Islam Dan Pandangan Ekonomi
Islam Dan Pandangan Ekonomi
83 Marius B. Jansen, "Japan, History of', The New Encyclopaedia Britannica, 15th ed.,
vol. 10, hlm. 88; South Korea, Agriculture in Korea (1970), hlm. 5-17; dan Oh YoungKyun,
"Agrarian Reform and Economic Development: A case Study of Korean Agriculture", Koreana
Quarterly, 1969, hlm. 99.
84 Australian Bureau of Agriculture and Research Economics, Japanese Agricultural
Policies, Policy Monograph No. 3, Canberra, 1988.
85 Jeffrey D. Sachs, 'Trade and Exchange Rate Policies in Growth-Oreinted Adjustment",
dalam Corbo, et al. (1987), hlm. 301.
86 Ibid., him. 303.
87 Myrdal, Asian Drama (1968), vol. 2, hlm. 747.
88 Jeffrey Sachs, Social Conflict and Populist Policies in Latin America (Cambridge,
Mass.: National Bureau of Economic Research, Paper No. 2897).
89 Pranab Bardhan's commcnts on Ranis and Fei, dalam Ranis and Schultz (1988), hlm.
138.
90 Meier, Emerging from Poverty (1984), hlm. 61.
91 Lihat Hla Myint, "Comparative Analysis of Taiwan's Economic Development with
Other Countries", Academic Economic Papeers, Maret 1982; lihatjuga Myint, dalam Meier,
Pioneers in Development (1988), hlm. 133.
92 Ranis dan Fei, dalam Ranis and Schultz (1988), hlm. 121.
93 Lihat Meier, Emerging from Poverty (1984), hlm. 63; Tibor Scitovsky, "Economic
Development in Taiwan and South Korea", Food Research Institute Studies, No. 4, 1985, hlm.
215-64; dan "Unequalled Economic Failures", The Economist, 17Juni 1989, hlm. 83. Menurut
Meier, Taiwan "barangkali merupakan negara kapitalis yang paling egalitarian" (Meier, Emerging
from Poverty (1988), hlm. 63). Pernyataan ini kurang akurat karena ada sejumlah negara yang
mempunyai koefisien Gini lebih rendah dan lcbih sejahtera daripada Taiwan.
94 Untuk Jepang,. Lihat R Benedict, The Chrysanthemum and the Sword (1946); Lihat
juga Yoshihara Kunio,Japanese Economic Development: A Short Introduction (1979), hlm. 80-
82.
95 Untuk Jepang, lihat T. Nakamura, terj. J. Kaminski, The Postwar Japanese Economy:
Its Development and Structure (1981), hlm. 96.
96 World Bank, World Tables, 1988-1989, vol. 1, hlm. 66-69; dan Directorate General of
Budget, Accounting and Statistics, Republic of Taiwan, Statistical Yearbook of the Republic of
China. 1988, hlm. 90.
97 Pada tahun 1983, laju tarif rata-rata Jepang adalah 4,5 persen bagi impor yang dikenai
tarif dan 2.5 persen bagi semua impor, lebih rendah daripada di AS atau Eropa. Bahkan untuk
tekstil, tarif 13,8 person lebih rendah daripada di AS yang 22,7 persen dan kira-kira sekitar itu di
Eropa.
"An open and Shut Case", dalam "Japan: A Survey", The Economist, 7 Oktober 1985, hlm.
20.
98 Lester Thurow, "A Time to Dismantle the World Economy", The Economist, 9
November 1985, hlm. 23.
99 Findlay, dalam Ranis and Schultz (1988), hlm. 90.
100 Lihat IMF, Government Financial Statistics Yearbook, 1989, hlm. 92-93.
101 OECD, Revenue Statistics of OECD Member Countries, 1965-1989 (1990).
102 "Republic of Korea (South Korea)", The Europe Yearbook, 1987, hlm. 1661-1662.
103 Lihat Parvez Hasan, Korea: Problems and Issues in a Rapidly Growing Economy
(1976), hlm. 23.
