PENDAHULUAN
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya cairan dari jalan lahir/vagina sebelum
proses persalinan. Beberapa penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah
spontan dan tidak diikuti tanda-tanda persalinan, ada teori yang menghitung beberapa jam
sebelum inpartu, misalnya 1 jam atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan
dalam ukuran pembukaan serviks pada kala I, misalnya ketuban pecah sebelum pembukaan
servik pada primigravida kurang dari 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm.1
Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena
ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi.
Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal ada bisa
menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh
karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat
persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya infeksi.Kedua
adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering terjadi pada kehamilan kurang
bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas
atau Respiratory Distress Syndrome (RDS).1,2
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Dewasa ini cara ini jauh lebih aman daripada dahulu berhubung
dengan adanya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anestesi
yang lebih baik.1 WHO(World Health Organization) memperkirakan bahwa angka persalinan
dengan seksio sesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara-negara
berkembang dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika Serikat.
Kanada pada 2003 memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an menyebutkan bahwa
kurang dari 1 kematian dari 2.500 yang menjalani bedah caesar, dibandingkan dengan 1 dari
10.000 untuk persalinan normal.3
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal juga
disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada operasi tubuh bagian
bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian bawah. Anestesia
regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia
regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada
pasien dengan keadaan hipovolemia.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Anamnesis dan Gejala klinis yang terjadi adalah riwayat keluarnya cairan
ketuban merembes melalui vagina. Cairan ketuban normal berwarna bening dan
mungkin sedikit keruh, Aroma air ketuban berbau manis ( tidak berbau
amoniak ). Biasanya cairan ketuban dapat merembes ataupun menetes, banyak
nya cairan ketuban yang keluar kadang sedikit, kadang banyak tergantung pada
kehamilan. Apakah terdapat rasa mulas, rasa sakit pada perut, apakah terdapat
perdarahan dari jalan lahir, apakah terdapat riwayat trauma sebelumnya ( riwayat
terjatuh), riwayat koitus sebelumnya, riwayat penggunaan obat obatan. 6
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan inspekulo secara steril, yang
memperlihatkan cairan yang mengenang pada forniks posterior. 6,7
Pemeriksaan dalam perlu dihindari karena akan menyebabkan terjadinya
infeksi intrauteri, memperpendek periode laten, dan meningkatkan insiden dari
sepsis neonatorum. 6,7
3
Ferning Test adalah suatu pemeriksaan pada cairan amnion (Apabila
dicurigai adanya pecahnya cairan ketuban pada kehamilan ). Tes yang
dilakukan yaitu mengambil apusandari cairan yang diduga amnion pada kaca
objek, dibiarkan kering, dan dilihat dibawahmikroskop, dan akan terbentuk
kristalisasi yang akan tampak gambaran ferning( daun pakis).7,8
Kedua tes tersebut sudah mengkonfirmasi KPD sebesar 99%.
Gambar 2. 2. Ferning Appearance
c. Ultrasonogra
p hy ( USG )
USG dapat
juga
4
infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32 37 minggu berikan steroid
untuk kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomietin tiap minggu. Dosis betametason 12mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam selama 4 kali.2,8,9
2. Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitoksin. Bila gagal seksio
sesarea. Bila tanda tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan
terminasi persalinan. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan pelviks,
kemudian induksi. Jika tidak berhasil lakukan seksio sesarea. Bila skor
pelviks > 5 lakukan induksi persalinan.9
Catatan :
1. Riwayat medis : Waktu dan kuantitas bocor atau basah, minggu
kehamilan, riwayat kehamilan dari PROM, dll
2. Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan fisik: Hindari pemeriksaan dalam
kecuali persalinan aktif. Gunakan pemeriksaan spekulum steril untuk:
Periksa secara visual untuk servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps
janin
5
Menilai dilatasi serviks dan penipisan
Mendapatkan kultur yang diperlukan
Secara visual memastikan diagnosis PROM
3. Test: jika diagnosis PROM tidak dapat ditegakkan secara visual:
Uji pH cairan dari vagina posterior forniks
Carilah apakah ada cairan yang keluar dari dari vagina posterior
fornik
Pertimbangkan USG, untuk memeriksa volume cairan ketuban, untuk
menilai berat janin, usia kehamilan, dan presentasi; untuk memeriksa
kelainan anatomi.9
2.1.6. Komplikasi
a. Korioamnionitis
Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil
dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya
korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). 8,9
Infeksi intrapartum adalah infeksi yang terjadi dalam masa
persalinan / in partu. Disebut juga Korioamnionitis, karena infeksi ini
melibatkan selaput janin. Pada ketuban pecah 6 jam, risiko infeksi meningkat
1 kali. Ketuban pecah 24 jam, risiko infeksi meningkat sampai 2 kali lipat.
