Anda di halaman 1dari 28

1.

Menurut Soesilo (Husein, 2003) ada dua pengertian kejahatan, yaitu pengertian
kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi
juridis, kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan
undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, kejahatan adalah perbuatan atau tingkah
laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu
berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

2. Menurut Bemmelem(Husein, 2003) kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial


yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam
masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, Negara harus
menjatuhkan hukuman kepada penjahat.

3. Menurut Elliot (Husein, 2003) kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat
modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukurnan
penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.

4. Menurut Bonger (Husein, 2003) kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial
yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.

5. Menurut Moeliono (Husein, 2003) kejahatan adalah perbuatan pelanggaran norma


hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang
merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).

6. Menurut Sahetapy dan Reksodiputro (Husein, 2003) kejahatan mengandung konotasi


tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung
variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif
maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat
sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan
atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

MAKALAH : Kriminologi Kejahatan dan Faktor


Penyebab
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-
perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai
penjahat.
Ada empat pendekatan yang pada dewasa ini masih ditempuh dalam menjelaskan latar
belakang terjadinya kejahatan, adalah :
1. Pendekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang mencoba menjelaskan sebab atau sumber
kejahatan berdasarkan faktor-faktor dan proses biologis.
2. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar hukum memberi respons
terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta masalah-masalah kepribadian yang
mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.
3. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan dalam hubungannya dengan poses-
proses dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang secara khusus
dikaitkan dengan unsur-unsur didalam sistem budaya.
4. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan tipologi penjahat dalam
hubungannya dengan peranan sosial pelanggar hukum, tingkat identifikasi dengan kejahatan,
konsepsi diri, pola persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau yang bukan penjahat,
kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara melakukan dan hubungan prilaku
dengan unsur-unsur kepribadian serta sejauh mana kejahatan merupakan bagian dari
kehidupan seseorang.

B. Rumusan Masalah
Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada

tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu

kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah secara luas

menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala

yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya

kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman

oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia

Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang

pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur

dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan

sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut

ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.


Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat yang berada

dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah Genosida, Kejahatan

perang, dan kejahatan Agresi.

C. Tujuan Penulisan
1. Mengenal dan memahami ciri-ciri, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan
2. Mengetahui latar belakang terjadinya kejahatan, teori-teori tentang kejahatan, dan juga upaya
untuk menanggulanginya
3. Meningkatkan pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan akibat adanya kejahatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kejahatan
Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000
tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga
sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan
ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk
sipil.
Selain itu ada juga beberapa definisi tentang kejahatan menurut para ahli, diantaranya :
1. Menurut B. Simandjuntak, kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan,
tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam
masyarakat.
2. Menurut Van Bammelen, kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan
merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat
tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya
atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
3. Menurut R. Soesilo, ia membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian
kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu
perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang- undang. Ditinjau dari segi
sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang
selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
4. Menurut J.M. Bemmelem, ia memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial yang
menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat
terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus menjatuhkan
hukuman kepada penjahat.
5. Menurut M.A. Elliot, ia mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam
masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi
hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.
6. Menurut W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti
sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.
7. Menurut Paul Moedikdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan pelanggaran norma hukum
yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan,
menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).
8. Menurut J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam
Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu
pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian
dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian
mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan
terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai
dengan ruang dan waktu.
Walter C. Recless membedakan karir penjahat ke dalam penjahat biasa, penjahat
berorganisasi dan penjahat profesional. Penjahat biasa adalah peringkat terendah dalam karir
kriminil, mereka melakukan kejahatan konvensional mulai dari pencurian ringan sampai
pencurian dengan kekerasan yang membutuhkan keterampilan terbatas, juga kurang
mempunyai organisasi. Penjahat terorganisasi umumnya mempunyai organisasi yang kuat
dan dapat menghindari penyelidikan, serta mengkhususkan diri dalam bisnis ilegal berskala
besar, Kekuatan, kekerasan, intimidasi dan pemerasan digunakan untuk memperoleh dan
mempertahankan pengendalian atas kegiatan ekonomi diluar hukum. Adapun penjahat
professional lebih mempunyai kemahiran yang tinggi dan mampu menghasilkan kejahatan
yang besar dan yang sulit diungkapkan oleh penegak hukum. Penjahat-penjahat jenis ini
mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih membutuhkan keterampilan
daripada kekerasan.

B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan


Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba,
diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya dalam
masalah "urban crime"), antara lain:
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/ kekurangan perumahan
yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yanag tidak cocok/serasi.
b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena 81 proses
integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial
c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga
d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-
kota atau ke negara-negara lain.
e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan
diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial, kesejahteraan clan
lingkungan pekerjaan
f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan
kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga
g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi
sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, keluarganya, tempat kerjanya
atau lingkungan sekolahnya
h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperlukan karena
faktor-faktor yang disebut diatas
i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan
penadahan barang-barang curian
j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang
mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleransi.

