagat raya, di mana manusia merupakan salah satu bagiannya. Sesudah menciptakan jagat raya
ini, Tuhan tidak pensiun. Ia aktif terlibat dalam segala urusannya (Yunus: 3 dan as-Sajdah: 5) dan
Ia selalu waspada dan melihat kejadian yang paling kecil sekalipun (Luqrnan:16 dan al-
Mulk:14).1

KHIIAFAH (Perwakilan)
Manusia adalah khalifah-Nya atau wakil-Nya di bumi (al-Baqarah: 30; al-An'aam: 165;
Faathir: 39; Shaad: 28; dan al-Hadiid: 7). Ia telah dibekali dengan semua karakteristik mental dan
spiritual serta materiil untuk memungkinkannya hidup dan mengemban misinya secara efektif. 2
Dalam kerangka kekhalifahannya, ia bebas dan mampu berpikir dan menalar untuk memilih
mana yang baik dan mana yang buruk, jujur atau tidak jujur, dan mengubah kondisi
kehidupan, masyarakat, dan perjalanan sejarahnya, jika ia berkehendak demikian. Secara fitrah,
ia baik dan mulia (al-Hijr: 29; ar-Ruum: 30; dan at-Tiin: 4) serta mampu melindungi kebaikan
dan kemuliaannya. Bahkan, mampu meningkatkan kedudukannya, jika ia menerima pendidikan
dan petunjuk yang tepat dan dimotivasi dengan baik. Oleh karena pada prinsipnya baik, maka
secara psikologis manusia akan merasa bahagia selarna ia berpijak atau bergerak mendekati
hakekat batiniahnya dan merasa sengsara bila ia menyimpang darinya.3
Sumber-sumber daya yang disediakan oleh Tuhan di dunia ini tidak tak terbatas. Akan
tetapi, sumber-sumber daya itu akan mencukupi bagi pemenuhan kebahagiaan manusia
seluruhnya, hanya jika dipergunakan "secara efisien" dan "adil". Manusia bebas memilih antara
berbagai penggunaan alternatif sumber-sumber daya ini. Namur, karena dia bukanlah satu-
satunya khalifah dan terdapat jutaan manusia lain yang berkedudukan sebagai khaltfah seperti dia
yang mereka adalah saudaranya sendiri yang mempunyai hak yang sama (terhadap pemanfaatan
sumber-sumber daya, pent), maka ujian rill baginya adalah bagaimana menggunakan sumber--
sumber daya yang telah dikaruniakan oleh Tuhan ini dengan cara "yang efisien" dan "adil,"
sehingga kemakmuran manusia seluruhnya dapat dijamin. Ini hanya mungkin jika sumber-
sumber daya itu dimanfaatkan dengan suatu perasaan tanggung jawab dan dalam suatu batasan
yang ditentukan oleh petunjuk Tuhan dan magashid.

Konsep tauhid dan khilafah secara inheren bertentangan dengan konsep "dosa asal", atau
"bidak di atas papan catur", atau "tabula rasa", atau "dikutuk karena kebebasannya".
Mengapa Tuhan Yang Mahakuasa dan Pengasih menciptakan seorang manusia yang
"membawa dosa asal" dan secara abadi mengutuknya karena kesalahan yang tidakia lakukan?
Seperti yang secara tepat di tunjukkan oleh Kant, "Cara paling aneh untuk memahami
menyebarnya kejahatan dan kelangsungannya dalam sejarah kemanusiaan adalah dengan
membayangkan kejahatan itu datang kepada kita dan nenek moyang kita pertama dan disalurkan
lewat 'keturunan'."4 Gagasan mengenai dosa asal mengandung pengertian bahwa dosa itu dapat
disalurkan secara genetik dan setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini sudah tertular oleh
kegagalan dan dosa orang lain. Lebih lanjut, jika sang "penyelamat" harus datang ke dunia untuk
"menebus" dosa asal yang tidak ia lakukan, mengapa ia begitu terlambat datang dalam sejarah
dan tidak menampakkan dirinya pada manusia pertama di bumi? Jika manusia "dilahirkan dalam
keadaan berdosa" bagaimana ia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya? Dengan
demikian maka konsep "dosa asal" sangat bertentangan dengan tanggung jawab individu
terhadap semua perbuatannya yang secara tegas ditekaukan oleh Al-Qur'an (al-An'aam: 164; al-
Israa 15; Faathir: 18; az-Zumar: 38; dan an-Najm: 38). Konsep demikian, seperti yang secara
jitu ditunjukkan oleh Lewis, "sangat berbahaya" karena meniadakan rasa tanggung jawab, karena
kesalahan kolektif itu bukan merupakan kesalahan siapa-siapa secara khusus".5
Konsep dosa asal juga bertentangan dengan sifat Allah Rahman dan Rahim (Yang Maha
Pengasih dan Penyayang), yang selalu diulang-ulang oleh setiap maslim selama hidupnya.. Sukar
dinalar oleh manusia. mengapa Tuhan yang Maha Pengasih berbuat begitu tidak adil dengan
menularkan dosa kepada semua manusia karena kesalahan yang dilakukan oleh nenek moyang
pertama mereka. Mustahil Tuhan berbuat demikian mengingat Ia Maha Kasih dan Maha
Pengampun dan memiliki nama-liama dan sifatsifat yang terpuji (al-Araaf:180). Karena itu, tidak
mengherankan jika kaum rasionalis dan romantis abad ke-19 menolak konsep hakikat dosa asal,
seperti halnya mayoritas filosof modern.6

