Anda di halaman 1dari 7

Konjungtivitis Virus

1. Konjungtivitis Folikuler Virus Akut

a). Demam Faringokonjungtival

Tanda dan gejala

Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3-40 C, sakit


tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau dua mata.
Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan pada
mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan kadang-
kadang sedikit kekeruhan daerah subepitel. Yang khas adalah
limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan). 1

Laboratorium

Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus


tipe 3 dan kadang kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus itu dapat dibiakkan
dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi. Dengan
berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis secara
serologic dengan meningkatnya titer antibody penetral virus. Diagnosis
klinis adalah hal mudah dan jelas lebih praktis. 1,3

Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel mononuclear, dan


tak ada bakteri yang tumbuh pada biakan. Keadaan ini lebih sering
pada anak-anak daripada orang dewasa dan sukar menular di kolam
renang berchlor. 1,3

Terapi

Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri,


umumnya dalam sekitar 10 hari. 1

b). Keratokonjungtivitis Epidemika

Tanda dan gejala

Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering


pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Pada
awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan berair
mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis epitel,
dan kekeruhan subepitel bulat. Sensai kornea normal. Nodus
preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis,
dan hyperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan
konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk
pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau pembentukan
symblepharon. 1,3

Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan


subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepian, dan
menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa meninggalkan
parut. 1

Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa terbatas pada


bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala
sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media,
dan diare.

Laboratorium

Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19,


29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat
diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi.
Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuclear primer;
bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 1

Penyebaran

Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering


terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang
kurang steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan
mata, terutama anestetika topical, mungkin terkontaminasi saat ujung
penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia.
Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber
penyebaran.1

Pencegahan

Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan dengan


memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata dengan
kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara pemeriksaan
dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata
khususnya tonometer juga suatu keharusan. Tonometer aplanasi harus
dibersihkan dengan alcohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan
air steril dan dikeringkan dengan hati-hati. 3

Terapi

Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan
mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama konjungtivitis akut dapat
memperpanjang keterlibatan kornea sehingga harus dihindari. Agen antibakteri
harus diberikan jika terjadi superinfeksi bacterial. 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000

2. James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005


3. Ilyas DSM, Sidarta,. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 1998

C. KONJUNGTIVITIS ALERGI
1.Definisi
Merupakan suatu peradangan konjungtiva kronik, rekuren bilateral, atopi, yang mengandung
secret mucous sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit ini juga dikenal sebagai
catarrh musim semi.1

2.Klasifikasi
Ada dua tipe konjugtivitis vernalis :3,6
- Bentuk Palpebra
Pada tipe palpebral ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior, terdapat pertumbuhan
papil yang besar atau cobble stone yang diliputi secret yang mukoid. Konjungtiva bawah
hiperemi dan edema dengan kelainan kornea lebih berat disbanding bentuk limbal. Secara
klinik, papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan uang rata
dan dengan kapiler di tengahnya.

- Bentuk Limbal
Hipertrofi pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatine.
Dengan trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel
limbus kornea, terbentuknya panus dengan sedikit eosinofil

3.Patofisiologi
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang interstitial yang
banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai
hiperemi dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat
proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali.
Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga
terbentuklah gambaran cobblestone.

Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga
konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva
tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva
tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik

Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertofi yang
menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering
menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun
kuantitas stem cells.

Tahap awall konjungtivitis vernalis ini ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan ini, akan
tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis
sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil serta pseudomembran milky
white. Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel- sel PMN,
eosinofil, basofil dan sel mast.
Tahap berikutnya akan dijumpai sel- sel mononuclear lerta limfosit makrofag. Sel mast dan
eosinofil yang dijumpai dalam jumlah besar dan terletak superficial. Dalam hal ini hampir
80% sel mast dalam kondisi terdegranulasi. Temuan ini sangat bermakna dalam membuktikan
peran sentral sel mast terhadap konjungtivitis vernalis. Keberadaan eosinofil dan basofil,
khususnya dalam konjungtiva sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.

Fase vascular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase,
peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel radang secara keseluruhan.
Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya deposit
stone yang terlihat secara nyata pada pemeriksaan klinis. Hiperplasi jaringan ikat meluas ke
atas membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Horner- Trantas
dots yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri dari eosinofil, debris selular yang
terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit.

4.Diagnosis
Diagnosis konjungtivitis vernalis ditegakan berdasarkan :
- Gejala klinis1,2,4,6
Keluhan utama adalah gatal yang menetap, disertai oleh gejala fotofobia, berair dan rasa
mengganjal pada kedua mata. Adanya gambaran spesifik pada konjungivitis ini disebabkan
oleh hiperplasi jaringan konjungtiva di daerah tarsal, daerah limbus atau keduanya.
Selanjutnya gambaran yang tampak akan sesuai dengan perkembangan penyakit yang
memiliki bentuk yaitu palpebral ataupun bentuk limbal.
Bentuk palpebral hamper terbatas pada konjungtiva tarsalis superior dan terdapat cobble
stone. Ini banyak terjadi pada anak yang lebih besar. Cobble stone ini dapat demikian berat
sehingga timbul pseudoptosis.

