LP Mandibula New
LP Mandibula New
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN MALANG
2017
KONSEP DASAR FRAKTUR MANDIBULA
A. DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial, yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Trauma pada wajah sering melibatkan tulang-tulang
pembentuk wajah, diantaranya mandibula.
Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Hilangnya kontinuitas
pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma oleh wajah ataupun keadaan
patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.
B. ETIOLOGI
1. Trauma langsung: benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat tersebut.
2. Trauma tidak langsung: tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari
area benturan.
3. Fraktur patologis: fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa
trauma.Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi tulang dan
tumor tulang.
C. JENIS/KLASIFIKASI
1. Menurut garis fraktur :
a. Fraktur komplit : Apabila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua konteks tulang
b. Fraktur inkomplit : Apabila garis patah tidak melalui penampang tulang.
2. Menurut bentuk fraktur dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur tranfersal : Fraktur yang garis patahannya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Segmen patah tulang direposisi atau direduksi kembali
ketempatnya semula, maka segmen akan stabil dan biasanya akan mudah
dikontrol dengan bidai gips
b. Fraktur patah oblique : Fraktur dimana garis patahannya membentuk sudut
terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil.
c. Fraktur serial : Fraktur ini terjadi akibat torsi pada ekstremitas. Menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan
imobilisasi luar.
d. Fraktur kompresi : Fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumpuk tulang
ketiga yang berada diantaranya, seperti satu vertebra dengan vertebra lain.
e. Fraktur anulasi : Fraktur yang memisahkan fragmen tulang pada tempat insisi
tendon atau ligament. Contohnya fraktur patella
E. PATOFISIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh adanya trauma (langsung dan tidak langsung), stress fatique
(kelelahan akibat tekanan berulang) dan pathologis. Karena adanya tekanan atau daya
yang mengenai tulang maka akan mengakibatkan terjadinya fraktur dan perdarahan
biasanya terjadi disekitar tempat patahan dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang
tersebut. Bila terjadi hematoma maka pembuluh darah vena akan mengalami pelebaran
sehingga terjadi penumpukan cairan dan kehilangan leukosit yang berakibat terjadinya
perpindahan, menimbulkan implamasi atau peradangan yang menyebabkan bengkak dan
akhirnya terjadi nyeri. Selain itu karena kerusakan pembuluh darah kecil atau besar pada
waktu terjadi fraktur menyebabkan tekanan darah menjadi turun, begitupula dengan
suplai darah ke otak sehingga kesadaran pun menurun yang mengakibatkan syok
hipovolemi. Bila mengenai jaringan lunak maka akan terjadi luka dan kuman akan
mudah untuk masuk sehingga mudah terinfeksi dan lama kelamaan akan berakibat
delayed union dan mal union dan yang tidak terinfeksi mengakibatkan non union.
Apabila fraktur mengenai peristeum atau jaringan tulang dan korteks maka akan
mengkibatkan deformitas, krepitasi dan pemendekan ekstremitas. Berdasarkan proses
diatas tanda dan gejalanya yaitu nyeri/tenderness, deformitas/perubahan bentuk,
bengkak, peningkatan suhu tubuh/demam, krepitasi, kehilangan fungsi dan apabila hal
ini tidak teratasi, maka akan menimbulkan komplikasi yaitu komplikasi umum misalnya :
syok, sindrom remuk dan emboli lemak. Komplikasi dini misalnya : cedera syaraf,
cedara arteri, cedera organ vital, cedera kulit dan jaringan lunak, sedangkan komplikasi
lanjut misalnya : delayed union, mal union, non union, kontraktur sendi dan miossitis
ossifycans, avaseural necrosis dan osteo arthritis.
G. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan pada hal yang
bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah
termasuk penanganan syok (circulaation), penaganana luka jaringan lunak dan
imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua
adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur fiksasi
fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak
bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
Secara khusus penanganan fraktur tulang rahang dan tulang pada wajah
(maksilofasial) mulai diperkenalkan olah hipocrates (460-375 SM) dengan menggunakan
panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-gigi rahang atas),
sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur rahang. Pada perkembangan selanjutnya
oleh para klinisi berat menggunakan oklusi sebagai konsep dasar penanganan fraktur
rahang dan tulang wajah (maksilofasial) terutama dalam diagnostik dan
penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan teknik fiksasi mulai dari
penggunaan pengikat kepala (head bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan
kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan imobilisasi fragmen fraktur dengan
menggunakan plat tulang (plate and screw).
1. Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan reduksi tertutup dan
fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya, reduksi terbuka lebih disukai paada
kebanyakan fraktur.
2. Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan reduksi tertutup dan
arch bar dipasang ke mandibula dan maxilla.
3. Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk menyatukan fraktur
4. Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup dipertahankan selama 4-6
minggu dalam posisi fraktur intermaxilla.
5. Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaxilla apabila dilakukan reduksi
terbuka, kemudian dipasangkan plat and screw.
Oleh sebab itu ilmu oklusi merupakan dasar yang penting bagi seorang Spesialis
Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam penatalaksanan kasus patah rahang atau fraktur
maksilofasial. Dengan prinsip ini diharapkan penyembuhan atau penyambungan fragmen
fraktur dapat kembali ke hubungan awal yang normal dan telah beradaptasi dengan
jaringan lunak termasuk otot dan pembuluh saraf disekitar rahang dan wajah.
Patah rahang dan tulang wajah yang tidak ditangani dengan baik akan memberikan
gangguan dan keluhan pada pasien dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus patah rahang yang adalah infeksi pada jaringan
lunak dan tulang rahang. Infeksi tersebut dapat menyebabkan kehilangan jaringan lunak
dan keras yang banyak. Komplikasi lain, jika penyambungan tidak adekuat
(malunion)dan oklusi rahang atas dan bawah tidak tercapai maka akan memberi keluhan
berupa rasa sakit dan tidak nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang
(Temporomandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi
rahang kiri dan kanan.
Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar
wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih jika pasien
mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi yang tidak
normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak
dilakukan perbaikan atau penangnanan secara adekuat. Komplikasi setelah pembedahan
yang dapat terjadi pada semua operasi penyambungan tulang adalah terlambatnya
penyambungan dan penyembuhan tulang (delayed union) atau kegagalan penyambungan
tulang (nonunion)yang sering disebabkan tidak stabilnya fragmen fraktur karena
immobilisasi yang kurang baik. Komplikasi yang secara klinis dan estetik nampak adalah
perubahan bentuk dan proporsi wajah.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ditemukan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot gerakan fragmen tulang, edema dan
cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress, ansietas
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas sstruktur tulang
dan penurunan kekuatan otot
3. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk dan penonjolan tulang
4. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ; kerusakan
kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif, traksi tulang.
INTERVENSI
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan
untuk masing masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan
tujuan dan kriteria hasil sebagai berikut :
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen cidera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang/hilang
Kriteria hasil :
1) Menyatakan nyeri hilang
2) Menunjukan sikap santai
3) Menunjukan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi nyeri, kedalaman, karakteristik serta intensitas
2) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pemberat, traksi
3) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
4) Berikan alternatif tindakan kenyamanan misalnya : pijatan dan perubahan posisi.
5) Ajarkan menggunakan teknik manajemen stress misalnya : relaksasi progresif,
latihan nafas dalam.
6) Kolaborasi, berikan analgetik sesuai program.
Doengoes, Marilynn. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Penerbit buku kedokteran EGC;
Jakarta
Brunner & Suddarth, 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
Nurarif Amih Huda, 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc. Jakarta: EGC
Syaifudin. 2016. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperwatan. Penerbit buku kedokteran
EGC; Jakarta
Sylvia, A. (2015). Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit. Edisi 5. Jakarta; EGC.