Begitu pula konsep "bidak" dan "tabula rasa" yang dijumpai pada mayoritas teori Barat
tentang hakikat manusia menurunkan kemanusiaan pada kedudukan yang tidak signifikan dengan
menolak eksistensi ruh abadi yang berdiri sendiri dan (berkeyakinan) mampu menentukan
tujuannya sendiri dengan mempengaruhi kekuatan-kekuatan sekitarnya. Semua teori ini
mengandung arti bahwa jiwa manusia itu seperti kertas kosong yang isinya merupakan rekaman
Laktor-faktor eksternal dan kesan apa pun yang dipilih. Dalam pandangan ini, manusia pasif dan
malang; mereka tidak memiliki misi hidup. Kehidupan mereka ditentukan oleh kekuatan-
kekuatan materiil sejarah (Marx), atau dikondisikan oleh faktor-faktor psikologis (Freud), faktor-
faktor in stintif (Lorenz), dan pengaruh lingkungan (Pavlov, Watson, Skinner, dan lainnya). Hal
ini menyebabkan, selangkah dengan Skinner, diterimanya keabsahan bahwa "kebebasan individu
adalah suatu mitos".7 Determinisme dan tanggung jawab manusia tidak dapat dipadukan satu
sama lain.8 Determinisme tidak saja memerosotkan martabat manusia, tetapi juga meniadakan
tanggung jawab untuk mengubah kondisi yang berlaku, dan membiarkan distribusi sumber-
sumber daya yang tidak adil dan tidak efisien.
Determinisme mengandung arti bahwa kondisi manusia tidak dapat berubah kecuali
kekuatan-kekuatan psikis, struktur sosial, dan kondisi materiil kehidupan berubah. Namun, siapa
yang akan mengubah ini semua, jika manusia merupakan makhluk pasif dan kehidupan mereka
telah ditentukan dan dikondisikan? Lebih lanjut, sekiranya kehidupan itu telah ditentukan maka
"alienasi" juga merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan darinya. Kaum borjuis dan proletar
tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas kondisi demikian. Karena itu, mengapa menyalah-
kan "alienasi" kaum pekerja kepada borjuis atau meminta pekerja untuk memberontak? Hakikat
eksistensi manusia yang telah ditentukan seharusnya, secara definisi, tidak dapat diubah oleh
usaha manusia. Resep Marxsis untuk menghapuskan kaum borjuis dan kekayaan privat, serta
menggantikan kedudukannya dengan despotisme negara, tidak lain hanya mengantarkan jenis
determinisme lain dalam kehidupan manusia, yaitu yang dipaksakan oleh politbiro.
Pada sisi ekstrem lain adalah determinisme eksistensialisme Sartre. 9 Karena tidak ada
Tuhan, manusia "dikutuk karena kebebasannya". Tidak ada Batas bagi kebebasannya kecuali ia
tidak bebas untuk menjadi tidak bebas. 10 Setiap aspek kehidupan mental manusia adalah
dikehendaki, dipilih, dan merupakan tanggung jawabnya. Jelas ini merupakan perbaikan konsep
determinisme. Namun, untuk Sartre kebebasan ini mutlak, segala sesuatu diperbolehkan. Tidak
ada anti hakikat atau tujuan inheren dalam kehidupan manusia, apakah itu hukum-hukum Tuhan
atau forma-forma Platonis atau yang lainnya. Manusia adalah makhluk "malang" dan
"ditinggalkan" dalam dunia untuk mengikuti dirinya sendiri. Satu-satunya fondasi bagi nilai
adalah kebebasan manusia itu sendiri, nilai-nilai yang dapat dipilih oleh siapa saja. 11 Konsep
kebebasan mutlak seperti ini hanya akan mengantarkan kepada konsep kapitalis laissezfaire dan
netralitas nilai. Tak ada lagi persoalan untuk memiliki nilai-nilai yang disepakati, dan usaha
memagari batas-batas kebebasan individu untuk menciptakan keharmonisan antara kepentingan
individu dan sosial atau menciptakan alokasi dan sumber-sumber daya yang adil dan efisien,
yang secara otomatis tidak diciptakan oleh pasar.

Sangat berbeda dengan gagasan ini adalah konsep khilafah yang memandang manusia
memiliki status terhormat dan mulia dalam jagat raya (al-israa': 70) dan memberikan nilai dan
misi kepada kehidupan manusia. Nilai ini diberikan dengan keyakinan bahwa mereka tidak
diciptakan sia-sia (Ali Imran: 192; dan al-Mu'rninuun:115), melainkan untuk mengemban sebuah
misi. Misi mereka adalah untuk bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan, meskipun mereka
dalam keadaan bebas. Inilah yang dikandung oleh pengertian ibadah atau persembahan (adz-
Dzaariyaat: 56) dalam pengertian Islam, suatu kewajiban perorangan terhadap orang lain
(huququl ibad), mendorong kemakmuran dan mengaktualisasikan maqashid. Karena itu, tidak
mengherankan jika Islam, seperti agama-agama besar lainnya, menempatkan penekanan lebih
besar pada kewajiban daripada hak-hak.12 Hikmah asasi di balik ini adalah, jika kewajiban--
kewajiban itu telah dipenuhi oleh setiap orang, kepentingan diri sendiri (self interest) secara
otomatis akan dapat dikendalikan dan hak-hak semua orang akan dapat dilindungi.
Keberhasilan mengemban misi ini menuntat peningkatan spiritual melalui komitmen total
terhadap Pencipta, Yang Mahabijaksana, Mahaadil, Maha Penyayang, dan Maha Mencintai, dan
komitmen kepada petunjuk yang telah diberikan oleh-Nya. Manusia harus menyerahkan diri
hanya kepada-Nya, harus tunduk hanya kepada nilai-Nya, dan mengemban hanya amanat-Nya.
Mereka bertanggung jawab kepada-Nya bagi semua perbuatannya. Namun, mereka hanya
bertanggung jawab atas apa yang telah mereka kerjakan (al-An'aam: 164; al-Israa': 15; dan
Faathir: 18) dan bukan perbuatan orang lain, kecuali mereka sendiri yang menjadi penyebab
utamanya. Meskipun mereka akan mati (Ali Imran: 185; anNisaa': 78; dan al-Ankabuut: 57),
kehidupan mereka tidak berhenti di dunia ini saja, yang merupakan tempat ujian dan cobaan yang
bersifat sementara. Kehidupan mereka yang sebenarnya adalah di akhirat, tempat mereka akan
disiksa atau diganjar menurut tanggung jawab yang mereka emban di dunia. Mereka tidak dapat
meloloskan din dan pengadilan Tuhan. Dengan demikian, kehidupan mereka tidak "berakhir
dengan kehancuran sistem tata surya", dan seluruh hasil prestasi manusia tidak akan "dikubur di
bawah reruntuhan jagat raya", seperti yang secara pesimistis diperkirakan oleh Bertrand
Russell.13
Konsep khilafah memiliki sejumlah implikasi, yaitu sebagai berikut.
a. Persaudaraan Universal
Khilafah mengandung pengertian persatuan dan persaudaraan fundamental umat manusia.
Setiap orang adalah khalifah dan bukan hanya orang tertentu saja, atau anggota-anggota ras
tertentu atau kelompok atau negara. Konsep ini menimbulkan persamaan sosial dan mengangkat
martabat semua manusia; apakah mereka berkulit putih atau hitam, berkedudukan rendah atau
tinggi, sebagai suatu elemen pokok keimanan Islam. Kriteria untuk menentukan nilai seseorang
bukan didasarkan pada ras, keluarga, atau kekayaannya, tetapi pada karakternya (yang
merupakan refleksi keimanannya dan praktek kesehariannya) dan perhatiannya kepada sesama. 14
Rasulullah saw. secara tegas mengatakan,
"Semua manusia bergantung kepada Allah dan yang terbaik di sisi Allah di antara mereka
adalah yang paling bergantung kepada-Nya."15
Dalam kerangka konsep persaudaraan ini, sikap yang benar terhadap sesama manusia
bukanlah "kekuatan itu yang benar", berjuang untuk "kepentingan din sendiri", atau "si kuat yang
menang", tetapi pengorbanan dan kerja sama yang saling menguntungkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok semua orang, mengembangkan potensi seluruh kemanusiaan, dan memperkaya
kehidupan manusia.16 Karena itu persaingan akan tetap didorong sepanjang hal itu sehat,
meningkatkan efisensi dan membantu mendorong kesejahteraan manusia, yang merupakan
keseluruhan tujuan Islam. Sekiranya kompetisi tersebut melampui batas dan mengakibatkan
nafsu pamer dan kecemburuan serta mendorong kekejaman dan perusakan, maka ia harus
dikoreksi.17

