Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)

I. Definisi
Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu gangguan dimana terjadi
koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang
malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti
leukemia dan kanker prostat, traktus GI dan paru-paru. Proses penyakit tertentu yang
umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis,
gagal hepar dan anfilaksis.
Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya
dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi
pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah
faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.

II. Etiologi
Beragam penyakit dapat menyebabkan DIC, dan secara umum melalui salah satu dari
dua mekanisme berikut.
1. Respon inflamsi sitemik, menyebabkan aktivasi jaringan sitokin dan selanjutnya
mengaktivasi proses koagulasi (cth: sepsis atau trauma mayor)
2. Pelepasan atau paparan materi prokoagulan ke dalam aliran darah ( cth: pada
kanker, injury otak atau kasus obstetrik)

Pada situasi tertentu, dapat muncul kedua manifestasi tersebut (cth: trauma mayor
atau pankretitis nekrotik).

Penyebab DIC akut

Infeksi : bakteri (sepsis gram negatif, infeksi gram positif,


rickettsia)

virus (cth: HIV, CMV, varicella-zoster virus, dan


hepatitis virus)

jamur (cth: histoplasma)

parasit (cth: malaria)


Malignansi Hematologi (cth: acute myelocytic leukemia)
:
Metastase (cth: mucin-secreting adenocarcinoma)

Abrupsio plasenta
Obstetri :
Emboli cairan amnion

Fatty liver akut pada kehamilan

Ekslampsia

Luka bakar
Trauma :
Kecelakaan bermotor

Keracunan bisa ular

Reaksi hemolitik tranfusi


Tranfusi :
Penyakit liver/ gagal hati akut

Pelaralatan prosthetic
Lain-lain :
Alat bantu ventrikel

Penyebab DIC kronis

Malignansi : Tumor padat

Leukemia

Obstetrik : Sindrom fetus mati dalam kandungan

Penahanan produk konsepsi

Hematologi : Sindrom myeloprolifferative

Vaskular : Rheumatoid arthritis


Raynaud disease

Kardiovaskular : Infark miokard

Inflamsi : Kolitis ulseratif

Crohn disease

Sarkoidosis

DIC Aneurisma aorta


terlokalisir :
Kassabach-merrit syndrom

Penolakan allograft ginjal akut

Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:

1. Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai


komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah.
2. Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang
menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
3. Penderita leukemia ,leukimia sering menyerang pada lansia,karena cendurung sensitif
terhadap benturan atau perlukaan yang dapat mengakibatkan mudah berdarah dan
mudah memar, juga sering nyeri pada sendi dan tulang.

Sedangkan orang - orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC:

1. Penderita cedera kepala yang hebat


2. Pria yang telah menjalani pembedahan prostate
3. Terkena gigitan ular berbisa
III. Patofisilogi
Meliputi 4 mekanisme yang terjadi secara simultan :
1. Pergerakan thrombin yang dimediasi oleh TF
2. Disfungi mekanisme fisiologis antikoagulan sehingga tidak effektif
mengimbangi pergerakan thrombin.
3. Kerusakan penbersihan fibrin karena depresi sistem fibronolitik.
4. Aktivasi inflamasi.
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah
secara sistemik. Trombosit yang menurun terus menerus, komponen fibrin bebas
yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar
yang mengarah curiga DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi
aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah,
sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang
mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan
platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan. Karena terdapat deposisi
fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang
menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya
fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan
perdarahan. Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus
perdarahan dalam waktu yang bersamaan,keadaan ini cukup menyulitkan untuk
dikenali dan ditatalaksana. Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan
mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua macam :

Pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan


darah.
Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada
sistem antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan
trombin secara terus-menerus.

Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga
menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di
pembuluh darah. Sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan
oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1.

Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi
peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan.

DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah. Karena banyak
sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula
penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan
darah ialah tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh
faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai
tanda telah terjadi pembekuan darah. Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga
hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme
antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VIIa
yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik.
Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama
pada jalur ekstrinsik.

Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan


trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-
sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan
juga dari sel-sel polimorfonuklear. Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah
yang mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan
pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor
trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar
ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh
enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta
sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan
dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga
diduga berperan sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem
protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan
down regulation trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial,
misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF-) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini
dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C
menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan terus menumpuk. Berbagai
penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa protein C berperan penting
dalam morbiditas dan mortalitas DIC. Selain antitrombin III dan protein C, terdapat
pula senyawa alamiah yang memang berfungsi menghambat pembentukan faktor-
faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway inhibitor
(TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan
memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma
sangatlah keci. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam
plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata
akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak
pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor
pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan
koagulasi di masa depan.

Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan
berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun
pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan
Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan
sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator
plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di
pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute
myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker
prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-
mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan
koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan
terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi
hingga kegagalan organ, bahkan kematian.

Jalur inflamasi dan koagulasi berinteraksi dengan cara saling menguatkan.


Terjadi komunikasi silang antara dua sistem tersebut, dimana inflamasi menigkatkan
aktivasi arus clotting dan dan hasil koagulasi sehingga merangsang aktivitas inflamsi
menjadi lebih hebat. Terdapat beragam pemicu berbeda yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hemostatis yang dapat meningkatkan tingkat kemampuan
koagulasi. Banyak faktor koagulasi teraktivasi yang diproduksi oleh DIC
berkontribusi dalam memicu inflamasi dengan cara menstimulus pelepasan sel sitokin
proinflamasi oleh sel endeotel,faktor Xa, trombin, dan komplek TF-VIIa terbukti
menimbulkan efek proinflamsi.