C. Tipe Kejahatan
Marshall B. Clinard dan Richard Quinney memberikan 8 tipe kejahatan yang didasarkan
pada 4 karakteristik, yaitu :
a. Karir penjahat dari si pelanggar hukum
b. Sejauh mana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok
c. Hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah
d. Reaksi sosial terhadap kejahatan.
Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut :
1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminil
seperti pembunuhan dan perkosaan. Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan
seringkali belum pemah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena
keadan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya.
2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk kedalamnya antara
lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat
dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.
3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya
dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai
penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan
sehari-hari.
4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dan sebagainya. Pelaku
melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegai itu sangat penting dalam mencapai
perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat.
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat
apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya
pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas.
6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian
terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time-
Carreer dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan
dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari
masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar.
7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian
terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebaigainya. Pelaku yang berasal dari eselon
bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan
kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan para eselon
atasnya tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal
dilingkungan-lingkungan pemukiman yang baik.
8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka
memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain serta
mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering juga cenderung terasing dari
masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan
ini tidak selalu keras.
D. Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul
adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan hukuman. Pada
umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak puniendi) adalah di dalam
tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan
pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi
manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah
negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia
tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan.
Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap
serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi
manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu. Orang berusaha untuk menunjukkan alasan
apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu
dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan
bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh
karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas
tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan
E. Teori-teori Kejahatan
1. Teori Belajar Sosial
Teori Differential Association dari Sutherland, pada pokoknya, mengetengahkan suatu
penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan dimengerti
sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari melalui interaksi pelaku dengan orang-orang
lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-
teknik untuk melakukan kejahatan, motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan
pembenaran-pembenaran argumentasi yang mendukung dilakukannya kejahatan.
2. Teori Kontrol Sosial
Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di dalam masyarakat
bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar hukum. Dalam kaitan ini ada
beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang bersifat positif, yakni Attachment,
Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang diyakini merupakan mekanisme penghalang
bagi seseorang yang berniat melakukan pelanggaran hukum.
3. Teori Label
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur
atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif
dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan.
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan
mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label
tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku
kejahatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah politik
kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter Hoefnagels upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application)
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass
media (influencing views of society on crime and punishment/massa media).
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua,
yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal' (bukan/diluar hukum
pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas upaya-upaya yang disebut dalam
(b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal.
Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non
penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai
perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai
tindakan preventif dalam arti luas.
B. Saran
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat akan
pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-
faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung
dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Faktor-faktor Penyebab Kejahatan

Masalah sebab-sebab kejahatan selalu merupakan permasalahan yang sangat menarik. Berbagai
teori yang menyangkut sebab kejahatan telah diajukan oleh para ahli dari berbagai disiplin dan bidang
ilmu pengetahuan. Namun, sampai dewasa ini masih belum juga ada satu jawaban penyelesaian
yang memuaskan.
Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah laku manusia baik dengan pendekatan deskriptif
maupun dengan pendekatan kausal, sebenarnya dewasa ini tidak lagi dilakukan penyelidikan sebab
musabab kejahatan, karena sampai saat ini belum dapat ditentukan faktor penyebab pembawa risiko
yang lebih besar atau lebih kecil dalam menyebabkan orang tertentu melakukan kejahatan, dengan
melihat betapa kompleksnya perilaku manusia baik individu maupun secara berkelompok.

Sebagaimana telah di kemukakan, kejahatan merupakan problem bagi manusia karena meskipun
telah ditetapkan sanksi yang berat kejahatan masih saja terjadi. Hal ini merupakan permasalahan
yang belum dapat dipecahkan sampai sekarang.

Separovic (Weda, 1996:76) mengemukakan, bahwa :

Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu (1) faktor personal, termasuk di
dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis
(agresivitas, kecerobohan, dan keteransingan), dan (2) faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor
tempat dan waktu.

Dalam perkembangan, terdapat beberapa faktor berusaha menjelaskan sebab-sebab kejahatan. Dari
pemikiran itu, berkembanglah aliran atau mazhab-mazhab dalam kriminologi. Sebenarnya
menjelaskan sebab-sebab kejahatan sudah dimulai sejak abad ke-18. Pada waktu itu, seseorang
yang melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yang dirasuk setan. Orang berpendapat bahwa
tanpa dirasuk setan seseorang tidak akan melakukan kejahatan. Pandangan ini kemudian
ditinggalkan dan muncullah beberapa aliran, yaitu aliran, yaitu aliran klasik, kartografi, tipologi dan
aliran sosiologi berusaha untuk menerangkan sebab-sebab kejahatan secara teoritis ilmiah.

Aliran klasik timbul dari Inggris, kemudian menyebar luaskan ke Eropa dan Amerika. Dengan aliran ini
adalah psikologi hedonistik. Bagi aliran ini setiap perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan
rasa senang dan tidak senang. Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang
buruk. Perbuatan berdasarkan pertimbangan untuk memilih kesenangan atau sebaliknya yaitu
penderitaan. Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan sudah tentu lebih banyak
mendatangkan kesenangan dengan konsekuensi yang telah dipertimbangkan, walaupun dengan
pertimbangan perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan kesenangan.

Tokoh utama aliran ini adalah Beccaria yang mengemukakan bahwa setiap orang yang melanggar
hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut.
Sementara itu Bentham (Weda, 1996:15) menyebutkan bahwa the act which i think will give me mosi
plesseru. Dengan demikian, pidana yang berat sekalipun telah diperhitungkan sebagai kesenangan
yang akan diperoleh.

Aliran kedua adalah kartographik para tokoh aliran ini antara lain Quetet dan Querry. Aliran ini
dikembangkan di Prancis dan menyebar ke inggris dan Jerman. Aliran ini memperhatikan penyebaran
kejahatan pada wilayah tertentu berdasarkan faktor geografik dan sosial. Aliran ini berpendapat
bahwa kejahatan merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi sosial yang ada.