b. Sumber-Sumber Daya Adalah Amanat


Oleh karena sumber-sumber daya yang ada di tangan manusia diberikan oleh Tuhan, maka
manusia sebagai khalifah bukanlah pemilik sebenarnya. Ia hanya sebagai yang diberi amanat
(titipan).18 Meskipun pengertian amanat ini tidak berarti "peniadaan kepemilikan privat terhadap
kekayaan", tetapi memberikan sejumlah implikasi penting yang menciptakan perbedaan
revolusioner dalam konsep kepemilikan sumbersumber daya dalam Islam dan sistem ekonomi
lainnya.19
Pertama, sumber-sumber daya itu dipergunakan untuk kepentingan semua, bukan untuk
segelintir orang (al-Baqarah: 29). Mereka harus dimanfaatkan secara adil bagi kesejahteraan
semua orang.
Kedua, setiap orang harus mencari sumber-sumber daya dengan benar dan jujur, dengan
cara yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan AsSunnah. Bertindak kebalikan ini menyebabkan
pelanggaran terhadap persyaratan khilafah.20
Ketiga, meskipun sumber-sumber daya tersebut telah diperoleh lewat cara-cara yang benar,
tetapi tidak boleh dimanfaatkan kecuali menurut persyaratan keamanatan, yaitu untuk
kesejahteraan bukan saja si`empunya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk orang lain. 21 Sifat
mementingkan din sendiri, tamak, dan tak mengindahkan moral atau bekerja untuk kepentingan
diri sendiri bukanlah sifat yang harus melekat pada manusia sebagai pemegang amanat.
Keempat, tak seorang pun berhak menghancurkan atau menyia-nyiakan sumber-sumber
daya yang telah diberikan oleh Allah. Berbuat demikian disamakan oleh Al-Qur'an dengan
menyebarkan kerusakan (fasad), yang dilarang oleh Allah (al-Baqarah: 205). Karena itu ketika
Abu Bakar, khalifah pertama, mengutus Yazid bin Abu Sufyan pada suatu ekspedisi peperangan,
beliau memberikan wejangan agar tidak membunuh secara membabi buta atau menghancurkan
tanaman atau binatang, meskipun berada di wilayah musuh. 22 Jika hal ini dilarang pada waktu
perang dan di wilayah musuh sekalipun, maka tak ada pertanyaan tentang dibolehkannya pada
masa damai dan di dalam wilayah kekuasaan sendiri. Karena itu, tak ada peluang untuk
memusnahkan output, dengan membakar atau membuangnya ke laut, untuk menaikkan harga
atau mempertahankan harga pada tingkat yang lebih tinggi.
c. Gaya Hidup Sederhana
Satu-satunya gaya hidup yang sesuai dengan kedudukan khalifah adalah gaya hidup
sederhana. Ia tidak boleh merefleksikan sikap arogansi, kemegahan, kecongkakan, dan
kerendahan moral. Gaya-gaya hidup seperti ini menimbulkan sikap berlebihan dan pemborosan
serta mengakibatkan tekanan yang tidak perlu pada sumber-sumber daya, mengurangi
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang. Hal itu iuga
mendorong cara-cara yang tidak mengindahkan moral dalam mencari penghasilan dan
menimbulkan kesenjangan pendapatan di atas distribusi normal yang diakibatkan oleh
perbedaan-perbedaan dalam keahlian, inisiatif, usaha, dan risiko. Hal ini juga akan mengurangi
perasaan senasib dan melemahkan ikatan persaudaraan yang merupakan karakteristik utama
sebuah masyarakat muslim.23
d. Kebebasan Manusia
Oleh karena manusia adalah khalifah Tuhan, mereka harus menghambakan diri hanya
kepadaNya. Karena itu, apa pun bentuk penghambaan, dengan mengabaikan apakah itu sosial,
politik, atau ekonomi adalah sesuatu yang asing bagi Islam. Al-Qur'an menyatakan bahwa salah
satu tujuan utama diutusnya Rasulullah saw. adalah untuk membebaskan manusia dari beban dan
belenggu yang dikalungkan kepada mereka (alAraaf: 157). Dengan demikian, tak seorang pun,
bahkan bukan pula negara, memiliki hak untuk mencabut kebebasan dan memaksakan kehidupan
pada suatu ikatan tertentu atau regimentasi. Inilah ajaran yang ditekankan oleh Umar, khalifah
kedua, ketika bertanya, "Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan
ibunya dalam keadaan bebas?"24
Ini tidak berarti bahwa manusia bebas berbuat sekehendaknya. Mereka dibatasi oleh syariah
yang bertujuan memelihara kemaslahatan semua orang dengan menegakkan disiplin pada diri
mereka. Karena itu, mereka bebas dalam ikatan tanggung jawab sosial seperti yang ditentukan
oleh syari'ah. Setiap sistern yang memperhamba manusia atau memberikan kebebasan tak
terbatas kepada mereka sehingga melanggar batas-batas yang telah ditentukan oleh Tuhan lewat
syari'ah-Nya sendiri, bertentangan dengan martabat dan tanggung jawab yang dikandung dalam
konsep khilafah dan tidak dapat memberikan kontribusi kepada kesejahteraan manusia.

