Anda di halaman 1dari 16

DEFINISI

Herpes zozter adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-
zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus
yang terjadi setelah infeksi primer.(1)

EPIDEMIOLOGI
Penyebaran herpes zoster sama seperti varisela. Penyakit ini, merupakan
reaktivasi virus yang terjadi setelah penderita mendapat varisela. Kadang
kadang varisela ini berlangsung subklinis. Tetapi ada pendapat yang menyatakan
kemungkinan transmisi virus secara aerogen dari pasien yang sedang menderita
varisela atau herpes zoster. Virus varicella-zoster menyebabkan dua sindrom yang
berbeda. Infeksi primer muncul sebagai varicella (cacar). Penyakit ini menular
dan biasanya terjadi pada anak-anak. Reaktivasi virus varicella-zoster laten di
serabut ganglia dorsalis menyebabkan erupsi kulit yang disebut "herpes zoster"
(atau "shingles"). Penurunan virus-specific cell-mediated immune (CMI)
responses terjadi alamiah pada proses penuaan yang menyebabkan
immunosuppressive illness atau perawatan medis, yang meningkatkan terjadinya
shingles.(1)
Insidens herpes zoster meningkat dari tahun ke tahun, terutama pada
kelompok usia lebih dari 50 tahun. Bertambahnya usia adalah faktor risiko utama
untuk terjadinya herpes zoster. Di Amerika Serikat, terjadi peningkatan insidens
dari 1,7/1000 orang pada tahun 1993 menjadi 4,4/1000 orang pada tahun 2006.
Peningkatan tertinggi pada kelompok usia lebih dari 65 tahun, yakni hingga 3 kali
lipat selama periode tersebut. Peningkatan insidens herpes zoster juga dilaporkan
di Australia dari rata-rata 4,7/1000 orang pada periode April 2000 hingga
September 2006 menjadi 5,6/1000 orang pada periode Oktober 2006-Maret 2013.
(2)
Berdasarkan kelompok usia, insidens tertinggi terdapat pada kelompok
usia lebih dari 80 tahun, diikuti kelompok usia 70-79 tahun, dan kemudian usia
60-69 tahun. Kenaikan insidens herpes zoster diikuti dengan peningkatan angka
rawat inap. Sekitar 1-4% penderita herpes zoster memerlukan rawat inap akibat
komplikasi dan sekitar 30% merupakan kelompok lansia dan penderita
imunosupresi, seperti kanker, infeksi HIV, pernah menjalani transplantasi organ,
atau pasien yang sedang menjalani terapi obat imunosupresan.(2)
Angka kematian akibat herpes zoster 0,51/1.000.000 orang setiap tahun,
hampir semua terjadi pada kelompok lanjut usia atau pasien dengan penurunan
imunitas tubuh. Keluaran penyakit herpes zoster meliputi sembuh hingga
komplikasi cukup serius, yaitu neuralgia pascaherpetika. Sekitar 13% dari 874
pasien dengan herpes zoster menderita neuralgia pascaherpetika. Dengan
menggunakan skala nyeri satu hingga sepuluh, didapatkan nilai rerata neuralgia
pascaherpetika sebesar 6,5 pada keadaan sehari-hari dan 7,5 pada saat nyeri
terberat muncul; 56% responden melaporkan nilai nyeri sebesar 8 hingga 10 saat
nyeri terberat dirasakan. Meskipun telah menjalani pengobatan untuk herpes
zoster dan neuralgia pascaherpetika, dilaporkan bahwa hanya 15% pasien
mengalami resolusi total nyeri, dan sebanyak 5% tidak mengalami perbaikan nyeri
sama sekali. Efek samping pengobatan herpes zoster dirasakan oleh 26%
responden dengan keluhan tersering adalah mengantuk, nyeri ulu hati, dan
vertigo. Beberapa terapi neuralgia pascaherpetika seperti pregabalin, dapat
meredakan rasa nyeri secara signifikan, tetapi tidak dapat menghilangkan nyeri
secara total. Akibatnya, neuralgia pascaherpetika berdampak signifikan terhadap
penurunan kualitas hidup.(2)
Tingginya infeksi varicella di Indonesia terbukti pada studi yang dilakukan
Jufri dkk tahun 1995-1996, dimana 2/3 dari populsi berusia 15 tahun seropositif
terhadap antibody varisella. Dari total 2232 pasien herpes zoster pada 13 rumah
sakit pendidkan di Indonesia (2011-2013) didapatkan puncak kasus herpes zoster
terjadi pada usia 45-64 : 851 (37.95% dari total kasus herpes zoster), trend herpes
zoster cenderung pada usia yang lebih muda, wanita cenderung mempunyai
insiden yang lebih tinggi, total kasus nyeri post herpetic (NPH) adalah 593 kasus
(26.5% dari total kasus herpes zoster), puncak kasus NPH pada usia 45-64 tahun
yaitu 250 kasus (42% dari total kasus NPH).(3)
ETIOLOGI
Herpes zozter disebabkan oleh infeksi Varicella zoster virus (VZV) yang
menyerang kulit dan mukosa. Virus varicella adalah virus DNA, alphaherpesvirus
dengan besar genom 125.000 bp, berselubung/berenvelop, dan berdiameter 80-
120 nm. Virus mengkode kurang lebih 70-80 protein, salah satunya ensim
thymidine kinase yang rentan terhadap obat antivirus karena memfosforilasi
acyclovir sehingga dapat menghambat replikasi DNA virus. Virus menginfeksi sel
Human diploid fibroblast in vitro, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel dan sel
epidermal in vivo untuk replikasi produktif, serta sel neuron. Virus varicella dapat
membentuk sel sinsitia dan menyebar secara langsung dari sel ke sel.