104 Data untuk tahun 1965 dari Michael Prowse, "Unequal Soceity Rethinking its
Priorities", The Financial Times, 15 Juni 1989, hlm. XII; dan mulai tahun 1987 data dari IBRD,
World Development Report, 1989, hlm. 223.
105 Liz McGregor, "Labour Unrest, the price of Success". The International Herald
Tribune, 5 Juli 1989, hlm. 7.
106 Prowse (1989).
107 Hasan (1976), hlm. 23.
108 Kunio (1979), hlm. 111.
109 Sepuluh bank Jepang, beberapa di antaranya herkaitan dengan nama keluarga zaibatsu
adalah Dai-Ichi Kangyo, Mitsui Taiyo Kobe, Sumitomo, Fuji, Mitsubishi, Sanwa,
Tokai, Daiwa, Bank of Tokyo, dan Kyowa. Beberapa bank ini termasuk yang terbesar di dunia.
(Lihat "Wedding Bells for Japan's Big Banks ", The Economist, 2 September 1989,
hlm. 79; dan "Ranking The World's Largest Bank", Institutional Investor, Juni 1989, hlm.119 ff.).
110 "Japan: Ministry of International Trade and Industry", Commercial Statistics and
White Paper on International Trade (1988).
111 Ini jelas direfleksikan dalam koefisien Gini untuk Jepang yang meningkat dari 0,380
pada tahun 1965 menjadi 0,420 pada tahun 1971 (Lihat Scitovsky, op.cit.).
112 Forbes Magazine, dikutip oleh Arab News, 10 Juli 1989, hlm. 14.
113 Lihat Karel van Wolferen, The Enigma ofJapanese Power (1989).
114 Yamaichi Research Institute of Securities and Economics, Monthly Digest of
Statistics, Januari dan September 1989 dan Juli 1990, hlm. 1
115 Ibid., hlm. 6 dan 126.
116 Nikko Research Centre, Analysis of Japanese Industries for Investors, 1990 (1990),
hlm. 202.
117 Bill Emmott, The Sun also Sets: Why Japan will not be Number One (1989).
118 Iihat, "South Korea: Land to the Dweller", The Economist, 16 September 1989, hlm.
80; dan "A Dangerous Game in Taipei: Taiwan's Stock Market was once a Sleepy
Casino. Now It's Hyperactive", ibid., 9 September 1989, hlm. 113. Lihat juga survei khusus
tentang Taiwan dan Korea Selatan, Financial Times, 10 Oktober 1989 dan Mei 1990.
119 Meier, "On Getting Policies Right", dalam Meier, Pioneers in Development (1987),
hlm. 70.
120 Morawetz (1977), hlm. 71.
121 Gary Fields, "Income Distribution and Economic Growth", dalam Ranis and Schultz
(1988), hlm. 468-469.
122 Morawetz (1977), hlm. 7.
123 Lihat Deepak Lal (1984).
124 Meier, Emerging from Poverty (1984), hlm. 233.
125 Ibid., hlm. 228.
126 Ibid., hlm. 90.
127 Development Committee, Strengthning Efforts to Reduce Poverty (1989), hlm. 3.
128 Ibid., hlm. 5.
BAGIAN II
PANDANGAN ISLAM
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (al-Anfaal . 24)
.........
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri(ar-Rad : 11)
BAB V
PANDANGAN DUNIA ISLAM DAN STRATEGINYA
Empat bab pertama telah membahas alasan ketidakmampuan negaranegara kapitalis kaya
dan sosialis serta ekonomi pembangunan merealisasikan secara simultan sasaran-sasaran efisiensi
dan pemerataan dengan menggunakan strategi yang didasarkan pada pandangan dunia
Pencerahan yang sekuler. Karena itu, negara-negara muslim tidak punya alasan untuk menerima
strategi-strategi ini sebagai model, jika mereka bertekad merealisasikan maqashid asy-syari'ah,
yang jauh lebih komprehensif dalam meliput elemen-elemen penting bagi kemaslahatan manusia
daripada sistem sekuler. Di samping itu, negara-negara muslim tidak memiliki waktu yang cukup
untuk menentukan mana yang harus dipilih. Karena sudah ada keresahan dan ketidakpuasan di
kalangan masyai akat. Jika mereka tidak memprioritaskan untuk merealisasikan maqashid,
kekesalan akan semakin memuncak sehingga mengantarkan mereka kepada disintegrasi
masyarakat.