Aliran ketiga adalah sosialis yang bertolak dari ajaran Marx dan Engels, yang berkembang pada
tahun 1850 dan berdasarkan pada determinisme ekonomi (Bawengan, 1974:32). Menurut para tokoh
aliran ini, kejahatan timbul disebabkan adanya sistem ekonomi kapitalis yang diwarnai dengan
penindasan terhadap buruh, sehingga menciptakan faktor-faktor yang mendorong berbagai
penyimpangan.
Aliran keempat adalah tipologik. Ada tiga kelompok yang termasuk dalam aliran ini yaitu Lambrossin.
Mental tester, dari psikiatrik yang mempunyai kesamaan pemikiran dan mitologi, mereka mempunyai
asumsi bahwa beda antara penjahat dan bukan penjahat terletak pada sifat tertentu pada kepribadian
yang mengakibatkan seseorang tertentu berbuat kejahatan dan seseorang lain tadi kecenderungan
berbuat kejahatan mungkin diturunkan dari orang tua atau merupakan ekspresi dari sifat-sifat
kepribadian dan keadaan sosial maupun proses-proses lain yang menyebabkan adanya potensi-
potensi pada orang tersebut (Dirjosisworo, 1994:32).

Ketiga kelompok tipologi ini berbeda satu dengan yang lainnya dalam penentuan ciri khas yang
membedakan penjahat dan bukan penjahat. Menurut Lambroso kejahatan merupakan bakat manusia
yang dibawa sejak lahir. Oleh karena itu dikatakan bahwa criminal is born not made (Bawengan,
1974).

Ada beberapa proposisi yang di kemukakan oleh Lambroso, yaitu : (1) penjahat dilahirkan dan
mempunyai tipe yang berbeda-beda, (2) tipe ini biasa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti
tengkorak yang asimetris, rahang bawah yang panjang, hidung yang pesek, rambut panjang yang
jarang dan tahan terhadap rasa sakit tanda ada bersamaan jenis tipe penjahat, tiga sampai lima
diragukan dan di bawah tiga mungkin bukan penjahat, (3) tanda-tanda lahirilah ini bukan merupakan
penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda pengenal kepribadian yang cenderung mempunyai
perilaku kriminal.

Ciri-ciri ini merupakan pembaharuan sejak lahir, (4) karena adanya kepribadian ini, maka tidak dapat
menghindar dari melakukan kejahatan kecuali bila lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan,
dan (5) penjahat-penjahat seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seks dapat dibedakan oleh tanda
tertentu.

Setelah menghilangnya aliran Lambroso, muncullah aliran mental tester. Aliran ini dalam
metodologinya menggunakan tes mental. Menurut Goddart (Weda, 1996:18), setiap penjahat adalah
orang yang feeble mindedness (orang yang otaknya lemah). Orang yang seperti ini tidak dapat pula
menilai akibat perbuatannya tersebut. Kelemahan otak merupakan pembawaan sejak lahir serta
penyebab orang melakukan kejahatan.

Kelompok lain dari aliran tipologi adalah psikiatrik. Aliran ini lebih menekankan pada unsur psikologi,
yaitu pada gangguan emosional. Gangguan emosional diperoleh dalam interaksi sosial oleh karena
itu pokok ajaran ini lebih mengacu organisasi tertentu daripada kepribadian seseorang yang
berkembang jauh dan terpisah dari pengaruh-pengaruh jahat tetap akan menghasilkan kelakuan
jahat, tanpa mengingat situasi-situasi sosial.

Aliran sosiologis menganalisis sebab-sebab kejahatan dengan memberikan interpretasi, bahwa


kejahatan sebagai a function of environment. Tema sentral aliran ini adalah that criminal behaviour
results from the same processes as other social behaviour. Bahwa proses terjadinya tingkah laku
jahat tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya, termasuk tingkah laku yang baik. Salah seorang
tokoh aliran ini adalah Sutherland. Ia mengemukakan bahwa perilaku yang dipelajari di dalam
lingkungan sosial. Semua tingkah laku sosial dipelajari dengan berbagai cara.

Munculnya teori Asosiasi diferensial oleh Sutherland ini didasarkan pada sembilan proposisi
(Atmasasmita, 1995:14-15) yaitu :

a) Tingkah laku kriminal dipelajari

b) Tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunitas.
c) Bagian yang terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-
kelompok orang intim/ dekat.

d) Ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran itu termasuk (a) teknik-teknik melakukan
kejahatan, yang kadang sulit, kadang sangat mudah dan (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-
dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap.

e) Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-
aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak

f) Seseorang menjadi delikuen karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar


hukum lebih dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum.

g) Asosiasi diferensial itu mungkin bervariasi tergantung dari frekuensinya, durasinya, prioritasnya
dan intensitasnya.

h) Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola kriminal dan arti
kriminal melibatkan semua mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain.

i) Walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai
umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-
nilai yang sama.

Pada awal 1960-an muncullah perspektif label. Perspektif ini memiliki perbedaan orientasi tentang
kejahatan dengan teori-teori lainnya. Perspektif label diartikan dari segi pemberian nama, yaitu bahwa
sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh
masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya (dirdjosisworo,
1994:125).

Menurut Tannenbaum (Atmasasmita 1995:38) kejahatan tidak sepenuhnya merupakan hasil dari
kekurang mampuan seseorang tetapi dalam kenyataannya, ia telah dipaksa untuk menyesuaikan
dirinya dengan kelompoknya.

