BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit pada paru secara garis besar dibagi dalam 2 kelompok, yaitu
penyakit paru restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah keterbatasan kemampuan
paru untuk mengembang dan mengempis sesuai aliran udara yang masuk dan
keluar. Restriksi paru dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya fibrosis,
debris atau sisa infeksi (pneumonitis) maupun gangguan pada neuromuskular
(Caronia, 2014). Sementara, obstruksi adalah sumbatan saluran napas (dalam hal
ini ialah paru). Sumbatan ini dapat disebabkan oleh fibrosis, cairan, partikel solid
ataupun benda lain yang bisa berada di dalam paru. PPOK termasuk ke dalam
kelompok penyakit paru obstruksi.
2.1.2. Patogenesis
emfisema dapat disebabkan 4 proses yang saling berkaitan: (1)paparan kronis asap
rokok menyebabkan akumulasi mediator inflamasi di paru; (2)mediator ini akan
mensekresi elastolytic proitenases yang dapat merusak matriks ekstrasel;
(3)hilangnya matriks ekstrasel memicu kematian sel (apoptosis); (4)terjadi
perbaikan yang tidak efektif oleh elastin dan komponen matriks ekstrasel lainnya
sehingga menyebabkan pelebaran alveolus.
3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus
dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura (PDPI,
2003).
mukus yang berlebihan dapat menimbulkan obstruksi total. Fibrosis juga dapat
ditemukan pada mukosa yang nantinya juga memicu sekresi mukus yang berlebih
pula sehingga akan memperparah kondisi hambatan (Reilly, et al., 2012).
Batuk kronis. Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh untuk membuang atau
membersihkan saluran napas dari benda asing seperti dahak yang disekresi secara
berlebih oleh kelenjar mukus. Biasanya gejala yang pertama kali muncul adalah
batuk yang seringkali diabaikan karena pada umumnya bagi perokok, batuk
merupakan hal biasa dan belum mengganggu aktivitas. Namun seiring berjalannya
9
waktu, gejala ini akan secara progresif berkembang sampai dapat menyebabkan
kesulitan bernapas yang kemudian akan meresahkan penderitanya (Kenny, 2014).
Produksi Sputum. Menurut GOLD (2014), sebagai gejala dari bronkitis kronis,
produksi sputum teratur dan menetap selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut-
turut. Namun, hal ini dapat berubah-ubah sehingga tidak ada kisaran volume
sputum yang pasti untuk diagnosis PPOK.
2.1.4. Diagnosis
2.1.4.1. Anamnesis
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat bayi lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan berasap rokok
dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Gambar 2.2. Penilaian gejala PPOK dengan CAT dan mMRC Dyspnoe
scale (Sumber: GOLD, 2013).
12
Gejala tambahan:
1. Demam
2. Batuk bertambah
3. Mengi bertambah
tipe III (Ringan) Satu gejala utama ditambah satu gejala tambahan.
2.1.4.3.1. Inspeksi
13
2.1.4.3.2. Palpasi
2.1.4.3.3. Perkusi
2.1.4.3.4. Auskultasi
Pink Puffer
Pink Puffer adalah istilah untuk pasien dengan emfisema sebagai
penyebab utama muncul PPOK-nya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
emfisema merupakan keadaan yang dapat menyebabkan kemampuan alveolus
untuk mengembang saat inspirasi menurun akibat destruksi permukaan alveolus.
Dan secara bertahap juga dapat merusak kapiler pembuluh darah sehingga terjadi
penurunan aktivitas difusi. Oleh karena itu, pasien harus berkompensasi dengan
cara hiperventilasi (puff berarti terengah-engah atau mengepul). Jika
14
dibandingkan dengan Blue Bloater maka pasien ini akan memiliki corak warna
kulit lebih kemerahan (pink) dikarenakan mekanisme kompensasi yang dilakukan
untuk memenuhi oksigen jaringan (tidak terjadi hipoksemia) (Allen, 2009).
Blue Bloater
Sementara itu, Blue Bloater adalah istilah untuk pasien dengan bronkitis
kronis sebagai penyebab utama PPOK-nya. Bronkitis kronis ialah kondisi yang
disebabkan produksi mukus berlebihan serta penyempitan bronkus akibat
metaplasia kelenjar goblet dan proses inflamasi kronis pada dinding bronkus.