ADALAH (Keadilan)
Persaudaaraan yang merupakan bagian integral dari konsep tauhid dan khilafah akan tetap
menjadi konsep kosong yang tidak memiliki substansi, jika tidak dibarengi dengan keadilan
sosio-ekonomi.25 Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha sebagai isi pokok maqashid asy-
syari'ah, sehingga mustahil melihat sebuah masyarakat muslim, yang tidak menegakkan keadilan
di dalamnya. Islam tegas sekali dalam menegakkan tujuannya menghapuskan semua bentuk
kezaliman (zulm) dari masyarakat manusia, yang merupakan istilah komprehensif Islam untuk
mengacu semua bentuk ketidakadilan, ketidakmerataan, eksploitasi, penindasan, dan kekeliruan,
sehingga seseorang menjauhkan hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap
mereka.26
Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk ketidakadilan telah ditekankan dalam
Al-Qur'an sebagai misi utama para Rasul Allah (alHadiid: 25). Tidak kurang dari seratus
ungkapan yang berbeda-beda dalam Al-Qur'an mengandung makna keadilan, baik secara
langsung seperti ungkapan 'adl, qisth, mizan, atau variasi ekspresi tidak langsung. Di samping
itu, terdapat lebih dari dua ratus peringatan dalam Al-Qur'an yang menentang ketidakadilan
seperti zulm, itsm, dhalal, dan lainnya.27 Bahkan, Al-Qur'an menempatkan keadilan "paling
dekat" kepada takwa (al-Maa'idah: 8) karena begitu pentingnya ia dalam struktur keimanan
Islam. Secara alami, ketakwaan adalah faktor yang paling penting karena menjadi batu loncatan
bagi semua amal saleh termasuk keadilan. Rasulullah saw. bahkan lebih menekankan lagi. Beliau
menyarankan ketiadaan keadilan dengan "kegelapan absolut" dan memperingatkan,
Jauhilah kezaliman karena kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat." 28
Karena itu tidak mengherankan, Ibnu Taimiyyah berani menyatakan bahwa,
"Allah menyukai negara adil meskipun kafir, tetapi tidak menyukai negara tidak adil
meskipun beriman, dan dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman,
tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. "29

Ketidakadilan dan Islam berbeda satu sama lain dan tidak dapat hidup berdampingan tanpa
salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.
Komitmen Islam yang begitu intens kepada persaudaraan dan keadilan menuntut semua
sumber-sumber daya di tangan manusia sebagai suatu titipan sakral dan Allah dan harus
dimanfaatkan untuk mengaktualisasikan magashid asy-syari'ah. Empat di antaranya akan dibahas
di sini, yaitu: (1) pemenuhan kebutuhan pokok; (2) sumber pendapatan yang terhormat; (3)
distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata; dan (4) pertumbuhan dan stabilitas.

a. Pemenuhan Kebutuhan Pokok


Implikasi logis persaudaraan dan hakikat keamanatan sumber-sumber daya adalah sumber-
sumber daya ini harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok semua
individu dan menjamin setiap orang mendapatkan standar hidup yang manusiawi, terhormat, dan
sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah Allah.30 Rasulullah saw. menyatakan,
'Tidak beriman orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan, sementara ia tahu
hal itu. "31
Mengingat sumber-sumber daya itu relatif terbatas maka sasaran ini tidak dapat diwujudkan
kecuali jika klaim-klaim pada sumber-sumber daya yang ada dibuat hanya "dalam batas-batas
kemanusiaan"32 dan ke maslahatan umum. Pemenuhan kebutuhan pokok harus di lakukan dalam
kerangka hidup sederhana, meskipun tetap menyenakan kenyataan, jangan sampai memasuki
dimensi pemborosan dan kesombongan yang telah dilarang oleh Islam, tetapi telah tersebar luas
di negara-negara muslim.
Penekanan pemenuhan kebutuhan pokok dahun Islam uii jangan dianggap sebagai sebuah
pemikiran yang lahir karena Barat masa kini membicarakan persoalan ini. 33 Persoalan demikian
telah mendapafkan perhatian penting dalam fiqih dan literatur Islam lainnya di sepanjang sejarah
kaum muslimin. Para fuqaha telah sepakat, fardhu kifayah hukumnya bagi masyarakat muslim
untuk memperhatikan pemenuhan kebutuhan pokok orang-orang miskin. 34 Bahkan, menurut
Imam Syatibi ini merupakan raison d'etre masyarakat itu sendiri.35 Seluruh cendekiawan muslim
masa kini seperti Maulana Maududi, Imam Hasan al-Banta, Sayyid Quthb, Musthafa as-Siba'i,
Abu Zahrah, Baqir as-Sadr, Muhammad al-Mubarak, dan Yusuf al-Qaradhawi sepakat
berpendapat demikian.36

b. Sumber-Sumber Pendapatan yang Terhorinat


Martabat tinggi yang disandang oleh status khalifah, mengandung pengertian bahwa
pemenuhan kebutuhan pokok harus dilakukan lewat upaya-upaya individu itu sendiri. Karena itu,
para fuqaha telah menekankan kewajiban personal bagi setiap muslim (fardhu 'ain) untuk
memperoleh penghidupannya sendiri dan keluarganya. 37 Mereka lebih jauh menegaskan bahwa
tanpa terpenuhinya kewajiban ini, seorang muslim tidak dapat mempertahankan kondisi
kesehatan badan dan mentalnya serta efisiensinya yang diperlukan untuk melaksanakan
kewajiban ubudiahnya.38 Oleh karena seorang muslim boleh jadi tidak dapat memenuhi
kewajiban mencari penghidupan yang terhormat kecuali jika ada peluang wirausaha atau
lapangan pekerjaan, maka dapatlah disimpulkan bahwa kewajiban kolektif masyarakat muslim
adalah menjamin peluang yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh penghasilan dan
penghidupan yang terhormat sesuai dengan kemampuan dan usahanya.
Meskipun begitu, ada sekelompok orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya lewat
usahanya sendiri karena cacat atau tidak mampu. Itulah kewajiban kolektif umat muslim (fardhu
kifayah) untuk membantu orang-orang bernasib seperti ini dalam memenuhi kebutuhan
pokoknya. Dalam sebuah masyarakat muslim yang berorientasi kepada 'persaudaraan dan terjalin
erat, kewajiban kolektif ini dapat dipenuhi oleh keluarga, handai taulan, tetangga dan perwakafan
(waqf) atau organisasi altruistik. Hanya ketika mereka tidak lagi mampu melaksanakan kewajiban
kolektifnya, maka negara harus melakukan intervensi ke dalam. Ini akan memberikan beban
ekonomi kecil kepada negara Islam. Tujuan utama bantuan ini haruslah menjadikan mereka
mampu berdiri sendiri melalui peningkatan kemampuan mereka dalam mendapatkan penghasilan.
Namun, sebelum hal ini menjadi realitas, bantuan harus mengandung tambahan pendapatan
(income supplements). Islam memiliki persiapan institusional yang sudah terpasang untuk
memperoleh dana bagi tujuan ini melalui pembayaran wajib zakat (terrnasuk usyr) dan kontribusi
sukarela dalam bentuk sedekah dan wakaf. Namun demikian, pemerintah tetap harus
menyediakan dana dan anggaran sebanyak mungkin.