Karena itu negara-negara muslim membutuhkan suatu sistem ekonomi yang berbeda, suatu
sistem yang mampu memberikan semua elemen yang diperlukan bagi kebahagiaan manusia
menurut tuntutan persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi. Sistem itu tidak saja harus mampu
menghapuskan ketidakseimbangan, tetapi juga menciptakan suatu realokasi sumber-sumber daya
dengan cara yang sasaran efisiensi dan pemerataannya secara simultan dapat direalisasikan. Ia
harus dapat memotivasi partisipan untuk memegang teguh prinsip-prinsipnya, dan berbuat terbaik
bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Sistem itu
tidak akan berhasil kecuali jika is mampu menciptakan suatu lingkungan yang positif melalui res-
trukturisasi ekonomi. Restrukturisasi demikian mungkin sulit dilakukan kecuali jika semua pusat-
pusat kekuatan dalam masyarakat diadaptasikan lewat reformasi ekonomi, politik, dan sosial
sedemikian rupa, sehingga tak ada individu maupun kelompok yang mampu memetik manfaat
dengan melanggar prinsip-prinsip dasar sistem tersebut.
Untuk menciptakan sebuah ekuilibrium antara sumber-sumber daya langka dan klaim-klaim
atasnya dengan cara yang dapat merealisasikan efisiensi dan pemerataan, perlu rnemfokuskan
perhatian pada manusia daripada pasar atau negara. Manusia merupakan suatu elemen hidup dan
pokok dan sebuah sistenn ekonomi. Mereka adaiah tujuan sekaligus sarana, dan jika mereka tidak
direformasi dan camotivasi untuk niemenuhi kepentingan dirinya dalam batasan-batasan
kemaslahatan sosial, maka sasaran-sasaran sosio-ekonomi tidak akan dapat dicapai oleh "tangan
gaib(invisible hand) mekanisme pasar atau "tangan nyata" (visible hand)
perencanaan.perekonomian. Pada gilirannya individu menerima impuls penting dan sistem
ekonomi dan institusinya. Tidak ada suatu reformasi terhadap individu yang dapat berjalan efektif
kecuali jika reformasi itu mampu menembus sistem perekonomian dan menciptakan
restrukturisasi gaya hidup dan mesin finansial ekonomi, sehingga klaim-klaim yang tidak
esensial terhadap sumber-sumber daya dapat diminimalkan dan semua sumber-sumber
ketidakadilan, eksploitasi, dan instabilitas dapat direduksi secara substansial. Dengan demikian,
terdapat hubungan dua arah antara manusia dan sistem ekonomi. Keduanya perlu dicapai. Setiap
sistem yang dalam strateginya hanya menekankan pada mekanisme pasar atau peran negara,
dengan mengharapkan mampu menyelesaikan persoalan manusia, pada gilirannya akan berakhir
pada degradasi manusia dan hanya menambah kesengsaraan mereka.
Manusia tidak dapat menjadi tujuan sekaligus sarana suatu sistem ekonomi, kecuali jika
sistem tersebut didasarkan pada sebuah pandangan dunia yang merestorasi kedudukan mereka
pada tahapan pusat, sedangkan seluruh realitas yang lain berputar di sekelilingnya. Pandangan
dunia kapitalisme dan sosialisme tidak memberikan kedudukan yang penting kepada manusia,
karena didasarkan pada prinsip Darwinisme sosial dan dialektika, yang tidak menyertakan
kepercayaan inheren pada persaudaraan manusia, keadilan sosio-ekonomi, dan hakikat amanat
sumbersumber daya. Mereka terlalu menekankan konsep "kelangsungan hidup bagi yang paling
kuat" atau "pertarungan kelas" dan "pemuasan keinginan secara maksimal" atau "kondisi
kehidupan materiil." Mereka tidak memiliki sistem motivasi yang dapat mendorong manusia
untuk berbuat demi kepentingan sosiai, yang tidak selalu seirarna dengan kepentingan individu,
melainkan inemerlukan pengorbanan dan kenyamanan personal dan keuntungan bagi yang lain.
