Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Manifestasi Rongga Mulut pada Pasien Diabetes Mellitus

Oleh :
1. Maharja Jathi 111611101027
2. Ayu Leila W 111611101031
3. Cindy Uswatun K 111611101095

Pembimbing:
dr. Heri Subiakto, Sp.PD

ILMU KEDOKTERAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2017
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat


dan rahmat-Nya, sehingga makalah Manifestasi Rongga Mulut pada Pasien
Diabetes Mellitus dapat terselesaikan tepat waktu.
Laporan ini disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas Ilmu
Kedokteran Klinik yang dilaksanakan selama satu minggu di bagian Ruang
Penyakit Dalam. Kegiatan dan makalah IKK dapat diselesaikan dengan baik atas
bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada dr. Heri Subiakto, Sp.PD selaku pembimbing dari kelompok pertama di
bagian Ruang Penyakit Dalam serta semua staff yang membantu.
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini masih kurang sempurna,
maka penulis mengharap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
laporan. Semoga makalh ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis
BAB 1. PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau


gangguan metabolisme kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-
sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya
sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). Diabetes mellitus dapat ditandai
dengan kadar gula darah melebihi normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama
atau lebih dari 20 mg/dl, dan kadar gula darah puasa diatas atau sama dengan 126
mg/dl (Sjaifoellah, 1996).
Diabetes mellitus adalah penyakit sistemik yang dapat menimbulkan
komplikasi, baik makroaskuler maupun mikrovaskuler. Pada komplikasi
mikrovaskuler berupa retinopati, nefropati dan neuropati. Pada komplikasi
neuropati salah satunya terjadi gangguan saraf simpatis dan parasimpatis. Hal
tersebut akan berakibat pada penuruan sekresi saliva yang mengakibatkan
penuruan pH saliva (chawsen, 1999).
Gejala umum yang timbul pada penderira diabetes mellitus adalah poliuri,
polidipsi, pruritis, polifagia dan kehilangan berat badan. Diabetes mellitus dapat
menyebakan keadaan akut yaitu koma hipoglikemi dan koma hiperglikemi.
Penyakit ini memberikan komplikasi dalam bentuk akut atau kronis yang
menyerang berbagai organ tubuh seperti mata. kulit, ginjal, pembuluh darah
termasuk juga struktur dalam rongga mulut (Lynch, 1989).
Manifestasi diabetes melitus pada rongga mulut menyebabkan
peningkatan insidens karies, xerostomia dan memperberat gingivitis maupun
penyakit periodontal lainnya (Freguson, 1990). Sehingga perawatan gigi harus
disesuaikan dengan kondisi kesehatan umum penderita diabetes mellitus.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DIABETES MELITUS


Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolic yang mempunyai
karakteristik hiperglikemi dan terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. Penyakit DM seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
mulai terjadi 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan
mortalitas terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi. Diabetes melitus ditandai
adanya hiperglikemi kronik akibat defisiensi insulin baik relative maupun
absolute. Gejala umum yang tampak pada penderita DM adalah poliuria,
polidipsia, polifagia serta penurunan berat badan. Berdasarkan klasifikasinya, DM
dibedakan menjadi 2 kategori yakni insulindependent diabetes mellitus (IDDM)
atau DM tipe 1 dan non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) atau DM
tipe 2.

2.2. KLASIFIKASI DIABETES MELITUS


Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari
waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya
(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut juvenile
diabetes, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45
tahun disebut sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak
dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada
usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan
rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-
istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan
Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA)
mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes,
Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes. WHO pun telah
beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam
pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics,
Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan
klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data
Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu
"Insulin- Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus
Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut
juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi
klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun
tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan
"Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam
publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980
dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes
Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT)
dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada
revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes
yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related
Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat
dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat
kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi
penyakitnya. Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat
pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003).