c. Distribusi Pendapatan dan Kekayaan yang Merata


Meskipun terealisasi pemenuhan kebutuhan pokok, mungkin saja masih terjadi kesenjangan
pendapatan dan kekayaan. Kesenjangan-kesenjangan dalam suatu masyarakat muslim diakui
sepanjang penyebabnya adalah perbedaan dalam keterampilan, dan risiko. Hal-hal demikian akan
didistribusikan secara normal dalam sebuah masyarakat, yang ajaran-ajaran Islam ditaati secara
jujur. Kesenjangan yang terlalu menceng tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, yang menekan-
kan bahwa sumber-sumber daya bukan saja karunia dan Allah bagi semua manusia (al Baqarah:
29), melainkan juga sebagai suatu amanah (al-Hadiid: 7). Karena itu tak ada alasan mengapa
sumber daya tersebut harus terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Kurangnya program efektif
untuk mereduksi kesenjangan-kesenjangan akan mengakibatkan penghancuran, dan bukannya
penguatan, perasaan persaudaraan yang hendak diciptakan oleh Islam. Karena itu, Islam tidak
saja menuntut pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap orang, utamanya lewat sumber-sumber
penghasilan yang terhormat, melainkan juga menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan
pendapatan yang merata sedemikian rupa sehingga seperti dalam ungkapan Al-Qur'an:
"kekayaan itu tidak beredar hanya di kalangan orang-orang kaya di antara kamu saja."(al-
Hasyr: 7)
Penekanan Islam pada distribusi yang adil sangat tegas sehingga sebagian kaum muslimin
ada yang berpendapat bahwa kesetaraan kekayaan sangat penting dalam sebuah masyarakat
muslim. Abu Dzar, seorang sahabat Rasulullah saw. berpendapat, tidak benar seorang muslim
memiliki kekayaan melebihi kebutuhan keluarganya. Namun, mayoritas sahabat tidak sepakat
dengan pendapatnya yang ekstrem. Sebenarny a Abu Dzar bukanlah penyeru persamaan
pendapatan (yang bersifat mengalir). Ia mendukung persamaan akumulasi kekayaan. Menurutnya
hal ini dapat dicapai jika semua kelebihan (surplus) dan kebutuhan pokok (al-afwu) dibelanjakan
oleh orang-orang kaya untuk meningkatkan kesejahteraan saudara mereka yang bernasib kurang
beruntung.39 Jumhur ulama berpendapat, jika pola perilaku sosial dan perekonomian disusun
menurut ajaran-ajaran Islam, maka tidak akan ada kesenjangan kekayaan yang ekstrem dalam
sebuah masyarakat muslim.
d. Pertumbuhan dan Stabilitas
Umat muslim juga tidak mungkin merealisasikan tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan
pokok dan mencapai tingkat peluang wirausaha dan kesempatan kerja yang tinggi, tanpa
menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia dengan tingkat efisiensi maksimal dan
menghasilan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bahkan, sasaran menciptakan distribusi
kekayaan dan pendapatan yang merata akan dapat direalisasikan lebih cepat dengan pengorbanan
yang lebih kecil dan pihak orang-orang mampu, jika tercapai laju pertumbuhan yang lebih tinggi
dan kelompok miskin mampu menikmati saham yang lebih benar dan pertumbuhan tersebut.
Kinerja stabilitas ekonomi yang lebih baik juga akan mereduksi kesulitan hidup dan kesenjangan
yang cenderung diciptakan oleh resesi, inflasi, pergerakan harga yang tidak menentu, dan kurs
valuta asing. Karena itu, sekalipun dalam sebuah masyarakat muslim, yang tidak bergantung
pada optimalitas Pareto dalam memformulasikan kebijakan-kebijakan dan tidak menekankan
pertumbuhan ekonomi semata-mata, realisasi laju pertumbuhan ekonomi yang optimal dan
minimalisasi ketidakstabilan sangat diperlukan untuk memenuhi implikasi khilafah dan 'adalah.
STRATEGI
Jelaslah bahwa tidak seperti kapitalisme dan sosialisme, sasaran-sasaran Islam bersifat
mutlak dan merupakan hasil logis dan falsafah yang mendasarinya. Mereka bukanlah elemen
gado-gado dan perjuangan untuk mempertahankan hidup dan dominasi antara kelompok pluralis
atau kelas-kelas sosial. Mereka sangat menyatu dalam sistem Islam sehingga realisasinya
merupakan kriteria untuk mengukur tingkatan Islamisasi sebuah masyarakat muslim. Tentu saja
kepaduan antara sasaran dan pandangan dunia tidak mencukupi. Diperlukan pula suatu strategi
yang juga merupakan hasil logis dan falsafah yang mendasarinya. Jika dijalankan secara serius,
dapat memungkinkan masyarakat muslim mengaktualisasikan sasaran-sasarannya. Islam memang
memiliki strategi. Ia meliputi reorganisasi keseluruhan sistem ekonomi dengan 4 elemen yang
saling memperkuat:
1) sebuah mekanisme filter yang secara sosial disepakati;
2) sebuah sistem motivasi yang mendorong individu untuk melakukan yang terbaik untuk
dirinya dan masyarakatnya.;
3) restrukturisasi perekonomian secara keseluruhan dengan tujuan mewujudkan maqashid
meskipun menghadapi kelangkaan sumbersumber daya; dan
4) sebuah peran pemerintah yang positif dan kuat.
Kini tiba gilirannya untuk melihat bagaimana pandangan dunia Islam, bersama dengan
elemen-elernen khusus strateginya, dapat membantu sistem ekonomi Islam mempengaruhi
alokasi dan distribusi sumbersumber daya dengan tujuan merealisasikan magashid.
