Spionase atas Timor Leste dan Pencurian Data dan Dokumen Timor Leste
oleh Australia
I. Spionase
Tuduhan Timor Leste terhadap Autralia mengenai kegiatan spionase Australia yang
dilakukan dengan cara memasang alat penyadap di dinding-dinding kantor kabinet pada
tahun 2004 dengan tujuan untuk menguping pembahasan tentang perjanjian Certain
Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) hal ini dilakukan untuk memperoleh
informasi tentang strategi Timor Leste dan posisi negosiasi. Apabila tuduhan yang
disampaikan oleh Timor Leste dapat dibuktikan kebenarannya maka tindakan Australia yang
melakukan spionase selama proses negosiasi perjanjian CMATS dengan Timor Leste tidak
dapat dibenarkan karena dalam proses negosiasi tersebut Australia telah melanggar prinsip
umum Itikad Baik (Good Faith). Itikad baik itu sendiri memiliki perwujudan sebagai berikut :
Teori klasik mengenai prinsip Itikad baik menyatakan bahwa Itikad baik hanya dapat
dilaksanan pada saat pelaksanaan perjanjian. Sedangkan teori modern menyatakan bahwa
prinsip itikad baik dapat dilaksanan pada saat melaksanakan perundingan dalam menyusun
suatu perjanjian, hal ini dilakukan sebagai perlindungan hukum terhadap pihak yang
mengalami kerugian pada saat perundingan suatu perjanjian. Meskipun dalam pasal 26
Konvensi Wina 1969 menyatakan Every treaty in force is binding upon the parties to it and
must be performed by them in good faith, yang hanya menyatakan bahwa prinsip itikad baik
hanya berlaku dalam pelaksaan sebuah perjanjian, namun, di dalam Nuclear Test Case
(Australia vs France ), ICJ mengatakan One of the basic principles governing the creation
and performance of legal obligations, whatever their source, is the principle of good faith1
Bahkan ILC menambahkan dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian bahwa In the
case of treaties, however, there is the special consideration that the parties by negotiating
and concluding the treaty have brought themselves into a relationship in which there are
Selain melanggar itikad baik, dalam proses negosiasi perjanjian CMATS, Australia telah
melakukan penyadapan dengan maksud mendapatkan intelijen mengenai strategi Timor Leste
dan posisi negosiasi, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hal tersebut merupakan kegiatan
mencampuri urusan dalam negeri dari negara penerima (Indonesia). Konvensi Wina 1961
tentang Hubungan Diplomatik melarang secara tegas dalam Pasal 41 ayat (1) Without
prejudice to their privileges and immunities, it is the duty of all persons enjoying such
privileges and immunities to respect the laws and regulations of the receiving State. They
also have a duty not to interfere in the internal affairs of that State.. Hal ini juga jelas
melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB yang isinya tentang Prinsip non-
intervensi urusan dalam negeri suatu negara (The Principle of noninterference in the internal
affairs of state).
1 Kate Mitchell dan Dapo Akende, Espionage & Good Faith in Treaty Negotiations: East Timor v Australia,
diakses dari http://www.ejiltalk.org/espionage-fraud-good-faith-in-treaty-negotiations-east-timor-v-australia-in-
the-permanent-court-of-arbitration/, hal 2
2 Kate Mitchell dan Dapo Akende, Espionage & Good Faith in Treaty Negotiations: East
Timor v Australia, diakses dari http://www.ejiltalk.org/espionage-fraud-good-faith-in-treaty-
negotiations-east-timor-v-australia-in-the-permanent-court-of-arbitration/, hal 2
II. Keabsahan Perjanjian CMATS
Apabila Australia terbukti melakukan kegiatain spionase terhadap Timor Leste dalam
proses negosiasi perjanjian CMATS, dengan maksud mendapatkan intelijen mengenai strategi
Timor Leste dan posisi negosiasi, maka sesuai dengan penjelasan ILC dalam Konvensi Wina
proceedings by which a State is induced to give consent to a treaty which it would not
otherwise have given..3. Maka tindakan Australia tersebut dapat dikategorikan sebagai
deceitful action sehingga pemberian izin terhadap perjanjian itu tidak diberikan.
Timor Leste menyatakan bahwa pada tanggal 3 Desember 2013, petugas dari Australia
Security Intelligence Org., sesuai dengan surat perintah yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung
yang berada di Canberra dan menyita data dan dokumen. Dokumen dan data terkait dengan
penundaan proses arbitrase juga ikut disita. Timor Leste kemudian berpendapat bahwa
Negara memiliki hak atas teritori dan properti. Teritori suatu negara adalah wilayah
dimana suatu negara tersebut memiliki kedaulatannya, sedangkan properti suatu negara
adalah benda yang nyata maupun tidak nyata dimana suatu negara telah memiliki hak milik
atas objek itu. Dalam hak negara atas suatu properti, terdapat beberapa properti suatu negara
yang disimpan di luar negeri. Seperti properti diplomatik dan alat transportasi yang berada di
3 Kate Mitchell dan Dapo Akende, Espionage & Good Faith in Treaty Negotiations: East Timor v Australia,
diakses dari http://www.ejiltalk.org/espionage-fraud-good-faith-in-treaty-negotiations-east-timor-v-australia-in-
the-permanent-court-of-arbitration/, hal. 3
Dalam kasus ini, memang benar bahwa suatu negara memiliki hak atas suatu properti,
namun hal ini tidak mencakup semua jenis properti. Begitu pula dokumen yang ada di kantor
pengacara Timor Leste tersebut, dokumen tersebut pada dasarnya merupakan dokumen milik
pengacara tersebut bukan dokumen milik negara Timor Leste. Sehingga tindakan yang
dilakukan oleh Australia bukanlah termasuk tindakan pencurian terhadap aset atau property
negara lain.
Daftar Pustaka
Mitchell, Kate and Dapo Akande, 2013 , Espionage & Good Faith in Treaty
Tzeng, Peter, 2016, The States Right To Property Under International Law