Dianjurkan paling lama 2 x 24 jam setelah ketuban pecah, harus sudah
partus.8,9
Patofisiologi infeksi intrapartum yaitu Ascending infection, pecahnya
ketuban menyebabkan ada hubungan langsung antara ruang intraamnion
dengan dunia luar, Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang
amnion, atau dengan penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin,
kemudian ke ruang intraamnion, jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi
intrauterin menjalar melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal), dan tindakan
iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam yang
terlalu sering.8,9
6
o Demam
7
Untuk mempelajari kelainan Tulang Belakang atau Tulang Punggung
seperti scoliosis terlebih dahulu kita harus mengenal anatominya.
8
Tulang punggung cervical
Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau
procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek,
kecuali tulang ke-2 dan 7 yang procesus spinosusnya pendek. Diberi nomor
sesuai dengan urutannya dari C1-C7 (C dari cervical), namun beberapa
memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas, C2 atau aksis.11
Tulang punggung thorax
Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk. Beberapa
gerakan memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga sebagai tulang
punggung dorsal. Bagian ini diberi nomor T1 hingga T12.11
Tulang punggung lumbal
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan
menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini memungkinkan
gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat
yang kecil.11
Tulang punggung sacral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan
tidak memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.11
Tulang punggung coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa
celah.11
2.2.3. Indikasi dan Kontraindikasi:
Indikasi :
Bedah ekstremitas bawah
Bedah panggul
Tindakan sekitar rektum perineum
Bedah obstetrik-ginekologi
Bedah urologi
Bedah abdomen bawah
9
Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikandengan anesthesia umum ringan.4,12
Kontraindikasi absolut:
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi..4,10,12
10
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated
partial thromboplastine time).4,12
Peralatan analgesia spinal:
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anestesi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare)..4,12
11
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa 6cm..4,10,12
12
dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat
yang sama di tempat penyuntikan..4,12
Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan
amino amida. Bupivakain diindikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk
anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal.
Bupivakain kadang diberikan pada injeksi epidural sebelum melakukan operasi
athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas
operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah
operasi..4,12
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk
memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan
fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian bupivakain
adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan
tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut..4,12
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium
dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya
depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka
bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.4,10,12
2.2.7. Komplikasi Anastesi Spinal :
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan
komplikasi pasca tindakan.
Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat4,10,12
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah
terjadinya hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal
merupakan manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena :
(1) Penurunan darah balik, penurunan secara fungsional volume sirkulasi
efektif karena venodilatasi, dan penumpukan darah. (2) Penurunan tahanan
pembuluh darah sistemik karena vasodilatasi dan (3) Penurunan curah
jantung karena penurunan kontraktilitas dan denyut jantung.
13
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah
blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri
menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik
sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan hipotensi yang berat sebagai
akibat penurunan aliran balik vena dan curah jantung. Tetapi sebetulnya hal
ini tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi
tidak adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya
pada pasien dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri).
Dikatakan hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya
90 atau 100 mmhg, atau penurunan prosentase 20% atau 30% dari biasanya.