Lemert (Purnianti, 1994:123) menunjukkan adanya hubungan pertalian antara proses stigmatisasi,
penyimpangan sekunder dan konsekuensi kehidupan karir pelaku penyimpangan atau kejahatan.
Yang diberi label sebagai orang yang radikal atau terganggu secara emosional berpengaruh terhadap
bentuk konsep diri individu dan penampilan perannya.

Pendekatan lain yang menjelaskan sebab-sebab kejahatan adalah pendekatan sobural, yaitu akronim
dari nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktur yang merupakan elemen-elemen yang
terdapat dalam setiap masyarakat (Sahetapy, 1992:37). Aspek budaya dan faktor struktural
merupakan dua elemen yang saling berpengaruh dalam masyarakat. Oleh karena itu, kedua elemen
tersebut bersifat dinamis sesuai dengan dinamisasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti,
kedua elemen tersebut tidak dapat dihindari dari adanya pengaruh luar seperti ilmu pengetahuan dan
teknologi dan sebagainya. Kedua elemen yang saling mempengaruhi nilai-nilai sosial yang terdapat
dalam masyarakat. Dengan demikian, maka nilai-nilai sosial pun akan bersifat dinamis sesuai dengan
perkembangan aspek budaya dan faktor struktural dalam masyarakat yang bersangkutan.
A. Teori Tentang Sebab-sebab Kejahatan

Di dalam kriminologi dikenal adanya beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk
menganalisis permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori-teori tersebut
pada hakekatnya berusaha untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat
dengan kejahatan, namun dalam menjelaskan hal tersebut sudah tentu terdapat hal-hal yang berbeda
antara satu teori dengan teori lainnya.

Made Darma Weda (1996:15-20) mengemukakan teori-teori kriminologi tentang kejahatan,


sebagai berikut :

1. Teori Klasik

Teori ini mulai muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-19 dan tersebar di Eropa dan
Amerika. Teori ini berdasarkan psikologi hedonistik. Menurut psikologi hedonistik setiap perbuatan
manusia berdasarkan pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang (sakit). Setiap manusia
berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, perbuatan mana yang mendatangkan
kesenangan dan yang mana yang tidak.

Menurut Beccaria (Made Darma Weda, 1996:15) bahwa:

Setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang
diperoleh dan perbuatan tersebut. That the act which I do is the act which I think will give me most
pleasure.

Lebih lanjut Beccaria (Purnianti dkk., 1994:21) menyatakan bahwa:

Semua orang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa
mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lainnya.
Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian beratnya, sehingga melebihi suka yang diperoleh dari
pelanggaran undang-undang tersebut.

Berdasarkan pendapat Beccaria tersebut setiap hukuman yang dijatuhkan sekalipun pidana
yang berat sudah diperhitungkan sebagai kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud
pendapat Beccaria adalah untuk mengurangi kesewenangan dan kekuasaan hukuman.

Pendapat ekstrim tersebut (Purniati dkk., 1994:21) dipermak menjadi dua hal:

1. Anak-anak dan orang-orang gila mendapat pengecualian atas dasar pertimbangan bahwa
mereka tidak mampu untuk memperhitungkan secara intelegen suka dan duka.

2. Hukuman ditetapkan dalam batas-batas tertentu, tidak lagi secara absolut, untuk
memungkinkan sedikit kebijaksanaan.

Konsep keadilan menurut teori ini adalah suatu hukuman yang pasti untuk perbuatan-
perbuatan yang sama tanpa memperhatikan sifat dari sifat si pembuat dan tanpa memperhatikan pula
kemungkinan adanya peristiwa- peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut.
2. Teori Neo Klasik.

Menurut Made Darma Weda (1996:15) bahwa:

Teori neo klasik ini sebenarnya merupakan revisi atau pembaharuan teori klasik, dengan demikian
teori neo klasik ini tidak menyimpang dari konsepsi-konsepsi umum tenteng sifat-sifat manusia yang
berlaku pada waktu itu. Doktrin dasarnya tetap yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang
mempunyai rasio yang berkehendak bebas dan karenanya bertanggung jawab atas perbuatan-
parbuatannya dan dapat dikontrol oleh rasa katakutannya terhadap hukum.

Ciri khas teori neo klasik (Made Darma Weda,1996:15) adalah sebagai berikut

a. Adanya perlunakan/perubahan pada doktrin kehendak bebas. Kebebasan kehendak untuk


memilih dapat dipengaruhi oleh:

i. Patologi, ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa, atau lain-lain keadaan yang mencegah
seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya.

ii. Premeditasi niat, yang dijadikan ukuran dari kebebasan kehendak, tetapi hal ini menyangkut
terhadap hal-hal yang aneh, sebab jika benar, maka pelaku pidana untuk pertama kali harus dianggap
lebih bebas untuk memilih dari pada residivis yang terkait dengan kebiasaan-kebiasaannya, dan oleh
karenanya harus dihukum dengan berat.

b. Pengakuan dari pada sahnya keadaan yang berubah ini dapat berupa fisik (cuaca, mekanis, dan
sebagainya) keadaan-keadaan lingkungannya atau keadaan mental dari individu.

c. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan perubahan hukuman menjadi
tanggung jawab sebagian saja, sebab-sebab utama untuk mempertanggung jawabkan seseorang
untuk sebagian saja adalah kegilaan, kedunguan, usia dan lain-lain yang dapat mempengaruhi
pengetahuan dan niat seseorang pada waktu melakukan kejahatan.

d. Dimasukkan persaksian/ keterangan ahli di dalam acara pengadilan untuk menentukan besarnya
tanggung jawab, untuk menentukan apakah si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan
salah.