Pandangan dunia semacam ini hanya makin mengintensifkan klaim terhadap sumber-sumber
daya dan menimbulkan tidak saja inefisiensi dan kesenjangan dalam alokasi sumbersumber daya,
tetapi juga pengaburan arah, kejahatan, dan kemerosotan sosial, dan pada
gilirannya, degradasi manusia.
Sistem perbankan dan keuangan memiliki pengaruh luar biasa dalam perekonomian modern,
sehingga tak ada sistem perekonomian maim pun yang dapat bertahan sehat atau mampu
memberikan kontribusi positif pada sasaran sosio-ekonomi tanpa dukungan positif dan
perbankan. Karena itu, sistem perbankan dan keuangan harus direformasi untuk menghambat
ekses dan ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh kesenjangan, pola konsumsi pamer,
pengangguran, dan ekspansi moneter yang tidak sehat, yang menyusahkan semua orang. Secara
umum sistem ini harus mendukung pemenuhan kebutuhan pokok, laju penciptaan lapangan
peketjaan yang tinggi, dan kepemilikan yang luas terhadap sarana-sarana produksi.
Mungkinkah sistem perekonomian yang begitu sehat dapat direkayasa? Inilah persoalan
utama yang akan dibahas pada bab ini, yaitu sistem yang didasarkan pada pandangan dunia Islam
dan strateginya. Terjemahan pandangan dunia dan strategi ini ke dalam kebijakan-kebijakan
spesifik akan dibahas pada bab 6 s/d 11.
Islam memiliki suatu pandangan dunia dan strategi yang seirama dengan maqashid dan
yang memungkinkannya mampu menyediakan cetak biru untuk solusi praktis dan adil bagi
persoalan-persoalan yang dihadapi negara-negara muslim, dengan catatan ada kemauan politik
untuk menerapkan ajaran-ajarannya dan implementasi reformasinya. Oleh karena perekonomian
sejumlah negara-negara muslim masih berada pada tahapan permulaan pembangunan, maka tidak
terlalu sulit kiranya menerapkan sebuah rekayasa baru dan arah bagi perekonomian mereka dan
juga sistem keuangannya. Namun, dengan perjalanan waktu, hal itu akan semakin sulit
dilakukan.
PANDANGAN DUNIA
Islam adalah keimanan universal yang sederhana, mudah dimengerti dan dinalar. Ia
didasarkan pada tiga prinsip fundamental yaitu tauhid 'keesaan', khilafah 'perwakilan', dan
'adalah 'keadilan'. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membentuk pandangan dunia Islam, tetapi juga
membentuk Ujung tombak maqashid dan strategi. Dengan demikian, tak ada persoalan mengenai
pemikiran yang timbul karena adanya tuntutan yang saling bertentangan dan kelompok pluralis
atau kelas-kelas sosial. Pandangan dunia Islam, maqashid, dan strategi diracik bersama-sama
dalam suatu keseluruhan yang konsisten dan terdapat keharmonisan sempurna antara keduanya.
Supaya jelas bagi pembaca yang kurang memahami konsep ini dan untuk menunjukkan betapa
pandangan dunia Islam, maqashid dan strategi itu dirajut dalam sebuah keseluruhan yang
konsisten, sehingga memungkinkan sistem ekonomi Islam merealisasikan sasaran-sasarannya.
Secara singkat akan dijelaskan arti dan signifikansi dan prinsip-prinsip fundamental ini.