1. MEKANISME FILTER
Kelangkaan sumber-sumber daya relatif dibandingkan dengan klaim-klaim yang tidak
terbatas, meniscayakan adanya suatu perangkat penyaringan. Semua klaim pada sumber daya
harus melewati filter ini untuk menyamakannya dengan ketersediaan sumber-sumber daya dan
untuk merealisasikan sasaran-sasaran sosio ekonomi. Apakah mekanisme filter ini melakukan
dwifungsi dengan efektif atau bukan, akan menentukan keberhasilan sistem.
Kapitalisme, seperti yang sudah dijelaskan pada bab terdahulu, membiarkan konsumen
mengkonsusmsi apa saja yang mereka inginkan menurut preferensi individualnya untuk
mendapatkan kegunaan yang maksimal. Sistem ini juga membiarkan para produsen memproduksi
apa saja yang mereka inginkan dalam merespons preferensi konsumen dengan menggunakan
kombinasi faktor-faktor produksi apa saja yang dirasa meminimalkan ongkos dan
memaksimalkan keuntungan. Harga-harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar berfungsi
sebagai perangkat filter. Harga-harga demikian menciptakan ekuilibrium antara permintaan dan
penawaran dengan menentukan bukan saja apa, melainkan juga bagaimana, konsumen yang
bermotif memaksimalkan nilai guna akan mengkonsumsi dan para produsen yang bermotif
memaksimalkan keuntungan akan memasok barang.
Mengingat kondisi latar belakang tidak terpenuhi maka penggunaan sistem pasar saja
sebagai sebuah mekanisme filter, akan menggagalkan realisasi sasaran sosio-ekonomi. Preferensi
individual yang tidak terhalang dibarengi dengan prornosi iklan yang bebas nilai dan kemudahan
memperoleh kredit, menciptakan keinginan yang tidak terbatas, sementara distribusi pendapatan
yang sangat menceng menjadikan si kaya mampu mentransfer sumber-sumber daya langka untuk
memenuhi keinginan mereka yang tidak penting. Hal ini tidak saja menekan sumber-sumber daya
yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan pokok, melainkan juga memperlebar gap tabungan-
investasi: ekspor-impor; dan memperburuk ketidakseimbang,an makroekonomi dan eksternal.
Memang mengandalkan mekanisme harga sebagai perangkat filter dapat membantu merestorasi
ekuilibrium antara permintaan dan penawaran, tetapi dengan risiko kerugian yang harus di alami
oleh si miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sebagai akibat
melonjaknya harga-harga. Karena itu, kesejahteraan mereka dirugikan.
Penggantian mekanisme filter sistem pasar yang terdesentralisasi dengan perencanaan dan
kontrol negara justru memperburuk situasi. Hal demikian menciptakan sistem semakin despotik,
tanpa mampu meningkatkan kinerja menuju realisasi tujuan. Pemusatan kontrol pada alokasi
sumber-sumber daya di tangan segelintir birokrat yang tidak memiliki cara efektif dalam
memperoleh informasi segera mengenai preferensi konsumen dan ongkos produk, menjadikan
proses pembuatan keputusan membosankan, lambat, dan tidak efisien. Birokrasi bahkan tidak
memiliki nilai-nilai yang secara sosial disepakati atau sistem motivasi untuk menjamin
kesejahteraan semua. Satu-satunya kriteria bagi alokasi sumbersumber daya yang ada di
tangannya adalah penilaiannya sendiri, yang tanpa adanya bantuan dari nilai-nilai yang disepakati
dan sinyal-sinyal pasar, tidak dapat menjamin alokasi sumber-sumber daya yang menyertakan
perhitungan kelangkaan sumber-sumber daya atau urgensi relatif pemenuhan kebutuhan pokok.
Lebih lanjut, posisi yang begitu berkuasa dan para anggota birokrasi memberikan perlindungan
kepada mereka untuk menutupi kepentingannya sendiri. Maka alokasi resultan dan distribusi
sumber-sumber daya menjadi tidak efisien dan tidak adil (merata).
Dengan demikian, strategi terbaik untuk menginjeksikan pemerataan ke dalam alokasi
sumber-sumber daya adalah bukan dengan menghapuskan desentralisasi proses pembuatan
keputusan sistem pasar. Sistem desentralisasi menimbulkan demokratisasi pembuatan keputusan
dengan menjadikan individu (baik sebagai konsumen maupun produsen) mampu berpartisipasi.
Hal ini juga mendorong efisiensi yang lebih besar dengan memungkinkan pembuatan keputusan
segera dalam merespons situasi yang sedang berubah. Diperiukan perangkat lain untuk
melengkapi mekanisme harga untuk menghapuskan atau paling tidak meminimalkan klaim-klaim
yang tidak perlu terhadap sumber-sumber daya, klaim-klaim yang akan menimbulkan
ketidakseimbangan dan hanya menghalangi proses pemenuhan kebutuhan pokok.
Islam mempunyai kelebihan ini dengan memperkenalkan filter moral. Pada alokasi sumber
daya akan dipasang dua lapis filter. Filter pertama menyerang persoalan keinginan yang tidak
terbatas pada pusat muaranya, kesadaran individu yang paling dalam, dengan mengubah skala
pre-ferensinya seiring dengan tuntutan kedudukannya sebagai khalifah dan prinsip 'adalah
'keadilan'. Islam mewajibkan kaum muslimin untuk mengetes klaim-klaim potensialnya pada
sumber-surnber daya melalui filter nilai-nilai Islam sehingga sebagian dapat dieliminasi sebelum
dapat diekspresikan dalam pasar. Dengan cara ini klaim-klaim pada sumber daya yang tidak