1 Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin
3 Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel :
kromosom 12, HNF-1 (dahulu disebut MODY 3),
kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
kromosom 20, HNF-4 (dahulu disebut MODY 1)
DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
Pankreatitis
Trauma/Pankreatektomi
Neoplasma
Cistic Fibrosis
Hemokromatosis
Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam
nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington,
Chorea, Prader Willi
4 Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5. Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)

2.3. MANIFESTASI DIABETES MELITUS DI RONGGA MULUT


Penyakit DM dapat menimbulkan beberapa manifestasi didalam rongga
mulut diantaranya adalah terjadinya gingivitis dan periodontitis, kehilangan
perlekatan gingiva, peningkatan derajat kegoyangan gigi, xerostomia, burning
tongue, sakit saat perkusi, resorpsi tulang alveolar dan tanggalnya gigi. Pada
penderita DM tidak terkontrol kadar glukosa didalam cairan krevikular gingiva
(GCF) lebih tinggi dibanding pada DM yang terkontrol. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Aren dkk menunjukkan bahwa selain GCF, kadar glukosa
juga lebih tinggi kandungannya didalam saliva. Peningkatan glukosa ini juga
berakibat pada kandungan pada lapisan biofilm dan plak pada permukaan gigi
yang berfungsi sebagai tempat perlekatan bakteri. Berbagai macam bakteri akan
lebih banyak berkembangbiak dengan baik karena asupan makanan yang cukup
sehingga menyebabkan terjadinya karies dan perkembangan penyakit periodontal.
Diabetes melitus menyebabkan suatu kondisi disfungsi sekresi kelenjar
saliva yang disebut xerostomia, dimana kualitas dan kuantitas produksi saliva
dirongga mulut menurun. Xerostomia yang terjadi pada penderita DM
menyebabkan mikroorganisme opotunistik seperti Candida albican lebih banyak
tumbuh yang berakibat terjadinya candidiasis. Oleh karena itu penderita
cenderung memiliki oral hygiene yang buruk apabila tidak dilakukan pembersihan
gigi secara adekuat. Pemeriksaan secara radiografis juga memperlihatkan adanya
resorpsi tulang alveolar yang cukup besar pada penderita DM dibanding pada
penderita non DM. Pada penderita DM terjadi perubahan vaskularisasi sehingga
lebih mudah terjadi periodontitis yang selanjutnya merupakan faktor etiologi
resorpsi tulang alveolar secara patologis. Resorpsi tulang secara fisiologis dapat
terjadi pada individu sehat, namun resorpsi yang terjadi pada DM disebabkan
karena adanya gangguan vaskularisasi jaringan periodontal serta gangguan
metabolisme mineral.

2.4. PENYAKIT PERIODONTAL SEBAGAI KOMPLIKASI DIABETES


MELITUS
Periodontitis merupakan salah satu dari enam komplikasi DM. Pada
sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keparahan penyakit periodontal
meningkat pada penderita diabetes dibandingkan pada individu yang sehat.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa keparahan penyakit periodontal pada
penderita DM dipengaruhi oleh penurunan respon imun. Kondisi tersebut ditandai
terjadinya sejumlah perubahan jaringan yang menyebabkan kerentanan terhadap
penyakit. Perubahan vaskuler yang terjadi menunjukkan adanya peningkatan
aktivitas kolagen serta perubahan respon dan kemotaksis dari PMN terhadap
antigen plak, sehingga menyebabkan fagositosis terhambat.
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) pada penderita DM
menyebabkan komplikasi berupa mikrovaskuler yang ditandai dengan
peningkatan AGE pada plasma dan jaringan. Sekresi dan sintesis sitokin yang
diperantarai oleh adanya infeksi periodontal, memperkuat besarnya respon sitokin
yang dimediasi AGEs atau sebaliknya. Advanced glycation endproduct yang
terbentuk dapat terjadi pada protein, lipid dan asam nukleat. Pembentukan AGE
pada protein, menyebabkan rantai silang antara polipeptida kolagen dan
menangkap plasma non glikosilasi atau protein interstitial. Pengendapan low
density lipoprotein (LDL) terjadi pada pembuluh darah besar dan deposit
kolesterol di intima. Advanced glycation end-product menyebabkan terbentuknya
rantai silang kolagen tipe IV membran basalis, berakibat melemahnya interaksi
kolagen dan komponen matriks lain (laminin, proteoglikan), menghasilkan jejas
struktur dan fungsi membran basalis.
Keadaan hiperglikemia akan menimbulkan AGEs, yang kemudian
berinteraksi dengan RAGE pada endotel sehingga menimbulkan stres oksidatif,
sebagai akibatnya akan terjadi gangguan pembuluh darah pada jaringan
periodontal. Gangguan pembuluh darah akan menyebabkan gangguan distribusi
nutrisi dan oksigen pada jaringan periodontal, sehingga bakteri gram negatif
anaerob yang merupakan bakteri komensal pada poket periodontal akan menjadi
lebih patogen. Gangguan pembuluh darah juga akan mempengaruhi pembuangan
sisa metabolisme dalam jaringan periodontal, sehingga akan terjadi toksikasi
jaringan periodontal dan gingiva.
Advanced glycation end-product juga mengadakan ikatan dengan reseptor
bermacam sel seperti endotelium, monosit, makrofag, limfosit dan mesenkim.
Ikatan menyebabkan aktivitas biologik seperti emigrasi monosit, pembebasan
sitokin dan faktor pertumbuhan oleh makrofag, peningkatan permeabilitas
endotelial, peningkatan aktivitas prokoagulan sel endotel dan makrofag,
peningkatan proliferasi dan sintesis matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan sel
otot halus, efek ini menyebabkan peningkatan komplikasi DM .