Gambar 2.1. Morfologi dan struktur Varicella zoster virus (VZV)


Infeksi primer dengan VZV atau varicella pada umumnya ringan,
merupakan penyakit self limited yang biasanya ditemukan pada anak-anak
ditandai dengan demam ringan dan disertai vesikel berisi cairan yang gatal pada
seluruh tubuh. Sesudah infeksi primer varicella, VZV menetap dan laten dalam
akar ganglion sensoris dorsalis. Sesudah beberapa dekade, virus neurotropik ini
dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan herpes zoster. Zoster ditandai
dengan erupsi vesikel unilateral yang nyeri, khas nya mengikuti dermatom saraf
sensorik.

PATOGENESIS
Varicella ditransmisi melalui rute respirasi. Virus menginfeksi sel epitel dan
limfosit di orofaring dan saluran nafas atas atau pada konjungtiva, kemudian
limfosit terinfeksi akan menyebar ke seluruh tubuh. Virus kemudian masuk
kekulit melalui sel endotel pembuluh darah dan menyebar ke sel epitel
menyebabkan ruam vesikel varicella. Penularan dapat terjadi melalui kontak lesi
di kulit. Lesi vesikular akan berubah menjadi pustular setelah infiltrasi sel radang.
Selanjutnya lesi akan terbuka dan kering membentuk krusta, umumnya sembuh
tanpa bekas. Waktu dari pertama kali kontak dengan VZV sampai muncul gejala
klinis adalah 10-21 hari, rata-rata 14 hari. Setelah infeksi primer, virus akan
menginfeksi secara laten neuron ganglia cranial dan dorsal.
Selama perjalanan dari varicella, VZV melalui lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal
sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus membentuk
infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada
dermatom dimana ruam varicella terbanyak yang diinervasi oleh saraf oftalmikus
dari ganglia sensoris trigeminal dari T1 ke L2.

Walaupun virus laten di ganglia mempertahankan potensi untuk


infektivitas penuh, reaktivasi bias sewaktu-waktu dan jarang, infeksi virus
tidak tampak saat fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi VZV
laten tidak jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan immunosupresi,
stres emosional, iradiasi dari sumsum tulang belakang, keterlibatan tumor,
serabut ganglion dorsalis, atau struktur yang berdekatan, trauma lokal,
manipulasi bedah tulang belakang , dan sinusitis frontalis (sebagai endapan
zoster oftalmica). Yang paling penting adalah penurunan kekebalan seluler VZV
spesifik yang terjadi dengan bertambahnya usia.
Ketika kekebalan seluler VZV spesifik berada pada beberapa tingkat
kritis, reakticasi virus tidak terkandung lagi. Virus berkembang biak dan
menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan
parah, sebuah proses yang sering disertai dengan neuralgia parah. Infeksi VZV
kemudian menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik, menyebabkan
neuritis parah, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir di kulit, di mana
ia menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran infeksi ganglionic
proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan hasil serabut di
leptomeningitis lokal, pleocyosis cairan serebrospinal, dan myelitis segmental.
Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akun akar saraf anterior untuk
palsi lokal yang mungkin menyertai erosi kulit, dan infeksi berkelanjutan dalam
sistem saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan komplikasi herpes zoster
(meningoenchepalitis, myelitis).
Gambar 2.2. Varicella dan herpes zoster A. Selama infeksi (varicella
dan cacar air) primer varicella-zoster virus (VZV) virus menginfeksi
ganglia sensoris. B. VZV tetap dalam fase laten dan tinggal dalam
ganglia C. Indiviual dengan fungsi kekebalan tubuh berkurang, VZV
aktif kembali dalam ganglia sensoris, melalui saraf sensorik, dan
direplikasi di kulit.