menyumbang secara positif kepada realisasi kesejahteraan manusia dapat dihilangkan di
sarangnya sebelum memasuki filter tahapan kedua, yaitu harga yang ditentukan oleh pasar.
Filter moral menjadikan klaim-klaim pada sumber daya sebagai suatu fungsi kesejahteraan
manusia dan tidak membiarkan penggunaannya untuk tujuan lain. Ia tidak akan mengizinkan,
umpamanya, penggunaan sumber-sumber daya bagi aktivitas-aktivitas yang secara moral
dilarang, aktivitas-aktivitas yang akan membunuh atau membahayakan manusia, binatang, atau
tumbuh-tumbuhan, baik sekarang maupun di masa yang akan datang, karena akan mereduksi
kesejahteraan mereka. Ia menuntut gaya hidup sederhana dan tidak membiarkan sikap berlebihan
atau penggunaan sumber-sumber daya untuk tujuan-tujuan pamer diri atau kompetisi kosong,
penggunaan-penggunaan yang tidak membuat perbedaan rill dalam kesejahteraan. Ia juga tidak
membolehkan perusakan atau penggunaan sumber-sumber daya secara mubazir (umpamanya
membakar makanan untuk menaikkan harga). Jika sistem perbankan juga direorganisasi dengan
cara yang memungkinkannya berperan komplementer dalam memperkuat filter, maka klaim-
klaim pads sumber daya dapat dibatasi secara tepat. Dengan demikian faktor moral
memoderatkan dan memanusiawikan pengaruh yang dimiliki oleh kekayaan, kekuasaan, dan
lembaga keuangan dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. 40 Seperti yang secara tepat
diindikasikan oleh Barrington Moore,
"Tak ada suatu masyarakat manusia yang dapat meloloskan semua jenis perilaku manusia.
Jika ia membolehkannya, maka ia akan berakhir sebagai suatu masyarakat. "41
Namun, persoalan utama bagi setiap masyarakat adalah siapakah yang mampu menyediakan
filter moral ini? Haruskah suatu ajaran moral yang berasal dari Tuhan dan haruskah ia
dilatarbelakangi oleh keimanan pada hari pembalasan di depan Tuhan? Pandangan Islam, seperti
juga pandangan beberapa agama lain, adalah sanksi Tuhan dan keimanan kepada pembalasan di
akhirat, kedua-duanya sangat penting.
Pertama, sanksi Tuhan akan mengatur perilaku absolut dan tidak menimbulkan
persengketaan. Tanpa sanksi Tuhan, mereka akan menjadi subjek penilaian personal dan
persengketaan seperti yang terjadi di Barat setelah sekularisasi, sehingga "nilai mereka
dipertanyakan semuanya".42 Setelah melakukan kajian yang mendalam dan ekstensif terhadap
berbagai peradaban, Durant dapat menarik suatu pelajaran penting dan sejarah bahwa,
"Tak ada contoh berarti dalam sejarah sebelum kita, suatu masyarakat yang benar-benar
berhasil mempertahankan kehidupan moral tanpa bantuan agama. "43
Kedua, siapakah di antara manusia yang benar-benar tidak memihak dan komitmen terhadap
kemaslahatan semua? Jika manusia mencoba mengembangkan sendiri norma-norma ini, akan ada
tendensi di pihaknya untuk menyusun norma yang akan memihak kelompok kaya dan yang
berkepentingan, dan tidak mampu memenuhi tuntutan kemaslahatan semua orang. Bahkan,
dengan keraguan kepada imparsialitas yang paling kecil sekalipun akan menghapuskan peluang
terbentuknya sebuah konsensus.
Ketiga, manusia tidak memiliki pengetahuan mengenai efek perbuatan mereka terhadap
yang lain, terutama mereka yang tinggal jauh di pedalaman yang terkena dampak perbuatan
mereka. Karena itu, mereka membutuhkan orang luar yang mempunyai pengetahuan dan mampu
melihat dampak demikian untuk memberikan aturan-aturan perilaku yang dapat menyelamatkan
orang lain dari efek buruk perbuatan mereka.44
Keempat, hanya Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah menciptakan manusialah yang mampu
memahami hakikat mereka, kebutuhankebutuhannya, kekuatan dan kelemahannya, dan berfungsi
sebagai satusatunya Pemberi Petunjuk dan sumber segala nilai. Dalam kasih-Nya yang tidak
terbatas, Dia tidak membiarkan manusia meraba-raba dalam kegelapan. Dia telah menyediakan
petunjuk yang diperlukan lewat serangkaian para nabi mulai dari Nabi Adam a.s., suatu petunjuk
yang menjamin kesejahteraan semua manusia.
Dalam konteks kerangka logika ini, netralitas nilai tidak dimungkinkan. Netralitas nilai akan
dapat bersahabat hanya dengan sistem yang mengagangkan individualisme dan kepentingan diri.
sendiri atau dialektka. Ia sangat bertentangan dengan Islam yang meletakkan tanggung jawab
sosial dan kesejahteraan semua orang sebagai kepentingan utama. Nilai akan menentukan
persyaratan semua khalifah. Mereka semua harus bertindak selaras dengan nilai-nilai ini untuk
mengaktualisasikan magashid. Karena itu, penilaian kolektif merupakan keharusan dan setiap
usaha untuk membebaskan diri dari penilaian demikian akan menciptakan kebingungan,
kekacauan, dan menggagalkan realisasi kesejahteraan semua.
Sesudah klaim-klaim pada sumber daya melewati filter nilai-nilai yang secara sosial
disepakati, dengan demikian, klaim-klaim yang tidak perlu telah dihapuskan, maka mekanisme
filter tahapan kedua yaitu harga-harga yang telah ditentukan oleh pasar akan beroperasi secara
efektif dalam menciptakan sebuah alokasi sumber-sumber daya yang efisien dan adil.

