Anda di halaman 1dari 7

TUGAS OBAT ANTI JAMUR

Nama : Alia Rahma, S.Ked

NIM : 1208011002

Secara umum infeksi dibedakan atas infeksi sistemik dan infeksi jamur
topikal (dermatofit dan mukokutan).

1. ANTIJAMUR UNTUK INFEKSI SISTEMIK


1.1 Amfoterisin B
Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi Streptomyces
nodosus.
Amfoterisin B berikatan kuat dengan ergosterol yang terdapat
pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan
membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberapa
bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada
sel.
Amfoterisin mempunyai spektrum aktivitas terhadap
Aspergillus, B. dermatitidis, Candida, C. neoformans,
C.immitis. H. capsulatum, Mucor, P. brasiliensis.
Amfoterisin tidak larut dalam air, dan sedikit sekali diabsorpsi
dari saluran cerna.
Amfoterisin diberikan secara iv lambat pada infeksi sistemik,
intrateka untuk meningitis, iritasi vesika urinaria untuk sistitis.
Amfoterisin juga dapat diberikan secara topikal.
Farmakokinetik obat ini kompleks, >90% terikat pada protein
plasma, serta beberapa fase distribusi dan eliminasi dengan
waktu paruh 24-48 jam, dan waktu paruh terminalnya 15 hari.
Efek samping yang paling sering dan paling serius adalah
toksisitas ginjal.
Obat ini diindikasikan untuk infeksi jamur sistemik, meningitis
karena jamur, dan ISK karena jamur. Amfoterisin B secara
topikal juga efektif terhadap keratitis mitotik.
Amfoterisin merupakan drug of choice untuk terapi sebagian
besar infeksi jamur yang berat.
Amfoterisin B tersedia dalam bentuk salep mata/tetes mata
1%, injeksi 50 mg/10ml atau 0,1 mg/ml larutan.
1.2 Flusitosin
Flusitosin (5-fluorositosin; 5FC) merupakan antijamur sintetik
yang berasal dari fluorinasi pirimidin, dan mempunyai
persamaan struktur dengan fluorourasil dan floksuridin.
Obat ini efektif untuk pengobatan kriptokokosis, kandidiasis,
kromomikosis, torulopsis dan aspergilosis.
Flusitosin masuk kedalam sel jamur dengan bantuan sitosin
deaminasi dan dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA
setelah mengalami deaminasi menjadi 5-fluorourasil dan
fosforilasi.
Diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna. Kadar
puncak dalam darah setelah pemberian per oral berkisar antara
70-80 g/mL, akan dicapai 1-2 jam setelah pemberian dosis
sebesar 7,5 mg/KgBB.
Efek samping: anemia, leukopenia, trombositopenia, mual,
muntah, diare dan enterokolitis.
Obat ini tersedia dalam sediaan kapsul 250 dan 500 mg. Dosis
yang dianjurkan antara 50-150 mg/KgBB/hari yang terbagi
dalam 4 dosis. Dosis ini harus dikurangi pada pasien dengan
insufisiensi ginjal.
1.3 Imidazol dan Triazol
Kelompok imidazol: ketokonazol, mikonazol dan klotrimazol
Kelompok triazol: itrakonazol, flukonazol, dan vorikonazol