Patogenesis nyeri pada Herpes Zoster dan Postherpetic Neuralgia.


Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala ini
dan umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam sudah
sembuh, dengan komplikasi yang dikenai sebagai postherpetic neuralgia (PHN).
Sejumlah mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih tampaknya terlibat
dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN.
Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di
ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih
terasa nyeri di kulit. Rilis yang berlebihan dari pengeluaran asam amino dan
neuropeptida yang disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls
afferent selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster kemungkinan dapat
menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan interneuron di
sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang,
ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam patogenesis PHN. Kerusakan
saraf aferen primer dapat menjadi aktif secara spontan dan peka terhadap
rangsangan rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi nosiseptor yang
berlebihan dan impuls ektopik mungkin, menurunkan sesitivitas SSP.
penambahan dan perpanjangan rangsangat pada pusat itu berbahaya. Pada klinis,
ini dinamakan allodynia (nyeri dan/atau sensasi yang tidak menyenangkan yang
ditimbulkan oleh rangsangan yang biasanya tidak menimbulkan nyeri (sentuhan
ringan) dengan rangsang sensori sedikit atau tidak ada sama sekali.

Gambar 2.3. Patogenesis PHN.

GEJALA KLINIS
Terbagi menjadi tiga stadium antara lain :

Stadium prodromal :
Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang
terkena disertai dengan panas, malaise dan nyeri kepala.
Stadium erupsi :
Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2
hari akan timbul gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan
kulit diantara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain
adalah sama sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama.
Lokasi lesi sesuai dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis tengah
dari tubuh.

Stadium krustasi :
Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2
minggu. Sering terjadi neuralgi pasca herpetica terutama pada orang tua
yang dapat berlangsung berbulan-bulan parestesi yang bersifat sementara.
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi lesi baru
yang tetap timbul brlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi
berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Disamping gejala kulit dapat juga
dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini
adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan. Pada
susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf
pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan
hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena member gejala yang khas.
Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus
trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion
genikulatum).
Gambar 2.4. Dermatom pada Herpes Zoster.

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus


trigeminus, sehingga menimbulkan kelainan pada mata, disamping itu juga
cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya,
seperti pada mulut, telinga, faring atau laring.

Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus facialis dan


nervus optikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot-otot wajah. Jika
kombinasi herpes zoster pada telinga luar atau pada membran timpani, disertai
atau tanpa tinitus, vertigo dan penurunan pendengaran, nistagmus dan nausea
juga terdapat gangguan pengecapan. karena mengenai nervus facialis dan nervus
auditorius.
Herpes zoster generalisata kelainan kulitnya unilateral dan segmental
ditambah kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikel yang
soliter dan ada umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua atau pada
orang yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma
maligna.
Neuralgia pascahepatik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah
bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri ini
dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi
nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari- hari. Kecenderungan ini
dijumpai pada orang yang mendapat herpes zoster diatas usia 40 tahun.

PENEGAKAN DIAGNOSA
Teknik yang sama digunakan untuk mendiagnosis varicella dan
mendiagnosa herpes zoster. Tampilan klinis seringkali cukup untuk menegakkan
diagnosis, dan pada hapusan Tzanck dapat mengkonfirmasi kecurigaan klinis.
Namun, lokasi atau penampilan dari lesi kulit mungkin atipikal (terutama pada
pasien immunocompromised) sehingga membutuhkan konfirmasi laboratorium.
Kultur virus dimungkinkan, tetapi virus varicella-zoster itu labil dan relatif sulit
untuk pulih dari penyeka lesi kulit. Sebuah uji direct imunofluorescence lebih
sensitif dibandingkan kultur virus dan memiliki keuntungan tambahan dari
biaya yang lebih murah dan waktu yang lebih cepat. Seperti kultur virus, direct

1
0
imunofluorescence assay dapat membedakan infeksi virus herpes simplex dengan
infeksi virus varisela-zoster. Teknik Polymerasechain-reaction (PCR) juga
berguna untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster di cairan dan jaringan.