Bentuk limbal disertai hipertrofi limbus yang dapat disertai bintik- bintik yang sedikit
menonjol keputihan dikenal sebagai Horner- Trantas dots. Ini banyak terjadi pada anak- anak
yang lebih kecil. Penebalan konjungtiva palpebra superior akan menghasilkan
pseudomembran yang pekat dan lengket, yang mungkin bias dilepaskan tanpa timbul
perdarahan.

Eksudat konjungtiva sangat spesifik, berwarna putih susu kental, lengket, elastic dan
fibrinous. Peningkatan sekresi mucus yang kental dan adanya peningkatan jumlah asam
hyaluronat, mengakibatkan eksudat menjadi lengket. Hal ini memberikan keluhan adanya
sensasi seperti ada tali atau cacing pada matanya.
- Pemeriksaan Laboratorium1
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva untk mempelajari
gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak eosinofil dan granula- granula
bebas eosinofilik. Di samping itu, terdapat basofil dan granula basofilik bebas.

5.Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada umumnya tidak sulit, kecuali yang dihadapi penderita dewasa muda,
karena mungkin suatu konjungtivitis atopik. Kelainan mata pada konjungtivitis atopik berupa
kelopak mata yang tebal, likenisasi, konjungtiva hiperemi dan kemosis disertai papil- papil di
konjungtiva tarsalis inferior. Kadang- kadang papil ini bias besar mirip cobble stone dan
dapat dijumpai pada konjungtiva tarsalis superior. Trantas dots juga bias dijumpai pada
konjungtivitis atopik meskipun tidak sesering pada konjungtivitis vernalis.

Selain konjungtivitis atopik, perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya Giant Papillary
conjungtivitis pada pemakaian lensa kontak, baik yang hard maupun yang soft. Gejalanya
mulai dengan gatal disertai banyak mucus serta timbulnya atau ditemukannya papil raksasa di
knjungtiva tarsalis superior. Kelainan ini dapat timbul baik satu minggu sesudah pemakaian
lensa kontak maupun setelah lama pemakaian. Pada kelainan ini tidak ada pengaruh musim.
Pemeriksaan sitologi hanya menunjukkan sedikit eosinofil. Dengan dilepasnya kontak lens,
gejala- gejalanya akan berkurang.
Konjungtivitis vernalis kadang- kadang perlu di diagnosis banding dengan trachoma stadium
II yang disertai folikel- folikel yang besar mirip cobble stone.1

6.Penatalaksanaan1,3,5,6
Seperti halnya semua penyakit alergi lainnya, terapi konjungtivitis vernalis bertujuan untuk
mengidentifikasi allergen dan bahkan mungkin mengeliminasi atau menghindarinya. Untuk
itu, anamnesis yang teliti baik pada pasien maupun orang tua akan dapat membantu
menggambarkan aktivitas dan lingkungan mana yang harus dihindari. Dengan demikian,
penatalaksanaan pada pasien ini akan terbagi dalam tiga bentuk yang saling menunjang untuk
dapat memberikan hasil yang optimal. Ketiga bentuk pelaksanaan tersebut meliputi : (1)
Tindakan umum; (2) Terapi medikasi; (3) Pembedahan.

1.Tindakan Umum
Dalam hal ini mencakup tindakan- tindakan konsultatif yang membantu mengurangi keluhan
pasien berdasarkan informasi hasil anamnesis tersebut diatas. Beberapa tindakan tersebut
antara lain :
- Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter
- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuksari
- Menggunakan kacamata berpenutup total untuk mengurangi kontak dengan allergen di
udara terbuka. Pemakaian lensa kontak dihindari karena dapat membantu resistensi allergen.
- Kompres dingin di daerah mata
- Pengganti air mata (artificial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfungsi protektif
karena membantu menghalau allergen.
- Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga disebut climato-therapy.
Cara ini memang kurang praktis, mengingat tingginya biaya yang dibtuhkan. Namun,
efektivitasnya yang cukup dramatis patut diperhitungkan sebagai alternative bila keadaan
memungkinkan
- Menghindari tindakan menggosok- gosok mata dengan tangan atau jari tangan, karena telah
terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator- mediator sel mast.

2.Terapi Medik
Dalam hal ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan kepada pasien dan orang tua pasien tentang
sifat kronis serta self limiting dari penyakit ini. Selain itu perlu juga dijelaskan mengenai
keuntungan dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul dari pengobatan yang ada,
terutama dalam pemakaian steroid. Salah satu factor pertimbangan yang penting dalam
mengambil langkah untuk memberikan obat- obatan adalah eksudat yang kental dan lengket
pada konjungtivitis vernalis ini, karena merupakan indicator yang sensitive dari aktivitas
penyakit, yang pada gilirannya akan memainkan peran penting dalam timbulnya gejala.