Berdasarkan ciri khas teori neo klasik, tampak bahwa teori neo-klasik menggambarkan
ditinggalkannya kekuatan yang supra natural, yang ajaib (gaib), sebagai prinsip untuk menjelaskan
dan membimbing terbentuknya pelaksanaan hukum pidana. Dengan demikian teori teori neo-klasik
menunjukkan permulaan pendekatan yang naturalistik terhadap perilaku/ tingkah laku manusia.

Gambaran mengenai manusia sebagai boneka yang dikuasai oleh kekuatan gaib digantinya dengan
gambaran manusia sebagai makhluk yang berkehendak sendiri, yang bertindak atas dasar rasio dan
intelegensia dan karena itu bertanggungjawab atas kelakuannya.

Menurut A.S.Alam (Kuliah Kriminologi, 13-11-1999) bahwa :

Teori-teori klasik melihat bahwa orang yang tidak mampu menentukan perbuatan nikmat atau
tidaknya tidak dapat melakukan kejahatan. Olehnya itu menurut ajaran teori neo-klasik, anak-anak
dan orang yang lemah ingatan dibebaskan dari tanggungjawab atas perbuatannya

3. Teori Kartografi/Geografi
Teori kartografi yang berkembang di Perancis, Inggris, Jerman. Teori ini mulai berkembang pada
tahun 1830 - 1880 M. Teori ini sering pula disebut sebagai ajaran ekologis. Yang dipentingkan oleh
ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun
secara sosial.

Menurut Made Darma Weda (1996:16) bahwa:

Teori ini kejahatan merupakan perwujudan kondisi-kondisi sosial yang ada. Dengan kata lain bahwa
kejahatan itu muncul disebabkan karena faktor dari luar manusia itu sendiri.

4. Teori Sosialis

Teori sosialis mulai berkembang pada tahun 1850 M. Para tokoh aliran ini banyak dipengaruhi oleh
tulisan dari Marx dan Engels, yang lebih menekankan pada determinasi ekonomi.

Menurut para tokoh ajaran ini (Made Darma Weda 1996:16) bahwa kejahatan timbul disebabkan
oleh adanya tekanan ekonomi yang tidak seimbang dalam masyarakat.

Satjipto Rahardjo (A.S. Alam, Kuliah Kriminologi, 13-11-1999) berpendapat bahwa Kejahatan
itu merupakan bayang-bayang manusia maka dari itu makin tinggi peradaban manusia makin tinggi
pula cara melakukan kejahatan.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka untuk melawan kejahatan itu haruslah diadakan
peningkatan di bidang ekonomi. Dengan kata lain kemakmuran, keseimbangan dan keadilan sosial
akan mengurangi terjadinya kejahatan.

5. Teori Tipologis

Di dalam kriminologi telah berkembang empat teori yang disebut dengan teori tipologis atau
bio-typologis. Keempat aliran tersebut mempunyai kesamaan pemikiran dan metodologi. Mereka
mempunyai asumsi bahwa terdapat perbedaan antara orang jahat dengan orang yang tidak jahat.
Keempat teori tipologis tersebut adalah sebagai berikut:

a. Teori Lombroso/Mazhab Antropologis

Teori ini dipelopori oleh Cesare Lombroso. Menurut Lombroso (Made Darma Weda 1996:16-17)
bahwa:

Kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir (criminal is born).Selanjutnya ia
mengatakan bahwa ciri khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisiknya yang mana sangat
berbeda dengan manusia lainnya.

Adapun beberapa proposisi yang dikemukakan oleh Lombroso (Made Darma Weda, 1996:16) yaitu:

1) Penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe-tipe yang berbeda;

2) Tipe ini biasa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti tengkorak yang asimetris, rahang bawah
yang panjang, hidung yang pesek, rambut janggut yang jarang, dan tahan terhadap rasa sakit;

3) Tanda-tanda lahiriah ini bukan merupakan penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda pengenal
kepribadian yang cenderung mempunyai perilaku kriminal;
4) Karena adanya kepribadian ini, mereka tidak dapat terhindar dari melakukan kejahatan kecuali
bila lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan;

5) Penganut aliran ini mengemukakan bahwa penjahat seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seks
dapat dibedakan oleh ciri-ciri tertentu.

Aliran Lombroso ini bertujuan untuk membantah aliran klasik dalam persoalan determinasi melawan
kebebasan kemauan dan kemudian membantah teori Tarde tentang theory of imitation (Le lois de'l
imitation).

Teori Lombroso ini, dibantah oleh Goring dengan membuat penelitian perbandingan. Hasil
penelitiannya tersebut, Goring (Made Darma Weda, 1996:18) menarik kesimpulan bahwa Tidak ada
tanda-tanda jasmaniah untuk disebut sebagai tipe penjahat, demikian pula tidak ada tanda-tanda
rohaniah untuk menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe.

Menurut Goring (Made Darma Weda, 1996:18) bahwa Kuasa kejahatan itu timbul karena setiap
manusia mempunyai kelemahan/cacat yang dibawa sejak lahir, kelemahan/cacat inilah yang
menyebabkan orang yersebut melakukan kejahatan.

Dengan demikian Goring dalam mencari kausa kejahatan kembali pada faktor psikologis,
sedangkan faktor lingkungan sangat kecil pengaruhnya terhadap seseorang.

b. Teori Mental Tester

Teori mental Tester ini muncul setelah runtuhnya teori Lombroso. Teori ini dalam metodologinya
menggunakan tes mental untuk membedakan penjahat dan bukan pejahat.