KHIIAFAH (Perwakilan)
Manusia adalah khalifah-Nya atau wakil-Nya di bumi (al-Baqarah: 30; al-An'aam: 165;
Faathir: 39; Shaad: 28; dan al-Hadiid: 7). Ia telah dibekali dengan semua karakteristik mental dan
spiritual serta materiil untuk memungkinkannya hidup dan mengemban misinya secara efektif. 2
Dalam kerangka kekhalifahannya, ia bebas dan mampu berpikir dan menalar untuk memilih
mana yang baik dan mana yang buruk, jujur atau tidak jujur, dan mengubah kondisi
kehidupan, masyarakat, dan perjalanan sejarahnya, jika ia berkehendak demikian. Secara fitrah,
ia baik dan mulia (al-Hijr: 29; ar-Ruum: 30; dan at-Tiin: 4) serta mampu melindungi kebaikan
dan kemuliaannya. Bahkan, mampu meningkatkan kedudukannya, jika ia menerima pendidikan
dan petunjuk yang tepat dan dimotivasi dengan baik. Oleh karena pada prinsipnya baik, maka
secara psikologis manusia akan merasa bahagia selarna ia berpijak atau bergerak mendekati
hakekat batiniahnya dan merasa sengsara bila ia menyimpang darinya.3
Sumber-sumber daya yang disediakan oleh Tuhan di dunia ini tidak tak terbatas. Akan
tetapi, sumber-sumber daya itu akan mencukupi bagi pemenuhan kebahagiaan manusia
seluruhnya, hanya jika dipergunakan "secara efisien" dan "adil". Manusia bebas memilih antara
berbagai penggunaan alternatif sumber-sumber daya ini. Namur, karena dia bukanlah satu-
satunya khalifah dan terdapat jutaan manusia lain yang berkedudukan sebagai khaltfah seperti dia
yang mereka adalah saudaranya sendiri yang mempunyai hak yang sama (terhadap pemanfaatan
sumber-sumber daya, pent), maka ujian rill baginya adalah bagaimana menggunakan sumber--
sumber daya yang telah dikaruniakan oleh Tuhan ini dengan cara "yang efisien" dan "adil,"
sehingga kemakmuran manusia seluruhnya dapat dijamin. Ini hanya mungkin jika sumber-
sumber daya itu dimanfaatkan dengan suatu perasaan tanggung jawab dan dalam suatu batasan
yang ditentukan oleh petunjuk Tuhan dan magashid.
Konsep tauhid dan khilafah secara inheren bertentangan dengan konsep "dosa asal", atau
"bidak di atas papan catur", atau "tabula rasa", atau "dikutuk karena kebebasannya".
Mengapa Tuhan Yang Mahakuasa dan Pengasih menciptakan seorang manusia yang
"membawa dosa asal" dan secara abadi mengutuknya karena kesalahan yang tidakia lakukan?
Seperti yang secara tepat di tunjukkan oleh Kant, "Cara paling aneh untuk memahami
menyebarnya kejahatan dan kelangsungannya dalam sejarah kemanusiaan adalah dengan
membayangkan kejahatan itu datang kepada kita dan nenek moyang kita pertama dan disalurkan
lewat 'keturunan'."4 Gagasan mengenai dosa asal mengandung pengertian bahwa dosa itu dapat
disalurkan secara genetik dan setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini sudah tertular oleh
kegagalan dan dosa orang lain. Lebih lanjut, jika sang "penyelamat" harus datang ke dunia untuk
"menebus" dosa asal yang tidak ia lakukan, mengapa ia begitu terlambat datang dalam sejarah
dan tidak menampakkan dirinya pada manusia pertama di bumi? Jika manusia "dilahirkan dalam
keadaan berdosa" bagaimana ia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya? Dengan
demikian maka konsep "dosa asal" sangat bertentangan dengan tanggung jawab individu
terhadap semua perbuatannya yang secara tegas ditekaukan oleh Al-Qur'an (al-An'aam: 164; al-
Israa 15; Faathir: 18; az-Zumar: 38; dan an-Najm: 38). Konsep demikian, seperti yang secara
jitu ditunjukkan oleh Lewis, "sangat berbahaya" karena meniadakan rasa tanggung jawab, karena
kesalahan kolektif itu bukan merupakan kesalahan siapa-siapa secara khusus".5
Konsep dosa asal juga bertentangan dengan sifat Allah Rahman dan Rahim (Yang Maha
Pengasih dan Penyayang), yang selalu diulang-ulang oleh setiap maslim selama hidupnya.. Sukar
dinalar oleh manusia. mengapa Tuhan yang Maha Pengasih berbuat begitu tidak adil dengan