a. Ketokonazol
Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik
maupun nonsistemik efektif terhadap Candida,
Coccidiodes immits, Cryptococcus neoformans, H.
capsulatum, B. Dermatidis, Aspergillus dan Sporothrix
spp.
Efek samping: mual dan muntah adalah efek samping
paling sering
Ketokonazol terutama efektif untuk histoplasmosis
paru, tulang, sendi dan jaringan lemak.
Penggunaan ketokonazol bersama dengan terfinadin ,
astemizol atau sisaprid dikontraindikasikan karena
dapat menyebabkan perpanjangan interval QT dan
dapat menyebabkan aritmia ventrikel jantung.
Ketokonazol tersedia dalam sediaan tablet 200 mg, krim
2% dan shampo 2%. Dosis yang dianjurkan pada
dewasa adalah satu kali 200-400 mg sehari. pada anak-
anak diberikan 3,3-6,6 mg/KgBB/hari. Lamanya
pengobatan bervariasi: 5 hari untuk kandidiasis
vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandidiasis esofagus
dan 6-12 bulan untuk mikosis dalam.
b. Itraknozaol
Obat ini dapat diberikan per oral dan IV.
Aktivitas antijamurnya lebih lebar sedangkan efek
samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan
dengan ketokonazol.
Diserap lebih smepurna melalui saluran cerna bila
diberikan bersama makanan.
Tersedia dalam kapsul 100 mg, dosis yang disarankan
200 mg sekali sehari. Sepuluh sampai 15% pasien
mengeluh mual atau muntah namun pengobatan tidak
perlu dihentikan.
Itrakonazol memberikan hasil memuaskan untuk
indikasi yang sama dengan ketokonazol antara lain
terhadap blastomikosis, histoplasmosis, koksidioido-
mikosis, sariawan pada mulut dan tenggorokan serta
tinea versikolor.
Itrakonazol untuk mikosis diberikan dosis dua kali 200
mg sehari yang diberikan dengan makanan. Untuk
onikomikosis diberikan satu kali 200 mg sehari selama
12 minggu atau dengan terapi berkala, yakni dua kali
200 mg sehari selama 1 minggu, diikuti 3 minggu
periode bebas obat setiap bulannya. Lamanya
pengobatan biasanya 3 bulan.
1.4 Kaspofungin
Antijamur sistemik dari suatu kelas baru yang disebut
ekinokandin. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis
beta (1,3)-D-glukan, suatu komponen esensial yang
membentuk dinding sel jamur.
Diindikasikan untuk infeksi jamur sebagai berikut:
a. Kandidiasis invasif, termasuk kandidema pada pasien
neutropenia atau non neutropenia.
b. Kandidiasis esofagus
c. Kandidiasis orofaring
d. Aspergilosis invasif yang sudah refrakter terhadap
antijamur lainnya.
Efek samping: demam, mual, muntah, flushing, dan pruritus
karena lepasnya histamin.
Untuk pasien dewasa diberikan hari pertama dengan dosis
tunggal 70 mg IV, dilanjutkan dengan dosis tunggal 50 mg
sehari pada hari-hari berikutnya.
Bila respon pasien kurang memuaskan dosis pemeliharaan ini
dapat ditingkatkan hingga 70 mg/hari. Obat diberikan secara
IV dalam waktu 1 jam.
1.5 Terbinafin
Terbinafin merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan
struktur mirip naftitin. Obat ini digunakan untuk terapi
dermatofitosis, terutama onikomikosis.
Biasa dikombinasikan dengan golongan imidazol atau triazol
karena penggunaannya sebagai monoterapi kurang efektif.
Terbinafin diserap baik melalui saluran cerna.
Terbinafin bersifat kratofilik dan fungisidal. Efek samping
jarang terjadi, biasanya berupa gangguan saluran cerna, sakit
kepala atau rash.
Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet oral 250 mg.
Terbinafin yang diberikan satu kali 250 mg sehari untuk
pengobatan onikomikosis sama efektifnya dengan itrakonazol
200 mg sehari dan lebih efektif daripada terapi itrakonazol
berkala.