Berbeda dengan emfisema, tidak terjadi destruksi kapiler, maka respon tubuh
terhadap obstruksi ini adalah dengan mengurangi ventilasi dan meningkatkan
cardiac output. Hipoksemia akan terjadi lebih berat dibandingkan pada kondisi
Pink puffer sebagai akibat ventilation-perfusion mismatch. Keadaan hipoksemia
ini semakin lama akan menyebabkan sianosis yang tampak pada warna kulit
kebiruan (Allen, 2009).
2.1.4.4.1. Spirometri
15
atau
VEP1<50%
prediksi dengan
gagal napas atau
adanya tanda
gagal jantung
kanan
tahun
Tabel 2.3. Tipe pasien PPOK dari penilaian kombinasi (Sumber: GOLD
Revised 2011, tersedia dari goldcopd.org diakses: 20 Mei 2014)
Umumnya normal
Corakan bronkoalveolar bertambah
Radiologi Emfisema
Stadium lanjut:
18
Diafragma mendatar
Jantung pendulum
Bullae multipel
2.1.4.4.4.5. Ekokardiografi
Untuk mengetahui infeksi bakteri dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia (PDPI, 2003).
Gejala bervariasi
Gagal jantung kongestif Foto toraks menunjukkan dilatasi jantung, edema paru
Tabel 2.4. Diagnosis banding PPOK (Sumber: GOLD 2010 updated dalam
Harrisons Principles of Internal Medicine 18th ed., 2012:2151-2160)
2.1.6. Penatalaksanaan
Langkah intervensi awal yang harus diterapkan pada pasien PPOK ialah
berhenti merokok (Reilly, et al., 2012). Sebagai faktor risiko utama yang
melatarbelakangi munculnya penyakit ini, merokok harus dihentikan karena terapi
lain tidak akan berhasil apabila hal ini tidak dilakukan.
2.1.6.2. Bronkodilator
Digunakan untuk mengatasi sesak. Beta-2 agonis bekerja dengan cara merelaksasi
otot polos dengan cara meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP)
intraseluler. Pada penggunaan yang lebih banyak dapat mengindikasikan serangan
22
- Antikolinergik
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
- Golongan xantin
terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh golongan xantin adalah teofilin.
Teofilin merupakan phosphodiesterase inhibitor (PDEi) yang saat ini
penggunaannya sebagai terapi adjuvant dibatasi karna memiliki efek samping
signifikan seperti kecemasan, tremor, gangguan tidur, mual, gangguan irama
jantung (aritmia) dan kejang (Mosenifar, 2014). Maka pada penggunaan panjang
perlu dimonitor kadar aminofilin darah.
Dapat mengurangi sesak, dan pada pasien PPOK berat dapat meningkatkan fungsi
paru (Mosenifar, 2014). Contoh obatnya adalah Roflumilast (Daliresp).
- Kortikostreoid inhalasi
a. Lini I : - Amoksisilin
- Makrolid
- Ko-trimoksasole
- Sefalosporin
24
- Kuinolon
- Makrolid baru
Jika saat eksaserbasi pasien berada di rumah sakit, maka dapat diberikan
penanganan oksigen pada keadaan hipoksia. Terapi oksigen dengan cara yang
tepat adekuat.
-Ventilasi mekanik
2.1.7.1. Follow-up
Follow-up dapat dilakukan dalam 4-6 minggu pasca keluar dari rumah
sakit. Berdasarkan GOLD (2014), kriteria pasien dipulangkan dari rumah sakit:
25
1. Gagal Napas
2. Infeksi Berulang
3. Kor Pulmonale
4. Pneumotoraks
5. Bronkiektasis
6. osteoporosis
Sementara edukasi dapat diberikan pada masa rehabilitasi pasien. Hal yang
dapat dilakukan adalah:
2.2. ELEKTROKARDIOGRAFI
Secara anatomi menurut sudut pangang EKG, jantung terdiri dari 3 tipe
sel:
Menurut Ashley dan Niebauer (2006), EKG normal dapat dinilai dari
beberapa hal berikut ini:
a. Sinus rhythm (ritme sinus) apabila laju denyut jantung atau heart rate
dinilai dari banyaknya gelombang R dalam 1 menit pada orang dewasa
terbentuk sebanyak 60-100; interval R-R dan P-P teratur;
Denyut jantung dapat dihitung dengan cara:
1. Gelombang P berukuran kecil dan biasanya positif pada lateral kiri (I,
aVL, V5, V6) dan inferior (II, III, aVF); bifasik di sadapan III dan V1;
paling positif pada sadapan II; paling negatif pada sadapan aVR.
