Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR MANDIBULA DENGAN GENERAL ANASTESI


DI IBS RSUD KABUPATEN KEDIRI

OLEH : DIAH RIKA QUROTUL A.T 1301460004

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN MALANG
2017
KONSEP DASAR FRAKTUR MANDIBULA

A. DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial, yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Trauma pada wajah sering melibatkan tulang-tulang
pembentuk wajah, diantaranya mandibula.
Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Hilangnya kontinuitas
pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma oleh wajah ataupun keadaan
patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.

B. ETIOLOGI
1. Trauma langsung: benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat tersebut.
2. Trauma tidak langsung: tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari
area benturan.
3. Fraktur patologis: fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa
trauma.Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi tulang dan
tumor tulang.

C. JENIS/KLASIFIKASI
1. Menurut garis fraktur :
a. Fraktur komplit : Apabila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua konteks tulang
b. Fraktur inkomplit : Apabila garis patah tidak melalui penampang tulang.
2. Menurut bentuk fraktur dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur tranfersal : Fraktur yang garis patahannya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Segmen patah tulang direposisi atau direduksi kembali
ketempatnya semula, maka segmen akan stabil dan biasanya akan mudah
dikontrol dengan bidai gips
b. Fraktur patah oblique : Fraktur dimana garis patahannya membentuk sudut
terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil.
c. Fraktur serial : Fraktur ini terjadi akibat torsi pada ekstremitas. Menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan
imobilisasi luar.
d. Fraktur kompresi : Fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumpuk tulang
ketiga yang berada diantaranya, seperti satu vertebra dengan vertebra lain.
e. Fraktur anulasi : Fraktur yang memisahkan fragmen tulang pada tempat insisi
tendon atau ligament. Contohnya fraktur patella

3. Menurut jumlah garis fraktur


a. Fraktur komminute : Terjadi banyak garis fraktur atau banyak fragmen kecil
yang terlepas
b. Fraktur segmental : Apabila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan
sehingga satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk
sembuh.
c. Fraktur multiple : Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempat.

Gambar 3 : Tipe fraktur mandibula. A. Greenstick B. Simple C. Kominuisi


D. Kompoun

4. Menurut hubungannya antara fragmen dengan dunia luar


a. Fraktur terbuka : Apabila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang
fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fragmen terbuka dibagi menjadi tiga tingkat yaitu :
1) Pecah tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit terkontaminasi
ringan, luka kurang dari 1 cm.
2) Kerusakan jaringan sedang, potensial infeksi lebih besar dari 1 cm
3) Luka besar sampai dengan 8 cm, kehancuran otot, kerusakan
neuromaskular, kontaminasi besar.

Grade/derajat fraktur terbuka :

1) Grade I : Sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit.


2) Grade II : fraktur terbuka merobek kulit dan otot.
3) Grade III : banyak sekali jejas kerusakan kulit otot, jaringan syaraf,
pembuluh darah serta luka sebesar 6-8cm.
b. Fraktur tertutup : Terjadi pada tulang yang abnormal atau sakit. Penyebab
terbanyaknya adalah osteoporosis dan osteomalacia.
1. Lokasi fraktur
Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan pada letak anatomi dari fraktur mandibula
dapat terjadi pada daerah-daerah sebagai berikut :
a. Dentoalveolar
b. Kondilus
c. Koronoideus
d. Ramus
e. Sudut mandibula
f. Korpus mandibula
g. Simfisis
h. Parasimfisis

Gambar 4 : Klasifikasi fraktur mandibula berdasarkan lokasi fraktur


D. TANDA DAN GEJALA
1. Nyeri
Rasa nyeri yang hebat dapat dirasakan saaat pasien mencoba menggerakkan rahang
untuk berbicara, mengunyah atau menelan.
2. Perdarahan dari rongga mulut.
3. Maloklusi
Keadaan dimana rahang tak dapat dikatupkan, mulut seperti keadaan sebelum trauma.
4. Trismus
Ketidakmampuan membuka mulut lebih dari 35 mm, batas terendah nilai normal
adalah 40 mm.
5. Pergerakan Abnormal.
a. Ketidakmampuan membuka rahang membuat dugaan pergesekan pada prosesus
koronoid dalam arkus zygomatikcus.
b. Ketidakmampuan menutup rahang menandakan fraktur pada prosessus alveolar,
angulus, ramus dari simfisis.
6. Krepitasi tulang
Krepitasi tulang tulang adalah bunyi berciut yang terdengar jika tepian-tepian fraktur
bergesakan saat berlangsungnya gerakan mengunyah, bicara, atau menelan.
7. Mati rasa pada bibir dan pipi
Patognomonis untuk fraktur distal dari foramen mandibula.
8. Oedem daerah fraktur dan wajah tidak simetris.