Dan lamanya perubahan bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena itu
kejadian hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat
spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu Ringer Laktat
(RL) dan atau obat vasopressor salah satunya dengan pemberian efedrin.
Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang digunakan pada anestesi
obstetric sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat
anestesi spinal. Efedrin adalah obat sintetik non katekolamin yang
mempunyai aksi langsung yang menstimuli reseptor 1, 2, 1 adrenergik
dan aksi tak langsung dengan melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut
jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran
darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot.
Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra muskuler, bolus intravena,
dan infus kontinyu dan pada praktek sehari-hari, efedrin diberikan secara
bolus IV 5-10mg bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal. 4,10,12
2. Bradikardia
Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi
adalah perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi
spinal. Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk
mengontrol tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat
perubahan kardiovaskuler terkait dengan anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital
pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat
14
menyebabkan bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi
yang berlebihan. Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal
yang penting mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan. Apabila terjadi
penurunan tekanan darah dan frekuesi denyut nadi yang berlebihan dapat
digunakan efedrin yang berfungsi berdasarkan reseptor adrenergik yang
menghasilkan respon simpatis. Oleh karena efedrin dapat menyebabkan
vasokonstriksi perifer, sehingga pada penggunaan klinis efedrin
meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut nadi.4,10,12
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:
Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk 1 ml
larutan.
Maneuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau L3-4 obat
cenderung menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
15
Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap
dosis obat)
Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris
dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.4,10,12
16
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10% bila
dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas.
Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.
4. Retensio urine
5. Meningitis.4,10,12
17
- Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitasrutin
terbatas.
- Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat. Melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat.
- Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpapembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY).10,12
18
Pemberian efedrin maupun fenilefedrin dapat digunakan untuk hipotensi akibat
teknik regional anestesi. Bila tidak terdapat bradikardi pada ibu hamil, pemberian
fenilefedrin lebih disarankan untuk meningkatkan fetal acid base untuk persalinan
tanpa komplikasi. 13
Pemberian Opioid pada Anestesi Regional untuk Analgesik Postoperatif
Pemberian opioid pada saat dilakukan anestesi lebih disarankan dibandingkan
pemberian opioid secara intravena. 13
BAB III
LAPORAN KASUS
19
3.2. Anamnesis
Keluhan utama:
Keluar air-air dari jalan lahir
Riwayat Alergi:
Riwayat alergi obat Ceftriaxone (+)
Riwayat obstetrik:
Pasien saat ini G2P1A0 dengan usia kehamilan 40 minggu.
Anak Pertama : Lahir Cukup umur, di Rumah Sakit, melalui Sectio Cesarea, tidak ada
penyulit melahirkan lainya.
20
3.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
BB sebelum hamil : 59 kg
BB saat hamil : 62 kg
LILA : 29 cm
TB : 158 cm
Tanda-tanda vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
Temp : 36,50C
IMT : 24,83 Kg/m2 (Normal)
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi :(-)
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Distribusi baik merata
Lembab/kering : Kering
Suhu raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak ada pelebaran pembuluh darah
Keringat : Umum
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak
Lapisan lemak : Normal
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Lipat paha : Tidak teraba membesar
Leher : Tidak teraba membesar
Ketiak : Tidak teraba membesar
