Gambar 3. CT Scan (coronal) dengan otitis eksterna maligna. Terlihat erosi pada sendi
temporomandibular dan jaringan opak pada cavum timpani.
DISKUSI
Otitis eksterna maligna (OEM) merupakan infeksi telinga luar yang bersifat ganas. Kasus ini
jarang terjadi, tetapi dapat berakibat fatal. Pada tahun 1959, Meltzer menyebut penyakit ini
sebagai osteomyelitis pyokutaneus pada tulang temporal. Pertama kali OEM dibahas oleh
Toulmouche tahun 1838, dan di publikasikannya penyakit ini oleh Chandler. Infeksi yang
bersifat agresif ini sering terjadi pada pasien yang mengalami imunokompromis, yaitu pada
penderita Diabetes Melitus, HIV, kemoterapi dengan aplasia, anemia refraktori, leukemia kronik,
splenektomi, dan post transplantasi ginjal.
Gambaran klinis pada OEM yaitu: otalgia berat, otorrhea yang bersifat purulent, perasaan penuh
pada telinga, dan penurunan pendengaran. Otalgia yang dikeluhkan pasien tidak seperti otalgia
pada otitis eksterna, karena pada kasus ini gejala yang paling dominan dan paling berat adalah
nyeri pada telinga (otalgia). Nyeri pada persendian temporomandibular, nyeri pada daerah wajag,
nyeri kepala dan trismus, serta kelumpuhan saraf fasialis merupakan gejala lain yang dapat
terjadi pada otitis eksterna maligna.
Pada beberapa literature sebelumnya dijelaskan bahwa dapat terjadi peningkatan laju endap
darah (LED), walaupun hal tersebut tidak dapat menjadi dasar diagnostik tetapi dapat menjadi
penanda prognosis. Dalam penelitian ini, hanya 1 pasien yang tidak mengalami peningkatan
LED. Namun, peneliti tidak dapat meninjau kembali LED pada pasien-pasien tersebut. Granulasi
di kanal pendengaran eksternal adalah temuan paling umum yang sering dilaporkan dalam
literatur.
Kriteria Levenson sangat penting untuk mendiagnosis OEM. Kriteria tersebut meliputi otitis
externa refrakter, otalgia nokturnal yang parah, otorrhea purulen, adanya jaringan granulasi di
kanalis auditorius eksternus, pertumbuhan Pseudomonas pada hasil kultur sekret telinga, dan
adanya diabetes atau penyakit immunocompromised.
Saraf wajah adalah saraf kranial yang paling sering terkena. Hal ini dikarenakan jarak dengan
foramen stylomastoi yang berdekatand. Dalam penelitian ini, hanya ditemukan satu pasien yang
memiliki kelumpuhan saraf wajah. Kelumpuhan saraf wajah tidak sembuh bahkan setelah
selesainya pengobatan OEM.
Sedangkan pada penelitian Rajput Dkk, dengan 21 sampel kasus, dilaporkan delapan pasien
dengan kelumpuhan saraf kranialis, lima dengan kelumpuhan nervus fasialis, dua dengan
kelumpuhan nervus fasialis dan nervus vagus, serta terdapat satu orang pasien dengan
kelumpuhan pada nervus fasialis dan nervus trigeminus. Kelumpuhan tidak pulih selama
pengobatan dan masa tindak lanjut, yang mana kelumpuhan yang menetap pada pasien juga
terjadi pada penelitian ini.