E. PATOFISIOLOGI

Fraktur disebabkan oleh adanya trauma (langsung dan tidak langsung), stress fatique
(kelelahan akibat tekanan berulang) dan pathologis. Karena adanya tekanan atau daya
yang mengenai tulang maka akan mengakibatkan terjadinya fraktur dan perdarahan
biasanya terjadi disekitar tempat patahan dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang
tersebut. Bila terjadi hematoma maka pembuluh darah vena akan mengalami pelebaran
sehingga terjadi penumpukan cairan dan kehilangan leukosit yang berakibat terjadinya
perpindahan, menimbulkan implamasi atau peradangan yang menyebabkan bengkak dan
akhirnya terjadi nyeri. Selain itu karena kerusakan pembuluh darah kecil atau besar pada
waktu terjadi fraktur menyebabkan tekanan darah menjadi turun, begitupula dengan
suplai darah ke otak sehingga kesadaran pun menurun yang mengakibatkan syok
hipovolemi. Bila mengenai jaringan lunak maka akan terjadi luka dan kuman akan
mudah untuk masuk sehingga mudah terinfeksi dan lama kelamaan akan berakibat
delayed union dan mal union dan yang tidak terinfeksi mengakibatkan non union.
Apabila fraktur mengenai peristeum atau jaringan tulang dan korteks maka akan
mengkibatkan deformitas, krepitasi dan pemendekan ekstremitas. Berdasarkan proses
diatas tanda dan gejalanya yaitu nyeri/tenderness, deformitas/perubahan bentuk,
bengkak, peningkatan suhu tubuh/demam, krepitasi, kehilangan fungsi dan apabila hal
ini tidak teratasi, maka akan menimbulkan komplikasi yaitu komplikasi umum misalnya :
syok, sindrom remuk dan emboli lemak. Komplikasi dini misalnya : cedera syaraf,
cedara arteri, cedera organ vital, cedera kulit dan jaringan lunak, sedangkan komplikasi
lanjut misalnya : delayed union, mal union, non union, kontraktur sendi dan miossitis
ossifycans, avaseural necrosis dan osteo arthritis.

Tahap penyembuhan tulang :


Setelah tulang mengalami fraktur
1. Stadium Hematum
Pada stadium ini karena pembuluh darah pecah, maka terjadi perdarahan pada
daerah fraktur. Hematum terbentuk mengelilingi daerah tulang yang mengalami
fraktur, kemudian setelah 24 jam aliran darah pada daerah fraktur berkurang
sehingga terjadi penggabungan haematum dengan fibroblast dan membentuk fibrin.
2. Stadium proliferasi
Dalam 48-72 jam setelah terjadi fraktur, sel sel jaringan baru mulai terbentuk pada
daerah fraktur.
3. Stadium Pembentukan Kallus
Dalam waktu 6-10 hari fraktur, terjadi perubahan granulasi jaringan dan
pembentukan kallus, pertumbuhan jaringan berlangsung secara terus menerus
sampai fragmen menyatu kembali memerlukan waktu 3-4 minggu.
4. Stadium Ossifikasi
Ossifikasi terjadi 3 -10 minggu, kallus yang menetap berubah menjadi tulang yang
kaku, akibat dari penumpukan garam-garam mineral menutup dan meliputi ujung-
ujung fragmen tulang yang kemudian akan menjadi tulang.
5. Stadium konsolidasi
Setelah pembentukan tulang, kallus diremodeling oleh aktivitas osteoblast dan
osteoklast
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap: Hb menurun terutama fraktur terbuka, peningkatan
leukosit adalah respon stres normal setelah trauma.
4. Pemeriksaan klinis ekstraoral
Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis dan
pembengkakan. Seringpula terjadi laserasi jaringan lunak dan bisa terlihat jelas
deformasi dari kontur mandibula yang bertulang. Jika terjadi perpindahan tempat
dari fragmen-fragmen itu pasien tidak bisa menutup geligi anterior, dan mulut
menggantung kendur dan terbuka. Pasien sering kelihatan menyangga rahang bawah
dengan tangan. Dapat pula air ludah bercampur darah menetes dari sudut mulut
pasien
5. Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah kondilus pada
kedua sisi, kemudian diteruskan kesepanjang perbatasan bawah mandibula. Bagian-
bagian melunak harus ditemukan pada daerah-daerah fraktur, demikian pula
terjadinya perubahan kontur dan krepitasi tulang. Jika fraktur mengenai saraf
mandibula maka bibir bawah akan mengalami mati rasa.
6. Pemeriksaan klinis intraoral
Setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan. Dari dalam mulut. Sulkus bukal
diperiksa adanya ekimosis dan kemudian sulkus lingual. Hematoma didalam sulkus
lingual akibat trauma rahang bawah hampir selalu patognomonik fraktur mandibula.

G. PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan pada hal yang
bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah
termasuk penanganan syok (circulaation), penaganana luka jaringan lunak dan
imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua
adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur fiksasi
fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak
bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
Secara khusus penanganan fraktur tulang rahang dan tulang pada wajah
(maksilofasial) mulai diperkenalkan olah hipocrates (460-375 SM) dengan menggunakan
panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-gigi rahang atas),
sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur rahang. Pada perkembangan selanjutnya
oleh para klinisi berat menggunakan oklusi sebagai konsep dasar penanganan fraktur
rahang dan tulang wajah (maksilofasial) terutama dalam diagnostik dan
penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan teknik fiksasi mulai dari
penggunaan pengikat kepala (head bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan
kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan imobilisasi fragmen fraktur dengan
menggunakan plat tulang (plate and screw).

Prosedur penanganan fraktur mandibula :

1. Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan reduksi tertutup dan
fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya, reduksi terbuka lebih disukai paada
kebanyakan fraktur.

2. Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan reduksi tertutup dan
arch bar dipasang ke mandibula dan maxilla.

3. Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk menyatukan fraktur

4. Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup dipertahankan selama 4-6
minggu dalam posisi fraktur intermaxilla.
5. Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaxilla apabila dilakukan reduksi
terbuka, kemudian dipasangkan plat and screw.

Oleh sebab itu ilmu oklusi merupakan dasar yang penting bagi seorang Spesialis
Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam penatalaksanan kasus patah rahang atau fraktur
maksilofasial. Dengan prinsip ini diharapkan penyembuhan atau penyambungan fragmen
fraktur dapat kembali ke hubungan awal yang normal dan telah beradaptasi dengan
jaringan lunak termasuk otot dan pembuluh saraf disekitar rahang dan wajah.

Patah rahang dan tulang wajah yang tidak ditangani dengan baik akan memberikan
gangguan dan keluhan pada pasien dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus patah rahang yang adalah infeksi pada jaringan
lunak dan tulang rahang. Infeksi tersebut dapat menyebabkan kehilangan jaringan lunak
dan keras yang banyak. Komplikasi lain, jika penyambungan tidak adekuat
(malunion)dan oklusi rahang atas dan bawah tidak tercapai maka akan memberi keluhan
berupa rasa sakit dan tidak nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang
(Temporomandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi
rahang kiri dan kanan.

Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar
wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih jika pasien
mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi yang tidak
normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak
dilakukan perbaikan atau penangnanan secara adekuat. Komplikasi setelah pembedahan
yang dapat terjadi pada semua operasi penyambungan tulang adalah terlambatnya
penyambungan dan penyembuhan tulang (delayed union) atau kegagalan penyambungan
tulang (nonunion)yang sering disebabkan tidak stabilnya fragmen fraktur karena
immobilisasi yang kurang baik. Komplikasi yang secara klinis dan estetik nampak adalah
perubahan bentuk dan proporsi wajah.