2. MOTIVASI YANG BENAR


Efisiensi dan pemerataan tidak dapat direalisasikan hanya dengan sebuah mekanisme filter
yang benar. Diperlukan motivasi untuk mendorong individu. Kapitalisme menganggap bahwa
kepentingan diri sendiri akan mendorong individu memaksimalkan efisiensi, sementara
kompetisi akan berfungsi sebagai batasan kepentingannya dan membantu melindungi
kepentingan sosial. Diasumsikan oleh Adam Smith bahwa sistem pasar akan mampu
menyelaraskan kepentingan diri sendiri dan sosial. Sementara itu, sosialisme tidak mempercayai
individu dan beranggapan bahwa pemenuhan kepentingan diri individu niscaya akan merugikan
kepentingan sosial. Karena itu, ia mengajukan penghapusan hak milik swasta terhadap kekayaan
dan keuntungan serta menegakkan kontrol negara yang sangat ketat dalam alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya untuk melindungi kepentingan sosial.
Namun, memenuhi kepentingan diri sendiri oleh individu tidak selalu buruk. Bahkan,
pembangunan manusia dan sebuah sistem ekonomi tidak akan berhasil inencapai efisiensi selarna
tidak membolehkannya. Pemenuhan kepentingan diri sendiri secara sosial akan merusak, hanya
jika ia melampaui batas-batas tertentu dan individu tidak bersedia melakukan sesuatu yang
diperlukan untuk menciptakan suatu masyarakat yang memiliki persaudaraan dan keadilan sosio-
ekonomi sebagai tujuan sentralnya. Namun, individu rasional dalam suatu masyarakat mana pun
secara normal akan bersedia melakukan yang terbaik, jika ia mampu mendapatkan imbalan bagi
kontribusinya. Pertanyaannya ialah: "motif apa yang akan mendorongnya bekerja untuk
kepentingan sosial?" "Mengapa seorang konsumen menghentikan klaimnya terhadap sumber-
sumber daya?" Dan, "mengapa seorang pelaku bisnis tidak melumpuhkan saja persaingan itu atau
menggunakan cara-cara yang tidak jujur untuk memperkaya diri sendiri?" Di sinilah keimanan
kapada pambalasan di depan Tuhan dan hari akhirat menjadi suatu keharusan.
Kepentingan diri sendiri yang pandangannya terbatas pada dunia ini saja, akan menuai
ketamakan, pengabaian moral, dan melupakan kepentingan orang lain. Menurut hasil pengamatan
The Economist, "Setiap ada kesempatan, agen rasional ekonomi akan mencoba menarik manfaat
untuk dirinya sendiri dengan mengabaikan siapa saja. Dalam banyak hal, solusi pasar digagalkan
oleh kekuatan-kekuatan yang biasanya membuat pasar bekerja."45
Dalam sebuah masyarakat sekalaris yang berorientasi hanya kepada dunia, kepentingan diri
sendiri tidak dapat memotivasi individu untuk memenuhi kewajiban sosialnya secara ikhlas
kecuali jika berbuat demikian itu juga membantu perolehan keuntungan duniawi mereka. Dengan
demikian, optimalitas Pareto merupakan satu-satunya norma perilaku logis bagi masyarakat
demikian, dengan mengabaikan apakah itu kapitalis atau sosialis. Sebenarnya, Pareto tidak salah
merumuskan optimalitasnya dalam kerangka pandangan duniawi, seperti halnya pandangan kaum
sekularis.
Kapitalisme tidak memiliki mekanisme efektif untuk memotivasi individu agar bekerja
untuk kepentingan masyarakat kecuali jika hal itu secara otomatis memenuhi kepentingannya
sendiri. Oleh Karena dua kepentingan itu tidak selalu harmonis dan mengingat kondisi latar
belakang tidak dipenuhi, maka hanya dengan mengandalkan sistem harga saja akan menjadikan
orang-orang kaya mampu mengalihkan sumbersumber daya langka untuk memenuhi keinginan
mereka yang tidak esensial dengan akibat si miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya
sekalipun. Karena itu kapitalisme menimbulkan kesenjangan.
Sementara itu, sosialisme lebih huruk lagi karena dengan mencegah individu memenuhi
kepentingan din sendiri, ia telah membuang suatu mekanisme untuk memotivasi individu agar
bekerja secara efisien. Lebih lanjut lagi, perspektif duniawinya tidak mampu menyediakan suatu
motivasi bagi individu untuk bekerja demi kepentingan sosial juga. Dengan demikian, sosialisme
gagal merealisasikan efisiensi dan pemerataan.
Sekiranya dimensi keimanan kepada pembalasan di depan Tuhan Yang Mahakuasa, yang
mengetahui segala sesuatu (al-Maa'idah: 3) dan kehidupan setelah kematian diinjeksikan, maka
suatu rasionalitas yang lebih tinggi telah diciptakan. Kepercayaan ini akan memasok kekuatan
motivasi bagi perilaku yang berorientasi sosial dengan memberikan kepentingan diri sendiri suatu
perspektif tak terbatas. Hal ini mengandung implikasi bahwa kepentingan diri individu sendiri
tidak saja akan dipenuhi dengan perbaikan kondisi kehidupannya di dunia, tetapi juga di akhirat.
Karena itu, jika ia memang benar-benar rasional dan mencari apa yang menjadi kepentingan
terbaiknya, ia tidak akan bertindak hanya untuk memenuhi kepentingan jangka pendek
keduniawiannya saja, melainkan juga akan mencoba menjamin kepentingan jangka panjangnya
dengan bekerja untuk kemaslahatan orang lain lewat reduksi dalam konsumsinya yang tidak
penting dan mubazir, meskipun secara finansial ia mampu melakukannya.
Dengan demikian, sumber-sumber daya yang dapat diselamatkan bisa dialihkan untuk
menambah produksi dan distribusi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan pokok bagi si
miskin sehingga membantu memenuhi kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan bahwa
dunia ini sebenarnya tidak ada artinya dibandingkan dengan akhirat, akan dapat mencegah pelaku
bisnis untuk memperkaya diri sendiri melaiui caracara yang tidak jujur. Dengan begitu, ia
membantu orang lain karena tidak menciutkan batasan-batasan peluang dan menjauhkan mereka
dari mata pencaharian yang independen. Keyakinan ini memiliki potensi beroperasi sebagai
mekanisme sukarela untuk memotivasi individu merespons pertanyaan-pertanyaan apa,
bagaimana, dan untuk siapa memproduksi, dengan cara yang akan mengantarkan kepada sebuah
alokasi dan distribusi sumber daya yang selaras dengan tuntutan kemaslahatan umum.
Meskipun Islam menyediakan sebuah perspektif jangka panjang kepada manusia, tetapi ia
tidak menuntut individu mengabaikan kepentingan duniawinya karena hal ini tidak praktis.
Setiap sistem nilai yang menganjurkan demikian, tidak akan berjalan. Sebenarnya, Islam
menuntut individu untuk memenuhi semua kebutuhan pokoknya agar tetap sehat secara fisik dan
mental serta efisien untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap dirinya sendiri, ma
syarakatnya. Ketika berbuat demikian, ia sebenarnya juga mengembangkan potensi totalnya.
Tidak ada larangan untuk menikmati karunia Tulian yang telah disediakan untuk manusia (al-
Araaf: 32). Namun, karena sumber-sumber daya itu terbatas, maka tidak sepantasnyalah manusia,
sebagai khalifah, bertindak seperti manusia ekonomi (economic man yang hanya memaksimalkan
kepentingan dirinya sendiri saja, pent.) dan mengabaikan kesejahteraan orang lain. Seperti yang
secara tepat ditunjukkan oleh Alec Nove, "Masyarakat yang hanya mementingkan keuntungan
(profit) akan Korupsi dalam arti literal dan jumlah akan berkembang karena membuat uang telah
menjadi aspirasi utama, kriteria dominan bagi keberhasilan."46
Begitu juga Joseph Schumpeter mengamati bahwa "tak ada sistem sosial yang bekerja, di
mana setiap orang akan dibimbing oleh kepentingan dirinya sendiri yang berorientasi
memperoleh nilai guna dan berjangka pendek."47
Suata keseimbangan (mizan) menurut istilah Al-Qur'an (ar-Rahmaan: 7-9) , mutlak
diperlukan untuk menjamin kepentingan sosial dan pembangunan potensi manusia yang
berkelanjutan.
Apa yang dilakukan oleh Islam untuk menciptakan keseimbangan demikian adalah dengan
menyediakan suatu dimensi spiritual dan berjangka panjang kepada self interest. Individu harus
memenuhi kepentingan dirinya sendiri di dunia yang sifatnya amat pendek dan singkat, dan juga
akhiratnya yang bersifat abadi. Meskipun kepentingan di dunia ini dapat dipenuhi dengan cara
mementingkan diri sendiri dan tidak mengindahkan moral (tetapi tidak selamanya demikian).
Namun, kepentingan di akhirat hanya bisa dipenuhi dengan memenuhi kewajiban seseorang
terhadap orang lain, walaupun tidak harus melupakan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian,
keyakinan kepada pembalasan Tuhan Yang Mahatahu akan berperan penting dalam mengontrol
kepentingan diri.

Anda mungkin juga menyukai