A) Tzanck smear dan B) Direct Immunoflouscene assay

Herpes simplex zosteriform bisa dengan hasil positif untuk Tzanck


smear, namun jumlah lesi biasanya lebih terbatas dan derajat nyeri
substansialnya kurang. Persiapan selain Tzanck, uji DFA lebih disukai untuk
kultur virus, karena cepat, identifikasi jenis virus, dan memiliki hasil yang
lebih akurat. Bila dibandingkan pada VZV, Tzanck smear adalah 75% positif
(sampai dengan 10% false-positif dan variabilitas yang tinggi, tergantung pada
keterampilan edema interseluler dan intraseluler).

Bagian atas dari dermis, dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi
perivaskular limfosit dan leukosit polimorfonuklear, Limfosit atipikal
mungkin juga ditemukan. Sebuah vaskulitis leukocytoclastic mendasari kesan
infeksi VZV selama HSV. Inflamasi dan perubahan degeneratif juga dicatat
dalam serabut ganglia posterior dan serabut saraf dorsalis yang terkena. Lesi
sesuai dengan sistem persarafan dari ganglon saraf yang terkena, dengan nekrosis
sel-sel saraf.

PENATALAKSANAAN(1)(3)

Dalam penatalaksanaan Herpes Zoster (HZ), dikenal strategi 6 A:


1. Attract patient early
2. Asses patient fully

1
1
3. Antiviral therapy
Efektivitas antiviral dalam menurunkan insidens, beban penyakit HZ,
durasi HZ, serta nyeri berkepanjangan telah dievaluasi secara metaanalisis,
multicenter randomized doubleblind controlled trial. Masuk dalam kategori
high degree of confidence
Tambahan terapi
4. Analgetik
5. Antidepressant/antikonvulsant
6. Allay anxietascounselling
Efikasinya inkonsisten; merupakan hasil dari uncontrolled multiple clinical
trial dan clinical experiences. Masuk dalam kategori moderate confidence
1. Attract patient early :
a) Pasien
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal, pengobatan sedini
mungkin dalam 72 jam setelah erupsi kulit.
b) Dokter
Diagnosis dini
Anamnesis dan pemeriksaan fisik secara seksama dan lengkap.
2. Asses patient fully :
Memperhatikan kondisi khusus pasien misalnya usia lanjut, risiko NPH, risiko
komplikasi mata, sindrom Ramsay Hunt, kemungkinan immunocomprimised,
kemungkinan defisit motorik dan kemungkinan terkenanya organ dalam.
3. Antiviral
Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada :
a. usia > 50 thn
b. dengan risiko terjadinya NPH
c. HZO / sindrom Ramsay Hunt / HZ servikal / HZ sacral
d. imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi.
e. Anakanak, usia < 50 tahun dan perempuan hamil diberikan terapi
antiviral bila disertai: risiko terjadinya NPH, HZO/sindrom Ramsay Hunt,
imunokompromais, diseminata/generalisata dengan komplikasi.
Pengobatan Antivirus :
a. Asiklovir dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 710 hari atau
b. Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB/hari
c. Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari atau

1
2
d. Famsiklovir atau pensiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari.
Catatan khusus :
Pemberian antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam
bila masih timbul lesi baru/ terdapat vesikel berumur < 3 hari.
Bila disertai keterlibatan organ viseral diberikan asiklovir
intravena 10 mg/kgBB, 3x per hari selama 510 hari. Asiklovir dilarutkan
dalam 100 cc NaCl 0,9% dan diberikan tetes selama satu jam.
Untuk wanita hamil diberikan asiklovir
Untuk herpes zoster dengan paralisis fasial/kranial, polineuritis, dan
keterlibatan SSP dikombinasikan dengan kortikosteroid walaupun
keuntungannya belum dievaluasi secara sistematis
Pengobatan Antivirus pada pasien imunokompromais
a. Asiklovir dewasa : 45 x 800 mg/hari atau
b. Asiklovir iv 3 x 10 mg/kgBB/hari pada highly
imunocompromais, multi semental/diseminata
c. Valasiklovir untuk dewasa : 3 x 1 gram/hari atau
d. Famsiklovir untuk dewasa : 3 x 500 mg/hari.
e. Pada kasus yang hebat selain pemberian IV acyclovir ditambahkan Interfer
on Alpha 2a.
f. Acyclovir resisten diberi Foscarnet
g. Pengobatan dapat dilanjutkan dengan terapi supresi terutama bila
gejala klinik belum menghilang : berikan acyclovir 2 x 400 mg
perhari atau Valacyclovir 500 mg perhari.
h. Peningkatan sistem imun
1. Pemberian imunomodulator seperti interferon
2. Pemberian Isoprinosine
i. Suportif sel Jaringan mencegah stress jaringan dan apoptosis:
1. Anti oksidan
2. Memperbaiki protein dan karbohidrat
Catatan : lama pemberian antiviral sampai stadium krustasi