21
Kepala
Ekspresi wajah : Gelisah Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam dan merata
Mata
Exopthalamus : Tidak ada Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Udema ( - ) Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis ( - ) Visus : Tidak dilakukan
Sklera : Ikterik ( - ) Nistagmus : Tidak ada
Lapangan penglihatan : Normal Tekanan bola mata : Normal
Gerak bola mata : Normal
Telinga
Tuli : -/- Selaput pendengaran : Utuh
Lubang : Liang telinga lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : +/+ Perdarahan : -/-
Cairan : -/-
Mulut
Bibir : Tidak sianosis, kering
Tonsil : T1/T1
Langit-langit : Tidak ada kelainan
Bau pernpasan : Tidak ada
Gigi geligi : Tidak lengkap
Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis
Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak tampak atrofi papil lidah
Mallampati :1
Leher
JVP : 5+1 cmH2O
Kelenjar tiroid : Tidak tampak membesar
Kelenjar limfe kanan : Tidak tampak membesar
Dada
Bentuk : Simetris
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebaran, tidak ada spider nevi
Buah dada : Simetris, normal
22
Paru-paru
Depan Belakang
Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
Kiri
dinamis dinamis
Inspeksi
Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
Kanan
dinamis dinamis
- Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
Kiri
- Fremitus simetris - Fremitus simetris
Palpasi
- Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
Kanan
- Fremitus simetris - Fremitus simetris
Kiri - Redup - Redup
Perkusi
Kanan - Redup - Redup
- Suara bronkial - Suara bronkial
Kiri - Tidak ada wheezing - Tidak ada wheezing
- Tidak ada Ronkhi - Tidak ada Ronkhi
Auskultasi
- Suara bronkial - Suara bronkial
Kanan - Tidak ada wheezing - Tidak ada wheezing
- Ronkhi basah halus - Ronkhi basah halus
Jantung
Inspeksi Tampak pulsasi iktus cordis
Teraba iktus cordis pada ICS V, 2 jarisebelah lateral dari garis
Palpasi
midklavikula kiri
- Batas kanan : ICSIV linea sternalis kanan
Perkusi - Batas kiri : ICS V linea midklavikula kiri
- Batas atas : ICS II linea parasternal kiri
Auskultasi Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Perut
1) Inspeksi
Tidak ada luka bekas operasi, pembesaran perut sesuai usia kehamilan, tidak ada
strie gravidarum.
2) Palpasi
Leopold I : TFU pertengahan antara pusat dan Px, pada fundus teraba bagian
yang agak keras tapi tidak melenting berarti bokong. TFU: 31cm
Leopold II : Sebelah kiri teraba seperti paparan keras memanjang yang berarti
punggung janin. Sedangkan bagian kanan teraba bagian-bagian
kecil yang berarti ektremitas
23
Leopold III : Bagian terendah teraba bulat, keras dan melenting berarti kepala-
kepala sebagian sudah masuk PAP.
Leopold IV : Bagian terendah janin sudah masuk PAP, divergen
3) Auskultasi
BJJ: 138x/menit teratur
4) Gynekologi
Ano genital:
Inspeksi : Pengeluaran pervaginam: blood (-)
Vulva vagina : tak
Inspekulo : Vagina: tak
Vaginal toucher : Portio tebal lunak. 1 cm
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : baik baik
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
Oedem : tidak ada tidak ada
Lain-lain : tidak ada tidak ada
Petechie : tidak ada tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka : tidak ada tidak ada
Varises : tidak ada tidak ada
Otot
Tonus : baik baik
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : baik baik
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
24
Oedem : tidak ada tidak ada
Lain-lain : tidak ada tidak ada
Petechie tidak ada tidak ada
25
Time< 2 detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva
anemis -/-
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E4V5M6),
:
riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Terpasang DC : Urin pre op 150 cc, kuning jernih.
B5 Cembung, Peristaltik (+) normal, Soepel, hepar dan
:
lien tidak teraba membesar, DJJ : 132-142 x/m
B6 : Akral hangat, edema (-), deformitas (-)
Pernafasan :
Respirasi terkontrol
26
Penyulit pembedahan : -
Tanda vital pada akhir :
TD : 110/70 mmHg N:82x/m, SB: 36,0, RR: 24 x/m,
SpO2: 100%
Medikasi : -
BAB IV
27
PEMBAHASAN
Seorang pasien, perempuan, umur 28 tahun hamil aterm, berdasarkan kasus di atas
menjalani sectio cesarea dengan regional anestesi subarakhnoid blok anestesi. Berdasarkan
pemeriksaan preoperative pasien digolongkan pada PS ASA II E sesuai dengan klasifikasi
penilaian status fisik menurut The American Society of Anesthesiologist. Ini disimpulkan
karena pasien berada dalam keadaan stabil namun pasien adalah pasien obstetri.