Menurut Goddard (Made Darma Weda, 1996:18) bahwa:

Setiap penjahat adalah orang yang otaknya lemah, karena orang yang otaknya lemah tidak dapat
menilai perbuatannya, dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari perbuatannya
tersebut atau menangkap serta menilai arti hukum.

Berdasarkan pendapat tersebut, teori ini memandang kelemahan otak merupakan pembawaan sejak
lahir dan merupakan penyebab orang melakukan kejahatan.

c. Teori Psikiatrik

Teori psikiatrik merupakan lanjutan teori-teori Lombroso dengan melihat tanpa adanya perubahan
pada ciri-ciri morfologi (Made Darma Weda, 1996:19) bahwa:

Teori ini Iebih menekankan pada unsur psikologis, epilepsi dan moral insanity sebagai sebab-sebab
kejahatan.Teori psikiatrik ini, memberikan arti penting kepada kekacauan kekacauan emosional, yang
dianggap timbul dalam interaksi sosial dan bukan karena pewarisan. Pokok teori ini adalah organisasi
tertentu dari pada kepribadian orang, yang berkembang jauh terpisah dari pengaruh jahat, tetapi tetap
akan menghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi situasi sosial.
d. Teori Sosiologis

Dalam memberi kausa kejahatan, teori sosiologis merupakan aliran yang sangat bervariasi. Analisis
sebab-sebab kejahatan secara sosiologis banyak dipengaruhi oleh teori kartografik dan sosialis.

Teori ini menafsirkan kejahatan (Made Darma Weda, 1996:19) sebagai:

fungsi lingkungan sosial (crime as a function of social environment).Pokok pangkal dengan ajaran ini
adalah, bahwa kelakuan jahat dihasilkan oleh proses-proses yang sama seperti kelakuan sosial.
Dengan demikian proses terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya
termasuk tingkah laku yang baik. Orang melakukan kejahatan disebabkan karena orang tersebut
meniru keadaan sekelilingnya.

6. Teori Lingkungan

Teori ini biasa juga disebut sebagai mazhab Perancis. Menurut Tarde (Made Darma Weda,
1996:20)

Teori ini seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor di sekitarnya/lingkungan,
baik lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan termasuk dengan
pertahanan dengan dunia luar, serta penemuan teknologi.

Masuknya barang-barang dari luar negeri seperti televisi, buku-buku serta film dengan
berbagai macam reklame sebagai promosinya ikut pula menentukan tinggi rendahnya tingkat
kejahatan.

Menurut Tarde (Made Darma Weda, 1996:20) bahwa: Orang menjadi jahat disebabkan karena
pengaruh imitation. Berdasarkan pendapat Tarde tersebut, seseorang melakukan kejahatan karena
orang tersebut meniru keadaan sekelilingnya.

7. Teori Biososiologi

Tokoh dari aliran ini adalah A. D. Prins, van Humel, D. Simons dan lain-lain. Aliran biososilogi
ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aIiran antropologi dan aliran sosiologis, oleh karena
ajarannya didasarkan bahwa tiap-tiap kejahatan itu timbul karena faktor individu seperti keadaan
psikis dan fisik dari si penjahat dan juga karena faktor lingkungan.

Menurut Made Darma Weda, (1996:20) bahwa:

Faktor individu itu dapat meliputi sifat individu yang diperoleh sebagai warisan dari orang tuanya,
keadaan badaniah, kelamin, umur, intelek, temperamen, kesehatan, dan minuman keras. Keadaan
lingkungan yang mendorong seseorang melakukan kejahatan itu meliputi keadaan alam (geografis
dan klimatologis), keadaan ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu negara misalnya
meningkatnya kejahatan menjelang pemilihan umum dan menghadapi sidang MPR.

8. Teori NKK
Teori NKK ini merupakan teori terbaru yang rnencoba menjelaskan sebab terjadinya kejahatan
di dalam masyarakat. Teori ini sering dipergunakan oleh aparat kepolisian di dalam menanggulangi
kejahatan di masyarakat.

Menurut A S. Alam (Kuliah Kriminologi, 13-11-1999) bahwa rumus teori ini adalah:

N + K1 = K2

Keterangan:

N = Niat

K1 = Kesempatan

K2 = Kejahatan

Menurut teori ini, sebab terjadinya kejahatan adalah karena adanya niat dan kesempatan yang
dipadukan. Jadi meskipun ada niat tetapi tidak ada kesempatan, mustahil akan terjadi kejahatan,
begitu pula sebaliknya meskipun ada kesempatan tetapi tidak ada niat maka tidak mungkin pula akan
terjadi kejahatan.

Baik dan jahat adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Kita sebagai manusia yang lemah
memang diciptakan Tuhan terbagi atas dua golongan tersebut. Para setan dari golongan jin dan manusia saling
bahu membahu mempengaruhi orang-orang baik menjadi jahat dari awal peradaban manusia hingga hari kiamat
nanti. Orang yang melakukan perbuatan jahat belum tentu jahat. Ada beberapa hal yang melandasi perbuatan
jahat seseorang, di antaranya adalah sebagai berikut di bawah ini.