Penatalaksanaan pada fraktur mandibula mengikuti standar penatalaksanaan fraktur


pada umumnya. Pertama periksalah A(airway), B(Breathing) dan C(circulation). Bila
pada ketiga topik ini tidak ditemukan kelainan pada pasien, lakukan penanganan
terhadap fraktur mandibula pasien. Bila pada pasien terdapat perdarahan aktif,
hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik
untuk membantu
H. KOMPLIKASI
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula umumnya
jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur mandibula adalah
infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan berbagai kemungkinan
komplikasi lainnya.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan
penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union. Ada beberapa faktor risiko
yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk
menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling besar
adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen
fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen
fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan
dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan
melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung
mandibula.
Faktor faktor lain yang dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya
komplikasi antara lain sepsis oral, adanya gigi pada garis fraktur, penyalahgunaan
alkohol dan penyakit kronis, waktu mendapatkan perawatan yang lama, kurang patuhnya
pasien dan adanya dislokasi segmen fraktur.
Adapun komplikasi lainyang dapat terjadi yaitu :
a. Komplikasi yang timbul selama perawatan
b. Infeksi
c. Kerusakan saraf
d. Gigi yang berpindah tempat
e. Komplikasi pada daerah ginggival dan periodontal
f. Reaksi terhadap obat
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien fraktur menurut Doengoes, (2000) diperoleh data sebagai berikut :
1. Aktivitas (istirahat)
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera
fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan nyeri)
2. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri) atau hipotensi
( kehilangan darah), takikardia ( respon stress, hipovolemia), penurunan / tidak ada nadi
pada bagian distal yang cedera : pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang
terkena pembengkakan jaringan atau massa hepatoma pada sisi cedera.
3. Neurosensori
Gejala : Hilang sensasi, spasme otot, kebas / kesemutan (panastesis)
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot,
terlihat kelemahan / hilang fungsi, agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri atau
trauma)
4. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan /
kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi ; tidak ada nyeri akibat kerusakan
saraf, spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulse jaringan, perubahan warna, pendarahan, pembengkakan
local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
6.Penyuluhan
Gejala : Lingkungan cedera
7. Pemeriksaan Diagnostik
a Pemeriksaan roentgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi jaringan lunak
c. Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi). Peningkatan
jumlah SOP adalah respon stress setelah trauma.
e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kirens ginjal.
f. Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple
atau cedera hati.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ditemukan diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot gerakan fragmen tulang, edema dan
cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress, ansietas
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas sstruktur tulang
dan penurunan kekuatan otot
3. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk dan penonjolan tulang
4. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ; kerusakan
kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif, traksi tulang.

INTERVENSI
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan
untuk masing masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan
tujuan dan kriteria hasil sebagai berikut :
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen cidera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang/hilang
Kriteria hasil :
1) Menyatakan nyeri hilang
2) Menunjukan sikap santai
3) Menunjukan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi nyeri, kedalaman, karakteristik serta intensitas
2) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pemberat, traksi
3) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
4) Berikan alternatif tindakan kenyamanan misalnya : pijatan dan perubahan posisi.
5) Ajarkan menggunakan teknik manajemen stress misalnya : relaksasi progresif,
latihan nafas dalam.
6) Kolaborasi, berikan analgetik sesuai program.

2.Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas sstruktur


tulang dan penurunan kekuatan otot
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan mobilitas fisik
terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
2) Mempertahankan posisi fungsional.
3) Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4) Menunjukan teknik yang memampukan melakukan aktivitas.
Intervensi :
1) Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan oleh cidera atau pengobatan dan perhatikan
persepsi klien tehadap imobilisasi.
2) Instruksikan dan Bantu dalam gerak aktif atau pasif pada ekstremitas yang sakit dan
tidak sakit.
3) Bantu dan dorong perawatan diri dan Bantu imobilitas dengan kursi roda dan tongkat.
4) Observasi TTV.
5) Konsul dengan ahli terapi atau okupasi dan spesifikasi rehabilitasi.

3. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk dan penonjolan


tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit
tidak terjadi.
Kriteria evaluasi :
1) Menyatakan ketidaknyamanan hilang.
2) Menunjukan teknik/prilaku untuk mencegah kerusakan kulit.
3) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Intervensi :
1) kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan dan perubahan
warna.
2) Massage kulit dan penonjolan tulang
3) Ubah posisi sesering mungkin
4) Bersihkan kelebihan plester dari kulit
5) Massage kulit disekitar balutan luka dengan alcohol
6) Letakan bantalan pelindung dibawah kaki dandi atas tonjolan tulang.

4. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ;


kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif,
traksi tulang.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi
Kriteria evaluasi :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drinase purulen atau eritema dan
demam.
Intervensi :
1) Inspeksi untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas
2) Observasi tanda tanda infeksi
3) Lakukan perawatan luka sesuai program
4) Observasi hasil laboratorium dan tanda tanda vital
5) Berikan obat antibiotik sesuai program.
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marilynn. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Penerbit buku kedokteran EGC;
Jakarta

Guyton & Hall. (2014). Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta; EGC.

Brunner & Suddarth, 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif. 2013. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.


Jakarta : EGC

Nurarif Amih Huda, 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc. Jakarta: EGC

Price S. A dan Wilson, Lorraine M. C, 2012, Patofisiologi Clinical Concepts of Desiase


Process, Edisi 6, Vol 2, Alih bahasa Brahm U, EGC : jakarta.

Nanda International. 2011. Diagnosis Keperawatan 2009-2011.penerbit buku kedokteran


EGC; Jakarta

Syaifudin. 2016. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperwatan. Penerbit buku kedokteran
EGC; Jakarta

Sylvia, A. (2015). Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit. Edisi 5. Jakarta; EGC.

Anda mungkin juga menyukai