Pada pasien ini kemudian dilakukan tindakan sectio cesarea dengan menggunakan
anestesi blok subarakhnoid (SAB). Anestesi blok subaraknoid berdasarkan indikasi anestesi
blok subaraknoid digunakan pada, bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar
rektum perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada
bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikandengan anesthesia umum
ringan. Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan karena relatif murah, pengaruh sistemik
minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stresslebih
sempurna. Pasien ini menggunakan anastesi spinal karena aman untuk janin, pasien sadar
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi, pengaruh terhadap bayi sangat
minimal, dan tangisan bayi yang baru dilahirkan merupakan kenikmatan yang ditunggu oleh
seorang ibu, disertai jalinan psikologik berupa kontak mata antara ibu dan anak dan
penyembuhan rasa sakit pasca operasi.
Untuk tatalaksana anestesi pada kasus ini, digunakan anestesi blok subarakhnoid dengan
Bupivakain 0,5% HCl 15 mg. Bupivakain merupakan anestesi lokal isobarik. Bupivakain
bekerja dengan cara berikatan secara intraselular dengan natrium dan memblok influk
natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut
saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki
selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung
mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Anestesi local bupivakain dengan masa kerja
yang panjang. Efek analgesia bupivakain lebih panjang dari lidokain dan mepivakain.
Bupivakain 0,5% paling sering digunakan pada anestesi regional. Salah satu efek samping
anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi. Untuk mencegah hipotensi pasien diberi cairan
prabeban yaitu Ringer Laktat sebanyak 500 ml. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini
mudah didapat, komposisi menyerupai plasma (acetated ringer, lactated ringer), bebas reaksi
anafilaksis, dan dari segi biayanya lebih ekonomis.
28
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana anestesi
pada pasien ini.
Problem
Actual Potensial Planning
List
B1 Airway: bebas Kesulitan Intubasi O2 nasal atau masker
Breathing: napas dikontrol, sesuai saturasi O2, chin
thoraks simetris, perkusi: lift, Jika harus dilakukan
sonor, suara napas vesikuler intubasi maka dengan
+/+, rhonki -/-, wheezing -/- teknik:
pemasangan fiber optic
intubation, pemadangan
laringeal mask airway
menurut brain, intubasi
retrograde, trakeostomi.
B2 Perfusi hangat, kering, Syok Hipovolemik, Resusitasi tepat,
merah, Capilary Refill Time Hipotensi Monitoring vital sign,
< 2 detik, BJ I-II murni, karenapenggunaan efedrin 5 mg (efek
regular, konjungtiva anemis anestesi spinal vasokonstriksi
(-/-). epinefrin)
B3 Kesadaran Compos Mentis, Hipoksia Pemberian O2 nasal
GCS: 15 (E4V5M6), riwayat Hipotermi atau masker sesuai
kejang (-), riwayat pingsan saturasi O2
Eklampsia
(-) Ventilasi
Obs. TTV dan tanda
eklampsia
B4 Terpasang DC, produksi urin Oliguria Anuria Rehidrasi, observasi
500 cc, warna kuning jernih Dehidrasi produksi urin
29
Capillary refill time
pada distal kedua
tungkai bawah
Selain penentuan pemilihan anestesi yang sesuai pada pasien ini, juga
dipertimbangkan mengenai terapi cairan selama masa perioperatif. Terapi cairan sendiri
adalah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis
dengan cairan infus krsitaloid atau koloid secara intravena.