Hal-Hal Yang Menyebabkan Orang Berbuat Jahat Kepada Orang Lain :

1. Dalam Kondisi Terpaksa / Kepepet

Orang yang dalam situasi dan kondisi yang serba sulit dapat mengubah seseoang yang tadinya tidak ada
keinginan berbuat jahat menjadi pelaku tindak kejahatan. Contoh kondisi sulit yang bisa mengubah perilaku
orang yaitu seperti merasa lapar yang amat sangat, sedang dalam kondisi gawat darurat untuk menyelamatkan
nyawa seseorang, dalam kondisi bencana alam parah dan lain sebagainya di mana tidak ada orang lain yang
datang secara sukarela memberi bantuan.

2. Adanya Kesempatan Berbuat Jahat

Ada orang-orang yang bisa berubah menjadi seorang penjahat jika muncul suatu peluang besar dalam
melakukan tindak kejahatan. Jika dihitung-hitung resiko tertangkap tangan ketika melakukan aksi kejahatan
kecil, serta kecilnya peluang untuk tertangkap setelah dilakukan penyidikan dapat memperbesar dorongan
seseorang untuk berbuat jahat. Seorang penjahat kambuhan akan menjadi gelap mata ketika melihat sebuah
handphone mahal tergeletak tanpa pengawasan. Seorang penjambret dan perampok akan memiliki niat jahat
ketika melihat nenek-nenek memakai banyak perhiasan mahal di tempat yang sepi.

3. Dalam Suatu Tekanan Pihak Tertentu

Seseorang yang dipaksa untuk melakukan suatu tindak kejahatan, bisa saja melakukan perbuatan jahat kepada
orang lain. Misalnya saja seseorang yang anaknya diculik penjahat bisa saja melakukan tindak kriminal sesuai
yang diperintahkan oleh penjahat yang menculik anaknya. Atau para pelajar yang harus ikut tawuran antar
pelajar sekolah jika ingin diakui sebagai teman yang setiakawan oleh teman-teman jahatnya. Biasanya orang
yang berbuat jahat karena alasan ini merasa tekanan batin dan ingin menolak berbuat jahat pada orang lain.
Pelaku kejahatan yang satu ini kemungkinan gagal dalam melakukan aksi kejahatan bisa cukup besar.

4. Sudah Sifat Dasar Seseorang

Seseorang yang sudah memiliki sifat dasar yang jahat biasanya akan selalu berbuat jahat kapan dan di mana
pun ia berada. Orang yang seperti ini biasanya sangat tidak nyaman menjadi orang baik-baik. Para penjahat ini
akan lebih suka berteman dengan orang-orang yang sama-sama jahat walaupun ada kemungkinan besar teman-
temannya akan mencelakakan dirinya suatu saat nanti. Meskipun orang ini diberi hukuman penjara, tetap saja
orang ini akan melanjutkan aksi jahatnya setelah keluar dari penjara. Orang semacam ini memang sulit untuk
dibina untuk menjadi orang yang baik dan dapat berbaur dalam masyarakat.

Kita sebagai orang yang baik harus bisa membedakan tabiat jahat seseorang. Orang yang melakukan
perbuatan jahat belum tentu hatinya jahat. Orang yang memiliki penampilan yang sangar belum tentu berhati
jahat, dan sebaliknya orang yang berpenampilan baik, rapi, cakep dan sopan belum tentu mempunyai hati yang
baik dan bisa saja berbuat jahat di luar dugaan kita. Mari kita selalu waspada terhadap para penjahat yang bisa
melakukan aksi bejatnya kepada kita dan orang-orang yang kita sayangi.
Dalam lingkungan akademik, khususnya pada Fakultas Hukum terdapat mata kuliah
Kriminologi yang secara umum membahas tentang tindakan criminal atau kejahatan.Apa
sebenarnya pengertian kriminologi itu?
Banyak ahli telah mengemukakan pengertian kriminologi, antara lain :

1. Mulyono (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang ditunjang oleh berbagai ilmu yang membahas kejahatan sebagai
masalah manusia

2. Bonger (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya

3. Sutherland (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah


keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebagai
gejala sosial dan mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan
reaksi atas pelanggaran hukum

4. Wood (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah


keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang
bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat dan,termaksud didalamnya reaksi dari
masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.

5. Noach (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu
pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-
orang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.

6. Wolfgang (Santoso dan Zulfa, 2002 : 9) mengatakan bahwa kriminologi adalah


kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan dan pengartian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan
menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-
pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan,pelaku kejahatan
serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.

7. Effendy (1986 : 10) mengatakan kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang


kejahatan itu sendiri yang tujuanya adalah mempelajari apa sebab-sebab sehingga
seseorang melakukan kejahatan dan apa yang menimbulkan kejahatan itu. Apakah
kejahatan itu timbul karena bakat orang itu adalah jahat atau disebabkan karena
keadaan masyarakat sekitarnya baik keadaan sosiologis maupun ekonomis.

DEFINISI ARTI KEJAHATAN

Menurut B. Simandjuntak kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial


yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan
kegoncangan dalam masyarakat. Sedangkan Van Bammelen merumuskan:

Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan
menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu,
sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan
penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan
karena kelakuan tersebut.

diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara


juridis

dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian

kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan


undangundang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan
kejahatan adalah

perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat

merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan

ketertiban.

J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial

yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam

masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara

harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.

M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam

masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat

dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.

W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat

anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa
pemberian

penderitaan.