2. Kompleks QRS berukuran besar, gelombang R tinggi biasanya terlihat di
sadapan lateral kiri dan inferior. Gelombang R semakin meningkat
berurutan saat melintasi sadapan V1-V5. Gelombang Q yaitu depolarisasi
septum dapat dijumpai pada satu atau beberapa sadapan lateral kiri, dan
kadang pada inferior.
3. Gelombang T bervariasi, tetapi biasanya positif pada sadapan dengan
gelombang R yang tinggi.
d. Aksis normal
a. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF positif, maka sumbu jantung
(aksis) berada pada posisi normal.
33
b. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF negatif, jika resultan sadapan II
positif: aksis normal. Tetapi jika sadapan II negatif maka deviasi aksis ke kiri
(LAD= left axis deviation), berada pada sudut -30 sampai -90.
c. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF positif, maka deviasi aksis ke
kanan (RAD= right axis deviation) berada pada sudut +110 sampai +180.
d. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF negatif, maka deviasi aksis kanan
atas, berada pada sudut -90 sampai +180.
tersebut. Keadaan lain seperti hipoksemia dan hipoksia jaringan yang didukung
oleh keadaan inflamasi bronkus akan memperberat kondisi.
Laratta dan Van Eeden (2014) mengatakan bahwa pasien PPOK memiliki
risiko yang cukup tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskular seperti penyakit
jantung koroner, stroke, dan gagal jantung kongestif (kor pulmonal). Faktor risiko
lain yang dilaporkan dapat meningkatkan risiko pasien PPOK mengalami
manifestasi kardiovaskular adalah adanya hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner dalam keluarga, abnormal profil lipid, atau diabetes (ODonnell, et al.,
2008).
Telah banyak dilaporkan bahwa risiko mendapat penyakit kardiovaskular
meningkat pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Dalam populasi, pasien dengan
infeksi sistem pernapasan dalam 1-2 minggu dapat mengalami miokardiak infark
(segmen S-T elevasi/STEMI atau tidak/NSTEMI) dengan risiko 2-3 kali
dibanding yang tidak. Selain itu, berdasarkan Huiart, et al. (2009), pasien stabil
yang menggunakan kortikosteroid memiliki risiko yang lebih besar mendapat
miokardiak infark.
Hasil pemeriksaan EKG pada pasien PPOK dapat menganalisaadanya
penyakit jantung seperti iskemia atau aritmia. Pada PPOK stabil biasanya hanya
ada perubahan halus/sedikit pada EKG-nya dibanding dengan yang eksaserbasi
akut. Kelainan yang dapat terjadi adalah seperti: variasi interval R-R yang
berhubungan dengan derajat hipoksemia (Laratta dan Van Eeden, 2014). Studi
lain melaporkan variasi interval R-R juga dapat mengindikasikan gangguan irama
jantung akibat gangguan simpatis yang biasanya muncul pada pasien PPOK.
Kelainan hasil EKG lain dapat meliputi amplitudo gelombang P di sadapan II, III,
dan aVF yang lebih tinggi pada pasien PPOK dengan tekanan darah sistolik tinggi
(Humagain, et al., 2011), aksis gelombang P 90 sebagai indikasi adanya
hipertrofi ventrikel kanan, aksis kompleks QRS > 90. Deviasi aksis ke kanan
disebabkan oleh paru berekspansi yang memaksa jantung mengubah posisinya
lebih vertical sehingga berorientasi semakin ke kanan (Thaler, 2009).
Kelainan EKG dijumpai lebih tinggi pada pasien PPOK berat dibanding
dengan yang ringan-sedang (Holtzman, et al., 2011) seperti pembesaran atrium
35