Untuk menghilangkan sekresi mucus, dapat digunakan irigasi saline steril dan mukolitik
seperti asetil sistein 10% - 20% tetes mata. Dosisnya tergantung pada kuantitas eksudat serta
beratnya gejala. Dalam hal ini, larutan 10% lebih dapat ditoleransi daripada larutan 10%.
Larutan alkaline seperti sodium karbonat monohidrat dapat membantu melarutkan atau
mengencerkan musin, sekalipun tidak efektif sepenuhnya.

Satu- satunya terapi yang dipandang paling efektif untuk pengobatan konjungtivitis vernalis
ini adalah kortikosteroid, baik topical maupun sistemik. Namun untuk pemakaian dalam dosis
besar harus diperhitungkan kemungkinan timbulnya resiko yang tidak diharapkan.
Untuk Konjungtivitis vernal yang berat, bias diberikan steroid topical prednisolone fosfat 1%,
6- 8 kali sehari selama satu minggu. Kemudian dilanjutkan dengan reduksi dosis sampai dosis
terendah yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Pada kasus yang lebih parah, bias juga
digunakan steroid sistemik seperti prednisolon asetet, prednisolone fosfat atau deksametason
fosfat 2- 3 tablet 4 kali sehari selama 1-2 minggu. Satu hal yang perlu diingat dalam kaitan
dengan pemakaian preparat steroid adalah gnakan dosis serendah mungkin dan sesingkat
mungkin.

Antihistamin, baik local maupun sistemik dapat dipertimbangkan sebagai plihan lain karena
kemampuannya untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien. Apabila dikombinasi
dengan vasokonstriktor, dapat memberikan control yang memadai pada kasus yang ringan
atau memungkinkan reduksi dosis. Bahkan menangguhkan pemberian kortikosteroid topical.
Satu hal yang tidak disukai dari pemakaian antihistamin adalah efek samping yang
menimbulkan kantuk. Pada anak- anak, hal ini dapat juga mengganggu aktivitas sehari- hari.

Emedastine adalah antihistamin paling poten yang tersedia di pasaran dengan kemampuan
mencegah sekresi sitokin. Sementara olopatadine merupakan antihistamin yang berfungsi
sebagai inhibitor degranulasi sel mast konjungtiva.
Sodium kromolin 4% terbukti bermanfaat karena kemampuannya sebaga pengganti steroid
bila pasien sudah dapat dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu mengurangi kebutuhan
akan pemakaian steroid. Sodium kromolin berperan sebagai stabilisator sel masi, mencegah
terlepasnya beberapa mediator yang dihasilkan pada reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu
menghambat pengikatan IgE terhadap sel maupun interaksi sel IgE dengan antigen spesifik.
Titik tangkapnya, diduga sodium kromolin memblok kanal kalsium pada membrane sel serta
menghambat pelepasan histamine dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi.

Lodoksamid 0,1% bermanfaat mengurangi infiltrate radang terutama eosinofil dalam


konjungtiva. Levokabastin tetes mata merupakan suatu antihistamin yang spesifik terhadap
konjungtivitis vernalis, dimana symptom konjungtivitis vernalis hilang dalam 14 hari.

3. Terapi pembedahan
Berbagai terapi pembedahan, krioterapi dan diatermi pada papil raksasa konjungtiva tarsal
kini sudah ditinggalkan mengingat banyaknya efek samping dan terbukti tidak efektif, karena
dalam waktu dekat akan tumbuh lagi. Apabila segala bentuk pengobatan telah dicoba dan
tidak memuaskan, maka metode dengan tandur alih membrane mukosa pada kasus
konjungtivitis vernalis tipe palpebra yang parah perlu dipertimbangkan. Akhirnya perlu
dipetekankan bahwa konjungtivitis vernalis biasanya berlangsung selama 4- 6 tahun dan bisa
sembuh sendiri apabila anak sudah dewasa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Staff Ilmu Penyakit Mata FK UGM, Keratokonjungtivitis Vernalis dalam


http://www.tempo.com.id/medika/042002.htm

2. Al-Ghozie, M., Handbook of Ophthalmology : A Guide to Medical Examination, FK UMY,


Yogyakarta, 2002

3. Wijana, N., Konjungtiva dalam Ilmu Penyakit Mata, 1993, hal: 41-69

4. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah., Buku Pedoman Kesehatan Mata Telinga dan Jiwa,
2001

5. Vaughan, D.G, Asbury, T., Eva, P.R., General Ophthalmology, Original English Language
edition, EGC, 1995

6. Ilyas, S., Konjungtivitis Vernalis dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, Cetakan I, Fakultas
Kedokteran UI, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2004

Anda mungkin juga menyukai