Dosis Asiklovir anak


< 12 tahun : 30 mg/kgBB 7 hari
12 tahun : 60 mg/kgBB 7 hari

1
3
4. Analgetik :
a. Nyeri ringan : parasetamol/NSAID
b. Nyeri sedang sampai berat : kombinasi opioid ringan (tramadol, kodein
)

5. Allay anxietascounselling :
a. Edukasi mengenai penyakit herpes zoster untuk mengurangi kecemasan
serta ketidakpahaman pasien tentang penyakit dan komplikasinya
b. Mempertahankan kondisi mental dan dan aktivitas fisik agar tetap optimal
c. Memberikan perhatian dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya.

Pengobatan topikal
Menjaga lesi kulit agar kering dan bersih
Hindari antibiotik topikal kecuali ada infeksi sekunder
Rasa tidak nyaman, kompres basah dingin steril/ losio kalamin
Asiklovir topikal tidak efektif
Terapi suportif
Istirahat, makan cukup
Jangan digaruk
Pakaian longgar
Tetap mandi

TERAPI NPH
Tujuan : agar pasien dapat segera melakukan aktivitas sehari-hari.
Terapi farmakologik lini pertama: masuk dalam kategori medium
to high efficacy, good strength of evidence, low level of side effect
Terapi non-farmakologik : masuk dalam kategori reports of benefit
limited

1
4
Terapi NPH (Nonfarmakologik)
Neuroaugmentif
Counter iritation
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
Stimulasi deep brain
Akupunktur
Low intensity laser therapy
Neurosurgikal
Psikososia

PENCEGAHAN (buku herpes 2011 dan 2014)


Metode pencegahan dapat berupa:
Dengan cara pemakaian asiklovir jangka panjang dengan dosis
supresi. Misalnya, asiklovir sering diberikan sebagai obat
pencegahan pada penderita leukemia yang akan melakukan
transplantasi sumsum tulang dengan dosis 5 x 200 mg/hari, dimulai
7 hari sebelum transplantasi sampai 15 hari sesudah transplantasi.
Pemberian vaksinasi dengan vaksin VZV hidup yang
dilemahkan (Zostavax), sering diberikan pada orang lanjut usia
untuk mencegah terjadinya penyakit, meringankan beban penyakit,
serta menurunkan terjadinya komplikasi NPH. Vaksin herpes zoster

1
5
ditujukkan untuk mencegah terjadinya herpes zoster dengan
meningkatkan kekebalan tubuh-VZV spesifik, yang merupakan
mekanisme untuk melindungi diri terhadap reaktivasi VZV dan
komplikasinya. Mekanisme kerjanya: vaksin ini akan mengontrol
reaktivasi laten VZV sehingga mencegah terjadinya Herpes Zoster.
Selain itu, vaksin ini akan mengontrol replikasi dan penyebaran VZV
ke kulit sehingga akan mengurangi kerusakan neurologis, mengurangi
keparahan dan durasi nyeri, dan mengurangi insiden NPH.
Perbedaan antara vaksin varicella (yang telah digunakan untuk
mencegah cacar air pada anak-anak) adalah bahwa vaksin herpes
zoster berisi 19.400 plaque forming unit per dosis, 14 kali lipat
lebih virion. Vaksinasi Zoster Vaccine Live (OKA/MERCK)
meningkatkan kekebalan seluler spesifik untuk virus varicella yang lebih
tinggi dari respon imun infeksi alamiah, antigen yang lebih tinggi
sesudah replikasi dan keberadaan antigen lebih bertahan lama. Vaksin
ini secara signifikan meningkatkan cell-mediated immunity spesifik VZV.
Sel T memori yang dihasilkan bertahan seumur hidup bahkan
tanpa paparan antigen.

DAFTAR PUSTAKA
1. Handoko RP. Penyakit Virus. In: Djuananda A, Hamzah M, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 1103.

2. Adiwinata R, Suseno E. Peran Vaksinasi Dalam Pencegahan Herpes Zoster.


CDK. Jakarta; 2016;43(6):13.

3. Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSH). Buku Panduan Herpes Zoster Di


Indonesia. Pusponegoro EH, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF,
Djauzi S, editors. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014. 1-60 p.

1
6

Anda mungkin juga menyukai