2. ANTIJAMUR UNTUK INFEKSI DERMATOFIT dan MUKOKUTAN


2.1 Griseofulvin
Griseofulvin menghambat mitosis jamur dengan berkaitan
dengan mikrotubulus dan menghambat polimerisasi tubulin
menjadi mikrotubulus.
Griseofulvin tidak larut air.
Obat diberikan per oral, dan hanya sekitar 50% dosis oral yang
masuk ke sirkulasi.
Absorbsi meningkat bila diberikan bersama lemak.
Infeksi kulit dan rambut memerlukan terapi 4-6 minggu, kuku
tangan sampai 6 bulan, dan kuku kaki memerlukan 1 tahun
terapi.
Griseofulvin dimetabolisme di hati dengan dealkilasi dan
metabolitnya yang inaktif diekskresi dalam urine sebagai
glukuronid.
Griseofulvin menghambat jamur dari spesies Microsporum,
Tricophyton, dan Epidermophyton.
Griseofulvin biasanya hanya digunakan untuk mengobati
infeksi dermatofit pada kulit, kuku atau rambut.
Griseofulvin tersedia dalam bentuk tablet 125, 250, dan 500
mg, dan suspensi 125 mg/ml.
Dosis dewasa adalah 500-1000 mg/hari dosis tunggal atau
dosis terbagi. Untuk anak, dosisnya adalah 10 mg/kgBB/hari.
2.2 Imidazol dan Triazol
a. Mikonazol
Menghambat aktivitas jamur Trichophyton, Epidermophyton,
Microsporum, Candida dan Malassezia furfur.
Efek samping berupa iritasi, rasa terbakar dan maserasi
memerlukan penghentian terapi.
Obat ini tersedia dalam bentuk krim 2% dan bedak tabur yang
dipakai dua kali sehari selama 2-4 minggu. Krim 2% untuk
penggunaan intravaginal diberikan sekali sehari pada malam
hari selama 7 hari. Gel 2% tersedia untuk kandidiasis oral.
Mikonazol tidak boleh dibubuhkan pada mata.
b. Klotrimazol
Mempunyai efek antijamur dan antibakteri dengan mekanisme
kerja mirip mikonazol dan secara topikal digunakan untuk
pengobatan tinea pedis, kruris dan korporis yang disebabkan
oleh T. rubrum, T. mentagrophytes, E floccosum, M. Canis dan
untuk tinea versikolor. Juga untuk infeksi kulit dan
vulvovaginitis yang disebabkan oleh C.albicans.
Obat ini tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar
1% untuk dioleskan dua kali sehari. krim vaginal 1% atau
tablet vaginal 100 mg digunakan sekali sehari pada malam hari
selama 7 hari, atau tablet vaginal 500 mg, dosis tunggal.
Pada pemakaian topikal dapat terjadi rasa terbakar, eritema,
edema, gatal dan urtikaria.
2.3 Tolnaftat dan Tolsiklat
a. Tolnaftat
Tolnaftat adalah suatu tiokarbonat yang efektif untuk
pengobatan sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif
terhadap kandida.
Tersedia dalam bentuk krim, gel, bubuk, cairan aerosol atau
larutan topikal dengan kadar 1%. Digunakan lokal 2-3 kali
sehari. Rasa akan hilang 24-72 jam.
b. Tolsiklat
Merupakan antijamur topikal yang diturunkan dari tiokarbonat.
Namun karena spektrumnya yang sempit, antijamur ini tidak
banyak digunakan lagi.
2.4 Nistatin
Nistatin adalah antibiotik makrolida polyene dari Streptomyces
noursei. Struktur nistatin mirip dengan struktur amfoterisin B.
Nistatin tidak diserap dari membran mukosa atau dari kulit.
Obat ini terlalu toksik untuk pemberian parenteral. Bila
diberikan per oral, absorpsinya sedikit sekali dan kemudian
diekskresi melalui feses.
Spektrum antijamurnya sebenarnya juga mencakup jamur-
jamur sistemik, namun karena toksisitasnya, nistatin hanya
digunakan untuk terapi infeksi Candida pada kulit, membran
mukosa dan saluran cerna.
Nistatin efektif untuk kandidiasis oral, kandidiasis vaginal dan
esofagitis karena Candida.
Nistatin terdapat dalam sediaan obat tetes/suspensi, tablet oral,
tablet vagina, dan suppositoria
Dosis nistatin dinyatakan dengan dalam unit, tiap 1 mg obat ini
mengandung tidak kurang dari 200 unit nistatin. Untuk
kandidiasis mulut dan esofagus pada pasien dewasa diberikan
dosis 500.000-1.000.000 unit, 3 atau 4 kali sehari. Obat tidak
langsung ditelan tetapi ditahan dulu dalam rongga mulut.
Pemakaian pada kulit disarankan 2-3 kali sehari, sedangkan
pemakaian tablet vagina 1-2 kali sehari selama 14 hari.

Anda mungkin juga menyukai