menularkan dosa kepada semua manusia karena kesalahan yang dilakukan oleh nenek moyang
pertama mereka. Mustahil Tuhan berbuat demikian mengingat Ia Maha Kasih dan Maha
Pengampun dan memiliki nama-liama dan sifatsifat yang terpuji (al-Araaf:180). Karena itu, tidak
mengherankan jika kaum rasionalis dan romantis abad ke-19 menolak konsep hakikat dosa asal,
seperti halnya mayoritas filosof modern.6
Begitu pula konsep "bidak" dan "tabula rasa" yang dijumpai pada mayoritas teori Barat
tentang hakikat manusia menurunkan kemanusiaan pada kedudukan yang tidak signifikan dengan
menolak eksistensi ruh abadi yang berdiri sendiri dan (berkeyakinan) mampu menentukan
tujuannya sendiri dengan mempengaruhi kekuatan-kekuatan sekitarnya. Semua teori ini
mengandung arti bahwa jiwa manusia itu seperti kertas kosong yang isinya merupakan rekaman
Laktor-faktor eksternal dan kesan apa pun yang dipilih. Dalam pandangan ini, manusia pasif dan
malang; mereka tidak memiliki misi hidup. Kehidupan mereka ditentukan oleh kekuatan-
kekuatan materiil sejarah (Marx), atau dikondisikan oleh faktor-faktor psikologis (Freud), faktor-
faktor in stintif (Lorenz), dan pengaruh lingkungan (Pavlov, Watson, Skinner, dan lainnya). Hal
ini menyebabkan, selangkah dengan Skinner, diterimanya keabsahan bahwa "kebebasan individu
adalah suatu mitos".7 Determinisme dan tanggung jawab manusia tidak dapat dipadukan satu
sama lain.8 Determinisme tidak saja memerosotkan martabat manusia, tetapi juga meniadakan
tanggung jawab untuk mengubah kondisi yang berlaku, dan membiarkan distribusi sumber-
sumber daya yang tidak adil dan tidak efisien.
Determinisme mengandung arti bahwa kondisi manusia tidak dapat berubah kecuali
kekuatan-kekuatan psikis, struktur sosial, dan kondisi materiil kehidupan berubah. Namun, siapa
yang akan mengubah ini semua, jika manusia merupakan makhluk pasif dan kehidupan mereka
telah ditentukan dan dikondisikan? Lebih lanjut, sekiranya kehidupan itu telah ditentukan maka
"alienasi" juga merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan darinya. Kaum borjuis dan proletar
tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas kondisi demikian. Karena itu, mengapa menyalah-
kan "alienasi" kaum pekerja kepada borjuis atau meminta pekerja untuk memberontak? Hakikat
eksistensi manusia yang telah ditentukan seharusnya, secara definisi, tidak dapat diubah oleh
usaha manusia. Resep Marxsis untuk menghapuskan kaum borjuis dan kekayaan privat, serta
menggantikan kedudukannya dengan despotisme negara, tidak lain hanya mengantarkan jenis
determinisme lain dalam kehidupan manusia, yaitu yang dipaksakan oleh politbiro.
Pada sisi ekstrem lain adalah determinisme eksistensialisme Sartre. 9 Karena tidak ada
Tuhan, manusia "dikutuk karena kebebasannya". Tidak ada Batas bagi kebebasannya kecuali ia
tidak bebas untuk menjadi tidak bebas. 10 Setiap aspek kehidupan mental manusia adalah
dikehendaki, dipilih, dan merupakan tanggung jawabnya. Jelas ini merupakan perbaikan konsep
determinisme. Namun, untuk Sartre kebebasan ini mutlak, segala sesuatu diperbolehkan. Tidak
ada anti hakikat atau tujuan inheren dalam kehidupan manusia, apakah itu hukum-hukum Tuhan
atau forma-forma Platonis atau yang lainnya. Manusia adalah makhluk "malang" dan
"ditinggalkan" dalam dunia untuk mengikuti dirinya sendiri. Satu-satunya fondasi bagi nilai
adalah kebebasan manusia itu sendiri, nilai-nilai yang dapat dipilih oleh siapa saja. 11 Konsep
kebebasan mutlak seperti ini hanya akan mengantarkan kepada konsep kapitalis laissezfaire dan
netralitas nilai. Tak ada lagi persoalan untuk memiliki nilai-nilai yang disepakati, dan usaha
memagari batas-batas kebebasan individu untuk menciptakan keharmonisan antara kepentingan
individu dan sosial atau menciptakan alokasi dan sumber-sumber daya yang adil dan efisien,
yang secara otomatis tidak diciptakan oleh pasar.