2.5. PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS


Beberapa prosedur perawatan yang dapat dilakukan antara lain adalah :
a. Penyuluhan / Edukasi
Diberikan pemahaman tentang perjalanan penyakit, pentingnya
pengendalian penyakit, komplikasi yang timbul dan resikonya, pentingnya
intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara mengatsi
hipoglikemia, perlunya latihan fisik yang teratur, dan cara mempergunakan
fasilitas kesehatan. Bertujuan agar pasien dapat mengontrol gula darah,
mengurangi komplikasi dan meningkatkan kemampuan merawat diri
sendiri (Purba, 2008).

b. Diet
Perencanaan makan yang baik merupakan bagian penting dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Diet seimbang akan mengurangi
beban kerja insulin dengan meniadakan pekerjaan insulin mengubah gula
menjadi glikogen. Keberhasilan terapi ini melibatkan dokter, perawat, ahli
gizi, pasien itu sendiri dan keluarganya (Delameter, 2006).

c. Latihan Fisik
Diabetes melitus akan terawat dengan baik apabila terdapat
keseimbangan antara diet, latihan fisik secara teratur setiap hari dan kerja
insulin. Latihan juga dapat membuang kelebihan kalori, sehingga dapat
mencegah kegemukan juga bermanfaat untuk mengatasi adanya resistensi
insulin pada obesitas (Noer, 1996).

2.6. PENATALAKSANAAN DIABETES MELITUS PADA RONGGA


MULUT
Dokter gigi turut memainkan peran penting bersama tim medis lainnya dalam
membantu pasien mengontrol kadar gula darah dengan benar dengan mengobati
infeksi oral dan menginstruksi pasien supaya rajin sikat gigi dan lebih menjaga
kesehatan rongga mulut. Selain itu, pasien diinstruksikan agar menjaga pola makan
dengan diet ketat dan mengontrol kadar gula darah sehingga berada pada batas
normal atau mendekati normal. Pasien juga diinstruksikan agar tidak merokok dan
menghindari faktor resiko yang memperburuk komplikasi vaskular. Pasien juga harus
mengontrol kadar gula darah dan memeriksa kondisi rongga mulut ke dokter gigi
(Kurniawan, 2010).

Beberapa prosedur perawatan yang dapat dilakukan antara lain adalah:


a. Perbaikan oral higiene
Oral higiene yang tidak baik merupakan faktor risiko dominan
dalam menyebabkan terjadinya penyakit periodontal. Penggunaan benang
pembersih dan sikat gigi hanya bisa dilakukan pada daerah permukaan
yang dapat dijangkau. Permukaan bukal dan lingual merupakan
permukaan yang paling mudah dibersihkan sehingga upaya oral higiene
yang efektif saja sudah dapat menghilangkan plak dan kalkulus pada
permukaan ini (Taqwa, 2010). Kontrol oral higiene dan instruksi ulang
dilakukan 2 kali sebulan diikuti dengan profilaksis (Rodrigues,2003).

b. Scaling profesional
Perawatan mekanis pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat
berupa skeling dan penyerutan akar. Christgau dan kawan-kawan
melaporkan bahwa perawatan mekanis tidak mempengaruhi kadar
glycated hemoglobin pada penderita diabetes tidak terkontrol
(Rodrigues,2003).

c. Perawatan komprehensif
Perawatan komprehensif berupa skeling dan penyerutan akar
dibawah anastesi lokal, dengan atau tanpa prosedur bedah untuk
aksesibilitas. Pada penderita diabetes yang terkontrol, perawatan non-
bedah maupun bedah dapat dilakukan seperti pada orang yang tidak
menderita diabetes melitus. Syarat untuk melakukan prosedur bedah antara
lain hanya dilakukan pada penderita diabetes yang terkontrol. Prosedur
bedah harus dilakukan dalam waktu singkat yaitu kurang dari 2 jam dan
sedapat mungkin menghindari trauma (Golla, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus.


Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S5-S10.
Aren, G., Sepet, E., Ozdemir, D., Dinccag, N., Guvener, B., Firatli, E., Periodontal
health, Saliva Status, and Metabolic Control in Children with Type 1
Diabetes mellitus, J. Periodontol, 2003;, 74 (12):1789-1795
Asdie, A.H., Patogenesis dan Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2, Fakultas
Kedokteran, UGM, 2000: 1-2
Balasundaram A, Ponnaiyan D, Parthasarathy H, Diabetes Mellitus-A Periodontal
Perspective, Journal of Dental Sciences, 2010; 1(1): 79-85
Boel, T., Manifestasi Rontgenografi Diabetes Mellitus di Rongga Mulut, JKGUI
10 2003; Edisi Khusus:12-15
Cawsen R A and Odell EW. Essentidol l Ont Pathalog ahd Oral Medicine. 616 ed.
Edinburg Londoni Churchill & : ivingslone1 9993 i3-315
Delamater, A.M. (2006). Improving patient adherence. Clinical diabetes
journala . http://www.clinicaldiabetesjournala.org/ .Pada Tanggal 12
November 2012
Ferguson,M.M., Silveman,J.R.: Endocrine Disorders in Oral Manifestation of
Systematic Disease edited by Jones,lH., Mason,D.K..
Golla K, Epstein JB, Rada RE, sanai R, Messieha Z, and Cabay RJ. Diabetes
mellitus : An update overview of medical management and dental
implications.(14 Apr.2006)
Kurniawan I. Diabetes melitus tipe 2 pada lanjut usia. Majalah Kedokteran
Indonesia 2010. Des 12: 576-84
Lynch,M.A.:Diabetes in Burket's Oral Medicine, Diagnosis and Treatment, 8th ed,
edited by Lynch,M.A., Brigthman.V.J.. Greenberg,M.SJ.,. B. Lipincott,
London1,9 89,h al 842 - 850.
Manson, J. D., Elley, B. B., Buku Ajar Periodonsia (terj.). Edisi 2. Jakarta:
Hipocrates. 1993: 48-49
Matthew DC, The Relationship Between Diabetes and Periodontal disease, J. Can
Dent Assoc, 2002; 68 (3) 161-4
Mealey B.L and Oates T.W, Diabetes Mellitus and Periodontal Disease,
J.Periodontol, 2006; 77 (8).
Noer, H. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta
Oedijani, Mekanisme Biokimia dan Biomolekular Komplikasi Diabetes Mellitus
dan Periodontitis, JKGUI 2003,, Edisi Khusus:578-585
Purba, Isabellah Candra .(2008). Pengalaman ketidakpatuhan pasien terhadap
penatalaksanaan DM. Tesis. Universitas Indonesia
Rodrigues, D.C., Taba, M., Novaes, A.B., Souza, S.L.S., dan Grisi, M.F.M., Effect
of Non-Surgical Periodontal Therapy on Glycemic Control in Patiens with
Type 2 Diabetes Mellitus, J. Periodontol, 2003; 74 (9):1361-1379
Rodrigues DC, Taba M Jr., Novaes AB Jr., Souza SLS, and Grisi MFM. Effect of
non-surgical periosdontal therapy on glycemic control in patients with type
2 diabetes mellitus. J Periodontol, 2003;74:7-1361
Rubianto, M., Hernawan, I., Stress Oksidan Pada Jaringan Periodontal Penderita
Diabetes Melitus dengan Periodontitis, Majalah Ilmiah, 2001; Dies Natalis
FKG UGM ke-40, 95-98
Sjaifoellah Noer. Buku ajar penyakit dalam Jilid I. Edisi ke-3. Jakarta : FKUI,
1996 : 571 -622
Soegondo, S., Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini dalam
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2005:17-18
Southerland, J.H., Taylor, G.W., dan Offenbacher, S., Diabetes and Periodontal
Infection: Making the Connection, Clinical Diabetes, 2005; 23:171-178
WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva. Definition,
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications.
Report of a WHO ConsultationPart 1: Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus . 1999

Anda mungkin juga menyukai