Pre Operatif Durante Operatif
Maintenance Maintenance
Kebutuhan cairan per 24 jam Penguapan saat operasi sedang berlangsung:
10 x 100 = 1000 = 2-4 cc/kgBB/jam = 2-4 cc x 62 kg x 90 menit
10 x 50 = 500 = 11,1-22,3cc
42 x 20 = 840 EBV
2340 = 65cc x kgBB = 65 x 62 kg
Kebutuhan cairan per jam: = 4030 cc
= 95,8 cc/ jam EBL
Input 30% EBV = 1209
Infus : Ringer Laktat 500cc Input
Infus : Ringer Laktat 2000 cc
Output Output
Urin = 150 cc Perdarahan = 1050 cc
IWL = 15 x 62 kg x 1,5= 1395 cc Urin = 600 cc
IWL/jam = 1395 / 24 jam IWL = 58,1 / jam
= 58,1 cc/jam Total IWL selama operasi selama 1 jam
Pre operatif 6 jam sehingga IWL 6 adalah 58,1 cc / jam
jam adalah 348,6 cc
Aktual Cairan yang diberikan: Aktual Cairan yang diberikan:
Ringer Laktat : 500cc Ringer Laktat 2000 cc
30
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serat pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosis G2P1A0 Hamil 40-42 minggu, Janin Presentasi Kepala
31
Tunggal Hidup, BSC 1x, KPD 10 jam, yang dilakukan tindakan Sectio Cesarea
dengan Regional Anestesi Subarakhnoid Blok Anestesi.
2. Pemilihan anestesi ini sudah sesuai indikasi, dengan Subarakhnoid Blok Anestesi
dapat dilakukan tindakan sectio cesarea yang cocok untuk Anestesi pada operasi
Obstetri Ginekologi.
3. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA II E karena pasien merupakan pasien
obstetri yang membutuhkan tindakan segera.
4. Resusitasi dan terapi cairan perioperatif kurang lebih telah memenuhi kebutuhan
cairan perioperatif pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya hemodinamik
pasien.
5.2. Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut resusitasi
cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik perioperative.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Mochtar R. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Sinopsis Obstetri, Obstetri Operatif dan
Obstetri Sosial. Jilid I. Ed. II. Jakarta. EGC. 1998.p. 255-8.
2. Manuaba.I.B.G. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan Obstetri
Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 225.
3. Winjosastro. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan bina pustaka Sarwono Prawiroharjo.2002
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta:
FakultasKedokteranUniversitas Indonesia; 2010.
5. Williams Obstetrics, Edisi ke-22, Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC,
Gilstrap L, Wenstrom KD, penyunting. New York: McGraw-Hill. 2005: 177.
6. Garite T, Premature Rupture of Membranes, Dalam: Current Therapy in Obstetrics and
Gynecology, Edisi ke-5, Quilligan EJ, Zuspan FP, penyunting. New York: W.B.Saunders
Company, 2000: 326-9.
7. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. In Prawirohardjo S.(ed.) Ilmu Kebidanan. Bagian
Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir. Edisi Keempat.
Cetakan Kedua. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009. Pp 677-82.
8. DeCherney, AH. MD et al; LANGE Current Diagnosis & Treatment Obstetrics &
Gynecology 10thedition : Premature Rupture of Membranes; McGraw-Hill 2007; 279
281.
9. Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds) Pengantar Kuliah
Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah Dini. Cetakan
Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2007. Pp 456-60.
10. Dwi N A. Perbedaan hemodinamik pre dan post operasi antara anestesi umum dan
anestesi regional. [serial online] 2008 [Diunduh 29 Maret 2017]. Tersedia dari: URL:
http://eprints.undip.ac.id/13538/1/dwi_novi_andraeni-G2A_002_065.pdf. 2008.
11. Rumah Sakit Ortopedi. 2013. Anatomi dan Fisiologi Tulang Belakang. [serial online]
2013 [Diunduh 29 Maret 2017] tersedia dari: URL rsop.co.id.
12. Lubis A. Chapter II.pdf-USU Anestesi Spinal. [Serial Online] 2011[Diunduh 29 Maret
2017] Tersedia dari: http ://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21570/.../Chapter
%20II.pdf
13. The Amercian Society of Anesthesiologist. Practice Guideline for Obstetric
Anesthesia : An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task
Force on Obstetric Anesthesia and the Society for Obstetric Anesthesia and Perinatology.
February 2016 .
33