IV. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam dan bergantung pada system organ
yang terlibat dalam thrombus/infark atau episode perdarahan. Biasanya terdapat
riwayat perdarahan pada gusi dan sistem GI. Pada fase akut biasanya muncul peteki
dan ekimosis serta perdarahan pada penusukan vena dan kateter. Pada post operasi,
perdarahan bisa terjadi pada sekitar tempat pembedahan, drain dan trakeostomi. DIC
kronis bisa menimbulkan sedikit gejala, seperti mudah memar, perdarahan lama dari
tempat tusukan pungsi vena, perdarahan gusi, dan perdarahan gastrointestinal lambat,
atau tidak ada gejala yang tidak dapat diamati.
Gambaran utama pada pasien DIC berupa : perdarahan (64%), disfungsi ginjal
(25%), disfungsi hepar (19%), disfungsi pernafasan (16%), shock (14%), dan
disfungsi sistem syaraf pusat (2%).

Manifestasi klinis dapat berupa :

1. Sirkulasi : tanda perdarahan spontan mengancam nyawa, tanda perdarahan sub


akut, tanda trombosi difus atau terlokalisir, perdarahaan ke lubang serous.
2. Sistem syaraf pusat: perubahan kesadaran non spesifik atau stupor, defisit
neurologis.
3. Kardivaskular: hipotensi, takikardi, kolaps sirkulasi
4. Respirasi: pleural friction rub, tanda ARDS.
5. Gastrointestinal: hematomesis, hematochezia.
6. Genitourinarius: azotemia atau gagal ginjal, hematuria, oliguria, metrorrhagia,
perdarahan uterine.
7. Dermatologis: peteki, jaundice, purpura, bula hemoragik, akrosianosis, nekrosis
kulit ekstremitas bawah, infark terlokalisir atau gangren, perdarahan di tempat
penusukan atau hematom subkutandalam, trombosis.

V. Komplikasi
- Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
- Penurunan fungsi ginjal
- Gangguan susunan saraf pusat
- Gangguan hati
- Ulserasi mukosa gastrointestinal : perdarahan
- Peningkatan enzyme jantung : ischemia, aritmia
- Purpura fulminan
- Insufisiensi adrenal
- Lebih dari 50% mengalami kematian
Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC :
Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan
disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran
darah.
Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu
zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan.
Penderita leukemia ,leukimia sering menyerang pada lansia,karena
cendurung sensitif terhadap benturan atau perlukaan yang dapat
mengakibatkan mudah berdarah dan mudah memar, juga sering nyeri
pada sendi dan tulang.
Orang-orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC :
Penderita cedera kepala yang hebat
Pria yang telah menjalani pembedahan prostat
Terkena gigitan ular berbisa.

VI. Penatalaksanaan Medis


Penatalakasanaan DIC yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari
terjadinya DIC. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan
berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.
a. Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses
pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain.
Meski pemberian heparin juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan
perdarahan, namun dalam penelitian klinik pada pasien DIC, heparin tidak
menunjukkan komplikasi perdarahan yang signifikan. Dosis heparin yang
diberikan adalah 300 500 u/jam dalam infus kontinu.
Indikasi:
1) Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat.
2) Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi.
3) Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal,
gagal hati, sindroma gagal nafas.

Dosis:

100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam)


kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali
kontrol. Low molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated
heparin.
a. Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit
diberikan hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur
invasive dengan kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut
dipertimbangkan, karena di dalam plasma hanya berisi faktor-faktor
pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien DIC terjadi gangguan seluruh
faktor pembekuan.
b. Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan
ini cukup mahal. Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70% .
Dosis:
Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus
kontinu selama 3 5 hari.
Rumus:
1. 1 iu x BB (kg) x AT III, dengan target AT III > 120%
2. AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%

c. Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada
pasien DIC pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan
menghambat proses fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin
bertambah, akibatnya DIC yang terjadi akan semakin berat. Tidak ada
penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang
mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan
untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus
dilahirkan secepatnya. Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya
diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia
berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki
risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan
pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram
bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat
akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah
keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan
komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan. Satu-satunya
terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni
heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas
antitrombin III dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini
tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah terjadinya
trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah reakumulasi clot
setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin drip
4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal
setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak
terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal
hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan
yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni
menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut
tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian
yang harus dihadapi.

VII. Pemeriksaan Penunjang


DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk didiagnosa.
Tidak ada single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus,
beberapa tes yang berbeda digunakan untuk diagnose yang akurat.
Tes yang dapat digunakan untul mendiagnosa DIC termasuk:
1. D-dimer
Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan
mengukur fibrin yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai
kelainan biasanya lebih tinggi dibanding dengan keadaan normal.
2. Prothrimbin Time (PTT)
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan
dalam proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan protein darah, atau
factor pembekuan yang diperlukan untuk membekukan darah dan
menghentikan pendarahan. Prothrombin atau factor II adalah salah satu dari
factor pembekuan yang dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang dapat
digunakan sebagai tanda dari DIC.
3. Fibrinogen
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen dalam
darah. Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam proses
pemnekuan darah. Tingkant fibrinogen yang rendah dapat menjadi tanda DIC.
Hal ini terjadi ketika tubuh menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang
diproduksi.
4. Complete Blood Count (CBC)
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel darah
merah dan sel darah putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosa DIC, namun dapat memberikan informasi seorang tenaga
medis untuk menegakkan diagnose.
5. Hapusan Darah
6. Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarnai dengan
pewarna khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop jumlah,
ukuran dan bentuk sel darah merah, sel darah putih,dan platelet dapat di
identifikasi. Sel darah sering terlihat rusak dan tidak normal pada pasien dengan
DIC. (Bare, Brenda G dan Smelttzer, Susanne G. 2002)

VIII. Pathway

Anda mungkin juga menyukai