Sangat berbeda dengan gagasan ini adalah konsep khilafah yang memandang manusia
memiliki status terhormat dan mulia dalam jagat raya (al-israa': 70) dan memberikan nilai dan
misi kepada kehidupan manusia. Nilai ini diberikan dengan keyakinan bahwa mereka tidak
diciptakan sia-sia (Ali Imran: 192; dan al-Mu'rninuun:115), melainkan untuk mengemban sebuah
misi. Misi mereka adalah untuk bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran Tuhan, meskipun mereka
dalam keadaan bebas. Inilah yang dikandung oleh pengertian ibadah atau persembahan (adz-
Dzaariyaat: 56) dalam pengertian Islam, suatu kewajiban perorangan terhadap orang lain
(huququl ibad), mendorong kemakmuran dan mengaktualisasikan maqashid. Karena itu, tidak
mengherankan jika Islam, seperti agama-agama besar lainnya, menempatkan penekanan lebih
besar pada kewajiban daripada hak-hak.12 Hikmah asasi di balik ini adalah, jika kewajiban--
kewajiban itu telah dipenuhi oleh setiap orang, kepentingan diri sendiri (self interest) secara
otomatis akan dapat dikendalikan dan hak-hak semua orang akan dapat dilindungi.
Keberhasilan mengemban misi ini menuntat peningkatan spiritual melalui komitmen total
terhadap Pencipta, Yang Mahabijaksana, Mahaadil, Maha Penyayang, dan Maha Mencintai, dan
komitmen kepada petunjuk yang telah diberikan oleh-Nya. Manusia harus menyerahkan diri
hanya kepada-Nya, harus tunduk hanya kepada nilai-Nya, dan mengemban hanya amanat-Nya.
Mereka bertanggung jawab kepada-Nya bagi semua perbuatannya. Namun, mereka hanya
bertanggung jawab atas apa yang telah mereka kerjakan (al-An'aam: 164; al-Israa': 15; dan
Faathir: 18) dan bukan perbuatan orang lain, kecuali mereka sendiri yang menjadi penyebab
utamanya. Meskipun mereka akan mati (Ali Imran: 185; anNisaa': 78; dan al-Ankabuut: 57),
kehidupan mereka tidak berhenti di dunia ini saja, yang merupakan tempat ujian dan cobaan yang
bersifat sementara. Kehidupan mereka yang sebenarnya adalah di akhirat, tempat mereka akan
disiksa atau diganjar menurut tanggung jawab yang mereka emban di dunia. Mereka tidak dapat
meloloskan din dan pengadilan Tuhan. Dengan demikian, kehidupan mereka tidak "berakhir
dengan kehancuran sistem tata surya", dan seluruh hasil prestasi manusia tidak akan "dikubur di
bawah reruntuhan jagat raya", seperti yang secara pesimistis diperkirakan oleh Bertrand
Russell.13
Konsep khilafah memiliki sejumlah implikasi, yaitu sebagai berikut.
a. Persaudaraan Universal
Khilafah mengandung pengertian persatuan dan persaudaraan fundamental umat manusia.