Menurut Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran

norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai


perbuatan

yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara


bertindak).
J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks
Dalam

Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu,

merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung


variabilitas

dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif
maupun

pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai
suatu

perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau
perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

Pendidikan punya peran penting dalam kehidupan seseorang, dan tentunya


negara.Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin pinter orang tersebut
dalam berperilaku. Dan kalau dalam sebuah negara pendidikannya udah tinggi, maka
bisa dipastikan negara tersebut bakal berkembang. Nah sayangnya Indonesia termasuk
dalam negara yang tingkat pendidikannya lumayan rendah. Salah satu indikasinya bisa
diliat dari bagimana cara mereka berpendapat atau ngasih komentar tentang suatu hal
yang lagi ramai dibicarakan orang. Contohnya kayak orang-orang di bawah ini nih.

Tersangka 1

Asal komentar tanpa didasari pengetahuan yang cukup, marah-marah gak jelas, dan
sok pinter adalah bukti nyata kurangnya pendidikan yang didapat. Kasihan!
Tersangka 2

Bukti kekayaan gak menjamin kamu bakal jadi orang yang cerdas. Kasihan!
Tersangka 3

Hmmm, gimana ya??? Kasihan!


Tersangka 4

Sekali lagi, kekayaan gak ngejamin kamu cerdas. Kasihan!

Tersangka 5

Wah gak punya perasaan banget nih komentarnya, pasti pendidikannya rendah banget.
Kasihan!
Tersangka 6

Ngelucu gak pada tempatnya. Gak pernah belajar nih. Kasihan!

Tersangka 7

Ini jelas banget gak lulus SD. Kasihan!

Aduh, MBDC mau nangis baca komentar orang-orang di atas. Sekarang udah jelas kan
kenapa Indonesia gak maju-maju? Ya karena masih banyak orang kayak di atas.
Semoga aja pemerintah yang baru bisa meningkatkan pendidikan di Indonesia,supaya
gak ada lagi orang bodoh di negara ini. AMIN!
dampak rendahnya tingkat pendidikan.
1. aspek sosial : -tentunya dengan tingkat pendidikan yang rendah,kita kurang mampu bersosialisasi
serta berinteraksi dengan sesama.
- akan ada sekat pembatas hubungan antara si pemilik pendidikan tinggi dengan si pendidikan
rendah
-tingkat yng buruk yang berimbas pada kehidupan sosial yang kurang baik.
2. aspek budaya : -budaya pada dasarnya adalah ide ataupun gagasan,jika tingkat pendidikan rendah
maka budaya tidak akan berkembang.
-tertinggal oleh zaman
-dan lain lain

Studi Menunjukkan, Peningkatan


Pendidikan Mengurangi Tingkat
Kejahatan
Suka dengan artikel ini?
Jelajahi artikel-artikel FaktaIlmiah yang berdasarkan apa yang dibaca dan ditonton teman-teman.
Terbitkan aktivitas Anda sendiri dan dapatkan kendali penuh. Login

Share on facebookShare on emailShare on favoritesShare on print|More Sharing ServicesMore

Selasa, 6 Desember 2011 -

Penelitian terbaru dari Pusat CIBC untuk Kapital dan Produktivitas Manusia di
University of Western Ontario menunjukkan bahwa pendidikan, dan yang
terkait inisiatif berbasis pendidikan, dapat mengurangi tingkat kejahatan,
meningkatkan kesehatan, tingkat kematian yang lebih rendah, dan
meningkatkan partisipasi politik.

Manfaat-manfaat sosial dari pengurangan tingkat kejahatan dan kematian


tampaknya cukup besar, kata Lochner. Sebagai contoh, perkiraan
menunjukkan bahwa naiknya tingkat kelulusan sekolah tinggi di Amerika
Serikat pada tahun 1990 menghasilkan hampir 100.000 kejahatan lebih
sedikit, memberikan manfaat tahunan senilai lebih dari 2 miliar dolar. Manfaat
sosial dari penurunan angka kematian kemungkinan akan sama besarnya.

Perkiraan manfaat dari pengurangan kejahatan adalah serupa di Amerika


Serikat dan Eropa namun diperkirakan dampak-dampak pendidikan pada
kesehatan, kematian, dan partisipasi politik tampaknya lemah di Eropa.

Kasus terkuat bagi tindakan pemerintah didasarkan pada efek pendidikan


terhadap kejahatan karena eksternalitasnya yang signifikan, tambah Lochner.
Dalam hal pengurangan kejahatan, kebijakan yang menaikkan tingkat
kelulusan sekolah tinggi atau yang meningkatkan kualitas sekolah dan
kesempatan belajar anak usia dini, khususnya pada masyarakat yang kurang
beruntung, cenderung lebih berhasil daripada kebijakan yang bertujuan
meningkatkan ketersediaan kampus dan universitas.

Kredit: University of Western Ontario


Jurnal: Lance Lochner. The Impacts of Education on Crime, Health and
Mortality, and Civic Participation. CIBC Centre for Human Capital and
Productivity, 3 Desember 2011. [pdf]

Artikel Terkait Komentar Rekomendasi Penulis Kutip Artikel terbaru FaktaIlmiah.com

1. Imajinasi Mengubah Apa yang Kita Dengar dan Lihat

2. Menyingkap Jadi Diri Pengguna Facebook Dengan Analisis Otomatis Suka

3. Kemampuan Matematika di Kelas Satu SD Menentukan Tingkat Keterampilan


Matematika Selanjutnya

4. Bagaimana Bahasa Manusia Berevolusi dan Dikembangkan dari Nyanyian Burung?

5. Memprediksi Partisipan Politik: Republik dan Demokrat Mengelola Resiko dalam Otak
Secara Berbeda

Anda mungkin juga menyukai