Setiap orang adalah khalifah dan bukan hanya orang tertentu saja, atau anggota-anggota ras
tertentu atau kelompok atau negara. Konsep ini menimbulkan persamaan sosial dan mengangkat
martabat semua manusia; apakah mereka berkulit putih atau hitam, berkedudukan rendah atau
tinggi, sebagai suatu elemen pokok keimanan Islam. Kriteria untuk menentukan nilai seseorang
bukan didasarkan pada ras, keluarga, atau kekayaannya, tetapi pada karakternya (yang
merupakan refleksi keimanannya dan praktek kesehariannya) dan perhatiannya kepada sesama. 14
Rasulullah saw. secara tegas mengatakan,
"Semua manusia bergantung kepada Allah dan yang terbaik di sisi Allah di antara mereka
adalah yang paling bergantung kepada-Nya."15
Dalam kerangka konsep persaudaraan ini, sikap yang benar terhadap sesama manusia
bukanlah "kekuatan itu yang benar", berjuang untuk "kepentingan din sendiri", atau "si kuat yang
menang", tetapi pengorbanan dan kerja sama yang saling menguntungkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok semua orang, mengembangkan potensi seluruh kemanusiaan, dan memperkaya
kehidupan manusia.16 Karena itu persaingan akan tetap didorong sepanjang hal itu sehat,
meningkatkan efisensi dan membantu mendorong kesejahteraan manusia, yang merupakan
keseluruhan tujuan Islam. Sekiranya kompetisi tersebut melampui batas dan mengakibatkan
nafsu pamer dan kecemburuan serta mendorong kekejaman dan perusakan, maka ia harus
dikoreksi.17
ADALAH (Keadilan)
Persaudaaraan yang merupakan bagian integral dari konsep tauhid dan khilafah akan tetap
menjadi konsep kosong yang tidak memiliki substansi, jika tidak dibarengi dengan keadilan
sosio-ekonomi.25 Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha sebagai isi pokok maqashid asy-
syari'ah, sehingga mustahil melihat sebuah masyarakat muslim, yang tidak menegakkan keadilan
di dalamnya. Islam tegas sekali dalam menegakkan tujuannya menghapuskan semua bentuk
kezaliman (zulm) dari masyarakat manusia, yang merupakan istilah komprehensif Islam untuk
mengacu semua bentuk ketidakadilan, ketidakmerataan, eksploitasi, penindasan, dan kekeliruan,
sehingga seseorang menjauhkan hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap
mereka.26
Penegakan keadilan dan penghapusan semua bentuk ketidakadilan telah ditekankan dalam
Al-Qur'an sebagai misi utama para Rasul Allah (alHadiid: 25). Tidak kurang dari seratus
ungkapan yang berbeda-beda dalam Al-Qur'an mengandung makna keadilan, baik secara
langsung seperti ungkapan 'adl, qisth, mizan, atau variasi ekspresi tidak langsung. Di samping
itu, terdapat lebih dari dua ratus peringatan dalam Al-Qur'an yang menentang ketidakadilan
seperti zulm, itsm, dhalal, dan lainnya.27 Bahkan, Al-Qur'an menempatkan keadilan "paling
dekat" kepada takwa (al-Maa'idah: 8) karena begitu pentingnya ia dalam struktur keimanan
Islam. Secara alami, ketakwaan adalah faktor yang paling penting karena menjadi batu loncatan
bagi semua amal saleh termasuk keadilan. Rasulullah saw. bahkan lebih menekankan lagi. Beliau
menyarankan ketiadaan keadilan dengan "kegelapan absolut" dan memperingatkan,
Jauhilah kezaliman karena kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat." 28
Karena itu tidak mengherankan, Ibnu Taimiyyah berani menyatakan bahwa,
"Allah menyukai negara adil meskipun kafir, tetapi tidak menyukai negara tidak adil
meskipun beriman, dan dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman,
tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. "29
Ketidakadilan dan Islam berbeda satu sama lain dan tidak dapat hidup berdampingan tanpa
salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.
Komitmen Islam yang begitu intens kepada persaudaraan dan keadilan menuntut semua
sumber-sumber daya di tangan manusia sebagai suatu titipan sakral dan Allah dan harus
dimanfaatkan untuk mengaktualisasikan magashid asy-syari'ah. Empat di antaranya akan dibahas
di sini, yaitu: (1) pemenuhan kebutuhan pokok; (2) sumber pendapatan yang terhormat; (3)
distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata; dan (4) pertumbuhan dan stabilitas.